Pelabuhan Muncar di Kabupaten Banyuwangi yang kita kenal hari ini dulunya punya nama lain. Masyarakat setempat dulu menyebutnya Pelabuhan Ulupampang, ada juga yang menyebutnya Ulupanpang atau Teluk Pang-Pang. Dalam sebuah artikel di surat kabar Minggoean MERDEKA pada 1946, pelabuhan ini disebut sebagai “Teloek Panpang”.[1] Nama-nama ini mencerminkan sejarah dan budaya lokal yang kaya. Nama Ulupampang sendiri berasal dari istilah lokal, merujuk pada kondisi geografis dan sejarah pelabuhan tersebut. Ulupampang dikenal sebagai pelabuhan penting pada masa Kerajaan Blambangan, yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pelayaran di abad 15.

Peralihan nama dari Ulupampang ke Muncar terjadi seiring berkembangnya pelabuhan dan kian meningkatnya aktivitas perikanan. Nama Muncar diambil dari kata muncul, yang menggambarkan ramainya aktivitas pelabuhan dan dinamisnya kehidupan masyarakat.[2] Ada pula riwayat lisan yang menyebut etimologi nama Muncar berasal dari kata monco (bahasa Jawa) dan mancah (bahasa Madura) yang berarti ‘bermacam-macam’. Etimologi ini menunjukkan adanya pengakuan sosial terhadap etnis-etnis ‘asing’ yang datang dan mukim di Muncar. Nama Muncar sendiri dikenal sebagai pelabuhan utama untuk perdagangan ikan terutama setelah masa penjajahan Belanda.
Letaknya cukup strategis di pesisir timur Pulau Jawa. Ini membuat Muncar penting dalam jalur perdagangan maritim, juga membuatnya jadi tempat pertemuan pedagang berbagai etnis, mulai dari Bugis, Mandar, Melayu, Cina, hingga Eropa.
Masyarakat Muncar sendiri adalah para pendatang. Mereka adalah hasil dari perjalanan panjang yang dimulai pada awal abad 20, ketika daerah ini masih jarang penduduknya. Dalam tesisnya, Pujo Semedi (2001) mencatat kedatangan gelombang pemukim pertama yang signifikan terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an. Para pendatang awal tersebut, yang sebagian besar merupakan nelayan dari Madura, bermigrasi dengan tujuan mencari daerah baru untuk penangkapan ikan.[3] Di Muncar, mereka mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Kehadiran mereka tidak hanya membentuk struktur sosial dan ekonomi Muncar, tetapi juga menciptakan identitas khas bagi masyarakat nelayan yang terus berkembang hingga saat ini.
Pemilihan Muncar sebagai lokasi migrasi bukannya tanpa alasan. Letak geografis Muncar, termasuk teluknya yang terlindung dan kedekatannya dengan daerah penangkapan ikan yang kaya di Selat Bali, menjadikannya lokasi ideal bagi masyarakat nelayan untuk berkembang. Melimpahnya sumber daya laut, terutama ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang jadi tulang punggung industri perikanan Muncar, merupakan daya tarik utama bagi para pendatang.4 Selain itu, kondisi sosial dan ekonomi yang mendukung, seperti adanya pasar ikan yang aktif dan infrastruktur yang memadai, turut memperkuat daya tarik Muncar sebagai tempat tinggal bagi nelayan.
Nelayan awal di Muncar pada dasarnya menggunakan metode penangkapan ikan tradisional dan perahu kayu kecil. Namun, seiring berkembangnya masyarakat dan meningkatnya permintaan ikan, teknologi penangkapan pun berevolusi. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, perahu bermotor mulai marak digunakan. Ini menandai perubahan signifikan industri perikanan Muncar. Perubahan teknologi ini memungkinkan nelayan menjelajah lebih jauh. Penggunaan jaring pukat cincin, yang secara lokal dikenal sebagai slerek, juga mempercepat laju penangkapan ikan di Muncar.[5] Dengan perubahan metode penangkapan ini, nelayan tidak hanya mampu menangkap ikan lebih banyak, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar dan lingkungan, yang pada gilirannya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal dan ketahanan pangan masyarakat. Ini terjadi terutama setelah kebijakan Revolusi Biru digencarkan pada 1970-an. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produktivitas perikanan melalui penggunaan alat tangkap modern dan motorisasi perahu.
Sebuah Tangkapan dalam Jaring Sejarah Warga
Pada suatu sore yang cerah di Dusun Kalimoro, dekat Pelabuhan Muncar, saya berbincang dengan Cak Izzat (35), seorang warga setempat yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang becak pengangkut ikan. Ia telah lama akrab dengan dunia kerja perikanan. Dalam obrolan santai sambil menikmati secangkir kopi di warung kecil pinggir jalan, Cak Izzat bercerita soal slerek. Ia menekankan bahwa slerek bukan sekadar nama alat, melainkan juga sebuah metode penangkapan ikan yang khas dan telah menjadi bagian integral dalam tradisi nelayan di daerah ini.
Menurutnya, metode ini melibatkan penggunaan dua kapal besar yang membentangkan jaring dan menariknya secara bersamaan. Cak Izzat menyebut jaring itu dengan istilah ‘gardan’. Ia menjelaskan bahwa metode ini memerlukan kerjasama yang baik antarnelayan. Setiap orang harus tahu perannya masing-masing agar proses penangkapan ikan berjalan lancar. Sementara itu, slerek kecil biasanya hanya melibatkan satu kapal.
Cak Izzat juga menceritakan bagaimana slerek telah mengubah cara nelayan beroperasi. Sebelumnya, banyak nelayan yang menggunakan metode tradisional dengan perahu kecil dan jaring sederhana. Kini, dengan adanya slerek, nelayan dapat menjelajahi area penangkapan yang lebih luas dan meningkatkan hasil tangkapan mereka secara drastis. Suasana perbincangan kami begitu hangat dan akrab, informasi yang Cak Izzat sampaikan melimpah-ruah.
Di tengah obrolan, Cak Izzat juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang dampak lingkungan dari metode penangkapan ikan yang semakin modern. Ia menyadari bahwa meskipun slerek meningkatkan produktivitas, tetapi ada risiko terhadap keberlanjutan sumber daya laut. Cak Izzat berharap generasi muda nelayan di Muncar dapat menemukan keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pelestarian lingkungan. Obrolan bersama Cak Izzat sore itu tidak hanya memapar wawasan tentang teknik penangkapan ikan, tetapi juga menggugah kesadaran soal pentingnya menjaga ekosistem laut untuk masa depan.

Seiring meningkatnya intensitas modal dalam penangkapan ikan, muncullah kelas sosial baru: para pemilik perahu. Mereka ini berbeda dari para nelayan yang bekerja di perahu. Para pemilik perahu memiliki kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar. Sementara itu, para nelayan yang bekerja di perahu harus bergantung pada upah yang ditetapkan oleh para pemilik. Situasi ini tidak hanya memengaruhi dinamika ekonomi, tetapi juga merombak hubungan sosial di antara warga; menciptakan ketimpangan yang sebelumnya tidak ada.
Upah buruh perikanan mencerminkan ketimpangan itu. Menurut Cak Izzat, sistem pengupahan anak buah kapal (ABK) atau buruh kapal telah mengalami perubahan signifikan. “Dulu, mereka dibayar per bulan, tetapi sekarang tergantung pada banyaknya tangkapan ikan yang mereka dapatkan setiap hari. Entah sejak kapan perubahan sistem pembayaran ini terjadi,” jelasnya. Cak Izzat juga menambahkan bahwa buruh becak, yang membantu mengangkut hasil tangkapan ke lokasi pemrosesan, juga bernasib serupa. Kini mereka dibayar sekitar Rp30.000 sekali antar. Ini menunjukkan bagaimana ketergantungan pada hasil tangkapan ikan telah menciptakan ketidakpastian upah para ABK dan buruh becak.
Namun, adanya hierarki ekonomi tadi tidak lantas membuat masyarakat Muncar tersegregasi. Sifat masyarakat nelayan Muncar yang cair justru memperlancar arus pertukaran sosial-budaya. Interaksi sehari-hari yang terjadi di pasar ikan, di perahu nelayan, dan di lingkungan sekitar menciptakan ruang bagi terjadinya pencampuran adat-istiadat serta praktik sosial yang beragam secara bertahap. Dalam konteks ini, masyarakat Muncar tidak hanya saling berinteraksi, tetapi juga saling memengaruhi satu sama lain, sehingga melahirkan tradisi baru yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai budaya. Selain itu, fenomena pernikahan antaretnis semakin lumrah terjadi. Penelitian Dian Fitri Astutik (2016) mencatat bahwa akulturasi di Muncar terlihat dalam pelaksanaan adat pernikhan yang menggabungkan elemen-elemn budaya Jawa dan Madura.[6] Fenomena ini semakin mengaburkan batas-batas budaya.
Lembaga keagamaan turut memegang peranan penting dalam proses akulturasi di Muncar. Mayoritas penduduk Muncar—termasuk banyak pendatang—beragama Islam. Situasi ini membuat masjid dan pesantren berfungsi sebagai pusat kehidupan masyarakat. Kehadiran lembaga-lembaga ini tidak hanya menumbuhkan identitas bersama yang melampaui perbedaan etnis, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial di antara warga; menciptakan ikatan yang lebih erat dalam menghadapi tantangan bersama.
Bahasa juga punya andil dalam proses asimilasi dan akulturasi di Muncar. Meskipun bahasa Indonesia jadi bahasa resmi, dialek Jawa setempat muncul sebagai bahasa pergaulan di antara penduduk yang beragam. Dialek Jawa yang digunakan oleh masyarakat Madura sendiri berbeda dari kelompok sosial lainya. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi pencampuran antara bahasa Jawa dan bahasa Madura, yang kemudian dikenal sebagai dialek Pandhalungan. Banyak pendatang, khususnya penduduk generasi kedua dan ketiga, telah mengadopsi dialek lokal ini sebagai alat komunikasi utama mereka. Namun, perlu dicatat bahwa asimilasi bahasa itu tidak menyebabkan penghapusan batas etnis secara menyeluruh. Banyak penduduk Muncar terus mempertahankan hubungan dengan budaya leluhur mereka, yang seringkali diungkapkan melalui makanan, festival, dan tradisi keluarga.
Cak Izzat menyampaikan bahwa, meskipun terdapat beragam etnis di Muncar, mayoritas penduduk yang berasal dari etnis Maduralah yang banyak berpengaruh dalam interaksi sosial di daerah tersebut. Hal ini terlihat dari bagaimana etnis minoritas, seperti Bugis, kini juga menggunakan dialek Madura dalam percakapan sehari-hari mereka. Meskipun demikian, mereka tetap mempertahankan adat istiadat mereka sendiri, seperti tradisi uang panai dalam pernikahan. Saat ini, etnis Bugis bermukim di tengah-tengah Pelabuhan Muncar, menciptakan suasana keberagaman budaya yang kaya.
Sejarah Muncar diwarnai proses asimilasi dan akulturasi yang terus berlangsung seiring terintegrasinya beragam kelompok migran dengan masyarakat setempat. Proses ini rumit dan punya banyak sisi, yang dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, untuk memahami fenomena ini secara lebih luas, tentu kita perlu membandingkan Muncar dengan masyarakat pesisir lainnya di Indonesia, seperti di daerah Banyuwangi kota atau Makassar, yang juga mengalami proses serupa. Dengan demikian, Muncar tidak hanya mencerminkan dinamika lokal, tetapi juga menjadi bagian dari gambaran yang lebih besar mengenai masyarakat pesisir di Indonesia.
Salah satu pendorong utama asimilasi di Muncar justru adalah integrasi ekonomi. Ketika pendatang baru tiba, mereka umumnya terlibat dalam industri perikanan. Mereka dapat berperan sebagai nelayan, awak kapal, atau pekerja di sektor terkait. Kegiatan ekonomi yang dilakukan bersama ini mendorong interaksi dan kolaborasi antaretnis.
Dalam bukunya, Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial (2000), Kusnadi menyebut interaksi itu penting untuk membangun jaringan sosial yang kuat di kalangan nelayan. Interaksi itu menggambarkan bagaimana masyarakat Muncar, yang terdiri dari berbagai etnis, berkolaborasi secara produkktif dalam industri perikanan dengan cara membagi peran sesuai keahlian masing-masing. Setiap kelompok fokus pada aspek tertentu, seperti penangkapan ikan, pengolahan, atau distribusi, sehingga menciptakan sebuah sistem yang efisien: satu kelompok mendukung keberhasilan kelompok lainnya. Pengkhususan peran ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat interaksi sosial dan jaringan ekonomi di antara mereka.
Integrasi ekonomi pun kian berkembang melalui koperasi perikanan dan jaringan perdagangan lokal. Dua lembaga ekonomi ini seringkali melampaui batas etnis, menciptakan ruang kerjasama dan pertukaran lintas budaya. Ketika para migran mulai mapan secara ekonomi, peran mereka dalam masyarakat pun meningkat. Ini mendorong integrasi dan akulturasi lebih lanjut.
Selain itu, pertumbuhan industri perikanan Muncar juga menarik perhatian pemerintah dan investor luar. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, beberapa pabrik pengolahan ikan didirikan di Muncar. Pabrik-pabrik ini, yang terutama berfokus pada pengalengan dan produksi tepung serta minyak ikan, menciptakan lapangan kerja baru. Dalam tesis Pujo Semedi, keberadaan pabrik-pabrik ini pun disebut turut merangsang migrasi ke daerah Muncar.
Jauh sebelum pabrik-pabrik itu dibangun, wacana investasi di Muncar sebenarnya sudah lama beredar. Pada 6 Maret 1951, misalnya, Nieuwe Courant—sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Surabaya—menayangkan sebuah artikel bertajuk “VISSERIJCENTRUM MOENTJAR”. Terjemahan artikel itu kira-kira begini:
“PUSAT PERIKANAN MUNCAR: Muncar telah memperoleh ketenaran besar di kalangan dunia perikanan. Muncar sendiri memiliki armada nelayan yang terdiri lebih dari 1.000 perahu, sementara tempat ini dikunjungi setiap bulan oleh 600 hingga 700 perahu nelayan ‘asing’ yang berasal dari tempat lain, seperti Madura, Pulau Kangean, dan lokasi perikanan lainnya. Di perairan Muncar, sebagian besar ikan lemuru dan hiu ditangkap. Penangkapan jenis ikan ini dilakukan pada malam hari dengan cara memancing ikan menggunakan obor atau lampu stormking. Lemuru biasanya ditangkap hingga bulan April, sementara penangkapan hiu berlangsung sepanjang tahun. Hiu ditangkap karena dua alasan, yaitu untuk dagingnya, yang biasanya diasinkan, dan untuk lemaknya, yang digunakan untuk membuat ‘minyak hati ikan’ Indonesia, yang telah menemukan pasar penting di Jawa untuk pembuatan berbagai obat-obatan. Produksi minyak hiu di Muncar mencapai 2.000 liter per bulan. Jika Dinas Perikanan Laut berhasil memodernisasi perikanan ini dan meningkatkan perkembangan spiritual para nelayan, maka, menurut informasi yang kami terima dari pihak berwenang, sektor penting dari mata pencaharian ini dapat ditingkatkan hingga sepuluh kali lipat dari kapasitas saat ini.”[6]
Industrialisasi Muncar berdampak besar pada ekonomi dan masyarakat setempat. Proses ini menyebabkan diversifikasi tenaga kerja yang signifikan. Selain dalam penangkapan ikan tradisional, banyak penduduk terlibat dalam berbagai pekerjaan di pabrik, seperti pengolahan, pengepakan, dan distribusi hasil tangkapan. Keragaman aktivitas ekonomi ini juga mempercepat proses urbanisasi di Muncar. Infrastruktur pun dibangun untuk mendukung pertumbuhan populasi dan kegiatan industri.
Namun, perkembangan pesat tersebut juga membawa dampak lain: overfishing dan kerusakan lingkungan. Isu-isu ini kemudian menjadi faktor penting dalam membentuk hubungan masyarakat dengan sumber daya lautnya dan memengaruhi kebijakan serta praktik kerja-kerja perikanan. Sebab, bagaimanapun juga, penghasilan nelayan Muncar sangat bergantung pada hasil tangkapan ikan. Lemuru, tongkol, salem, dan ikan layang adalah beberapa komoditas utama nelayan Muncar. Pada 2010, produksi ikan di pelabuhan ini mencapai 27.748 ton dengan nilai produksi sekitar Rp98 miliar.[7] Namun, penghasilan nelayan tidak selalu stabil. Ada periode melimpahnya hasil tangkapan, ada pula periode paceklik yang dipengaruhi oleh faktor cuaca dan kondisi lingkungan.
Misalnya, pada 2012, hasil tangkapan ikan mencapai 28.313 ton, namun pada tahun berikutnya turun menjadi 21.464 ton. Penuruan ini terjadi akibat anomali cuaca dan overfishing.[8] Selain itu, kendala lain seperti kelangkaan solar juga memengaruhi penghasilan nelayan. Dalam kondisi tertentu, seperti saat paceklik atau saat angin kencang melanda, banyak nelayan yang hanya mampu menangkap sedikit ikan.
Hari ini, masyarakat nelayan Muncar punya mekanisme dagangnya sendiri. Ikan yang telah dibongkar akan dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) melalui sistem lelang. Sistem ini memungkinkan harga ikan ditentukan berdasarkan penawaran tertinggi dari pembeli. Ada juga sebagian ikan yang diolah menjadi produk ikan kaleng, ikan asin, dan tepung ikan. Mekanisme ini telah berkembang sepanjang sejarah. Pada 17 Juli 1944 silam, dalam sebuah berita berjudul “Perikanan di Banjoewangi”, surat kabar Asia Raja melaporkan:
“Cara menjual ikan disana sudah diatur juga. Jika orang hendak menjual ikan itu kepada tengkulak harus memakai karcis. Tengkulak-tengkulak itu kemudian dibolehkan menjualnya dikampung dan dipasar-pasar dengan harga yang sudah ditetapkan.”[9]
Sebagaimana sudah saya singgung sebelumnya, kondisi masyarakat nelayan di Muncar hari ini bervariasi berdasarkan pendapatan mereka. Kelompok nelayan kaya punya akses lebih terhadap sumber daya dan teknologi modern dibanding nelayan yang masih bergantung pada metode penangkapan tradisional.[10] Pada 1974, sempat terjadi kerusuhan yang dipicu oleh ketidakpuasan nelayan tradisional terhadap proses modernisasi, yang dianggap mengancam mata pencaharian mereka. Menurut Kusnadi (2000), kerusuhan ini mencerminkan konflik antara nelayan tradisional dan nelayan modern yang berusaha menguasai sumber daya perikanan, sehingga menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat Muncar.

Saya teringat salah satu film karya Wicaksono Wisnu Legowo, Turah (2017). Film itu mengisahkan kompleksnya kehidupan masyarakat pesisir dalam menghadapi kebutuhan ekonomi, lingkungan hidup, dan segala permasalahan yang ada. Cak Izzat pun mengalami kompleksitas serupa. Apa yang dikisahkan Turah juga menerpa perkampungan di sekitaran pelabuhan Muncar. Masyarakat sudah berdamai dengan keadaan mereka, tetapi butuh aksi nyata juga dari pihak pemerintah dalam mengambil kebijakan agar Pelabuhan Muncar semakin tertata lebih baik lagi nantinya.
Adaptasi Tradisi: Peran Petik Laut dalam Lanskap Sosial Muncar
Sebagai upacara adat, Petik Laut mencerminkan hubungan erat masyarakat Muncar dengan lautan sebagai sumber kehidupan mereka. Upacara ini bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur atas rezeki yang melimpah sekaligus harapan kepada Yang Maha Kuasa agar para nelayan diberi keselamatan dan kemudahan rezeki. Tradisi sedekah laut ini digelar setiap 15 Muharram atau bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Dalam buku Akar Kemiskinan Nelayan (2003), Kusnadi menyebut Petik Laut berakar dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang kemudian berasimilasi dengan ajaran Islam. Pada perkembangannya, Petik Laut juga telah menjadi ajang festival budaya yang menarik wisatawan, menambah dimensi ekonomi pada tradisi ini.[11]
Dalam ritual Petik Laut, gitik berperan sebagai instrumen simbolik yang signifikan. Gitik merujuk pada miniatur perahu berisi sesaji. Miniatur ini berukuran panjang sekitar 5 meter dan dihiasi dengan warna serta ornamen umbul-umbul, mirip perahu asli yang digunakan nelayan saat melaut. Sesaji dalam gitik biasanya berupa kepala kerbau, kue, buah-buahan, pancing emas, candu, dua ekor ayam jantan yang masih hidup, serta hasil bumi dari masyarakat sekitar pelabuhan.
Petik Laut kaya akan makna dan simbolisme. Upacara ini dimulai dengan persiapan sesaji yang disusun dengan penuh perhatian oleh warga desa. Setelah semua sesaji siap, arak-arakan dimulai, diiringi alunan musik tradisional yang menggugah semangat. Pada momen ini, masyarakat akan mengenakan pakaian adat dan berjalan beriringan menuju pantai. Setibanya di pantai, sesaji diletakkan di atas perahu yang dihias indah, siap untuk dilarung ke laut. Dalam momen yang khidmat ini, tokoh agama memimpin doa bersama, memohon keselamatan dan keberkahan bagi para nelayan serta hasil laut yang melimpah. Saat sesaji dilarung ke laut, harapan dan doa masyarakat hanyut bersama ombak. Momen ini menandai puncak ritual.
Perahu, sebagai instrumen utama dalam kehidupan nelayan, punya posisi yang sangat khusus dalam sistem kepercayaan masyarakat Muncar. Dalam konteks ini, perahu diperlakukan sebagai entitas yang hidup. Perahu tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi, tetapi juga sebagai simbol spiritual yang meleburkan beragam subjek dalam komunitas. Kepercayaan masyarakat terhadap perahu tidak lepas dari ritual-ritual yang menyertainya, salah satunya adalah ritual proses pembuatan perahu di Muncar. Beberapa poin penting dalam ritual ini meliputi: pemilihan kayu pada hari dan waktu yang dianggap baik, selametan sebelum memulai pembuatan perahu, pembacaan doa dan mantra selama proses pembuatan, serta upacara peluncuran kapal yang melibatkan seluruh anggota komunitas.[12] Sekali lagi, ritual-ritual ini menegaskan posisi kapal sebagai entitas yang dihormati dan memberikan makna mendalam bagi masyarakat, serta menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara mereka.

Tradisi dan upacara adat di Muncar, dari Petik Laut hingga bentuk-bentuk hiburan kontemporer, menunjukkan dinamika budaya yang hidup dan berkembang. Masyarakat Muncar sendiri telah berhasil mempertahankan esensi tradisi mereka sambil beradaptasi dengan perubahan zaman. Petik Laut tetap menjadi jangkar spiritual dan kultural, sementara ritual terkait kapal terus menjadi bagian integral dari kehidupan keseharian nelayan. Kesenian tradisional tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang, bahkan seringkali berbaur dengan bentuk-bentuk ekspresi modern.
Dalam Petik Laut, selain arak-arakan sesaji dari rumah sesepuh menuju TPI, ritual ini juga melibatkan penari gandrung. Biasanya, enam penari gandrung akan membawa sesaji ke atas perahu. Pada saat itulah warga berebut naik ke atas perahu pengangkut sesaji. Mereka meyakini bisa mendapatkan berkah. Selain menyaksikan prosesi larung sesaji, ribuan orang juga datang untuk menikmati pentas seni dan pasar malam yang menjual beragam produk, mulai dari fesyen, kuliner, hingga olahan hasil laut. Gemuruh sound-system juga menggema di setiap armada, menambah suasana semarak di tengah samudra.
Petik Laut di Muncar juga menampilkan pementasan kesenian yang beragam. Pelaksanaan pementasan kesenian ini biasanya dilakukan setelah upacara adat selesai, biasanya diadakan pada malam hari untuk menghibur para nelayan yang sedang bersyukur atas hasil jerih payah mereka selama setahun memetik hasil di laut. Bahkan, panitia pelaksana upacara adat Petik Laut tidak segan-segan mengundang artis-artis dari ibu kota untuk meramaikan suasana, menjadikan acara ini sebagai perayaan budaya yang menarik perhatian masyarakat luas.[13]

Perkembangan hiburan kontemporer dalam Petik Laut di Muncar mencerminkan kreativitas dan adaptabilitas masyarakat dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi. Festival-festival baru, seni pertunjukan kontemporer, dan pemanfaatan teknologi digital menunjukkan bahwa tradisi bukan entitas statis, melainkan fondasi yang terus diinterpretasi ulang oleh setiap generasi.
Akhirnya, kekayaan tradisi dan dinamika budaya Muncar bukan hanya aset bagi masyarakat setempat, tetapi juga cermin dari keragaman dan resiliensi budaya Indonesia secara keseluruhan. Dalam menghadapi arus globalisasi, pengalaman Muncar dapat menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah kelompok dapat mempertahankan identitas kulturalnya sambil tetap terbuka terhadap perubahan. (Editor: Ragil Cahya Maulana)
_________
Catatan:
[1] Minggoean MERDEKA, 3-08-1946, hal. 6.
2 M.S. Syaifuddin. Banyuwangi: Sejarah dan Budaya. Banyuwangi: Penerbit Banyuwangi Press, 2010.
3 Pujo Semedi. Close to the stone, far from the throne: the story of Javanese fishing community, 1820s-1990s. Amsterdam: Universiteit van Amsterdam, 2001.
4 RA Wijaya, dkk. “Tingkat Kesejahteraan dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan Miskin: Studi Kasus di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal” dalam Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 7 (2), 2012. Hal. 195-206.
5 Eny Anggraini Buchary. Evaluating the Effect of the 1980 Trawl Ban in the Java Sea, Indonesia: an Ecosystem-Based Approach. Vancouver: The University of British Columbia, 1999.
6 Dian Fitri Astutik. Akulturasi Adat Pernikahan Jawa dengan Madura di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Tahun 1980-2014. Jember: Universitas Jember, 2016.
6 “VISSERIJCENTRUM MOENTJAR” dalam Nieuwe Courant, 06-03-1951. Sumber: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMNIOD04:000093248:mpeg21:p002
7 Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi. Pelabuhan Perikanan Muncar. Banyuwangi: 2023.
8 Ibid.
9 Asia Raja, 17-07-1944. Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:3206041, diakses tanggal 19 September 2024 pukul 20.23 WIB.
10 Purwati, dkk. Socio-Economic Changes in Fishing Communities of The Village of Kedungrejo Sub-district Muncar Banyuwangi on 2000-2015. Jember: Jurnal Historica, 2017.
11 H. Subagiyo. “Petik Laut: Antara Ritual dan Festival” dalam Jurnal Studi Budaya Nusantara 1 (2), 2017. Hal. 67-82
12 A. Prasetyo. “Ritual dan Simbolisme dalam Pembuatan Kapal Tradisional di Pesisir Jawa” dalam Jurnal Kebudayaan 13 (1), 2018. Hal. 78-95.
13 “Upacara Pethik Laut di Muncar: Satu Aset Budaya yang perlu Dilestarikan” dalam Bali Post, 16-07-1992. Hal. 8 & 13. Sumber: https://mpn.kominfo.go.id/arsip/page/146075/sheet?q=bali%20post%20senin%206%20juli%201992%20halaman%2012