Dalam beberapa kultur suku di Indonesia, kita tidak perlu meja untuk makan bersama. Tetapi, gagasan tentang “meja” itu bisa berbentuk yang lain, yakni kehadiran keluarga yang menikmati makanan bersama-sama. Sederhananya, pengalaman makan tidak hanya sekadar memasukkan makanan lalu mengunyah di dalam mulut. Ada proses panjang di dalamnya, mulai dari mempersiapkan bahan hingga menyatukannya menjadi hidangan yang menarik, memanjakan mata dan lidah. Kita bisa mengatakan bahwa makan adalah pengalaman yang melibatkan lima indera secara langsung yaitu mata, telinga, kulit, hidung, dan lidah.
Meski begitu, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai pengalaman makan setiap orang tentulah berbeda. Bahkan, makanan yang kita santap bisa memantik memori-memori tertentu. Apalagi jika dihubungkan dengan tempat seseorang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, saya tertarik ingin menggali perspektif Maulana Yudhistira atau yang dikenal sebagai @lelakidapur di media sosial. Sejak 2023, Maulana Yudhistira melalui aktivisme gastronomi nusantara di Samarinda, menjalankan gerakan kolektif Memori Rasa. Yudhis, begitu nama panggilannya berinisiatif menggunakan kuliner sebagai medium penghubung generasi muda dengan budaya lokal, serta mendorong konsumsi pangan lokal terutama di Samarinda. Jadwalnya yang begitu padat membuat saya sedikit kesulitan untuk menyamakan janji temu. Hingga pada suatu siang di bulan November, saya punya kesempatan untuk bercakap-cakap lebih lama demi mengulik perspektifnya terkait makanan dan memori.
Nufus: Halo, Mas Yudhis. Salam kenal, ya. Kita sering ketemu saat acara-acara di Samarinda tapi gak pernah ngobrol lama. Boleh diceritakan tentang kegiatan Mas Yudhis selama ini sampai akhirnya memutuskan untuk menjadi pegiat pangan melalui gerakan memasak?
Yudhis: Salam kenal juga, Nufus. Kalau diceritakan, sebenarnya lumayan panjang tapi sederhananya, aku membawa isu yang sama dari awal yaitu lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang aku lakukan pun seputar isu sosial seperti pemberdayaan masyarakat. Sebenarnya, aku memulainya juga jauh banget saat masih kuliah. Aku aktif di KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia) Kalimantan Timur yang fokus terhadap kampanye kesadaran masyarakat terkait gaya hidup ramah lingkungan. Setelah di KOPHI, aku tergabung dalam JATAM yang lebih banyak di lapangan dan mengadvokasi warga yang terdampak industri pertambangan. Aku aktif di JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) sampai lulus kuliah di tahun 2017. Sehabis kuliah, kerjaan masih freelance gitu menjadi pendamping riset terkait isu lingkungan atau sosial. Aku biasanya membantu peneliti saat melakukan wawancara dan bertemu respondennya.
Kalau ditanya soal kapan mulai masak, sebenarnya aku dari kecil sudah sering masak karena membantu ibu. Aku sering bantuin ibu memasak saat di SD saja. Setelah itu aku tidak pernah melakukan kegiatan itu lagi sampai kuliah hingga kerja. Saat pandemi COVID di tahun 2020, aku memasak lagi dan mulai jualan makanan di Cultuur Volk, café yang pernah hits di Samarinda. Aktivitasku ini membuat aku belajar kembali. Aku banyak membaca literatur mengenai makanan atau kuliner itu seperti apa, ternyata menjadi lebih seru dari sebelum-sebelumnya.
Nufus: Wah, di mana keseruannya Mas?
Yudhis: Serunya karena kuliner banyak irisannya dengan isu sosial, politik, budaya, ekonomi hingga kesehatan. Apalagi juga terkait erat dengan isu lingkungan hidup. Banyak bekal dari pengalamanku sebelumnya menjadi aktivis lingkungan juga memengaruhi kemampuanku untuk mengenal bahan-bahan yang aku masak. Terlebih lagi, aku kuliah di Fakultas Pertanian. Mau tahu fakta yang lebih mengejutkan, gak?
Nufus: Apa tuh?
Yudhis: Aku juga alumni SMK di jurusan pertanian. Latar belakang akademisku ini malah membuatku punya perhatian terhadap bahan baku yang kita makan. Ternyata aku bisa menceritakan tentang bagaimana makanan itu dibuat, bagaimana bahan-bahan itu hidup, tentang sejarahnya. Aku sering mendapatkan cerita saat aku masih tergabung dalam JATAM yang banyak pergi ke kampung-kampung lalu ngobrol sama ibu-ibu. Dari pengalaman-pengalaman itulah, aku tuangkan ke masakanku. Aku tidak pernah merancang diriku sebagai seorang juru masak. Tetapi, lambat laun malah dikenal bukan hanya sebagai juru masak namun juga sebagai seniman pangan yang melakoni praktik artistiknya dengan memasak.
Nufus : Cukup panjang juga ya pergulatan kehidupan seorang Maulana Yudhistira. Mungkin aku langsung tanya soal Memori Rasa. Saat mendengarnya, nama gerakan kolektif ini sangat menarik. Awalnya aku pikir ini perkumpulan untuk mengenang mantan. Tapi, dari mana sih nama Memori Rasa tercetus? Terus, siapa aja orang-orang di belakangnya?
Yudhis : Nama Memori Rasa ini sangat personal sekali buat aku. Mencetusnya semenjak ibuku meninggal. Awalnya, aku berharap proyek ini menjadi tempat di mana aku bisa pulang dan mengingat memori-memori bersama ibuku melalui pendekatan memasak dan makanan, khususnya makanan yang biasa dimasak almarhum ibuku. Itulah alasannya kenapa namanya Memori Rasa, memori yang muncul saat melakukan aktivitas memasak.
Nufus: Mas Yudhis sangat dekat dengan sosok ibu, ya?
Yudhis: Bisa dibilang begitu. Dari memasak itu, timbul kedekatanku dengan ibuku, Siti Jumiati. Karena membantu menyiapkan bahan masakan untuk jualan, bantu memasak untuk orang rumah, sama membantu jualan keliling kampung. Memori-memori itu yang ternyata bisa kembali dan mengobati ketika rindu sama Ibu. Kalau orang-orang di belakangnya, aku mengajak kedua teman, Fahmi sama Fatih. Aku minta mereka mengajak orang lain untuk makan masakanku. Orang-orang ini aku harapkan bakal kasih masukan atau pandangan terkait masakanku.
Sebenarnya, aku melihat Memori Rasa sebagai proses mengarsipkan resep yang biasa ibu masak buat aku. Walaupun, aku gak pernah mencatat menu-menu yang dimasak, tapi aku mengingat karena pernah melihat dan pernah membantu di dapur. Aku mencoba mencatat ulang, mendokumentasikan ulang. Harapannya bisa jadi sebuah legacy buat aku, anak-anakku, atau keluargaku sendiri. Ternyata, neneknya juga punya masakan-masakan khas di keluarganya.
Tapi, kegiatan yang kami lakukan ini sempat terhenti karena kesibukan Fahmi dan Fatih. Kemudian, aku banyak berdiskusi dengan teman-teman dari Komunitas Muara. Hasil ngobrol-ngobrol itu terciptalah “Makankah Kita?” sebagai bagian dari kegiatan Memori Rasa. Kegiatan ini dirancang untuk mengajak sekitar 25 sampai 30 orang dan dilaksanakan sampai 9 pertemuan atau kami biasa menyebutnya 9 episode.
Nufus: Takjub banget, nih dengarnya! Waktu kegiatan ini dibuat, aku sempat daftar tapi gak lolos karena pesertanya memang terbatas. Aku tuh tertariknya sama makanan-makanan yang dihadirkan tiap episodenya karena kebetulan juga keluarga ibuku berasal dari Kutai-Banjar. Jadi, kenapa memilih menu Kutai-Banjar di antara suku-suku lain di Samarinda?
Yudhis: Ya gak ada alasan khusus memilih menu Kutai-Banjar selain karena memang aku hidup dari makanan-makanan itu. Ibuku yang berasal dari Suku Banjar dan bapakku berasal dari Suku Kutai. Makanan-makanan yang biasa aku makan dari kecil adalah makanan Kutai-Banjar. Tetapi, sampai hari aku juga terus mempelajari kuliner tradisional dari suku lainnya. Aku banyak membaca, mengobrol, hingga bertukar resep ketika bertemu teman-teman dari daerah lain. Namun, untuk sekarang aku pengen fokus dengan apa yang ada di dalam diriku, jadi kuliner Kutai-Banjar yang menjadi fokus aku terkait kuliner.
Nufus: Ada hal menarik gak yang Mas Yudhis temukan selama perjalanan “Makankah Kita?”
Yudhis: Hal menarik tentu ada. Saat aku memasak di program ini, selalu aku merasa masakanku tuh berbeda dengan apa yang ibuku pernah masak. Kayak ada rasa yang kurang di masakanku. Tetapi, beberapa teman yang hadir dan terlibat selalu bilang makananku itu enak-enak aja. Bahkan, sangat terhubung dengan mereka yang juga terlahir dari keluarga Kutai-Banjar. Sampai aku menemukan jawabannya di episode 7, malam harinya aku baru ingat almarhum ibuku tuh pernah bilang kalau saat memasak kamu harus meniatkan sesuatu dalam makananmu gitu. Ternyata hal itu yang gak bisa aku ulang, harapan atau doa-doa yang biasa orangtua kita kasih di makanannya. Aku selalu percaya kalau beda tangan beda rasa karena setiap orang punya energinya masing-masing yang bisa hadir dalam makanan yang diolah. Dari situlah, kayak terjawab semua seperti pertanyaan kenapa nasi goreng buatan nenek atau ibu cuma polosan saja itu enak banget. Tapi, kalau kita yang bikin sendiri itu biasa aja.
Nufus: Aku jadi pengen mengutip tagline yang dipopulerkan Dr. Muhammad Faisal, “generasi kembali ke akar.” Rasa-rasanya yang Mas Yudhis lakukan ini adalah upaya untuk menelusuri akar melalui masakan keluarga. Oh iya, kalau kita lihat di media sosial itu yang datang kebanyakan anak muda. Apakah memang ditargetkan khusus untuk menarik audiens anak muda atau seperti apa?
Yudhis: Sebenarnya, gak ada target audiens khusus. Siapapun boleh bergabung, tapi karena di Samarinda itu circle-nya kecil yang datang teman-teman nongkrong juga. Makanya lebih banyak anak muda. Kebanyakan juga teman-teman yang biasa ketemu di beberapa acara di Samarinda. Ketidaksengajaan ini tanpa sadar jadi sesuai dengan gagasan awal yaitu pengen lebih banyak anak muda yang mengarsipkan kuliner-kuliner tradisional terutama kuliner keluarganya dulu. Bahkan, pengen anak muda kembali membiasakan makan menu tradisional gitu. Kebiasaan itu mulai banyak berubah dan ditinggalkan.
Nufus: Artinya memang ada motivasi khusus, ya untuk menjembatani anak muda dengan makanan tradisional itu?
Yudhis: Ya, tentu ada motivasinya.
Bagiku, kuliner itu adalah identitas kita. Kuliner bisa membuat teman-teman untuk pulang. Sederhananya kalau kangen bisa terobati melalui makanan.
Selain itu, makanan juga bisa menjaga masa depanmu. Kamu bisa memilih, masa depanmu yang lebih lestari atau yang akan bergantung di industri besar melalui makanan-makananmu. Kamu diberi pilihan untuk memproduksi makananmu sendiri atau kamu akan bergantung sama brand-brand besar yang pada akhirnya akan menghilangkan pengetahuan-pengetahuan lokal terkait pengolahan makanan secara tradisional.
Sekarang, ke depannya adalah bagaimana aku mengajak teman-teman buat kembali lagi untuk mengulik akarnya, mendokumentasikannya, kemudian mulai mempelajari sebagai salah satu bentuk mempertahankan kebudayaan dan tujuannya yang sering aku sebut, melestarikan lingkungan di masa mendatang.
Nufus: Oh iya, kebetulan ‘kan aku kerja di sebuah lembaga yang mengadvokasi adaptasi perubahan iklim, tuh. Menurut Mas Yudhis, bagaimana keterkaitannya antara konsumsi pangan lokal dengan adaptasi perubahan iklim?
Yudhis: Menurutku ya kedua hal itu sangat terkait. Pertama, konsumsi produksi lokal makanan-makanan khas Indonesia atau Kalimantan, dalam skala kecil sangat dekat sekali dengan alam. Semua tanaman, semua ikan-ikan yang untuk konsumsi itu hidup bebas di alam. Hari ini, alamnya udah mulai tidak begitu baik. Ada beberapa tanaman, ada ikan-ikan yang cukup sulit sekarang untuk didapatkan. Kalaupun ada, harganya jauh lebih mahal, karena lingkungan yang sudah rusak memengaruhi kemampuan untuk berkembang biak dengan baik lagi.
Nenek moyang kita banyak mewariskan hal-hal yang bisa kita pelajari terkait beradaptasi terhadap perubahan iklim. Misalnya, aku cerita tentang orang Banjar yang juga dikenal sebagai salah satu suku yang suka mengembara. Suku ini punya kebiasaan makan atau menyimpan makanan lebih lama. Dalam suku Banjar terdapat teknik-teknik pengawetan kayak pekasam, wadi atau iwak samu. Ikan-ikan yang diawetkan ini bisa lebih tahan lama saat mereka memutuskan untuk merantau. Selain itu, teknik pengawetan ini digunakan untuk membiasakan diri saat terjadi perubahan lingkungan. Ketika sedang tidak musim ikan, orang Banjar masih mendapatkan sumber protein dari ikan-ikan yang telah difermentasi.
Nufus: Balik lagi nih aku nanyain soal Memori Rasa. Gerakan ini sudah berjalan satu tahunan, kita sebutlah gerakan itu sebagai kegiatan aktivisme pangan. Kira-kira, apakah sudah ada dampaknya terhadap perilaku konsumsi generasi muda di Samarinda?
Yudhis: Kalau berdampak, belum ya. Tapi, sudah banyak orang-orang yang mulai tahu dan mengenali gerakan ini. Aku sih berharap teman-teman yang sudah pernah datang dan ngobrol bisa mengambil ide atau gagasan yang kita bawa terkait upaya melestarikan kuliner-kuliner tradisional. Hal ini masih terus kita kampanyekan dan sebarluaskan di Samarinda. Aku punya keinginan akan semakin banyak orang baru yang muncul untuk mengobrolkan kuliner tradisional itu. Karena aku pun gak mau kerja sendiri dan memonopoli gerakan ini.
Nufus: Cukup bisa dimengerti cita-citanya. Semoga bisa kesampaian, Mas. Aku pengen nanya yang lain dong. Mas Yudhis pernah juga terlibat di Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) dan yang terbaru di Meranti Putih Performance Arts Festival di Kotabaru, Kalsel. Boleh ceritain gak pergulatannya dari awal sampai akhirnya yang Mas Yudhis lakukan bisa disebut sebagai art?
Yudhis: Aku awalnya juga bingung ya. Tapi, sejak aku terlibat di Pekan Kebudayaan Nasional mewakili Samarinda dari situlah aku mendapat pencerahan. Aku ketemu teman-teman seniman Indonesia dan banyak diskusi juga terkait hal ini, apakah memasak itu adalah bagian dari performance art?
Aku juga selalu bertanya apakah seniman-seniman itu harus menghasilkan karya yang bagus, yang indah, yang cantik atau sesuatu yang bisa dilihat. Aku banyak mengobrol sama seorang temanku. Dia seniman yang lahir dari kolektif Kamar Kos di Padang.
Aku pernah tanya, “Kamu dibilang seniman itu harus seperti apa atau harus ngeluarin karya seperti apa sampai dibilang seniman?”
Dia menjawab dengan sederhana. “Seniman itu ya dilihat dari gagasannya. Gagasan atau ide yang pengen dia bawa melalui karyanya. Masalah karya itu tergantung senimannya mau performance art atau bikin instalasi karya, bikin gambar sampai patung tetapi intinya jelas dalam karya yang membawa gagasan atau hal kritis yang pengen dia sampaikan di publik”. Temanku ini juga bilang metode yang aku lakukan melalui kegiatan “Makankah Kita?” sangat-sangat performance art karena ada orang-orang yang mengantre makanan dan ada obrolan-obrolan di dalamnya karena ide atau gagasan disampaikan dengan baik.
Akhirnya, aku memutuskan untuk percaya kalau yang aku lakukan adalah bagian dari seni dan jadi medium baru untuk menyampaikan keresahan-keresahan melalui proses memasak. Aku mau cerita sedikit tentang pengalamanku saat PKN. Saat itu, aku masak sambil menceritakan hasil risetku selama 2 bulan residensi di Samarinda terkait air. Banyak isu-isu yang aku angkat mulai dari ikan invasif di Sungai Mahakam, Ikan Haruan yang terpapar mikroplastik, dan membahas teror kapal-kapal tongkang batubara yang memenuhi Sungai Mahakam. Dari PKN ini, aku bertemu seorang teman yang mengajakku untuk ikut dalam Meranti Putih Performance Art Festival. Dia bilang, aku harus tampil karena praktik artistikku ini unik.
Dalam kegiatan ini, aku membawakan gagasan untuk merespon Kotabaru melalui perspektif perjamuan kuliner. Aku membawakan sebuah paket hidangan kolaborasi antara suku Banjar, Jawa, dan Bugis. Pembacaanku ini aku dapatkan saat berkeliling pasar tradisional di Kotabaru. Ketiga suku ini yang paling besar di sana dan itu memenuhi di pasar-pasar. Suku Bugis akan gampang ditemui karena dikenali melalui logatnya dan makanan-makanan yang dijual seperti Jepa, Ronto. Kalau suku Jawa yang ditemui kebanyakan berjualan sayur-mayur. Sisanya adalah suku Banjar.
Melalui perjamuan itu, aku menceritakan bagaimana keharmonisan di Kotabaru. Konsepnya aku masak di bawah pohon. Aku punya syarat untuk teman-teman yang mau terlibat dalam perjamuan kuliner harus mengambil satu sampah yang mereka temukan di Hutan Meranti kemudian dibuang di tempat yang sudah disediakan. Kenapa harus memungut sampah karena banyak pengunjung yang membuang puntung rokok sembarangan.
Dalam perjamuan ini, aku menyajikan tiga makanan. Pertama, aku pakai kerang dara yang direbus biasa aja terus pakai Cacapan Banjar yang rasanya dominan asam tapi segar. Pemilihan menu ini karena menurutku makanan asam itu bisa membuka selera. Sajian kedua, aku pakai lakatan yang terbuat dari beras ketan. Orang sini jarang makan beras ketan yang asin karena terbiasa makan dengan kuah manis. Alasan lain memilih lakatan karena filosofinya. Lakatan itu lengket dan menggambarkan keakraban antara tiga suku yang aku sebut tadi.
Aku punya pengalaman menarik pas aku mau beli ikan di kios orang Banjar yang kebetulan dijaga ibu-ibu. Beliau malah menawarkan ke kios di sebelahnya yang milik orang Bugis. Menurut si ibu, ikan di kios sebelah lebih segar karena baru datang dibanding jualannya. Jadi, hubungan-hubungan dari pengalaman yang aku lihat di pasar itu aku coba presentasikan di makanan yang aku masak. Sajian ketiga, ada urap sebagai perwakilan dari makanan Jawa. Aku bikin beda urapnya dengan pakai daun pakis dan daun singkong yang disajikan bersama Kuah Ikan Kuning Palumara sebagai perwakilan makanan Bugis. Makanan penutupnya, aku sajikan Pisang Goreng Wijen gitu sama saus gula aren pakai inti kelapa. Dari ketiga sajian ini aku merepresentasikan Kotabaru yang berasal dari pengalamanku selama di sana.
Karena obrolan-obrolan adalah bagian dari seni yang aku lakukan, jadi aku meminta teman-teman yang makan untuk fokus menikmati dan mengobrol tanpa perlu merekam pengalamannya melalui HP. Aku ingin orang-orang lebih fokus dan saling mengobrol bareng. Hal inilah yang mulai hilang karena kita tuh kebanyakan terdistraksi sama banyak hal.
Ada beberapa teman yang menanyakan, seperti seorang seniman dari Bandung tentang bagaimana bisa aku menemukan cerita-cerita di balik makanan. Menurut dia, ceritaku sangat personal, luas, dan berdampak. Dia juga sangat-sangat tertarik dan bertanya siapa yang membuatkan narasi-narasi tersebut. Padahal semua hal itu lahir dari pengalamanku sendiri sejak menjadi aktivis lingkungan.
Nufus: Pertanyaan penutup, sebagai seorang seniman, apakah ada rencana mau eksplorasi media yang lain?
Yudhis: Pengen sih, karena banyak ide-ide yang pengen aku coba. Bagiku, seni itu media yang baru. Aku gunakan untuk mengejar target-target atau harapan agar ide atau gagasannya tersebar lebih luas lagi. Sebagai seorang seniman yang masih baru, aku harus lebih banyak belajar terkait praktik artistiknya seperti mengonsep perjamuan masaknya. Aku juga masih memikirkan buah tangan atau item yang bisa dikoleksi oleh orang-orang yang datang ke perjamuan makanku.
[…] rubrik Nahkoda, percakapan antara S.Z Nufus dan Maulana Yudhistira dalam tulisan berjudul Memori Rasa: Ruang Mencatat dan Merawat Pengetahuan Pangan di Samarinda sungguh menggugah hati dan selera. Sejak 2023, Maulana Yudhistira melalui aktivisme gastronomi […]