Melihat Ulang Gerakan Seni-Budaya Kita

Sebelumnya, penting saya maklumatkan: tulisan ini tak akan bicara perihal ideal movement, sejarah kelompok, atau manifesto seni-budaya mana pun di Indonesia. Saya tak hendak menelaah tarung bebas Lekra versus Manifes Kebudayaan, gebrak meja Gerakan Seni Rupa Baru, atau pergulatan aktivisme kesenian pasca-Reformasi, apalagi mencari-cari rumusan gera’an kontemporer untuk menumbangkan tirani dan menumpas kedzoliman di bumi Allah ini. Sudah banyak yang memikirkan itu.

Justru, saya tergelitik mempercakapkan gerak seni dan sikap kebudayaan kita secara harfiah. Bagaimana gerak tubuh dan sikap diri kita dalam berkesenian serta berkebudayaan hari ini? Agaknya, perihal yang demikian ini jarang kita pikirkan secara saksama. Barangkali, karena gerak tubuh dan sikap diri tampak biasa, ‘sudah begitu adanya’, dan lantas jadi sepele ketimbang segala fafifu soal ide gerakan.

Padahal, sepanjang pengalaman saya bersinggungan dengan ruang atau peristiwa seni-budaya, gerak dan sikap tubuhlah yang nyata, konkret. Dua hal itulah perkara paling awal yang intens membentuk perasaan dan pikiran saya. Ide-ide, yang konon gentayangan di ruang/peristiwa seni-budaya itu, adalah perkara lain yang terasa dan terpikirkan kemudian, itu pun kalau saya cukup nganggur untuk melakukan penerawangan. Menerawang ide, wacana, dan makna bagi saya agak-agak mirip seperti ritual cek khodam; penuh misteri. Nah, ada baiknya saya ceritakan saja beberapa pengalaman perihal gerak tubuh dan sikap diri ini. Barangkali, Anda juga pernah mengalaminya. 

Di Galeri Itu, Basa-basi Tak Kedengaran Lagi

Sebagai penulis yang punya interes pada fotografi, saya tentu sering berkunjung ke pameran foto. Di antara sekian kunjungan itu, yang sebagian besarnya terjadi di galeri white-cube, saya kerap merasa terasing, aneh, dan kikuk. Pikiran saya seolah terjebak di ruang hampa. Perasaan ini mulanya muncul samar-samar, lalu mengendap, dan sekarang menebal tanpa ampun. Sekarang, saya sudah maklum sejak awal bahwa perasaan itu pasti muncul. Permakluman ini adalah kesadaran mitigasi; seperti minum Antimo sebelum naik bus Sumber Kencono. Dulu, ketika masih cupu, saya pikir perasaan terasing, aneh, dan kikuk itu hanyalah suasana hati orang awam yang kena hantam gempa artistik dan kena gulung tsunami fotografis di galeri. Toh dulu saya memang tak mengerti banyak soal seni fotografi.

Setelah saya melek wacana kontemporer dan bisa cuap-cuap dengan sivitas fotografi pun, perasaan itu toh belum enyah jua. Pengalaman paling aktual terjadi belum lama ini. Pengalaman inilah gong yang membuat saya mudeng kenapa perasaan asing itu senantiasa berulang.

Nun di selatan Yogyakarta, pukul tujuh malam pas, saya tiba di sebuah artspace yang sekaligus jadi mabes tongkrongan batalyon fotografis kota ini (tempat ini punya sejarah panjang dan ‘dihuni’ oleh para perwira seni fotografi kontemporer Indonesia). Saat itu ada pameran kelompok yang baru saja dibuka, situasinya ramai dan meriah. Saya sekadar mampir, tak berniat datang ke sana. Nawaitu utama saya adalah menghadiri pertemuan warga di sebuah desa di Bantul. Dan karena itulah tampilan saya persis seperti bapak-bapak kampung mau ronda: bersarung kelabu, berjaket antiangin warna biru, dan tentu saja berkopiah hitam. Setelan outfit saya jelas sesuai lokasi tujuan, namanya juga mau jumpa warga desa. Tetapi, di hadapan galeri kubus putih bersih nan prestisius yang iseng saya sambangi malam itu; di hadapan riuh rendah percakapan para seniman mancanegara, tampilan saya adalah suatu anomali.

Di tengah keramaian, seorang kurator sohor menyambut saya dengan tatapan heran. Ia seperti melihat penguin di gurun. Saya terpaksa menyalaminya karena rikuh, ia menyambut tangan saya dan tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap dan diam saja. Di pintu galeri, seorang perempuan muda menyambut saya juga dengan menatap dan diam saja. Saat mata kami berjumpa, ia membuang muka. Tak ada senyum di bibirnya.

Sebagai umat Nabi Muhammad yang diajarkan berhusnuzan, saya pikir pameran ini memang dibuka secara losdol. Pengunjung bebas masuk dan langsung menunaikan hajatnya sendiri dengan karya-karya yang ada. Sebab, setelah agak lama mondar-mandir di hadapan karya dan setelah bertubi-tubi ditatap sedemikian rupa, saya makin karib dengan kesendirian dan keterasingan. Tak ada siapa pun di antara saya dan karya, mungkin tak perlu ada. Barangkali memang begitulah rancangan pameran ini, pikir saya.

Tak sampai semenit, pikiran positif saya barusan ambyar. Sepasang pelancong asing masuk galeri. Mereka kasual, wangi, dan casciscus berbahasa Inggris. Tak lama berselang, seorang seniman fotografi kontemporer yang ikut mendirikan artspace ini datang merapat, casciscus dengan si pelancong asing. So, this is your first time coming here? Oh, where are you come from? Oh yea yea, I think you should see this one… Ia membersamai mereka berkelana dari satu karya ke karya lainnya, tanpa diminta. Dari curi-curi dengar, saya cukup yakin mereka tak saling kenal, juga tak terhubung oleh kenalan yang sama. Sebagaimana saya, sepasang pelancong itu murni orang asing yang sekadar mampir.

Saya berdiri kira-kira dua meter dari mereka bertiga, pura-pura khusyuk menatap karya sambil menguping, dan satu-satunya omongan yang diucapkan si seniman kontemporer pada saya adalah, “Misi ya, Mas.” Rupanya keberadaan saya menghalangi pergerakan mereka. Si seniman kontemporer cukup yakin bahwa saya adalah entitas bertelinga dan mengerti bahasa manusia. Seandainya saya pot bunga, ia tentu bisa lewat tanpa perlu repot-repot bilang permisi. Dengan mulut yang gesit menjelaskan ini-itu dan kedua tangan yang bergerak lincah laiknya Rocky Gerung, si seniman kontemporer menempel ketat pergerakan dua pelancong asing tadi. Gerak tubuh itu terus berlangsung bahkan hingga mereka bertiga keluar dari galeri, meninggalkan saya sendiri.

Tak lama berselang, saya pun ke luar galeri, merogoh sebungkus rokok di kantong jaket, dan mengedarkan pandang ke sekitar. Kurator pameran ini dari luar negeri, sibuk meladeni sesi foto bersama para seniman dan koleganya dari Indonesia. Tentu saja mereka casciscus dalam bahasa Inggris, dan oh where are you come from terdengar lebih sering dari jumlah kumandang azan sehari-semalam. Tak ada satu pun pertanyaan where are you come from yang ditujukan pada saya. Lagipula, siapalah saya?

Tak jauh dari tempat saya berdiri, seorang pria muda terlihat duduk sendiri. Ia berbagi meja dengan tiga orang lain yang khusyuk bertukar cakap. Sebatang rokok yang belum menyala menyelip di sela bibir pria muda itu, tangannya keluar-masuk saku kemeja dan celana. Saya duduk di sebelahnya sambil menawari korek. Rokok menyala. Tangan berjabat. Kami berbincang, tubuh kami sama-sama menyerong, mata kami saling berjumpa. Ia bilang sudah hampir sejam duduk sendiri.

“Tadi ketemu atau ngobrol sama siapa?” tanya saya.

“Ya nggak ada, Mas. Aku, kan, bukan siapa-siapa.” Singkat, padat, nyelekit.

Istilah bukan siapa-siapa itu menggema di kepala saya beberapa hari setelahnya, dalam sebuah peristiwa lain di tempat lain. Pada suatu sore di akhir pekan, serombongan jamaah walking tour mengunjungi beberapa galeri untuk merayakan ‘lebaran seni’ di Yogyakarta, saya ikut sebagai peserta. Di satu galeri, jamaah tur ini sempat ditolak masuk pameran. “Maaf, pamerannya masih akan dibuka besok,” jelas seorang pengelola galeri yang bersiaga di pintu masuk. Di dalam galeri, beberapa lukisan telah terpajang, sebagian lainnya memang masih terbungkus dan teronggok. Beberapa jam sebelumnya, sebuah majelis taklim kolektor seni sudah asyik-masyuk berfoto-ria di pameran setengah matang itu. Saya tau karena melihat foto-foto mereka dari fitur cerita Instagram. Sore itu saya juga tau bahwa, bagi galeri kubus putih tertentu, para pengunjung tidaklah sama. Kolektor adalah pengunjung istimewa, bisa punya akses khusus. Sebab, merekalah sebenarnya audiens yang jadi target utama galeri. Mahasiswa dan pekerja serabutan seperti saya adalah pengunjung biasa, yang bukan siapa-siapa, aksesnya jelas terbatas. Ini sebenarnya sah-sah saja mengingat kepentingan kami dan para kolektor itu jauh berbeda. Justru karena demikian, perbedaan sikap galeri terhadap kami dan mereka itu nyata adanya. Tapi, bukankah kita semua sama-sama manusia?

Kedigdayaan Kelas dan Hantu-hantu Estetika

Perihal perbedaan gerak tubuh dan sikap diri itu tampaknya sudah kadung lazim. Contoh paling terang bisa kita lihat di festival atau art fair kelas kakap. Di gelaran akbar nan adiluhung semacam itu, hadirin dari kalangan selebritas dan tokoh papan atas biasanya akan ditemani langsung oleh kurator atau direktur artistik. Minimal, mereka didampingi tim dokumentasi dalam sebuah sesi tur khusus yang steril dari keramaian. Sepertinya ada tata kelola yang ndak bener kalau ‘orang-orang penting’ itu dibiarkan berkeliaran begitu saja kayak ayam umbaran. Sementara itu, para gallery sitter-nya dilatih mengawasi pergerakan khalayak umum, memastikan ‘orang-orang biasa’ ini cukup ber-selfie ria dan tidak melakukan perbuatan tercela yang bisa mencederai karya seni. Entah karena mengikuti juknis atau karena senewen diupah murah, para gallery sitter itu kadang hanya bicara seperlunya dengan pengunjung. Kecil kemungkinan khalayak umum bisa bincang langsung secara lepas dengan kurator atau seniman. Agaknya, sikap yang jauh lebih ramah memang hanya ditujukan pada kalangan elit. Harus diakui, sekali lagi, ada elitisme dalam gerak tubuh dan sikap diri insan seni-budaya kita, terutama yang sudah mapan secara materiil-intelektuil-spirituil.

Meski begitu, saya juga mengakui adanya gerak tubuh dan sikap diri lain yang tak pandang bulu. Ada banyak tokoh seni-budaya yang dicintai ummat karena sikapnya sedemikian ramah kepada semua orang, tak peduli siapa—saya kenal beberapa di antaranya. Tapi, yang demikian itu tampaknya masih kalah banyak dibanding pengidap elitisme. Gerak dan sikap tak pandang bulu pun terasa begitu spesial karena yang lazim terjadi adalah sebaliknya. Kita, misalnya, gampang bungah ketika diajak ngobrol ngalor-ngidul oleh tokoh top global ya karena pada umumnya tokoh hanya mau ngobrol dengan sesama tokoh.

Sejauh yang saya lihat dan alami, elitisme insan seni-budaya seperti itu mewabah di perkotaan atau setidaknya di tempat-tempat berkultur urban-pusat. Itu bisa terjadi, barangkali, karena kota telah menjelma panggung akbar bagi pentas segregasi kelas. Di panggung akbar itu, elit-elit urban kelas atas punya kepentingan untuk selalu tampil sebagai tokoh utama. Hanya kepada merekalah lampu sorot kemakmuran harus tertuju; merekalah penguasa panggung. Sementara itu, warga kelas menengah ke bawah adalah pelengkap dan figuran belaka. Mereka boleh berusaha sampai mampus untuk naik kelas, untuk jadi tokoh utama, tetapi tentu saja tak semuanya bisa. Elitisme adalah garis batas yang membedakan sang tokoh utama dari para figuran. Tanpa garis batas itu, semua lapis kelas adalah tokoh utama dan penguasa panggung; itu artinya para elit kelas atas tak lagi istimewa. Itulah kenapa di panggung akbar itu mereka perlu terus-menerus mempertegas garis batas. Sejauh ini, seni-budaya adalah cara paling sedap untuk mempertegas garis batas elitisme itu.

Di kota-kota besar, terutama di Jawa, ruang dan peristiwa seni-budaya menggerakkan publik dengan intensi sedemikian elitis. Berbagai acara seni-budaya urban digelar dengan hasrat mendatangkan pengunjung dan penonton. Hasrat itu sedemikian vulgar, kita bisa melihatnya bugil dalam publikasi angka-angka penanda kesuksesan: pameran/festival ini telah didatangi sekian ribu pengunjung, pertunjukan/film/konser ini sudah ditonton sekian juta orang. Tak sulit menemukan rilis resmi semacam itu di media sosial. Minimal, hitungan pengunjung atau penonton itu gentayangan di proposal dan laporan pertanggungjawaban. Bila angka-angka itu begitu lesu, penyelenggara acara bisa merasa gagal; itu artinya cakupan pengaruh mereka ke publik sedemikian kecil. Tapi, apa sebenarnya yang membuat angka-angka itu begitu penting? Ini barangkali jarang kita sadari: di balik angka-angka itu, gerak tubuh publik menjelma gerak akumulasi modal-kapital para elit. Publik digerakkan sebanyak mungkin untuk meneguhkan kedigdayaan kelas para elit dalam masyarakat. Elit ini bisa para seniman, intelektuil, akademisi, politisi, aparatus negara, atau para bohir yang berhasrat melegitimasi kekayaan dan kekuasaannya dengan modal simbolik.

Thorstein Veblen adalah nama yang paling awal menjelaskan hasrat elit semacam itu. Dalam kitabnya yang telah jadi klasik, The Theory of the Leisure Class (1899), Veblen memaparkan bagaimana para bangsawan sejak Abad Pertengahan hingga era modern senantiasa memamerkan kemewahan untuk mengesahkan status mereka sebagai kelas atas. Wujud kemewahan itu di antaranya adalah istana megah, patung gigantik, lukisan, dan waktu luang untuk berkesenian. Tesis Veblen ini digoreng lebih garing lagi oleh Pierre Bourdieu dalam sebuah bukunya yang terbit pada 1984, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Sejak 1963 hingga 1968, ketika meriset basis kebudayaan Prancis untuk menulis Distinction, Bourdieu mulai melihat bagaimana modal simbolik bekerja. Bagi ulama sosiologi asal Paris itu, modal simbolik seperti ruang, peristiwa, dan bahkan karya seni-budaya terbukti ampuh mendongkrak serta meneguhkan marwah seseorang dalam kelompok sosial. Semakin dahsyat jumlah orang yang menatap dan mengakui modal simbolik Anda, semakin mapan pula posisi Anda sebagai elit.

Hasrat elit tadi diam-diam juga membuat cara pandang publik jadi elitis. Inilah wujud kesuksesan elitisme dalam konteks seni-budaya: publik jadi kesurupan perspektif artistik dan kepentingan kulturalnya para elit. Publik, misalnya, tampak kadung percaya bahwa seni dan kebudayaan itu punya batas-batas tegas, hanya ada di ruang dan peristiwa tertentu, serta tidak untuk semua orang. Medan seni-budaya dibayangkan persis serupa mabes bataylon tempur militer: tak bisa dan memang tak boleh dimasuki sembarangan orang. Konsekuensinya, publik punya cara pandang kategorial sekaligus hitam-putih dalam melihat mana yang gerak seni-budaya dan mana yang bukan.

Dalam benak publik, gerak performatif yang memuat dan hendak mengungkapkan ‘sesuatu’, seperti melukis, membuat patung, menari, dan menyanyi adalah gerak tubuh kesenian. Memasak, makan, mencuci piring, mencuci sempak, dan gerak tubuh keseharian—yang fungsional belaka—ada di luar garis batas seni, semua itu bukan kesenian. Hanya seniman, apalagi seniman profesional, yang bisa melakukan gerak performatif secara kafah. Dan hanya orang-orang terpilih yang bisa mengerti arti gerak tubuh kesenian itu. Sama halnya dengan kebudayaan, ia hanyalah sekumpulan sesuatu dari masa silam yang kadung sakral dan perlu dipertahankan hingga akhir zaman. Sebab kalau tidak, kehidupan bisa morat-marit dan azab Allah akan turun. Dinas kebudayaan milik pemerintah bekerja untuk memastikan tragedi semacam itu tak terjadi. Perkara buang sampah sembarangan atau naik motor sambil merokok, apalagi urusan pangan dan agraria, bukanlah wilayah kebudayaan. Perkara-perkara barusan tidak sesakral upacara adat, prasasti, atau bahkan dinasti. Inilah cara kita, sikap kita, dalam melihat seni-budaya hari ini.

Mudah saja untuk mengecek sikap itu. Kita bisa cek peristiwa seni di level RT saat agustusan, biasanya akan marak lomba-lomba yang hadiahnya diberikan di malam puncak. Biasanya pula, malam puncak itu dimeriahkan oleh pentas seni atau kirab budaya. Nomenklatur acara itu sudah cukup menunjukkan bahwa, dalam benak publik, gerak tubuh di lomba-lomba agustusan bukanlah gerak kesenian apalagi kebudayaan. Gerak tubuh seni-budaya mestilah performatif-figuratif, dipentaskan, harus latihan dulu, harus tertata, harus bagus-indah-menarik, dan tak mungkin ‘terjadi begitu saja’. Kerja bakti menghias kampung pun tak terlihat sebagai gerak kesenian. Padahal, warga mengecat gapura, melukisi dinding gang, dan memasang instalasi umbul-umbul dengan intensi estetis untuk membuat kampung jadi ‘lebih indah’. Warga pun sengaja melakukannya bergotong-royong dengan penuh canda-tawa karena itulah cultural virtue mereka; dengan cara itu warga merekognisi dan merevitalisasi nilai-nilai sosial-budaya mereka sebagai komunitas. Artinya, dalam kerja bakti agustusan itu, ada darah estetika dan napas budaya yang menggerakkan tubuh warga. Masalahnya, menurut nalar elitisme, kerja bakti tak masuk dalam batas kategori seni-budaya; terlalu ‘biasa’, sama sekali tidak ‘wah’. Maka, gerak tubuh warga yang ‘biasa’ dan tidak ‘wah’ itu bukanlah kesenian dan bukan pula kebudayaan. Nalar seperti ini tampaknya sudah menubuh sebagai sikap sosial. Anda boleh iseng tanya ke tetangga: apakah senam aerobik itu setara dengan tarian keraton? Kita semua bisa menebak jawabannya, bukan?

Selain jadi sikap sosial, cara pandang kategorial dan hitam-putih itu juga terlembaga secara akademik. Anda bisa kunjungi semua institusi pendidikan seni di Indonesia, adakah yang secara khusus mengajarkan las karbit knalpot sebagai praktik kesenian? Adakah jurusan dengan studi setel karbu di sana? Saya berani taruhan potong kuku kalau ada. Modifikasi motor racing bahkan belum masuk dalam nalar pedagogi seni terapan sekalipun. Seni terapan sendiri kerap dianggap ‘kelas dua’ karena menghasilkan produk pasaran nan picisan. Derajatnya berada di bawah seni performatif seperti melukis, menggambar, menyanyi, atau menari—yang prodinya bisa mudah Anda temui di institut seni dari Aceh hingga Papua. Artinya, sejak dalam kandungan institusi pendidikan, insan seni kita dikondisikan untuk melihat gerak performatif sebagai satu-satunya gerak tubuh kesenian yang sah. Tak bisakah gerak fungsional sekaligus jadi performatif?

Konon, kesenian—dan kebudayaan yang lebih luas—muskil mewujud dalam gerak tubuh fungsional karena ia nirmakna, tak mengandung ide. Seorang kawan pernah bersabda begini: “Bedanya lukisan maestro dari ukiran tukang mebel adalah yang pertama dibuat dengan pikiran dan perasaan sedangkan yang kedua dibuat cuma pakai otot.” Mendengar itu, saya langsung terbayang seorang tukang mebel berkucur keringat mengukir kosen, di kepalanya pikiran soal utang bertumpuk-sesak, dadanya penuh resah soal uang sekolah anak yang masih entah. Andai pun yang saya bayangkan benar-benar terjadi, kenapa perkara utang dan uang sekolah anak, atau urusan sehari-hari lainnya, tak cukup sah disebut ‘pikiran dan perasaan’? Apakah keduanya tak layak disebut ‘ide’ di balik gerak? Apakah mengukir kosen untuk menafkahi keluarga bukan gerak yang bermakna?

Suatu waktu, saya dan seorang kawan lain, yang kebetulan adalah pelukis, pernah termenung menatap undakan sawah terasering di Kaliurang. Cahaya sore keemasan menyirami lanskap yang kami tatap. “Indah,” gumam kawan saya. “Bagus ini kalau dilukis, mooi indie banget,” tambahnya. Ia barangkali hanya berseloroh, tapi saya jadi terpikir sungguh: lanskap sawah dan galengan pada struktur teraseringnya adalah keindahan yang justru dibuat oleh gerak tubuh fungsional. Petani menggarap lahan jadi sawah murni karena butuh makan dan uang. Bukankah itu juga ‘ide’—bahkan yang paling murni? Tidakkah mengelola sawah juga butuh ‘pikiran dan perasaan’? Dan apakah bertani itu tak bermakna? Anda yang tinggal di pesisir bisa melihat perahu nelayan dan merenungkan pertanyaan-pertanyaan serupa.

Saya curiga, jangan-jangan ide dan makna yang sering disebut-sebut terutama dalam kesenian hari ini sebenarnya adalah wujud kritisisme. Sebab, tampaknya, ide yang sah lahir dari pertanyaan-pertanyaan kritis dan bukan sekadar respons sambil lalu atas kenyataan. Konsekuensinya, gerak performatif punya makna sebagai ikhtiar kritis untuk menyingkap tabir misteri kenyataan. Dan hanya gerak performatiflah yang bermakna, lain tidak. Kecurigaan saya berjangkar pada sebuah gejala kontemporer bernama riset arstistik. Sebetulnya, apa yang disebut ‘riset artistik’ hari-hari ini adalah riset intelektuil dan pendalaman wacana tematik untuk penciptaan karya seni. Hari ini, di kota-kota besar, ada begitu banyak program inkubasi dan residensi yang secara sistematis mendorong riset artistik bagi seniman muda. Mereka melakukan kunjungan-kunjungan, mencatat, merekam, mempertanyakan ini dan itu, berdiskusi secara serius, lalu mengolah semua itu menjadi presentasi karya. Saya sendiri ‘lahir’ dari rahim program semacam itu. Di sana, pertanyaan-pertanyaan kritis jadi sangat penting; kerja berpikir kritis adalah yang utama, sensasi tubuh dan impresi emosi nyaris tak berarti. Jika kecurigaan saya tadi benar adanya, maka kritisisme sudah serupa patung yang dulu digodam Ibrahim.

Pemujaan kritisisme sebagai berhala seni-budaya itu boleh jadi berakar pada watak modernisme. Yasraf Amir Piliang, dalam Transestetika I: Seni dan Simulasi Realitas (2022), punya pernyataan menarik soal ini. Di halaman 39, Yasraf menyebut cara kerja estetika modernisme, “Bersandar pada kemampuan kognitif dan pikiran jenius untuk menghasilkan ide dan gagasan-gagasan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.” Bagi Yasraf, dorongan menghasilkan ide adalah hasrat kognitif manusia modern untuk menempuh progresi dan invensi, merengkuh kemajuan dan kebaruan. Ini sebenarnya wajar belaka, mengingat manusia punya fitur alamiah bernama jemu. Itulah kenapa kita bergerak mencari dan merumuskan gagasan-gagasan baru; itulah asal-usul ke-modern-an kita. Tetapi, tatkala kebaruan menjadi niscaya, ketika hasrat modern menjelma modernisme, gagasan jadi muskil mewujud dalam gerak keseharian yang serba repetitif. Gerak fungsional yang berulang tak masuk dalam kerangka kerja estetika modernisme.

Gerak tubuh fungsional, gerak keseharian publik, bisa bernilai seni-budaya ketika diekstraksi dan dikonversi ke dalam modus performa. Dan biasanya, selama ini, para elitlah yang istikamah melakukan itu. Gerak tubuh petani di sawah atau pedagang di pasar jadi bernilai seni ketika ditatap pelukis, diolah jadi karya ke dalam kanvas, lalu karya itu dipajang di ruang bernama galeri atau pameran seni rupa. Gerak kaki nelayan bernilai artistik ketika penari mengolahnya menjadi koreografi dalam pentas bertiket. Melalui modus performa, gerak keseharian jadi punya esensi yang bisa dipercakapkan sebagai modal kultural. Tetapi, itu artinya gerak keseharian publik perlu dipreteli dan disetel ulang dulu kategorinya menggunakan takaran pikiran para elit. Dengan kata lain, bukan petani, pedagang, atau nelayan sendiri yang membuat gerak keseharian mereka bernilai seni-budaya. Sebab, dalam nalar elitisme, mereka itu sekadar pelaku, bukan pemikir. Hanya para elitlah yang bisa berpikir.

Objek keseharian pun baru bernilai seni-budaya ketika dibawa seniman masuk galeri atau museum. Fountain-nya Marcel Duchamp adalah preseden paling top untuk ini. Tempat kencing berbahan porselen yang ia setor ke Society of Independent Artists pada 1917 silam bahkan dicatat sejarah sebagai monumen penting seni avant-garde abad 20, yang kemudian menyumbang wacana artistik soal readymade object. 46 tahun sebelum Duchamp bikin geger dunia persilatan seni rupa, Koloniaal Museum dibuka di Haarlem, Belanda. Inilah cikal bakal Tropenmuseum yang kesohor itu. Koleksi awal museum ini adalah benda-benda keseharian dari tanah jajahan. Para etnolog dan arkeolog mengangkut bahan tekstil, perkakas pertanian, dan artefak vernakular semacam itu ke Belanda, menjebloskannya ke dalam kerja kuratorial Koloniaal Museum, lalu memamerkannya sebagai representasi kultural masyarakat tanah jajahan. Baik Koloniaal Museum maupun Duchamp, dengan nawaitunya masing-masing, sama-sama menggunakan otoritas elitis mereka untuk memberi nilai seni-budaya pada objek keseharian. Harus jadi pihak sekaliber Koloniaal Museum dan Duchamp untuk melekatkan ide pada benda-benda biasa.

Selain itu, dalam kerja performatif, seniman menggunakan estetika sebagai perkakas artistik untuk mengungkap dan mempercakapkan ide, tentu saja melalui perantara karya. Persoalannya, estetika juga tak bebas dari wabah elitisme. Seniman yang lengket-erat dengan ruang atau peristiwa seni-budaya elitis cenderung punya corak estetika yang juga elitis. Di tangan mereka, estetika bisa tampak seperti tuyul pesugihan yang dimasukkan ke dalam botol kaca bernama karya—konon hanya orang-orang pintar yang dapat melihatnya. Estetika elitis, sebagaimana nama lainnya: high art, memang tidak untuk semua orang. Ia adalah perkakas artistik bagi orang-orang yang ingin jadi elit; ia juga kerangka artistik yang dinikmati untuk kepentingan para elit. Estetika elitis bekerja berdasarkan modal pengetahuan, bahasa, bentuk, selera, dan tentu saja gerak tubuh para elit. Semua modal itu tidak hanya meresap pada bentuk karya, melainkan juga pada tata ruang dan watak gerak dalam peristiwa. Saat saya sarungan ke pameran seni bermazhab estetika elitis, wajar saja bila saya merasa terasing dan tak diperlakukan sebagai manusia yang setara. Peristiwa, ruang, karya, dan tentu saja estetikanya memang bukan untuk warga biasa seperti saya. Di mata khalayak umum, estetika semacam itu gaib dan gelap, seperti hantu-hantu penunggu sumur tua. Bagi publik, estetika high art itu sesuatu yang konon; katanya sih ada tetapi tak terlihat dan tak pula terpahami. Butuh penerawangan batin menggunakan perangkat azimat teori Barat untuk memahami estetika yang gaib itu. Tapi, toh hari-hari ini publik juga tak merasa perlu memahami estetika semacam itu; yang penting sanggup bayar tiket, terpukau, lalu foto-foto buat dipajang di status WhatsApp, beres.

Estetika elitis menjadi pembatas antara seniman dan bukan-seniman, antara seni dan bukan-seni. Dalam paradigma estetika semacam ini, pelukis dan aktor teater itu seniman sedangkan petani dan kader Posyandu bukan-seniman; apa yang dikerjakan kelompok tari adalah seni sedangkan gerak kelompok tani bukan-seni. Estetika elitis menahbiskan otoritas gerak dan sikap seniman, membaptis seniman sebagai insan unggul-adiluhung yang punya kecakapan kognitif untuk men-syiar-kan makna kehidupan buat khalayak luas—padahal aslinya buat yang tau-tau aja. Estetika yang terjangkit elitisme justru meliyankan publik sebagai objek seni-budaya semata; tak jarang publik hanya menjadi objek tatapan dan bahan baku ide bagi seniman.

Padahal, sebagai subjek, publik bisa punya ide-idenya sendiri. Gerak fungsional publik sejatinya mengandung ide yang berjangkar pada hidup keseharian. Dan karena hidup niscaya membawa kita pada kelokan nasib yang tak tertebak, ide-ide itu pun terus berkembang dari hari ke hari. Di balik gerak keseharian publik yang tampak repetitif itu, berlangsung sebuah produksi pengetahuan yang lazim disebut siasat. Ini terjadi dalam perjumpaan dan percakapan yang tampak organik, juga seringkali tampak sekenanya. Di sini, estetika menjelma jadi kinerja penyintasan; kesenian dan kebudayaan maujud dalam gerak menyambung hidup dari satu masa ke masa berikutnya, dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Lagipula, insan seni-budaya mana pun sebenarnya hidup dari gerak keseharian publik. Seniman, kurator, dan penulis top global sekalipun makan dari hasil gerak tubuh petani, nelayan, pedagang pasar, dan jurumasak. Acara dan program kebudayaan pemerintah bisa berlangsung karena ada gerak tubuh tukang, petugas listrik, sopir, dan juruparkir. Tak bisakah gerak keseharian publik kita lihat sebagai bagian dari gerakan seni-budaya? Tak mungkinkah seni-budaya melebar dan melebur dalam sikap hidup kita? Ah, betapa.

Editor: Margareth Ratih Fernandez

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Selasa, Maret 25th