Menggali Potensi Anak Muda di Kampung Wuring

Oleh Rio Nuwa –

Perjumpaan di masjid Ar-Rahmat malam itu bukan sebuah kebetulan. Setelah kurang lebih sebulan jalan-jalan di sekitar Kampung Wuring, kami membuat janji temu dengan remaja masjid Ar-Rahmat yang ada di Kampung Tengah.

Karlin, salah satu kawan kami, menghubungi Ali Akbar, ketua remaja masjid. Ali Akbar kemudian memediasi pertemuan itu. Rabu, 11 Maret 2020, sekitar pukul 20.00 WITA kami tiba di Wuring. Puluhan remaja masjid Ar-Rahmat bersama pendamping mereka menyambut kami di aula rumah ibadah itu.

Pertemuan dengan remaja masjid berlangsung hangat. Kami dipersilakan memperkenalkan diri. Eka Nggalu, selaku ketua Komunitas KAHE berkesempatan bercerita sedikit tentang Komunitas KAHE dan garis besar pengalaman teman-teman KAHE ketika melakukan riset di Wuring untuk dua karya seni yang sudah dibuat. Selanjutnya, kami bertukar informasi mengenai aktivitas anak-anak muda di sana dan bertukar ide tentang inisiatif-inisiatif yang belakangan muncul di kalangan anak muda NTT.

Segera setelah Eka melempar ide tentang kemungkinan membuat kegiatan bersama anak-anak muda di Wuring, salah satu remaja masjid, Mia bersemangat merespons.

“Di Wuring ini banyak potensi. Hanya sayang, sampah banyak sekali. Bagaimana kalau kita buat kerajinan tangan dari sampah.”

Ide baik di awal perjumpaan itu seperti menjadi pemantik bagi kemungkinan-kemungkinan mewujudkan hal-hal kreatif yang melibatkan orang-orang muda di sekitar kampung itu.

Selain Mia, malam itu juga, kami berjumpa dengan banyak anggota remaja masjid. Beberapa nama bisa saya sebutkan: Dul, Fikram, Bayu, Lia, Ani, Ika, dan Ali.

Ali yang sedang belajar di salah satu universitas di Maumere bilang bahwa ada banyak sekali potensi di Kampung Wuring yang bisa diolah. Hanya saja, belum ada kesadaran dari masyarakat dan anak-anak muda untuk menggali potensi-potensi itu.

“Saya pernah membawa beberapa bule yang kebetulan jalan-jalan ke kampung ini. Mereka yang tidak punya guide sering saya ajak melihat-lihat kampung. Mereka senang. Hanya saja saya tidak puas karena mereka datang dan pulang begitu saja. Harusnya ada tempat untuk mereka singgah,” jelasnya.

Pertemuan dengan remaja masjid malam itu berlanjut ke aktivitas selanjutnya. Sabtu, 14 Maret, kami ke taka Mbo Minang, sebuah lokasi wisata baru yang terletak di sisi sebelah barat Kampung Wuring. Persiapan ke lokasi wisata baru itu tidak banyak memakan waktu. Meski begitu, karena jalan dalam rombongan, kami mesti menyiapkan makanan yang cukup. Proses persiapan itu sekaligus menjadi kesempatan bagi kami untuk saling sapa dan kenal lebih jauh.

Bersama remaja masjid Ar-Rahmat, Wuring. (Foto: Ticha Solapung)

Sehari sebelum keberangkatan ke taka Mbo Minang, kami terlibat dalam proses belajar membuat kuliner khas Wuring. Dua menu kami hasilkan: buras dan abon tongkol.

Teman-teman dari KAHE, khususnya yang perempuan, sangat antusias belajar mengolah masakan yang tidak biasa mereka buat itu. Di sela-sela persiapan traveling mendadak itu, saya terlibat diskusi bersama Ali, Fikram, dan Paman Tahing.

Fikram memiliki kesan kalau ada yang berubah dengan Kampung Wuring. Empat tahun yang lalu, sebelum ia merantau ke Kolaka, Sulawesi Tenggara, anak-anak muda di Wuring sangat akrab dalam pergaulan. Persatuan orang muda sungguh terasa. Biasanya, sebelum melaut, anak-anak muda berkumpul, saling berbagi dan bercerita tentang pengalaman mereka saat melaut. Namun, situasi kini berbeda. Masing-masing orang sibuk dengan obrolan masing-masing di dunia maya.

“Sekarang, masing-masing orang sibuk dengan handphone. Anak-anak muda sibuk dengan game online. Teknologi berpengaruh sekali dengan kehidupan remaja dan anak muda. Sekarang orang jarang berkumpul. Atau kalau berkumpul, masing-masing orang sibuk dengan hape-nya.”

Hal yang sama diutarakan Ali. Ia banyak becerita sembari membanding-bandingkan situasi saat ini dengan pengalamannya di masa kecil.

“Dulu sering ada turnamen sepak bola antarpemuda. Turnamen itu sangat mempersatukan warga. Tetapi, turnamen itu sekarang tidak ada lagi. Padahal turnamen bola baik untuk mempersatukan anak muda,” jelasnya.

Kisah-kisah itu terdengar biasa, tetapi sekaligus ada pernyataan kegelisahan di baliknya.

“Ada banyak identitas budaya yang terkisis sebenarnya. Kalau pencak silat mungkin banyak yang tahu. Regenerasinya ada. Tetapi tidak dengan bermain gendang. Hanya beberapa orang tua saja yang tahu.”

Kegelisahan itu diungkapkan oleh Paman Tahing, salah satu orang tua yang cukup jeli memperhatikan tumbuh kembang anak-anak muda di wilayah kampung tengah. Kekhawatiran itu terdengar masuk akal, sebab di kalangan anak-anak muda saat ini, tidak ada yang tahu memainkan gendang, alat musik tradisional peninggalan suku Bajo.

Ada gelaja, anak-anak muda menganggap tradisi dan kebudayaan yang diwariskan oleh orang tua mereka tidak penting. Padahal, identitas budaya tentu penting. Selain sebagai karakteristik suatu komunitas kultural, budaya juga menjadi sumber nilai yang bisa jadi rujukan di tengah derasnya arus modernisme yang masuk ke tengah kehidupan masyarakat.

“Kami punya rencana untuk meneruskan kembali tradisi. Jika tidak, ia bisa punah,” tambahnya.

Ia berharap, generasi muda lebih peka memperhatikan dan meneruskan budaya yang menjadi identitas kehidupan orang-orang suku Bajo yang ada di kampung Wuring.

Perbincangan kami malam itu berakhir dengan santap malam bersama dengan menu kuah asam ikan tongkol dan buras hasil olahan remaja masjid dan teman-teman KAHE.

***

Sabtu, 14 Maret, kami menuju Taka Mbo Minang. Perjalanan ke tempat itu tidak memakan waktu lama. Cuma lima belas menit dengan kapal motor. Sejak pagi, Dul yang bertugas membawa kami ke lokasi tersebut, sibuk mengorganisasi teman-temannya.

“Sebenarnya kita mesti pergi lebih pagi. Bulan begini, pasang lautnya cepat. Mesti sekitar jam 6. Tapi sulit kita ke sana jam begitu, karena teman-teman masih tidur. Mereka baru pulang lempara. Pergi tadi malam sampai subuh.”

Dul punya pengaruh di kalangan teman-temannya. Ia menempati sebuah rumah milik tantanya. Rumah itu mereka sebut rumah bujang. Di rumah bujang ini, anak-anak muda lelaki seusianya berkumpul. Di situ, mereka membicarakan banyak hal, mulai dari hasil tangkapan dan persitiwa di laut, sampai romantisme di kalangan anak muda. Pagi itu, sambil menanti teman-temannya, kami disuguhi kopi dan perbincangan hangat.

“Setiap hari kami berkumpul di rumah bujang ini. Selalu ramai di sini,” lanjut Dul sambil memperkenalkan satu per satu teman-temannya yang ada di situ.

Setelah formasi lengkap, menggunakan dua kapal motor ketinting, kami menuju ke taka Mbo Minang. Di atas kapal motor ketinting, Dul menyatakan idenya tentang Wuring.

Dul ingin ada rumah arsip di Wuring, semacam pusat informasi dan museum mini yang menyediakan pengetahuan mengenai Kampung Wuring. Ini penting agar informasi yang dicari tentang suku Bajo dan orang Wuring bisa terpusat. Rumah arsip tersebut akan berisi sejarah orang Bajo, Wuring, dan segala peristiwa budaya dan sosial yang terjadi di kampung nelayan itu.

Ide ini muncul setelah ia mengamati arus wisatawan yang berkunjung ke Wuring. Banyak wisatawan yang datang ke Wuring tetapi tidak ada lokasi terpusat yang menyediakan akses informasi tentang kampung itu. Minimal sebagai navigasi awal.

“Mereka datang dan pulang begitu saja,” jelasnya.

Dalam perjalanan ke taka, sebuah daratan di tengah laut yang muncul ke permukaan apabila pasang surut terjadi, Dul banyak menyampaikan idenya. Ia berkisah kalau selama ini promosi tentang destinasi baru itu sering dilakukan melalui linimasa facebook. Promosi itu sering menuai respons positif, tetapi menurutnya tidak begitu efektif.

“Ada yang datang. Misalnya yang dari Maumere itu kebanyakan dari Beru. Kalau dari luar kota ada juga. Mereka dari Ende,” tambahnya.

Menurutnya, komunikasi dan diskusi dengan teman-teman orang muda sangat penting agar bisa terjadi tukar-menukar gagasan. Minimnya pertukaran ide akibat terbatasnya lingkungan pergaulan menjadi hambatan tersendiri baginya. Karena itu, ia selalu senang jika ada yang mau datang dan main-main ke Wuring. Minimal dengan begitu, akan ada pertukaran ide dan gagasan di tiap-tiap perjumpaan dan obrolan dengan orang-orang yang datang berkunjung.

Dul sedang mempersiapkan kapal untuk pelayaran pulang dari taka Mbomina. (Foto: Karlin)

“Kalau ada rumah arsip misalnya, akan ada banyak hal yang bisa kita tawarkan. Hanya memang selama ini kami juga keterbatasan dana. Dengan taka yang sementara viral ini, kami punya banyak rencana. Kami ingin buat kampung wisata. Tetapi proposal kami belum ada jawaban,” jelasnya.

Ide tentang kemungkinan pengembangan beragam aktivitas yang berangkat dari potensi yang ada di Kampung Wuring memang pernah disampaikan oleh Ali, satu-satunya mahasiswa yang bisa kami temui di kalangan teman-teman remaja masjid. Menurutnya, ada komitmen untuk bekerja di antara mereka.

Namun, sepertinya mereka butuh penggagas dan penggerak pertama yang bisa menjalankan ide-ide yang mereka pikirkan.

“Sebenarnya kita punya banyak potensi, hanya memang kita butuh penggerak,” jelasnya.

Dalam perbincangan di atas kapal motor ke taka itu, terdengar nada optimisme dari anak-anak muda di Wuring. Mereka punya harapan, juga semangat. Meski memang masih belum menemukan jalan untuk diwujudkan.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th