Sebagai bandar laut utama dan kota industri besar di Hindia Belanda, Surabaya menjadi tempat berkumpulnya berbagai komunitas Eropa, termasuk kalangan Belanda yang membentuk Nationaal-Socialistische Beweging (NSB) di Hindia Belanda. NSB adalah gerakan atau organisasi berideologi fasisme yang berbasis di Belanda, didirikan oleh Anton Mussert[1] pada 1931. Melonjaknya keanggotaan mereka di Surabaya terjadi pada Februari 1934 ketika Hilgers, perwakilan NSB Hindia Belanda, bertemu dengan A.J. Schoofs, pemimpin Fascistenorganisatie in Nederlandsch-Indië (FOINI). Tidak lama kemudian, pada Agustus 1934, FOINI dibubarkan dan sebagian besar anggotanya bergabung dengan NSB.[2] Langkah ini menandai transformasi Surabaya menjadi salah satu pusat gerakan fasis di Hindia Belanda.
Seperti banyak negara Eropa pada saat itu, Belanda menghadapi dampak Depresi Besar, Perang Dunia I, kemenangan Bolshevisme dan ekspansi Uni Soviet serta meningkatnya sentimen nasionalisme ekstrem. Partai NSB yang berhaluan fasis cukup tenar terutama di kalangan Indo-Eropa di Hindia Belanda. NSB Hindia berfungsi sebagai organisasi politik unik yang mempromosikan ide-ide fasis tanpa memandang ras: bahkan Mussert menyambut “inlanders” di pidato Kunstkring Surabaya 1 Agustus 1935.[3] Setidaknya menurut Oktorino (2008), terdapat 2.000 anggota NSB di Hindia Belanda. Sebanyak 70 persen di antaranya adalah orang Indo-Belanda.
Surabaya juga menjadi panggung penting bagi propaganda NSB. Mussert sendiri mengunjungi kota ini sebagai bagian dari tur politiknya di daerah koloni. Di Surabaya, ia menggelar propaganda-avond di Kunstkring. Tempat itu kini dikenal sebagai Gedung RRI di Jalan Pemuda. Selama kunjungannya, Mussert tinggal sementara di rumah keluarga Logeman di Jalan Opak. NSB juga memiliki Kringhuis (markas besar) di Jalan Embong Malang 55 sejak 1934[4] serta mulai Februari 1937[5], di Jl. Sumatra 84 di bawah Kringleider [6] H.A Kruijtsbosch dan J. Brevet.
Pada dekade 1930-an, keberadaan NSB di Hindia Belanda semakin mencolok. Salah satu buktinya adalah kunjungan Anton Mussert ke Hindia untuk melakukan tur propaganda dan diplomasi antara 23 Juli sampai 29 Agustus 1935, termasuk di Surabaya dan sekitarnya pada 31 Juli hingga 7 Agustus 1935. Di Surabaya, kedatangannya disambut antusias di Stasiun Gubeng. Kunjungan ini menjadi momen penting dalam sejarah NSB di Hindia Belanda.
Pada malam 31 Juli 1935, Mussert dan pendampingnya, A. van Leeuwen Bookamp[7], seorang kamerad[8] yang juga anak dari direktur Rubber Cultuur Mij, Amsterdam, tiba di Stasiun Gubeng menggunakan kereta Eendaagsche Express dari Jogjakarta. Beberapa pemimpin NSB, termasuk inspektur wilayah Malang, Kruis, para Kringraad (Dewan Lingkar), ketua NSB Surabaya, Kruytbosch, ketua umum NSB untuk Hindia, Scheurer, dan dua ketua grup lokal lain bersama sejumlah anggota lainnya, berkumpul untuk menyambut kedatangannya. Saat Mussert keluar dari kereta, dia disambut dengan sorakan semangat “Hou-Zee” dan salut fasis. Setelah disambut oleh para pejabat dan anggota NSB lokal, mereka diantar menuju perumahan militer di Jl. Opak, kawasan Darmo[9]. Seorang anggota bernama A.W Logeman menyediakan kuarter sementara di rumah keluarganya, di mana sang Leider akan tinggal selama di Surabaya.
Selama kunjungannya di Surabaya, ia tinggal di rumah di Opakstraat 21[10]. Di dinding depan rumah tersebut, terpampang lambang segitiga merah-hitam dan singa NSB[11]. Beberapa arsip foto di NIOD memperlihatkan alamat rumah yang ditempati Mussert juga berada di Opakstraat 21, bahkan bertamu dengan Patih Solo[12], yang juga merupakan tuan rumahnya selama di Surakarta. Pada 31 Juli siang, Mussert dan kelompoknya juga hadir di perjamuan dari acara pernikahan anak KGPH Hadiwijaya, Raden Adjeng Nedima, dengan Raden Mas Djoelham, murid MHS anak wedana Magelang. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Senin sebelumnya, 29 Juli[13]. Di rumah Jl. Opak, Mussert juga bertemu Djajadiningrat[14] dan sekretaris pribadi Mangkunegara VII, penyair Noto Soeroto[15].
Paginya, mereka diantar menuju ke pangkalan Angkatan Udara dan bandara Darmo di Goenoengsariweg[16]. Di sana, para pejabat NSB hadir untuk menyaksikan uji coba senjata anti-pesawat, didampingi oleh kapten artileri K.L. Koppen dan Kapten J. de Mos. Mereka juga mengunjungi markas bandara Angkatan Laut, yang mungkin merujuk pada Marinevliegkamp Morokrembangan[17].
Selepas acara di pangkalan militer ini, mereka kembali ke rumah Jl. Opak untuk beristirahat. Kedatangan Mussert ke kawasan itu disambut dengan meriah oleh para simpatisan, zwarthemden[18] dan reporter untuk berbagai surat kabar. Lewat terjemahan penulis sendiri, wartawan “Jurist” Indische Courant menceritakan bahwa,
Saat kami sampai di rumah yang terletak di Opakstraat, yang berfungsi sebagai pusat NSB, suasana di sekitar sangat ramai dengan orang-orang yang mengenakan seragam hitam. Di taman, ada sebuah bendera besar dengan warna khas NSB yang dipasang.
Para pengawal berjalan bolak-balik, sementara di teras, beberapa kelompok berkumpul untuk melihat atau berbicara dengan De Leider [Sang Pemimpin].
Namun, Leider masih belum datang. Setelah menunggu lima menit, mobilnya akhirnya muncul. Tangan-tangan diangkat memberi salut, dan teriakan komando terdengar jelas. Tuan Mussert, yang didampingi oleh para pemimpin lokal dan Tuan Van Leeuwen Boomkamp—teman perjalannya ke Hindia—masuk ke dalam rumah dengan cepat. Pintu-pintu ditutup untuk sementara waktu, dan kami, para jurnalis, diminta untuk menunggu sebentar; Tuan Mussert perlu beristirahat sejenak tetapi bersedia menunda makannya untuk menemui kami.[19]
Tepatnya di kediaman itu, seseorang dari V.P (Vereenigd Persbureau) mewawancarai sang Leider. Hal ini dilaporkan lewat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië[20]. Ini memberikan gambaran menarik tentang pandangan sang Leider terkait permasalahan rasial serta posisi Indo-Eropa serta pribumi. Wawancara tersebut juga mengungkap perspektifnya tentang nasional-sosialisme serta kritik terhadap kegagalan sistem pemerintahan saat itu, baik di Belanda maupun di Hindia Belanda.[21]
Berikut adalah hasil wawancara semi-imajiner reporter VP dengan Mussert. Beberapa petinggi NSB lainnya, termasuk Kruytbosch dan Scheurer serta pendamping Mussert, van Leeuwen-Boomkamp, juga berada di sekitar situ selama wawancara berlangsung.
V.P.: “Tuan Mussert, terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbicara dengan kami. Pertama-tama, kami ucapkan selamat datang di Surabaya.”
M.: (antusias) “Terima kasih! Saya sangat terkesan dengan sambutan luar biasa di Surabaya. Semalam di Stasiun Goebeng, saya disambut oleh Kringraad, Ketua NSB Jawa Timur dan Surabaya, inspektur utama organisasi, serta para anggota dari berbagai latar belakang. Banyak juga yang membawa suvenir untuk saya. Semuanya begitu hangat dan ramah[22].
V.P.: “Mari kita ke pertanyaan paling mendasar: apa arti NSB bagi Hindia Belanda? Dan bagaimana peran organisasi ini dalam menjaga stabilitas?”
M.: “NSB adalah jangkar Hindia Belanda, sebagaimana di tanah air. Kita telah lihat bagaimana kebijakan demo-liberal telah gagal mengatasi krisis hukum, sosial, dan ekonomi—baik di Belanda maupun Hindia. Kekaisaran ini menghadapi badai besar, tetapi kami berdiri teguh. Saya percaya, nasional-sosialisme adalah solusi untuk menyelamatkan kita dari krisis ini.”[23]
V.P.: “Apakah nasional-sosialisme akan mampu mencapai persatuan bangsa Belanda, dan apakah persatuan itu akan kuat dan bertahan lama?”
M.: “Persatuan tersebut sudah mulai tumbuh dalam gerakan ini. Di sini, Katolik dan Protestan, majikan dan pekerja, muda dan tua, miskin dan kaya, telah berdiri bahu-membahu. Namun, persatuan itu tidak akan abadi. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Bahkan fasisme, setelah melalui masa pertumbuhan dan kejayaan, pada akhirnya akan merosot dan menghilang. Dan nantinya, sesuatu yang baru akan menggantikannya, sesuatu yang pada saat itu, seperti fasisme saat ini, akan menjadi kebutuhan sejarah. (Berhenti sejenak) Tetapi saya yakin fasisme bisa membawa bangsa ini ke dalam kesatuan yang bernilai. Jika saya tidak yakin, saya akan langsung berhenti.”[24]
V.P.: “Anda menyebut kegagalan demokrasi liberal. Apakah karena ini Anda menentang hak pilih universal? Apa pandangan Anda mengenai Kehendak Rakyat?”
M.: “Kehendak itu bisa terwujud dalam berbagai cara. Walaupun referendum seperti di Swiss, yang memberikan pilihan antara inflasi atau devaluasi, menurut saya bodoh, namun referendum terkadang bisa bermanfaat. Kami hanya ingin mengikuti jalur yang sah dan sementara ini bertujuan mencapai ‘ideal demokrasi: setengah lebih satu.’ Setelah kami mencapainya, akan ada perubahan Konstitusi dan perwakilan baru.[25]
Kita tentu membutuhkan perwakilan baru. Saat ini kita hidup dalam apa yang disebut negara hukum. Tetapi, bagi puluhan ribu orang, keadilan tidak dapat diperoleh. Siapa pun yang mencuri sepotong roti akan masuk penjara, tetapi mereka yang mengkhianati negara, mereka yang menyerukan ‘Indië lepas dari Belanda!’[26] atau lebih buruk lagi, mereka berjalan bebas. Nasional-sosialisme ingin menegakkan keadilan tidak hanya untuk yang kecil tetapi juga untuk yang besar, tanpa pandang bulu.[27]
V.P.: “Apakah ini juga alasan mengapa NSB menghentikan perekrutan anggota baru sekaligus mengurangi sifat ‘universal’ organisasi tersebut?”
M.: “Sebenarnya, memang tidak ada ‘instruksi’ semacam itu yang saya berikan. Namun, memang ada niat untuk seleksi, agar di Hindia bisa dibentuk sebuah korps yang bisa sepenuhnya dipercaya. Saya ingin menetapkan standar yang tinggi dan memilih untuk tidak memperluas organisasi. Seseorang yang mengenakan seragam Hitam mesti benar-benar mereka yang terpilih.”[28]
V.P.: “Bagaimana NSB menyikapi permasalahan seputar pribumi? Apakah pribumi boleh menjadi anggota?”
M.: “Karena titik perjuangan utama NSB terletak di Belanda, masalah pribumi belum mendesak, namun tentu saja gerakan ini, yang mengutamakan kepercayaan, juga terbuka bagi pribumi, meskipun saya meragukan keberhasilan di ‘massa’.[29] Sebab, seperti yang kita lihat, gerakan nasionalisme dan pengaruh komunisme di kalangan ini mengancam keutuhan.”
V.P.: “Anda menyebut nasionalisme pribumi sebagai ancaman. Apakah Anda pernah mendengar tentang PNI dan bisa Anda jelaskan pandangan ini lebih lanjut?”
M.: “Nasionalisme pribumi adalah ancaman lain dari komunisme—hanya wajahnya yang berbeda. Gerakan-gerakan ini sering kali diinspirasi ideologi Moskow, seperti pengaruh Sneevliet di Belanda dan Hindia, menggunakan slogan kemerdekaan untuk menghancurkan kekaisaran kita. Seperti PNI. Gerakan ini muncul dari keresahan pribumi yang merasa terpinggirkan. Tapi mari kita jujur: mereka terjebak ambisi besar yang tak sesuai realita sosial. Perubahan harus bertahap, adil untuk semua, bukan lewat kekerasan atau revolusi. Jika kesetaraan hukum yang mereka inginkan, maka mereka harus rela meninggalkan nasionalisme sempit mereka.[30]
V.P.: “Dalam pidato Anda di Batavia, Anda menyebut bahwa Hindia dan Belanda adalah satu kekaisaran. Bagaimana Anda melihat hubungan ini di masa depan?”
M.: “Hubungan ini harus tetap tidak terpisahkan—Hindia adalah tulang punggung kekaisaran Belanda. Ribuan leluhur kita telah berjuang dan mengorbankan nyawa mereka di tanah ini, seperti di Aceh tiga puluh tahun silam. Mereka membuka jalan dari Tanjung Harapan hingga Jacatra[31], membangun kekaisaran yang menjadi kebanggaan kita. Tanpa Hindia, Belanda takkan mampu bertahan sebagai kekuatan dunia. Hubungan ini bukan sekadar sejarah, tapi keberlanjutan masa depan kita.[32]”
V.P.: “Tuan Mussert, mari kita bicara tentang Surabaya. Kota ini menjadi salah satu pusat kegiatan NSB di Hindia. Apa yang membuat Surabaya begitu signifikan?”
M.: “Surabaya adalah salah satu vena kegiatan kami di Hindia, meski sekretariat umum sudah berdiri di Bandung dengan Hilgers sebagai pengurus utama[33]. Kota ini, pusat perdagangan dan administrasi, menjadi tempat lahir cabang NSB pertama di Hindia tahun lalu[34]. Ketiga anggota awal kami di Surabaya—Hogewind, Muller, dan van der Laaken[35]—adalah sosok yang melihat perlunya organisasi seperti NSB untuk melindungi kepentingan Indo-Eropa dan Belanda. Banyak anggota kami juga dari atau merangkap keanggotaan IEV.[36] Surabaya juga memiliki anggota NSB paling antusias di Hindia. Partai fasis VC yang berhaluan patriotik-fasis juga didirikan di sini.”[37]
J.: “Apa yang membuat Surabaya begitu penting bagi NSB dibandingkan kota-kota lain di Hindia?”
M.: “Ada banyak faktor. Surabaya adalah pusat pergolakan besar. Ingat protes para pelaut di Pangkalan Marinir KM sini dan pemberontakan De Zeven Provinciën[38]? Itu bukti perlunya organisasi seperti NSB untuk menjaga rust en orde. Meski pemberontakan dipadamkan, korban banyak berjatuhan.
Lalu, Oktober 1926, aksi teror komunis di Sumatera dan Jawa—termasuk pemboman di Bubutan dan Simpang sini—memperburuk situasi.[39] Jangan lupa, Partai ISDV Sneevliet juga didirikan di sini pada 1914[40]. Depresi ’29 dan krisis Malaise juga mengguncang ekonomi Surabaya. Ekspor gula Jawa Timur anjlok, pabrik gula tutup, jumlahnya turun 50%! Katanya, Suiker Syndicaat dan Javasche Bank di sini juga merugi. Gerakan buruh, yang memang banyak kalangan pribumi, tumbuh subur menjadi Marxis, menyalahkan ‘tuan-tuan Eropa’ sebagai biang keladi. Kebijakan Ethische Politiek dan ethisch beleid dari pemerintah sebelumnya, yang memberi pendidikan dan pekerjaan bagi pribumi, juga memojokkan orang-orang keturunan Belanda.[41] Tak heran, mereka banyak bergabung dengan NSB—eksistensi mereka terancam. NSB menjadi perlindungan mereka.”
J.: “Bagaimana dengan peran Indo-Eropa dalam NSB di Surabaya? Banyak dari mereka yang memegang peran penting, bukan?”
M.: “Tepat sekali. Orang Indo-Eropa memainkan peran kunci dalam organisasi kami. Hogewind, misalnya, adalah anggota IEV[42] yang sekarang pengurus utama NSB Hindia dari Utrecht[43]. Di Bandung, ada Hilgers, seorang pilot ternama dan bekas ketua IEV cabang Bandung[44]. Muller, di sisi lain, adalah redaktur pers NSB Het Zoeklicht untuk Jawa Timur[45] dan distributor utama Nationaal Weekblad milik saya[46]. Dia memastikan ide-ide organisasi kami tersebar hingga ke Malang, Jember, dan sekitarnya. Van der Laaken, yang dulunya kepala bagian rel di SS (Staatsspoorwegen) dan kini menjadi rektor TH Bandung[47], memimpin NSB Jawa Barat di Batavia. Sementara itu, di Surabaya, ada Tuan Scheurer (melihat ke arah Scheurer) selaku ketua umum organisasi NSB di Hindia, yang awalnya ketua regional Jawa Timur dan juga berasal dari sini. Lalu tidak lupa pula ada Kruytbosch (melihat ke arah temannya itu, Kruytbosch tersenyum), ketua cabang Surabaya kami, seorang yang cukup kritis terhadap elemen rasial dari Jerman.”[48]
J.: “Tuan Kruytbosch ini dikenal memiliki pandangan berbeda terkait elemen rasial dalam ideologi fasis Jerman. Apa pendapat Anda tentang ini?”
M.: “Saya sangat menghormati Kruytbosch. Pandangannya kritis soal ini. Ia mengerti bahwa nasional-sosialisme harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi Hindia. Saya tahu, elemen rasial NSDAP tidak sepenuhnya cocok di sini[49]. Tapi satu hal pasti: NSB berjuang untuk memperkuat posisi Eropa dan Indo-Eropa, yang setara dengan Belanda.[50]
Tuan Hogewind pernah berkata, ‘Indo-Eropa adalah bagian dari Belanda.’ Saya setuju penuh. Fasisme Belanda tidak memandang ras, yang penting adalah jiwa Belanda[51]. Tapi, harus ada batas! Percampuran ras bisa merusak identitas kita.[52]
Saat ini, ada tiga pribumi yang bergabung di NSB[53]. Syaratnya jelas: mereka harus dibesarkan secara Belanda, bermental Belanda. Kepemimpinan tetap pada kami, Belanda, dan dengan mendidik pribumi, kita akan menciptakan kekuatan baru.”[54]
V.P.: “Beberapa orang mungkin melihat pandangan Anda ini sebagai semi-rasis. Bagaimana Anda menanggapinya?”
M.: “Saya tidak merendahkan bangsa pribumi. Sebaliknya, saya menghormati semangat nasionalisme mereka. Tetapi tanpa arahan, nasionalisme itu bisa menjadi bumerang—bagi mereka dan kekaisaran. Persatuan Hindia dan Belanda adalah fondasi kita, dan jika itu goyah, keduanya bisa hancur. NSB menawarkan jalan tengah: menghormati budaya lokal, dan memastikan stabilitas melalui kepemimpinan Belanda.[55]”
V.P.: “Terakhir, apa harapan Anda untuk NSB di Hindia?”
M.: “Pesan saya untuk anggota NSB di Hindia: jangan membawa perjuangan politik pusat ke wilayah ini, karena Hindia sudah dikelola oleh fasis[56], dengan seorang pemimpin tunggal yang didukung oleh penasihat-penasihat ahli. Meskipun ada Volksraad, itu hanyalah ‘sinar terakhir dari matahari yang tenggelam’.[57] Saya optimis. Terutama di Surabaya, pemerintahan Hindia berpotensi menjadi benteng nasional-sosialisme. Dengan tokoh seperti Hogewind, Scheurer, dan van der Laaken, fondasi kita kokoh. NSB harus terus tumbuh, mempersatukan dan melawan ancaman dari luar maupun dalam.
_________________
Catatan:
[1] Anton Adriaan Mussert (Werkendam, 11 Mei 1894 – Den Haag, 7 Mei 1946) adalah seorang politisi asal Belanda yang, bersama van Gelkerken, mendirikan Gerakan Nasional Sosialis di Belanda (NSB) pada 1931 dan memimpin partai tersebut hingga dilarang pada 1945. Mussert menjadi tokoh Belanda paling utama dalam gerakan tersebut sebelum dan selama Perang Dunia II. Ia berkolaborasi dengan pemerintahan pendudukan Jerman Nazi. Pada bulan Mei 1945, saat perang di Eropa berakhir, Mussert ditangkap dan didakwa bersalah atas pengkhianatan, serta dieksekusi pada 1946.
[2] Laporan De Sumatra Post, 07.02.1934
[3] Laporan Soerabajaische Handelsblad, 02.08.1934
[4] Soerabajasiche Handelsblad, 1 September 1934.
[5] De Indische Courant, 10 Februari 1937. “De NSB Opening Nieuw Kringhuis”.
[6] Sebutan pers Hindia Belanda untuk menyebut ketua lokal grup NSB.
[7] Kemungkinan adalah anggota keluarga van Leeuwen Boomkamp yang memiliki bisnis perkebunan besar di Hindia Belanda serta biro van Vloten Hindia Belanda yang asetnya dikelola oleh keluarga itu. Louis van Leeuwen Boomkamp, seorang pebisnis, patron dan kolektor lukisan bertema nasional-sosialis di Rijkmuseum, adalah kawan dekat Mussert di Amsterdam. (Sumber: Wesselink, Claartje. “On the New Man: The Interpretation and Function of a National Socialist Painting in the Past and in the Present”. The Rijksmuseum Bulletin (2012), Hlm. 145.)
[8] Sebutan NSB untuk para anggota organisasi, ironisnya seperti sebutan para anggota partai sosialis.
[9] Soerabajaische Handelsblad, 1 Agustus 1935.
[10] De Indische Courant, 1 Agustus 1935.
[11] Sesuai dengan publikasi saya sebelumnya, seorang warga setempat bahkan ingat bahwa dahulu, rumah-rumah di sekitarnya masih terdapat lambang tersebut. Kunjungi https://laune.id/deutscher-verein/
[12] Yang dimaksud di sini adalah KRMT Sarwoko Mangoenkoesoemo, yang saat itu menjabat sebagai Patih Dalem Mangkunegara VII. Beliau juga adalah pencetus Solosche Radio Vereneging (SRV) tanggal pada 1 April 1933 di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran bersama adiknya, Ir. Sarsito. Kelak setelah Kemerdekaan, radio SRV berganti nama menjadi RRI Solo. Kutipan dari laporan koran Pemandangan No. 102 Tahun 04, 6 Agustus 1935: (…) Dari Soerakarta mereka teroes ke Soerabaja. (…) Menoeroet kabar Mussert “cs, itoe sama menginap diroemahnja regent patih Mangkoenagaran, K.R.M.T, Sarwoko Mangoenkoesoemo. Begitoelah kabar dari M. J. Red, kita.
[13] Pemandangan, No. 97 Tahun 04, 31 Juli 1935.
[14] Mungkin yang dimaksud di sini adalah salah satu putra bupati Serang, Raden Bagus Djajawinata dan adik Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943), Bupati Serang (1901-1924), kemudian Batavia (1924-1929).
[15] RM Noto Soeroto (Lahir: Yogyakarta, 5 Juni 1888 – Meninggal: Surakarta, 25 November 1951) adalah seorang pangeran Jawa Pakualaman. Ia dikenal sebagai penyair, sastrawan, dan wartawan yang aktif pada masa Antarperang (1918-1939) di Hindia Belanda. Karya-karyanya yang paling signifikan terbit di periode ini, dan menggunakan bahasa Belanda. Ia juga diakui sebagai penyair Jawa pertama yang secara substansial memengaruhi kesusastraan Belanda dengan menyoroti tokoh-tokoh lokal. Alih-alih nasionalis radikal seperti kebanyakan tokoh intelektual pribumi pada masanya, ia pencetus “politik asosiasi”, yang mengupayakan kerja sama antara Belanda dan penduduk asli Hindia Belanda. Mungkin ini yang menjadi alasannya, bersama sang patih Solo, bertemu Mussert, sebagai sesama anti- Indie los von Holland.
[16] Vliegveld Darmo. Sekarang Lapangan Kodam Brawijaya di Kawasan Gunungsari.
[17] De Locomotief, 2 Agustus 1935.
[18] Sebutan zwarthemden (“Seragam Hitam”) mengacu pada anggota Weerbaarheidsafdeling (WA), atau sayap paramiliter NSB, dibentuk pada 1932. Terinspirasi oleh SA Jerman, anggota WA mengenakan seragam hitam. Namun mulai memasuki 1934, para petinggi atau anggota juga mengenakan seragam ini tanpa menjadi anggota WA. Hogewind adalah bekas komandan WA di Utrecht.
[19] De Indische Courant, 2 Agustus 1935.
[20] Wawancara oleh reporter dari VP lewat Het nieuws (dan Indische Courant, tidak dikutip di sini) terjadi pada pukul 1.30 siang waktu setempat. Het nieuws melontarkan pertanyaan mengenai masalah rasial, sedangkan Indische Courant tidak. Reporter Indische Courant yang sama juga hadir melaporkan mengenai propaganda-avond di Kunstkring pada pukul 8.30 malam.
[21] Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 2 Agustus 1935. “Wat Mussert Wil Een V. P.-Interview.”
[22] Kesan Mussert selama ia tinggal di Hindia, terutama di Jawa Timur, diterbitkan oleh Javabode dan de Sumatra Post, 15 Agustus 1935. Wawancara ini dilakukan sehari sebelum ia meninggalkan Hindia.
[23] Soerabajaische Handelsblad, 2 Agustus 1935.
[24] Ibid.
[25] Lihat catatan 19.
[26] Slogan “Indië los van Holland,” dipopulerkan lewat poster pemilu Partai Komunis Belanda (CPN) pada 1933. Setelah pemberontakan di kapal Zeven Provinciën pada tahun yang sama, isu kemerdekaan Hindia Belanda menjadi tema penting dalam pemilihan umum 1933. Mussert menjadikan isu ini sebagai poin utama di pidato Kunstkring-nya: “Berlawanan dengan slogan Indië los van Holland, kami, kaum nasional-sosialis, secara sadar menetapkan: Indië en Holland één (“Hindia dan Belanda adalah satu”). Slogan ini bukanlah masalah atau perdebatan bagi kami. Tidak ada perdebatan tentang untung dan rugi—ini adalah realitas bagi kami: mempertahankan dan memperkuat imperium. Kami tidak mendebatkan hal ini.” (Soerabajaische Handelsblad, 2 Agustus 1935).
[27] Lihat catatan 23.
[28] Lihat catatan 21.
[29] Ibid.
[30] Tessel Pollmann, & Benedict R. O’G. Anderson. (2011). “Either One is a Fascist or One is Not”: The Indies’ National–Socialist Movement, The Imperial Dream, and Mussert’s Colonial Milch Cow. Indonesia, (92), Hlm. 45. doi:10.5728/indonesia.92.0043.
[31] Lihat catatan 23. Menurut saya, penggunaan istilah “Jacatra” oleh Mussert menarik untuk disorot karena istilah ini pertama kali digunakan oleh J.P. Coen dalam peta kota Batavia 1619. Coen memilih istilah “Fort Jacatra” alih-alih “Casteel Batavia” sesuai keinginan Direktur VOC Herren VII (Lihat: Sumber). Penamaan “Batavia” kemudian diresmikan pada 1621. Namun, dalam periode turbulen antarperang di Hindia Belanda, istilah “Jacatra” serta variasinya seperti “Djakarta” dan “Jayakarta” erat kaitannya dengan gerakan nasionalis. Hal ini terutama terlihat setelah M.H. Thamrin menggunakan nama tersebut untuk lapangan sepak bola kaum pribumi yang dibangun di atas tanah miliknya pada 1928. Pada 28 November 1929, lapangan itu resmi diberi nama Stadion VIJ (Voetbalbond Indonesische Jacatra), yang mengadopsi istilah “Indonesia” sekaligus “Jacatra”, menolak penggunaan “Batavia” sebagai nama resmi. Saya yakin, Mussert sengaja merujuk pada “nama kuno” yang digunakan oleh Coen, alih-alih “penghormatan terhadap budaya dan moral pribumi.”
[32] Lihat catatan 23.
[33] De Indische Courant, 20 Februari 1934.
[34] Kunkeler, N.D.B. A Dietsland Empire? The international and transnational dimensions of Dutch fascism and the NSB, 1922-42. Locus: Revista de História, Juiz de Fora, v. 28, n. 2. (2022), Hlm. 129. Lihat juga de Indische Courant, 20 Januari 1934 dan Volk en Vaderland, 17 Februari 1934.
[35] Oorlogsbronnen.nl, keterangan di koleksi foto NIOD: 52149.
[36] Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 11 April 1935.
[37] Demikian asumsi saya sebab cabang NSB Hindia pertama memang didirikan di Surabaya pada 19 Januari 1934, meskipun perencanaannya sudah dimulai oleh “Tiga Serangkai” NSB pada November 1933 di Surabaya dan sekretariat umum cabang dari Utrecht dibentuk di Bandung pada 19 Februari 1934 (lihat catatan 33). Vaderlandsche Club (VC) sendiri didirikan di Simpang Club Surabaya (sekarang Gedung Balai Pemuda) pada Januari 1928 (Het Nieuws, 26 April 1929). Hal ini bertentangan dengan informasi yang banyak beredar di internet yang menyebutkan bahwa VC didirikan di Batavia pada Oktober 1929. Memang, VC cabang Batavia baru didirikan pada tanggal tersebut, dan Kunkeler (2022) juga membenarkan hal ini.
Perbedaan utama antara VC dan NSB adalah bahwa NSB menerima pribumi dan Indo sebagai anggota serta menolak hierarki kelas. Sebaliknya, VC hanya terbuka untuk kaum Belanda totok dan kalangan elit.
[38] Pemberontakan De Zeven Provinciën pada 1933 terjadi di kapal perang Belanda HNLMS De Zeven Provinciën di lepas pantai Sumatra. Dipicu oleh pemotongan gaji akibat Depresi Besar, awak kapal, termasuk pelaut pribumi seperti Rumambi dan Paraja, memberontak pada 5 Februari 1933. Mereka berencana mengarahkan kapal ke Surabaya. Namun, Angkatan Laut Belanda menumpas pemberontakan dengan mengebom kapal menggunakan pesawat, menewaskan 23 awak. Menurut Mussert, pemerintah Hindia Belanda bersikap terlalu lunak pasca pemberontakan De Zeven Provinciën pada 1933. Dalam artikel “Demam Scarlet di Armada” (Volk en Vaderland, 11 Februari 1933), ia menyatakan, “Kini, dalam sepekan, kita menyaksikan pemberontakan di Surabaya dan pemberontakan di kapal De Zeven Provinciën. Apa yang terjadi di Hindia Belanda adalah hasil dari aktivitas destruktif kaum Marxis. Pemerintah sudah diperingatkan, termasuk oleh kami, kaum Nasional-Sosialis.” Mussert juga mengkritik kebijakan etis warisan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum dan A.C. Dirk de Graef, yang menurutnya memicu ketidakstabilan dan terlalu toleran terhadap pribumi.
[39] Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13 Oktober 1926 dan de Locomotief, 9 Oktober 1936
[40] Achdian, Andi (2023). Ras, Kelas, dan Bangsa: Politik Pergerakan Anti-Kolonial di Surabaya Abad-20. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. hlm. 173. ISBN 978-602-0788-41-8.
[41] Volk en Vaderland, 11 Februari 1933. Di artikel yang sama soal pemberontakan de Zeven, Mussert menyalahkan pemerintah Hindia Belanda atas kebijakan toleransi di Hindia selama 15 tahun terakhir: (…) Is dat de weg waarop da partyen van het Gezag ons volk brengen? Het antwoord kan niet anders dan bevestigend luiden. Ja, dit is het werk van de partijen, die sinds vyftien jaar aan het bewind zijn.
[42]Indo-Europeesch Verbond (IEV) adalah organisasi massa dan politik yang didirikan pada 1919 oleh Karel Zaalberg, bertujuan menyuarakan kepentingan kalangan Indo, khususnya pemuda. Saat itu, posisi sosial mereka semakin terdesak oleh pribumi dalam struktur pemerintahan sebagai pegawai menengah. IEV juga berperan mengurangi pengaruh ide radikal nasionalis yang berkembang di kalangan pribumi terdidik dan sebagian orang Eropa yang menginginkan otonomi atau bahkan Indië los van Holland. Ironisnya, saat Petisi Sutardjo (1936) tentang otonomi Hindia Belanda diajukan di Volksraad, IEV yang dipimpin Dick de Hoog mendukung penuh petisi tersebut, dan seluruh tujuh anggota IEV di Volksraad menandatanganinya (Rosen Jacobson, 2018). Hal ini membuat para anggota NSB yang juga tergabung dalam IEV kecewa dan akhirnya meninggalkan organisasi.
[43] Het Volk, 17 Mei 1934.
[44] De Indische Courant, 20 Februari 1934.
[45] Het Zoeklicht, 15 Mei 1936. Namun distribusi majalah ini sudah dimulai oleh Muller sejak 1934 lewat Kringhuis NSB Malang di Klodjen-Kidoel 52, sekarang Jl. Aris Munandar 52.
[46] Matahari, Taon 7 No. 106, 13 Mei 1940. Diberitakan bahwa Muller ditangkap di rumahnya lalu diinternir sebagai NSB dan distributor Weekblad.
[47] Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 14 Juli 1934; de Indische Courant, 22 September 1934.
[48] Selain kuliah propagadanya yang ternama pada 19 Desember 1934, ia adalah pengkritik keras insiden Dr. Bornhaupt, seorang dokter dan anggota fanatik NSDAP Surabaya, yang membuat keributan di Cercle Herlendoorn dengan bersikap antisemitik. Kruytbosch juga tidak setuju dengan penerapan hukum rasial Nuremberg untuk keanggotaan NSDAP Surabaya yang berlaku efektif mulai Januari 1936 (Soerabajaische Handelsblad, 30 Januari 1936). Tidak jelas apakah dia berasal dari kalangan Totok atau Indo.
[49] Soerabajaische Handelsblad, 20 Desember 1934.
[50] Hogewind kemudian memberi pernyataan ini di De Locomotief, 15 Juli 1936.
[51] Volk en Vaderland, 3 November 1934. Pernyataan ini juga dimuat dalam majalah NSB Surabaya, De Nationaal-Socialist, Orgaan voor den Kring Soerabaia der Nationaal-Socialistische Beweging in Nederland (Alg. Leider Ir. A.A. Mussert), edisi 11 Mei 1936, dalam artikel “Van het Gewestelijk Kwartier.” Pada saat itu, ketua regional NSB di Jawa adalah W.E. Scheurer, sebagaimana tercatat dalam Indie Hou Zee, edisi 12 Juni 1936:
“Gewestelijk Kwartier van Java en Bandoeng, Malabarlaan 15 […] Gewestelijk Commissaris van Java: W.E. Scheurer.” Hogewind juga masih menjabat sebagai Alg. Org. Leider Indië (Ketua Umum Organisasi cabang Hindia). (Lihat juga majalah pengganti De Nationaal-Socialist untuk NSB Surabaya, Het Zoeklicht; Kringblad voor de Kringen Malang, Soerabaia en Djember van de Nationaal-Socialistische Beweging, jrg 3, 1936, no. 14, edisi 30 Juli 1936).
Majalah propaganda NSB Hindia, terutama yang diterbitkan di Surabaya dan Jawa Timur, selalu menolak ideologi rasial serta mengkritik kebijakan antisemitik Jerman. Dalam konteks NSB Hindia, “Joodse Kwestie” (persoalan Yahudi) disamakan dengan diskriminasi terhadap kaum Indo di Hindia. Bahkan, terdapat banyak kritik terhadap situasi Nazi di Jerman, salah satunya:
“Indo-Belanda tidak perlu takut dengan rezim NSB, sebab […] persoalan Indo sungguh berbeda dengan kaum Yahudi di Jerman. […] Mereka [Indo] bukan orang asing bagi kami, apalagi orang asing sejak lahir, yang merupakan keturunan orang-orang Eropa Belanda. Mereka adalah anak-anak kita, darah dari darah kita.”
(De Nationaal-Socialist, edisi 9 April 1936, jrg 1, 1936, no. 5).
[52] Pernyataan semi-rasis Mussert ini mengenai “pentingnya menjaga kemurnian ras Belanda” kemudian dikemukakan di Indië Hou zee, 12 November 1937.
[53] Salah satunya adalah GPH Notokoesoemo (meninggal, 1946), adik dari Susuhunan Pakubuwono X Surakarta yang mengenyam pendidikan di Wageningen (De Indische Courant, 21 Februari 1934). Uniknya, saat itu terdapat “Perhimpunan Indonesia” (PI) yang didirikan oleh salah satunya Noto Soeroto dan menjadi organisasi mahasiswa para pelajar Indonesia di Belanda yang menyerukan “kemerdekaan Indonesia – menuntut terwujudnya aksi massa nasionalis yang sadar diri dan berdiri di atas kekuatan sendiri” (Stutje, 2013). Namun, pada 1931, organisasi ini mulai berhaluan komunis, serta mengusir tokoh-tokoh nasionalis seperti Mohammad Hatta. Noto Soeroto, pencetus politik asosiasi yang mendukung kebijakan Hindia Belanda, akhirnya dikucilkan dari PI. Sementara itu, Rustam Effendi, ketua PI, menjadi anggota Tweede Kamer untuk Partai Komunis Belanda (CPH), berkampanye dengan slogan “Indië los van Holland” pada 1933 dengan CPH. NSB pun berusaha menarik mahasiswa Indonesia di Belanda agar bergabung ke organisasinya dan menjauhi “pengaruh PI yang berhaluan komunis” (Ibid.).
[54] Hogewind, De Sumatra Post, 15 Juli 1936.
[55] Pollmann & Anderson. (2011). Hlm, 46.
[56] Mussert menyebut pemerintahan di bawah Gubernur Jenderal de Jonge sebagai “fasis,” yang dalam konteks ini merujuk pada “pemimpin tunggal” di Hindia Belanda. Pernyataan ini cukup menarik mengingat de Jonge memberikan audiensi kepada Mussert sebanyak dua kali di Paleis Buitenzorg (audiensi pertama: Het Nieuws, 25 Juli 1935; audiensi kedua: Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Agustus 1935) selama kunjungan Mussert di Batavia.
Selain itu, Mussert juga menggelar upacara penghormatan dan “ritual fasis” bersama anggota serta petinggi NSB Batavia di Monumen Van Heutsz. Monumen ini diresmikan pada 1932 dan dirubuhkan sekitar 1953, dengan fondasinya yang masih utuh kini digunakan sebagai dasar Patung Persahabatan di depan Hotel Sofyan, Jl. Cut Meutiah, Menteng, Jakarta Pusat. Upacara tersebut mendapat izin dan diselenggarakan oleh Binnenlandsch Bestuur (Soerabajasch Handelsblad, 26 Juli 1935) dan berlangsung meriah. Tampaknya, setelah peristiwa ini, Mussert dan NSB Batavia menjadikan monumen Van Heutsz sebagai simbol fasisme di Hindia.
Sebagai catatan, putra Van Heutsz sendiri, Johan Bastiaan van Heutsz (Lahir: Den Haag, 1 Oktober 1882), adalah anggota Nederlandsche-SS dan kemudian bergabung dengan Waffen-SS berpangkat SS-Obersturmbannführer di 5. SS-Panzer-Division Wiking. Ia bertugas di Front Timur dan kemudian terlibat pada peristiwa Alpenfestung, di Bavaria. Ia tewas pada 25 April 1945 di Planegg, dekat Munich, ketika AU Amerika Serikat membombardir kota tersebut.
De Jonge sendiri dikenal sebagai “perpanjangan tangan” Perdana Menteri Colijn, yang pada 1937 mengkritik NSB karena semakin berhaluan Jerman Nazi. Pada awal 1930-an, ketika tindakan represif terhadap Marxis dan nasionalis bumiputra meningkat, de Jonge dicap sebagai sosok “reaksioner, sayap kanan, konservatif,” serta secara tegas menolak gagasan kemerdekaan Hindia Belanda.
Potret resmi de Jonge juga tercetak di halaman yang sama setelah potret Adolf Hitler dalam buku Deutsches Jahrbuch für die Niederländische-Indien (1934), yang diterbitkan oleh Kolff & Co. Batavia untuk Deutscher Bund dan didistribusikan luas di komunitas Jerman di Hindia. Hal ini menunjukkan betapa komunitas Jerman di Hindia—yang saat itu berhaluan Nazi—sangat menghormati de Jonge, hingga potret seorang pejabat Belanda, yang sejatinya tidak memiliki keterkaitan langsung dengan mereka, dipajang dalam ukuran yang sama setelah Hitler.
[57] Lihat catatan 17.
Editor: Ragil Cahya Maulana