Monika Bataona, kerap disapa Monik, adalah seorang penyelam yang berdomisili di Larantuka, Flores Timur. Pada 2018, perempuan kelahiran 13 Maret 1995 ini lulus dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun lalu Monik terpilih sebagai 1 dari 9 peserta INSPIRASI-Indonesia Young Leaders Programme, sebuah program kerjasama bilateral Indonesia-New Zealand yang dikelola Yayasan BaKTI[1]. Dalam program itu, Monik mengikuti berbagai inisiasi pertukaran pengetahuan di Auckland University of Technology dan beberapa organisasi lainnya. Di kampung halamannya, Monik turut menginisiasi Pokmaswas[2] Kelurahan Larantuka.
Carlin: “Kamu menyukai laut dan banyak melakukan kerja-kerja di bidang kelautan. Waktu kuliah, kamu juga mengambil jurusan yang tidak jauh berbeda. Apa yang melatari pilihan-pilihan itu?”
Monik: “Sebenarnya dulu tidak pernah terbayangkan untuk terjun ke dunia [kelautan] ini. Dulu ketika pulang sekolah, kalau kita tidak main di lingkungan rumah, berarti pasti kita main di laut. Itu satu hal wajib untuk anak-anak yang tinggal di pesisir, kalau pulang sekolah selalu berenang. Walau berenang itu tidak pro, tapi kita suka saja di laut. Bahkan itu, tuh, sudah mendarah-daging untuk anak-anak di Flores.
Kalau dari segi menyukai seperti… oh, saya lebih suka laut ketimbang hutan itu sebenarnya waktu itu belum membedakan, sih, karena kayak lebih enjoy di alam aja. Sampai SMP-SMA, suka ikut pramuka, ikut pecinta alam di sekolah. Akhirnya memang sudah terbiasalah suka alam, gitu.
Nah, ketika di kampus, waktu kuliah itu, sebenarnya di jurusan itu tidak ada UKM selam. Jadi waktu itu [saya] malah ikut mapala[3] dan mapala itu lebih banyak kegiatannya di gunung, di gua, di wilayah-wilayah tebing dan lain sebagainya. Karena saya anak biologi dan suka riset, jadi lebih banyak risetnya pun di hutan.
[Saya] mulai terjun ke laut itu waktu ambil skripsi. Jadi kayak ketika skripsi, terus banyak cerita sama dosen. Waktu itu dosen pembimbing, kebetulan alumni di mapala, dia lihat… oh, Monika ini orang Lamalera, dia orang laut. Mungkin dia tertarik bergabung untuk riset di Teluk Cenderawasih, Papua. Kemudian saya dapat kesempatan itu untuk ikut penelitian di Papua.
Teluk Cenderawasih itu, kan, kaya sumber daya lautnya, banyak hiu paus, kima, beraneka ragam ikan, lobster, dan sebagainya. Nah, sampai di Papua, saya pikir saya, nih, sudah bisa berenang. Terus waktu kami menyelam dengan hiu paus, itu hanya temanku yang dari UNDIP itu karena dia penyelam. Dia bisa turun walau tidak pakai alat, dia snorkeling. Tapi dia sampai bawah, free dive gitu. Terus di situlah kayak [momen] titik balik. Saya merasa ternyata teknik saya di laut itu nggak benar. Ternyata turun di laut itu butuh teknik.
Kayak mulai menyukai ekosistem laut itu bisa dibilang dari skripsiku. Skripsiku tentang keanekaragaman zooplankton sebagai pakan hiu paus. Mau nggak mau, kita di laut, ngambil data, ngambil sampel air, abis itu kita punya kesempatan berenang dengan hiu paus. Karena tidak punya kemampuan berenang, akhirnya [saya] hanya bisa di permukaan saja. Yuk, bisa yuk. Masa anak pulau nggak bisa turun [menyelam]? Digituin sama teman-teman waktu riset. Kukira asal berenang aja di laut, ternyata harus punya skill juga.
Dengan begitu banyak hal yang saya hadapi waktu riset di Papua kemudian kembali ke kampus, saya mulai tertantang. Masa, sih, ketika nanti saya pulang ke Flores saya tidak bisa menyelam? Kayaknya seru bisa penelitian di bawah laut, gitu. Akhirnya sambil skripsi waktu itu pada 2016, saya mulai terjun ke dunia laut yang sesungguhnya dengan mendaftar di UKM selamnya UGM, namanya Unit Selam. Mungkin, bisa dibilang awal mulanya [saya] fokus mulai ke laut itu mulai dari situ.
Saya masuk ke Unit Selam itu sebagai salah satu harapan bahwa saya bisa mengasah keterampilan di bidang pemanfaatan alat-alat yang mendukung kerja-kerja di laut atau riset-riset di laut. Jadi [saya] mulai ikut rekrutmennya. Padahal, kan, orang di semester-semester akhir itu mulai mengurangi ya, tapi saya belum mau lulus kalau misalnya nggak daftar UKM Selam. Jadi mahasiswa, kan, latihannya lebih intens. Kita diajarkan teknik yang benar. Saya belajar dan berdinamika bersama teman-teman.
Setelah ikut UKM Selam pun sebenarnya tidak banyak aktivitas selam yang dilakukan karena di Jawa, kan, akses ke lautnya jauh dibanding di sini. Di Larantuka kita tinggal jalan tiga menit sudah sampai ke pantai. Di sana, kan, kalau jalan harus motoran berjam-jam. Jadi memang ke laut pun tidak sering di Pulau Jawa. Tapi ketika pulang, [saya] kemudian bekerja di sini bersama masyarakat. Beberapa komunitas di sini juga ternyata fokus ke situ. Akses ke laut jadi lebih sering dan ilmu yang saya mulai di 2016 akhirnya terpakai.”
Carlin: “Berapa lama kamu di Jogja?”
Monik: “Hampir lima tahun. Sempat ke Jakarta bentar untuk magang. Cuman tidak merasa bisa hidup aja di Jakarta. Kayak habis gitu waktuku di jalan, di kerjaan. Apa, sih, yang dicari? Secara kesiapan, aku belum siap untuk kerja di Jakarta. Mei 2019, aku balik ke Flores.”
Carlin: “Apakah ketertarikan pada laut juga yang turut memanggilmu pulang ke Flores?”
Monik: “Jadi bisa dibilang, pulang ke Larantuka itu bukan satu hal yang di-planning untuk harus pulang dan stay. Waktu itu aku pulang karena ada seleksi BUMN, terus aku daftar dan ambil di perikanannya negara. Waktu udah mau tahap wawancara, aku memilih pulang. Karena kemungkinan besar, wawancaranya akan berlanjut di Maluku, waktu itu. Aku pulang pakai kapal. Nah,sampai sini, tuh, nggak dilanjutin, tuh, tesnya. Gak ada kabar lagi. Aku udah di Flores dan belum kepikiran untuk balik lagi ke Jogja. Masih menjeda waktu untuk ada di Larantuka dulu, sambil aku melihat kira-kira [potensi] apa yang ada di sini. Aku bergabung dengan teman-teman di Misool Baseftin[4]. Aku terlibat sebagai volunteer untuk program-program [konservasi] bakau dan bertemu banyak komunitas. Waktu itu ada beberapa komunitas yang sudah aktif, kayak Teras Baca Ile Napo, kemudian teman-teman yang bergiat di pesisir. Nah, sewaktu aku beberapa bulan tinggal dan melihat kondisi di sini, tuh, akhirnya membuat aku kepikiran… oh, kenapa aku gak coba dulu cari kerja di sini? Atau bertahan dulu di Larantuka untuk melihat apa, sih, potensinya? Jadi, kalau mau dibilang nyambungnya dengan dunia laut, itu karena akhirnya aku menyadari setelah pulang, setelah aku mulai nyaman ikut organisasi yang berbau laut, kemudian aku lihat lagi dengan pola aku yang sudah belajar soal biologi, ekosistem, dan sebagainya. Ilmu yang sudah aku dapatkan itu ternyata, tuh, bisa aku aplikasikan di kampung halamanku. Ketertarikanku [pada] dunia laut itu, ya, karena tempatku ini memang potensinya laut.
Aku merantau ke Jogja dengan studi biologi itu tidak aku rencanakan untuk benar-benar terjun di laut. Tapi, ya, sebenarnya [kecenderungan itu] sudah ada di dalam diriku, sudah menjadi bagian dari diriku, tetapi perjalananku yang menyadarkan lagi. Aku orang Lamalera, leluhur dan nenek moyangku orang laut. Ketika aku masuk, terjun, dan menekuni laut, punya keterampilan selam yang lebih spesifik, ternyata juga banyak pandangan-pandangan baru yang aku dapat. Aku suka dunia ini karena aku tahu ekosistem ini penting.”
Carlin: “Wah, kamu tidak merencanakannya…”
Monik: “Tidak terencana tapi sudah tergariskan.”
Carlin: “Apakah Lamalera memang sangat identik dengan perairan? Atau, dengan kata lain, cara hidup orang-orang Lamalera memang sangat dekat dengan laut?”
Monik: “Saya ini orang Lamalera. Meski saya tidak tinggal dan besar bersama masyarakat adat Lamalera, tetapi secara suku, saya berasal dari sana. Memang dari tutur nenek moyang, dibanding dengan darat, ketergantungan Lamalera dengan laut itu sangat tinggi karena secara topografis wilayahnya juga tidak mendukung untuk pertanian. Orang Lamalera melihat laut sebagai tempat di mana mereka mendapat pemberian dari alam. Mereka makan dari alam, dari laut. Hasil laut menjadi hasil pokok untuk menghidupi satu kampung itu. Satu paus yang datang itu cukup untuk menghidupi satu suku Lamalera di situ.
Sejauh yang saya tahu, suku Lamalera datang dari pelarian. Ketika mereka datang, mereka sadar bahwa di tempat ini mereka tidak bisa berbuat apa-apa di darat. Kecakapan bertani pun mereka tidak punya, mungkin ya, sebagian dari mereka lari, pelarian dari suku, kayak suku-suku pesisir, dan mereka datang, dan mereka hanya mengandalkan laut sebagai pencaharian mereka dari [zaman] nenek moyang sampai sekarang ini.
Untuk mendapatkan hasil kebun seperti padi dan jagung, orang-orang Lamalera perlu barter dengan suku lain atau masyarakat yang ada di pegunungan, seperti yang dilakukan di pasar Wulandoni hingga sekarang.”
Carlin: “Setelah ada di Misool Baseftin, kemudian banyak melakukan aktivitas bersama di sana, apa hal paling utama yang kamu temukan di wilayah perairan di Flores?”
Monik: “Sejak aku balik, aku menyadari bahwa Laut Flores itu kaya, loh. Oh, tidak kalah juga kita dengan Raja Ampat yang fenomenal itu. Kita punya hampir lima spesies penyu, beberapa jenis paus seperti paus biru dan paus sperma, lumba-lumba, biota-biota laut, beraneka ragam karang penting dan endemik. Kita punya banyak hasil perikanan yang kaya, tetapi tidak terjaga. Flores Timur dekat dengan Laut Sawu yang menjadi area migrasi Cetacea, laut kita juga adalah pertemuan samudra dan beberapa perairan besar di sini. Daerah kita daerah perlintasan berbagai jenis satwa dan hiu paus dan sebagainya. Hasil perikanannya juga cukup tinggi di sini.
Aku melihat potensi laut di Flores Timur ini besar dan sanggup menghidupi masyarakatnya. Namun, masih banyak aktivitas tidak bertanggung jawab seperti bom, penggunaan potas, penggunaan pukat yang tidak ramah lingkungan, overfishing. Awareness nelayannya kurang.”
Carlin: “Oke. Sejauh pengamatanmu, apa soal yang paling serius di Flores? Atau kalau mau lihat konteks yang paling besar di Indonesia, apakah itu persoalan yang juga sama?
Monik: “Dampak iklim itu problem hampir semua lautan, ya. Di Larantuka, kita mengalami itu. Banyak blooming algae juga karena pemanasan global. Kemudian banyak karang yang mati, pemutihan karang, kemudian banyak sampah yang terbawa arus yang masuk ke wilayah-wilayah pantai yang tadinya bersih.
Kalau menurut aku, selain global warming dan climate change tadi, problemnya adalah pergeseran aktivitas masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat semakin banyak kebutuhannya. Kemudian masyarakat ini membutuhkan uang dengan cara yang lebih instan, akhirnya [mereka] memanfaatkan bom ikan, potas, atau mengambil ikan sebanyak-banyaknya, akhirnya overfishing. Banyak ikan masih kecil-kecil diambil.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan makin melemah ini karena hilangnya identitas. Kepercayaan akan nilai-nilai adat mulai luntur. Dulunya mungkin ketika adatnya murni, tidak akan terjadi overfishing, tidak terjadi itu yang namanya ikan yang mestinya dilindungi harus ditombak, atau kita akan makan terus hasil biota laut ini. Tapi, kalau kita kembali ke sejarah masyarakat, misal orang Lamalera, mereka dulu hanya menangkap paus jenis tertentu gitu, kan. Terus makin ke sini, ketika climate change itu terjadi, jumlah biotanya mulai menurun, apa pun yang ada di depan mata mungkin sudah menjadi hasil tangkapan, dan begitu pun sekarang, masyarakat-masyarakat suku Bajo dulu, mereka tidak melakukan bom ikan, misalnya. Kita sudah banyak kehilangan masyarakat adat pesisir dan identitas-identitas masyarakat pesisir.
Tentu ada saja lah peraturan, tapi peraturan di daerah-daerah kepulauan menurutku tidak tepat sasaran. Contohnya, UU Kementerian 2014 tentang Pengelolaan Laut atas Perwalian Pemerintah Provinsi. Dulunya, kan, kabupaten punya wewenang untuk mengatur wilayah kepulauan mereka, contohnya di Flores Timur, tetapi ketika peraturan baru diberlakukan, hanya provinsi yang berwenang. Ketika provinsi ini turun, dia hanya punya satu kantor cabang yang melingkupi Lembata, Maumere, tidak akan cukup secara SDM. Belum secara sarana-prasarana yang menunjang untuk bisa dibagikan kepada wilayah-wilayah itu. Terus siapa yang mau diuntungkan dalam aturan ini?”
Carlin: “Saya jadi ingat pas KKN tahun 2021. Waktu itu, saya KKN di pesisir utara Kabupaten Ende. Pas main-main di pantai, terus kami dengar bunyi besar sekali dari arah laut. Waktu tanya ke orang rumah, mereka bilang di sini orang biasa bom ikan. Di sana lumrah sekali bahkan penduduknya beli ikan dari hasil bom itu.”
Monik: “Dan itu terjadi realistis di sini. Karena tadi, ya, pemerintah memang punya sumber daya terbatas, tidak mungkin semua bisa ditanggapi dengan area jangkauan luas seperti ini. Kita terkendala sekali dengan kepulauan yang begitu besar, banyak, dan akses yang begitu panjang dari satu titik ke titik lain. Ini, kan, butuh sumber daya yang besar. Mesti banyak orang yang terlibat. Tetapi keterlibatan itu dibangun berdasarkan satu pintu saja, misalnya cuman pemerintah, ya, tentu saja sulit. Tapi, dulu sudah pernah ada, waktu patroli dijalankan. Kalau patroli itu terus dijalankan tanpa mengedukasi masyarakat, itu hanya sekedar menakut-nakuti masyarakat. Kalau kita tidak bangun kesadaran mereka tentang pentingnya laut, ya, sama aja mereka akan begini lagi kalau patroli tidak dijalankan. Buktinya seperti sekarang.
Sejak 2021 itu teman-teman yang patroli dari WCS[5] sudah tarik diri dari Flores Timur. [Setelah itu] bom ikan naik lagi angkanya. Sedangkan patroli itu dulu dilakukan oleh pihak WCS itu dengan [pemerintah] kabupaten. Kabupaten sudah merasa tidak memiliki wewenang, mereka juga diintervensi provinsi. Jadi kayak… ya udah, selesai. Jadinya bom lagi, bom lagi, gitu.”
Carlin: “Saya pernah juga ke Kabupaten Nagekeo tahun 2021. Ada satu pesisir yang warganya punya penghasilan dengan menangkap kepiting. Ada warga lokal yang sering bikin upacara adat di pesisir, tapi sekarang sudah tidak bisa dilakukan lagi karena lokasi upacara adat itu sudah tergerus oleh tambak garam.”
Monik: “Pemerintah kadang tidak melibatkan masyarakat dalam pembangunan itu. Bahkan, walaupun kamu swasta, kamu datang, kamu tahu itu tempat masyarakat, jadi kamu wajib menghargai nilai-nilai lokal. Kadang kalau dipikir-pikir, kita selalu diajarkan sopan-santun gitu, ya. Kadang, kan, sebenarnya itu yang menjadi dasar-dasar ketika kita bergiat, kita menghargai sopan dan santun kita kepada masyarakat setempat.
Sebenarnya banyak hal yang bisa [jadi] masalah sekarang itu tuh tidak bermasalah kalau segala macam hal itu dikomunikasikan baik-baik, kita menghargai satu sama lain. Dan itu sayang banget ketika memang identitas tadi, identitas masyarakat pesisir itu akhirnya memudar dan tergantikan sebagai pelaku tindakan perikanan yang tidak berkelanjutan.
Ada perubahan pola konsumtif, perubahan identitas masyarakat, yang kadang mereka tidak tahu lagi nilai-nilai lokalnya kayak sekarang, mungkin karena tuntutan secara ekonomi, makin mahal biaya pendidikan, makin mahal biaya kesehatan, kayak gitu-gitu. Itu menjadi problem yang sangat berkaitan dan membuat masyarakat itu memilih jalan yang mudah. Ketika masyarakat memilih mudah itu biasanya masyarakat selalu dihadapkan pada pilihan yang merusak tanpa memikirkan dampak yang berkepanjangan bagi ekosistem itu. Itu pun hadirlah pemerintah atau swasta yang [watak] investasinya lebih parah lagi, kesannya mengeksploitasi tanpa memikirkan masyarakat adat. Dan masyarakat adat yang tadi itu yang sebenarnya berdiri untuk mempertahankan wilayah mereka, ketika tidak kokoh solidaritasnya di dalam, terpecah, habis sudah, tidak ada yang bisa mempertahankan itu.
Masyarakatnya sadar dulu, mereka mesti tahu itu wilayah laut dan wilayah hutan, ketika mereka memiliki tempat itu sebagai tempat mereka hidup, mereka perlu menjaganya. Jadi di lain sisi mereka mengambil tetapi mereka juga memelihara. Sebenarnya aman-aman saja wilayah laut atau pun wilayah hutan kita. Tetapi, ketika kita cuman tahu untuk memanfaatkan saja tanpa tahu bahwa ketika kita ambil, misalnya yang kecil kita lepas untuk nanti kita ambil lagi di depan, atau untuk anak-anak kita yang ambil, kita pelihara dulu gitu, itu kan aman. Tapi kalau kondisi kita hanya untuk eksploitasi, untuk konsumtif saja, ya selesai di sini.
Sudah banyak hewan-hewan laut yang dulu masih bisa kita makan sekarang sudah gak bisa kita makan lagi. Sekarang siput abalone, di Jepang orang makan, di Korea orang makan dengan mudah, kan. Dulu aku masih bisa makan. Sekarang udah gak bisa makan lagi, kan, karena seringnya orang bekarang[6] di sini. Jadi habis itu.”
Carlin: “Lantas konsep bekarang di Larantuka itu seperti apa?”
Monik: “Ini jadi titik berangkat kami membentuk Pokmaswas Kelurahan Larantuka. Jadi bekarang ini, kan, aktivitas yang secara tradisional dianggap sebagai local wisdom. Hampir seluruh wilayah Timur melakukan itu. Saya lihat-lihat ada pola pergeseran bekarang ini. Mungkin saja dulu orang datang hanya untuk ambil siput-siput dan ikan yang terjebak saat air surut. Ketika makin ke sini, makin minim tutur lisan, minim tutur dari orang tua-tua dulu.
Aktivitas bekarang ini berpotensi merusak karang yang ada di daerah pesisir yang ketika pasang surut sudah sampai ke batas yang sudah ada karangnya. Jadi ketika masyarakat turun untuk mengambil hasil-hasil laut seperti siput atau ikan yang terjebak di batu-batu, di situ ada terumbu karang. Masyarakat akan sangat mudah berjalan di atas karang, mematahkan karang, bahkan ada yang dengan sengaja membanting karang untuk mengambil ikan yang terjebak.
Nah, ini yang akhirnya waktu kami mulai menanam terumbu karang di tahun 2023 itu dengan beberapa anggota komunitas, kami menemukan karang yang lebih dekat dengan pesisir ini rusaknya lebih banyak dibanding di daerah yang lebih jauh. Karang alami ini sayang kalau dia mati.
Ada beberapa media yang sudah kami tanam, kami rawat, pertumbuhannya baik di Kelurahan Larantuka ini, karena memang di sini area arus juga ya. Jadi intensitas cahaya dan suhu sudah sangat cocok untuk kehidupan karang baru di situ. Karang kita tidak jauh, tiga sampai empat meter dari bibir pantai sudah dapat karang.
Jadi kita dekati lurah, masuk untuk edukasi masyarakat dan kalau bisa dibikin Pokmaswas. Pak Lurah setuju, maka kita bentuk Pokmaswas kita di sini. Jadi di dalam itu, kita ajak anak-anak di bidang perikanan, kita undang juga beberapa tokoh masyarakat, nelayan, untuk masuk ke dalam keanggotaan. Kita turun sosialisasi ke masyarakat. Melalui pertemuan di September itu, kami sepakat untuk menentukan area perlindungan laut. Jadi, area perlindungan laut itu kami tutup hanya sebagian dari bagian wilayah pesisir yang ada di Kelurahan Larantuka, utamanya aktivitas bekarang ini sambil melihat perkembangan sambil kami terus sosialisasi. Area itu pun kita tidak tutup penuh karena secara aturan kita tidak punya wewenang juga untuk melarang masyarakat melakukan semua aktivitas di situ. Kita perlu kesepakatan yang lebih intens dengan masyarakat.
Jadi perlawanan yang kuat antara kelompok dan masyarakat ini tentang aktivitas bekarang memang cukup berat, karena masyarakat merasa ini, kan, seperti local wisdom mereka, ini budaya yang sudah turun-temurun, gitu. Tetapi, kami selalu kasih edukasi, kalau masih mau terus dilakukan, coba dilakukan di sebelah sana, di sebelah timur wilayah Kelurahan Larantuka, kami kasih akses untuk bekarang. Dan kita jalan berdasarkan himbauan yang dilakukan oleh kelurahan.
Sejak kita menutup aktivitas bekarang ini, karang-karang di pesisir yang tadinya setiap hari diinjak itu ternyata berpotensi hidup lagi. Karang-karang yang kita tidak tanam itu justru tumbuh lebih banyak, itu bayi-bayi karang yang baru.
Kemudian masyarakat sendiri mengalami, ketika karang sekarang mulai tumbuh, banyak sekali pertambahan jumlah gurita. Jadi kadang, tuh, guritanya yang main ke pinggir. Mungkin lebih dari 15 gurita juga kalau bisa dihitung-hitung yang sudah pernah ditangkap warga. Sebelum tanam karang, ini tidak terjadi. Ini jadi pembuktian bahwa dengan jaga laut, kalian bisa dapat hasil yang lebih baik, gitu, gurita yang lebih besar.
Peran Pokmaswas ini hanya sebagai pemantik saja, tetapi masyarakat yang lebih berperan untuk melindungi laut. Harapannya, gerakan ini jadi gayung bersambut, ya, kelurahan-kelurahan lain di kota ini bisa menyambung itu menjadi gerakan bersama.”



Carlin: “Di titik ini, warga punya kesadaran dan punya rasa memiliki?”
Monik: “Kita juga kadang tidak berekspektasi tinggi, ya. Kita melihat dari hal-hal sederhana. Kadang, anak-anak yang dulunya bekarang, kita edukasi, kita ajakin yuk, kita snorkeling lihat ikan di laut, gitu. Mereka itu, walaupun mancing dan kadang masih tangkap ikan juga gitu, kan, tapi kita pikirnya ya udah gak apa-apa. Tapi, kadang tuh mereka mengingatkan temannya.
Berarti anak-anak ini sudah mulai sadar. Nah, orang-orang tua juga begitu, anggota kita juga gitu, sudah mulai melaporkan kalau ada penyu atau hewan laut lain yang terdampar. Mereka tidak lagi sengaja mengambil penyu untuk misalnya pelihara di rumah. Mereka dengan penuh kesadaran melepas kembali penyu yang terdampar. Kemudian kalau ada aktivitas-aktivitas yang menurut mereka, misalnya, menyampah atau ada dapat temuan tertentu di laut, masyarakat pun ikut menghimbau atau melaporkan. Begitu pun kalau ada masalah di wilayah laut, mereka akan lapor atau minta solusi dari kelompok.”
Carlin: “Kalau bekarang itu cenderung merusak ekosistem, apakah ada semacam praktik baik yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam hal menangkap ikan? Misalnya, kayak di lagunya Conrad[7] yang judulnya Petotang itu, kan, ada lirik, “Ikan masuk kota banyak e, cepa dike”. Di lirik itu, kan, masih ada konsep kota [8] tuh, di Larantuka, kita masih punya konsep kota atau tidak?”
Monik: “Bahkan di Kelurahan Larantuka itu kita masih punya kota, Carlin. Kota-nya masih ada dua atau tiga. Nah, dalam project saya, ini nanti yang menjadi lanjutan dari project New Zealand. Kita akan mengangkat kembali apa, sih, praktik-praktik lokal masyarakat yang berkelanjutan. Dan mau kita sepakati, apakah dibuat lagi? Kayak gitu.
Saya juga dengar cerita ini dari orang tua-tua, bahwa hampir semua orang tua-tua dulu punya kota untuk menjebak ikan. Dulu kalau orang bekarang, ya bekarang dalam kota itu juga. Mereka akan menemukan ikan-ikan atau siput-siput dalam kota itu. Praktik itu sudah hilang sekarang. Hilang dalam tanda kutip, kota-nya juga hilang. Tidak ada lagi orang yang melakukan itu. Mungkin, satu-dua orang yang paham, tetapi mereka itu sudah tua, sudah tidak lagi melakukan aktivitas di laut.
Nah, ini yang mau kita gali menjadi satu cerita untuk dikembalikan lagi ke anak-anak cucu. Ini, loh, praktik berkelanjutan yang ada di Kelurahan Larantuka ini. Dan itu bukan sekedar ada di lirik lagunya Conrad, tetapi memang ada [dalam keseharian].
Tetapi seperti yang aku bilang tadi, krisis identitas. Aku merasa bahwa sepertinya transisi kebudayaan dan pengetahuan antara orang tua dan kita, tuh, kurang. Cerita-cerita bahkan praktik-praktik baik itu tidak sampai ke generasi kita. Itu yang sayang sekali. Siapa yang bertugas untuk mengembalikan itu? Sebelum orang tua-tua ini keburu mati, mari kita coba kembalikan lagi [cerita-cerita itu].”


Carlin: “2024 lalu, kamu sempat ikut program INSPIRASI. Apa yang menjadi insight-mu, terutama menyangkut dengan kerja-kerjamu?”
Monik: “Di program INSPIRASI, saya diajak untuk lebih kontekstual. Ternyata penting untuk mempelajari manusia dan praktiknya tadi, gitu. Karena kita bilang people power, ya, jadi power dari manusianya itu memang sangat kuat di dalam segala bidang kehidupan ini. Jadi kalau manusianya sustainable, itu alam pun sustainable, gitu.
Di New Zealand, mereka mempertimbangkan beberapa aspek tadi, bahwa hubungan manusia dan alam, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan spiritualitasnya [mesti terjaga]. Indonesia padahal sudah tidak asing lagi dengan [konsep] perikatannya Bali.
Poin penting yang juga aku pelajari di sana adalah bagaimana mencari kembali identitas masyarakat, mencari keterhubungan antara manusia yang menghidupi tempat itu baik itu hutan, laut, atau pun sungai dan sebagainya itu dengan tempat yang mereka tinggali tadi.
Di New Zealand, ada konsep masyarakat adat Maori tentang kait ha ki tanga atau guardianship bahwa alam itu adalah salah satu kewajiban untuk mereka jaga karena [itulah] sumber kehidupan mereka, tempat leluhur mereka, tempat mereka hidup dari sana. Konsep-konsep sederhana itu yang dibuat dalam bentuk praktik-praktik baik yang kayak kita di sini sasi[9] , muro[10]di Lembata, atau rahui[11] di New Zealand.
New Zealand, apapun disepakati dalam forum masyarakat tadi sehingga itu menjadi kekuatan masyarakat. Dan itu tidak datang dari satu pihak. Kelembagaan adat masuk, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pariwisata, tokoh-tokoh apa pun yang ada di wilayah itu mereka duduk dan bicara [bersama]. Jadi, masyarakat turut membangun gerakan untuk membuat solusi bersama, kayak gitu. Dan itu yang kami pelajari di sana, bahwa ternyata solusi yang datang dari masyarakat itu lebih berkelanjutan.
Aku merasa diingatkan untuk sejauh mana, sih, aku benar-benar mengenal masyarakat di wilayahku dan memberikan kesempatan bagi masyarakat di wilayah kelurahan ini, wilayah Larantuka ini, untuk berpartisipasi dan membuat solusi atas sesuatu yang selama ini kami kira masalah, gitu. Kayak bekarang ini adalah masalah menurut kita karena mereka mematahkan karang, kan. Tetapi, kita perlu cek apakah mereka tahu ini masalah atau tidak? Atau mungkin menurut mereka ini bukan masalah? Ini yang akhirnya memberikan saya pelajaran bahwa ternyata tidak boleh membangun konflik dengan masyarakat, tetapi coba mencari solusi bersama masyarakat itu penting.
Saya belajar untuk bagaimana lebih terbuka dengan masyarakat dengan memberikan kesempatan. Masyarakat juga perlu ambil bagian dan perlu didengar dalam forum, meski kami sudah terlanjur berjalan dengan pihak kelurahan sebagai pemerintah lokal. Yang saya pelajari lagi itu, Carlin, pemerintah kan bisa berganti, ya. Lurah sekarang akan ganti dengan lurah yang baru. Saya atau misalnya sebagai organisasi atau NGO, atau siapapun yang datang pun akan berganti atau berubah, pemerintah kabupaten juga akan berganti. Tetapi, masyarakat akan tinggal dan menetap di situ. Jika kita tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk membangun kesadaran baik dari bawah, gerakan itu hanya akan menjadi program semata dan hilang ketika kita tidak ada. Tapi kalau kita bangun kesadaran dari masyarakat, berarti mereka merasa memiliki, dengan melindungi, dengan mengganti tindakan-tindakan yang merusak dengan tindakan apa yang lebih berkelanjutan.”

Carlin: “Jadi, salah satu project-mu adalah menarasikan ulang tentang kota?”
Monik: “Iya, menarasikan praktik-praktik lokal, salah satunya kota tadi. Nanti kita mau coba cari tahu lagi, apakah selain kota ada lagi [praktik lainnya] apa tidak? Karena sekarang masih ada bekasnya, ini mau dicari juga kayak… dulu siapa, sih, yang membangun kota? Sejarahnya bagaimana sampai orang membikin kota? Dan termasuk tadi, narasi bahwa sejarahnya dulu orang bekarang ini apa? Kemarin kita sudah coba diskusi-diskusi kecil soal sejarah kota dari orang yang tua-tua itu. Semoga saja kita bisa di titik mengetahui cerita tentang kota dan kemudian bisa dibagikan ke masyarakat, gitu.”
Carlin: “Kamu setuju bahwa memelihara ekosistem itu juga turut memelihara identitas?”
Monik: “Setuju banget! Aku, tuh, terkagum-kagum ketika orang New Zealand memperkenalkan diri kayak gini: nama saya Monika Bataona. Saya dari Laut Lamalera. Saya dari Gunung Ile Mandiri. Gunung saya Ile Mandiri, laut saya Lamalera, kayak gitu-gitu. Menurut orang New Zealand, identitas itu adalah alam mereka. Alam itu adalah identitas mereka. Mereka memperkenalkan dengan bahasa Maori, tuh, adalah gunung saya di mana, sungai saya di mana, alam saya di mana, laut saya di mana, kayak gitu.
Banyak masalah terjadi karena masyarakat kehilangan identitas tadi. Bahwa sebenarnya mungkin masyarakat itu dulu mereka terlahir di sana, mereka hidup dalam satu desa yang punya identitas kuat kayak di desa adat atau masyarakat adat, tetapi karena banyak pengetahuan [luar/baru] yang datang, dan banyak hal yang mengusik kehidupan mereka, akhirnya mereka berubah.
Ternyata kalau dilihat-lihat, kolonialisme juga sangat mempengaruhi itu, kan. Karena kolonialisme tadi, orang datang menjajah kita, memberi kita pendidikan baru, akhirnya kelokalan kita tadi hilang. Tadinya kita pakai kota, orang [luar] datang bawa pukat, kita rasa pukat lebih baik. Orang datang bawa rumah-rumah ikan yang modern, apartemen ikan, kita pikir itu lebih baik. Padahal, yang lebih baik adalah bagaimana kita merawat ekosistem kita, bagaimana mengambil yang lebih lokal itu. Sesimpel itu. Tapi, mungkin kita sudah terpapar dengan perubahan yang akhirnya mempengaruhi kehidupan kita, mengubah kita.”
Carlin: “Apa yang kamu refleksikan atas kerja-kerjamu, perjumpaan dengan selam dan mungkin di New Zealand, atas dirimu sendiri?”
Monik: “Saya sendiri tidak menyadari identitas saya tentang laut ini. Nenek moyang saya orang pelaut. Saya yang tadinya hobinya cuma di alam, ternyata makin ke sini, saya dibawa untuk… kamu harus berdiri di identitas kamu ini, di laut. Kita punya banyak hal yang perlu kita perjuangkan di laut. Sampai 20-an tahun aku hidup, lalu aku memilih ke laut ini karena memang problematika laut sangat banyak di Flores Timur ini. Kebetulan sekali, saya akhirnya belajar selam, dan menambah beberapa kecakapan tadi mendukung kerja-kerja sekarang. Tidak susah untuk pergi tanam karang karena sudah bisa selam. Jadi, itulah kekuatan yang kadang mau dibilang spiritualitas kayak… semesta itu membuat kita pulang ke jalurnya, kayak gitu. Dan semua isu ini, semua yang saya bilang itu, lebih kuat karena sadar saya berangkat dari situ juga, kan. Saya percaya diri untuk bahas laut karena saya memang tahu kondisi laut Larantuka saat ini dan identitas Larantuka ini adalah yang kita bangun sekarang ini seperti apa, dan dulunya seperti apa kita punya ceritanya juga.
_________
Catatan:
[1] Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia
[2] Kelompok Masyarakat Pengawas. Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang membantu pemerintah dalam upaya penyadaran hukum melalui sosialisasi dan pelaksanaan prinsip 3 M (Melihat/Mendengar, Mencatat, dan Melaporkan).
[3] Mahasiswa Pecinta Alam
[4] Yayasan Misool Baseftin, fokus pada konservasi kelautan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Bagian dari Misool Eco Resort yang berbasis di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
[5] Widlife Conservation Society, organisasi konservasi internasional yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Bekerja di 60 negara di seluruh dunia.
[6] Bahasa Melayu Larantuka untuk menyebut aktivitas menangkap hasil laut seperti ikan, siput, dan kepiting saat air laut surut.
[7] Coenradus Scholastika Bean Duli atau lebih dikenal sebagai Conrad Good Vibration, penyanyi reggae asal Larantuka. Kini lagu-lagunya dirilis melalui label Demajors.
[8] Bahasa Melayu Larantuka untuk menyebut susunan batu yang menyerupai kolam atau leter U untuk menjebak ikan. Ikan itu akan diambil saat air surut.
[9] Tradisi masyarakat lokal pesisir Papua yang menutup suatu area tertentu agar tidak diambil isinya dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
[10] Tradisi masyarakat adat Lembata untuk menjaga laut secara berkelanjutan. Muro mengatur tingkah laku manusia terhadap obyek, mulai dari tata cara perencanaan, pelaksanaan, kewenangan, pengelolaan, pengawasan, distribusi, waktu, sampai sanksi-sanksi yang semuanya dilakukan melalui kesepakatan sosial.
[11] Aturan adat suku Maori yang melarang/membatasi aktivitas di area tertentu untuk melindungi ekosistem.
Editor: Ragil Cahya Maulana