Melihat SIASAT dari Dekat

“Hidup adalah sekumpulan siasat tak berkesudahan,” ujar seorang pedagang buku yang bersahabat dengan lapar. Ia mengatakan itu pada suatu masa yang belum terlalu silam, di sebuah warung kopi murah di Sorowajan, tentu saja saat kami bersua. Saya mengingat kata-kata itu dalam perjalanan menuju Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, 27 Januari lalu, dalam rangka menyaksikan pameran kelompok bertajuk SIASAT. Hari itu adalah hari terakhir pameran, saya bergegas sepanjang jalan.

Dikuratori Dyah Soemarno dan Dimaz Maulana, SIASAT melibatkan tujuh seniman. “Tujuh karya yang ditampilkan dalam pameran ini merupakan hasil penelitian artistik terhadap fenomena-fenomena personal dan/atau struktural yang dialami oleh masing-masing seniman,” demikianlah teks kuratorialnya berbunyi.

Fenomena-fenomena semacam apa yang hendak dibicarakan dan dilihat sebagai siasat? Bagaimana fenomena-fenomena itu ditelisik secara artistik oleh para seniman? Dan apa yang bisa kita pelajari dari “hasil penelitian artistik” ini? Anda sekalian yang tak hadir ke Cemeti bisa menggunakan catatan ini sebagai semacam pintu ajaib Doraemon; semoga catatan ini bisa cukup membawa imajinasi anda ke pameran dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.

Namun, sebelum menjelajahi pameran, saya musti menepi dulu di parkiran. Kunci motor saya ternyata raib, jatuh di jalan—lubang kuncinya memang sudah dol. Tidak jauh dari poster dinding yang berisi teks kuratorial SIASAT, saya khusyuk memikirkan siasat bagaimana mematikan motor tanpa kunci. Untungnya, saya membawa pisau lipat. Meski butuh usaha ekstra dan sedikit paksaan, pisau lipat ternyata bisa jadi siasat yang tepat, meski siasat ini membuat saya tampak seperti pelaku curanmor. Beres menyiasati motor, saya segera masuk pameran.

Di serambi Cemeti, sebuah tirai hitam menyambut saya. Tirai itu tipis, tapi tampak berlapis, dan ada yang samar-samar ‘memanggil’ di baliknya. Ada sesuatu di sana, di balik misteri. Sesuatu itu serasa mengundang saya untuk mendekat, sekaligus membuat saya waswas. Ini sebuah entrance experience yang ganjil tapi menggoda.

Tirai hitam itu ternyata membentuk ruang. Untuk masuk, tirai itu tidak disibak, ia membentuk semacam jalur berputar—seperti labirin. Menyusuri jalur tirai itu, saya serasa melangkah ke alam lain, atau ke situasi kelam yang ujungnya entah. Jalur itu mengantar saya pada semacam ruang persegi dengan kerakal putih terhampar di lantai. Ruangan yang terasa jembar dan cerah, sekaligus diselimuti tabir kenestapaan. Di tengah ruang, semacam obelisk kaca asimetris seukuran manusia berdiri tegak lurus dengan langit, sebuah kain putih menutupi bagian atasnya. Pada permukaan obelisk itu kita dapat bercermin.

Saya tertegun agak lama, melihat pantulan diri sendiri di cermin obelisk, tentu saja sambil membiarkan diri-badan ini menghayati seluruh sensasi artistik yang muncul. Karya instalasi ini secara magis meniupkan perasaan-perasaan serba mendua ke dalam dada: harapan dan kecemasan muncul dalam satu tarikan napas, kemuraman yang lirih dan kebahagiaan yang kalem terasa bersamaan.

Di depan cermin obelisk, melihat diri sendiri, saya menangkap kejelasan sekaligus merasakan hal-hal samar yang tak terbahasakan. Sayangnya, saat itu, saya tidak menemukan teks deskripsi karya ini; jadi, saya tidak tau ini persisnya karya siapa dan tentang apa. Hubungan karya ini dengan siasat juga belum saya pahami betul. Tapi, itu bisa diusut nanti. Sementara, saya menyebut karya pertama ini sebagai Zona Misteri.

Beranjak dari Zona Misteri, saya berjumpa karya Dian Suci. Kali ini, saya lebih dulu membaca teks deskripsinya, yang tertempel di dinding persis di depan karya. Saya menahan napas saat membaca judul karya Dian: Do You Not Feel A Thrill Passing Through The Air as The Words of Wisdom Float From The Faraway Shore? Meski judulnya terdengar puitis dan sangat personal, karya Dian sebenarnya mau bicara persoalan politis, perkara struktural!

Ia merespons fenomena buruh rumahan, terutama dalam konteks bisnis fesyen dan/atau life style yang dimiliki pebisnis asing di Bali. Para pebisnis asing itu kerap menggunakan klaim-klaim pemberdayaan dan ramah lingkungan sebagai senjata pemasaran. Melalui karyanya, Dian hendak mempertanyakan keseimbangan antara klaim-klaim itu dengan kenyataan kerja yang dilakoni para buruh rumahan.

Membayangkan buruh rumahan dari balik ‘tembok’ Dian Suci. Dokumentasi Pribadi.

Menurut teks deskripsi, karya instalasi Dian berbahan: “Kain 100% sutra dicelup menggunakan pewarna alam secang, teh, dan kulit bawang bombai.” Kain itu dijahit sedemikian rupa membentuk struktur tembok bata, lalu digantung ke langit-langit; saya melihatnya melayang-layang dibelai angin.

Beberapa kata, yang dibentuk dari lembar-lembar akrilik, tampak muncul samar-samar pada tembok tembus pandang itu, saya berusaha membacanya dari berbagai sudut. Dari sekian kata, mata saya hanya berhasil menangkap: Sustainable, Ethical, Empowerment, dan Collaboration. Di hadapan karya Dian, saya tidak merasakan apa-apa. Karya ini justru membuat saya berpikir keras.

Saya bisa paham kenapa Dian menggunakan sutra, tapi kenapa harus berbentuk tembok bata? Pertanyaan itu langsung menerbangkan imajinasi saya ke Bali. Angkul-angkul tradisional Bali lazim menggunakan bata merah, juga batu alam, sebagai bahan temboknya.

Saya membayangkan, di balik tembok angkul-angkul itu, buruh tekstil rumahan menerima orderan, mewarnai kain dengan bahan-bahan alami, menjahitnya secara telaten; mereka mengolah bahan untuk jenama-jenama fesyen ramah lingkungan berpasar mancanegara. Di balik tembok rumah-rumah warga, aktivitas produksi terjadi!

Ketika saya memikirkan ini, kebetulan ada tukang-tukang yang sedang bekerja di Cemeti, mereka tampak seliweran di balik karya Dian. Melihat mereka, tatapan saya seolah menerobos tembok, menembus batas. Saya membayangkan tukang-tukang itu sebagai buruh rumahan. Apakah para pebisnis asing itu pernah membayangkan: seandainya tembok-tembok rumah buruh mereka tembus pandang, apa yang akan mereka lihat? Dinamika semacam apa yang persisnya terjadi di balik tembok-tembok produksi rumahan?

Karena aktivitas produksi itu berada di balik tembok rumah, di ruang personal, buruh rumahan kerap tak mendapatkan hak-hak struktural mereka, seperti: kontrak kerja, alat produksi yang memadai, dan jaminan kesehatan (ini tertulis dalam teks deskripsi karya). Padahal, dalam sebuah laporan yang diterbitkan Fair Wear Foundation pada 2019, King Oey dan Siska Widya Eswara menyebut jumlah orderan serta beban kerja buruh garmen rumahan di Bali bisa sama besarnya seperti yang diterima buruh pabrik.

Ah, persoalan buruh rumahan ini terasa dekat sekali. Sebagai editor dan penulis lepas, saya juga bekerja dari rumah, menggunakan alat produksi yang saya biayai sendiri, dan tentu saja juga mengurus jaminan kesehatan diri sendiri. Semisal laptop saya meledak atau saya tipes di tengah-tengah kerja, penerbit hanya akan berbelasungkawa. Kontrak dengan penerbit biasanya hanya berurusan dengan dua hal: honor dan tenggat, tiada lain. Banyak pekerja kreatif lainnya menerima situasi semacam ini sebagai keniscayaan, pada akhirnya.

Baik pekerja maupun pemberi kerja sama-sama bergelut dengan siasat. Yang satu bersiasat menjual tenaga, ide, dan waktu; pihak lainnya bersiasat menekan ongkos sekaligus mendongkrak laba. Pada hubungan niaga yang tampak wajar itu, kedua belah pihak sebenarnya berada dalam tegangan politis terus-menerus. Dan dalam tegangan itu, kita bisa melihat bagaimana relasi kuasa bekerja menggunakan selubung identitas, kebudayaan, dan tentu saja modal kapital. Yang punya kuasa lebih bisa menentukan harga dan metode kerja.

Namun, bagaimana persisnya relasi kuasa itu bekerja dalam konteks bisnis fesyen dan life style di Bali? Dan kenapa pula sebenarnya Dian menaruh atensi artistiknya pada isu ini? Nah, jawaban soal itu tidak saya temukan pada karya. Mungkin perlu saya tanyakan langsung pada Dian bilamana ada kesempatan ngopi-ngopi, nanti.

Bergeser dari karya Dian, saya masuk lebih dalam ke ruang pamer. Ada empat karya di sana, dan semuanya seolah berebut minta dilihat. Karya Mother Bank tentu saja paling menyita perhatian saya. Tapi, sebelum mengunjunginya, saya mampir dulu ke karya Alfiah Rahdini dan Octo Cornellius. Alfiah membuat sebuah patung fiber perempuan berhijab yang cosplay sebagai Sailor Moon, patung ini dipamerkan di beberapa area di Kota Bandung. Alfiah merekam berbagai respons masyarakat atas kehadiran patung itu, video rekaman inilah yang ditampilkan di Cemeti. Keseluruhan karya Alfiah sendiri dijuduli Sailor Moonah.

Sailor Moonah. Dokumentasi Pribadi

Sementara itu, Octo bermain-main dengan material bata merah dan kayu. Karyanya tampak seperti display mainan anak-anak, hanya saja ‘mainan’ ini punya bentuk eksperimental. Ada yang tampak berbentuk perahu dan rumah, lainnya berbentuk entah. Octo menjuduli karyanya Tegak Di Antara yang Tunduk.

Tegak di Antara yang Tunduk, karya Octo Cornellius. Dokumentasi Pribadi.

Karya Alfiah dan Octo membuat saya berpikir—meski tidak terlalu keras. Teks deskripsi dua karya ini sangat membantu memberi konteks. Dengan patungnya, Alfiah hendak merekam siasat yang muncul dari perjumpaan antara tradisi dan modernitas, antara Yang Lokal dan Yang Global, atau bahkan antara Yang Profan dan Yang Sakral. Siasat tidak hanya meredam ketegangan dalam perjumpaan-perjumpaan itu, tetapi juga mampu melebur segala yang berjumpa.

Patung Sailor Moon berhijab adalah imaji atas peleburan itu. Bagi karya Octo, Sailor Moonah adalah siasat dalam bentuk jadi. Octo melihat siasat sebagai jalan panjang pencarian bentuk, dan pada jalan panjang itu kita menemukan serta merancang siasat dalam bentuk-bentuk tak sempurna. Ada bentuk-bentuk siasat yang terus tegak, yang terus disempurnakan, ada pula yang tunduk pada kegagalan.

Alfiah dan Octo sama-sama menampilkan siasat sebagai sesuatu yang playful. Bentuk-bentuk siasat bisa diikhtiarkan melalui modus akal-akalan, eksperimen berbasis main-main dan coba-coba, seperti ketika saya mencoba pisau lipat sebagai pengganti kunci motor yang hilang. Namun, modus akal-akalan itu bisa juga punya implikasi serius; seperti ketika seorang paman mengakali konstitusi agar ponakannya bisa jadi cawapres.

Nah, sekarang mari kita geser ke Mother Bank.

Saya mengenal mereka sebagai kelompok musik keramik yang kerennya kebangetan. Anda mungkin akan punya kesimpulan serupa pabila mendengar lagu-lagu mereka di Spotify. Tapi, Mother Bank sebenarnya adalah platform artistik yang dibentuk oleh Badan Kajian Pertanahan di Jatiwangi, Majalengka, dengan pemberdayaan dan pendidikan perempuan sebagai nafas gera’an-nya. Selain bermusik, mereka juga mengelola bank keliling, kebun serta pasar kolektif, dan kini mereka berpameran sebagai kolektif seni. Sebuah gera’an yang multitalenta.

Dalam SIASAT, karya instalasi mereka dijuduli Jagongan Dana Desa, berbentuk semacam replika situasi Musdesus (Musyawarah Desa Khusus). Melalui karyanya, mereka hendak mengintervensi Musdesus untuk, “Mencangkokkan sistem bank eksperimental yang dijalankan oleh Mother Bank selama ini ke dalam skema dana desa.”

Jagongan Dana Desa. Dokumentasi Pribadi

Semacam gapura yang terbuat dari susunan bata merah menyambut saya, sebuah spanduk hitam dengan tulisan “JAGONGAN DANA DESA” membentang di atasnya. Gapura ini adalah imaji batas ruang sekaligus penegas identitas; dengan melewatinya, saya seolah sedang menghadiri undangan musyawarah di sebuah desa di Jatiwangi sana.

Ruang itu berisi meja panjang dikelilingi kursi-kursi plastik yang dijejer berdekatan, selembar karton berisi catatan musyawarah ditempel di atas meja. Sebuah spanduk bertuliskan tema musyawarah terpajang di dinding, memberi nuansa resmi. Bagian kanan-kiri ruang diisi sebuah televisi tabung yang menyiarkan ragam aktivitas ibu-ibu nasabah Mother Bank, sebuah papan tulis kapur berisi Jadwal Jagongan Dana Desa, dan manekin-manekin berbalut seragam pengajian warna magenta yang bermahkotakan kopiah hitam (kopiah itu menjulang tinggi!). Bagian yang terakhir ini sangat mencolok, mengingatkan saya pada visual cover album The S.I.G.I.T., Detourn. Yang membalut manekin-manekin itu adalah kostum Mother Bank ketika mereka manggung di Pestapora 2023, tampak cadas bukan main.

Kostum itu adalah siasat artistik yang menarik. Melihat seragam pengajian yang sangat ibu-ibu dan kopiah yang sangat bapak-bapak hadir di ruang Musdesus adalah sesuatu yang menyegarkan. Saya ingat pernah menghadiri musyawarah desa ketika masih tinggal di Madura. Ruang-ruang musyawarah desa kerap kali terasa sangat maskulin, penuh suara berat laki-laki dan asap rokok kretek beraroma tajam. Dana desa, yang diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama, juga kerap dimonopoli oleh suara dan kepentingan laki-laki.

Kehadiran kostum itu secara visual menandai peleburan suara dan peran lelaki-perempuan dalam pengalokasian dana desa. Perspektif laki-laki dan perempuan tidak hadir terpisah, tapi diharapkan menubuh jadi satu, manunggal. Maka dari itu, meskipun sempat gentayangan di akun-akun shitpost sebagai bahan baku gelak-tawa, perpaduan gaun magenta dan kopiah itu bukanlah barang ganjil.

Keganjilan Jagongan Dana Desa cuma satu: tidak ada kacang rebus, lemper, atau penganan sejenis di meja panjangnya. Musyawarah desa macam apa yang diselenggarakan tanpa asupan konsumsi?

Selanjutnya, saya beralih ke miniatur tragedi persis di hadapan Jagongan Dana Desa. Ini karya Nisa R.A, berjudul Playgrounds of Resilience 2, yang berjangkar pada ingatan atas tsunami Aceh 2004 silam. Nisa menghadirkan puing-puing, bongkahan bahan bangunan, dan berbagai perabot rumah yang telah ambyar seolah sudut Cemeti yang satu itu baru saja dihantam kiamat sugro. Kumpulan foto situasi pasca-tsunami Aceh ditembakkan ke dinding melalui proyektor. Mainan anak-anak dan manekin telapak kaki berserak di sekujur reruntuhan. Manekin kaki itu hadir seperti bagian tubuh yang disuir-suir lalu disebar ke segala penjuru, sebuah detail yang membuat saya terhenyak dan mual.

Bermain di taman kehancuran, Playgrounds of Resilience 2. Dokumentasi Pribadi.

Ketika tsunami Aceh terjadi, saya masih kelas 6 SD. Waktu itu, hampir setiap hari saya nonton siaran berita yang dipenuhi mayat, kaki-kaki pucat menyembul dari reruntuhan. Saya masih ingat betul sebuah tayangan berisi seorang ibu menggendong jenazah anaknya. Di hadapan karya Nisa, ingatan itu mencuat tanpa ampun.

Hal lain yang saya ingat, samar-samar, adalah liputan dari pengungsian: seorang reporter berdiri memegang mikrofon, di belakangnya tampak anak-anak bermain bola di antara lautan tenda. Menurut Nisa, “Siasat masa kecil sebagai respon terhadap kehancuran muncul melalui pembentukan ruang aman dan nyaman di dalam dunia pikiran.”

Sukar membayangkan masa kanak di antara puing-puing dan tragedi, saya tak pernah mengalaminya. Ini sesukar membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak-anak yang terjebak di pusaran konflik laten Israel-Palestina, yang dunianya remuk-redam dihantam perang jahanam. Sebelum tsunami menerjang, anak-anak di Aceh juga tumbuh dalam huru-hara konflik TNI-GAM.

Dorongan alamiah untuk bermain barangkali memang menguatkan mereka untuk melalui lubang jarum neraka dunia. Tiada yang lebih melegakan selain melihat sekumpulan anak-anak bertukar sapa, lalu berbagi tawa, di tengah-tengah situasi yang porak-poranda. Meski kita tak pernah tau, bisakah mereka benar-benar pulih dari trauma?

Pindah dari karya Nisa, saya berjumpa kehancuran lainnya. Arif Furqan menghadirkan imaji rumah yang runtuh dalam karyanya, Pieces and Paradox.

Saya sempat celingak-celinguk mencari karya Furqan, ternyata instalasinya nyempil di gudang Cemeti, tertutupi tirai hitam. Di lantai gudang, batu bata berserakan seperti bekas reruntuhan rumah, sebuah ‘lampu’ berbentuk atap menyala di atasnya. Pada batu bata itu, tertempel foto-foto potret lawas, wajah-wajah tanpa nama. Foto-foto itu adalah hasil temuan Unhistoried, sebuah proyek pengarsipan foto keluarga era Orde Baru.

Pieces and Paradox hendak menghadirkan jejak kepunahan ingatan tentang rumah dan keluarga. Furqan melihat sisi paradoks dari foto keluarga dan rumah. Keduanya kerap diciptakan sebagai siasat untuk mengekalkan peristiwa, mengabadikan ingatan. Tapi, keduanya juga sekaligus rentan ditinggal dan dilupakan.

Pieces and Paradox, karya Arif Furqan. Dokumentasi Pribadi

Karya Furqan membawa ingatan saya ke Bululawang, Kabupaten Malang. Di sana ada rumah nenek saya dari jalur ibu. Sejak nenek meninggal pada 2004 silam, rumah itu tak berpenghuni. Para saudara ibu mukim di berbagai kota, mereka sesekali mengunjungi rumah orangtuanya, tapi tak pernah lama. Beberapa tahun lalu rumah itu sempat dikontrakkan. Seorang sepupu pernah bercerita, si pengontrak diam-diam meloak beberapa barang peninggalan nenek, salah satunya album foto keluarga. Saya sudah cek karya Furqan, jangan-jangan ada foto kakek-nenek saya yang berakhir di sana, ternyata tidak ada.

Hubungan rumah dan keluarga ternyata tak selanggeng itu. Begitu pula ingatan dalam foto keluarga. Tak ada yang benar-benar abadi. Kepindahan punya peran penting di sini. Terkadang, kepindahan sebegitu tak terelakkan. Para saudara ibu, termasuk ibu saya sendiri, pindah dari Bululawang karena sekolah, bekerja, dan menikah. Ingatan tentang keluarga nenek pun terserak bersama para penghuni rumah yang berpindah. Ingatan itu lama-lama koyak oleh usia, lalu sirna secara paripurna ketika foto leluhur kami raib di pasar loak.

Sekarang, saya hanya punya ingatan tentang rumah ibu-bapak di Madura. Kini, saya bersaudara mukim di Jawa semua. Rumah orangtua saya di Madura, dan segala ingatan tentangnya, sedang menyongsong masa depan persis seperti rumah nenek di Bululawang, seperti karya Furqan nun di pojok gudang Cemeti ini: terabaikan, perlahan terlupakan.

Seperti para saudara ibu, saya bersaudara juga meninggalkan rumah karena “sekolah, bekerja, dan menikah”. Bedanya, kami juga pergi karena rumah dan keluarga, ternyata, bisa menyimpan begitu banyak ingatan traumatis menyakitkan. Ingatan-ingatan itu tentu saja tidak ingin kami wariskan ke generasi selanjutnya. Saya bahkan sempat ingin membakar rumah di Madura, sebelum akhirnya Tuhan dan psikolog menyelamatkan jiwa saya.

Dalam konteks ini, kepindahan justru menjadi semacam siasat untuk lepas dari kemelut ingatan masa silam. Kenyataannya, tak semua orang punya ingatan menyenangkan tentang rumah dan keluarga. Tak semua orang ingin merawat ingatan tentang rumah dan keluarga.

Setelah lama termenung di hadapan karya Furqan, saya kembali beranjak ke Zona Misteri di depan. Ternyata itu karya Ruby Sofyan, judulnya Segara Tanpa Tepi. Saya berhasil menemukan teks deskripsinya. “Melalui representasi objek yang memvisualkan tubuh manusia sebagai kode mistik, karya ini menjelajahi konsep dualitas yang tak terpisahkan,” demikian tertulis di sana.

Segara Tanpa Tepi. Dokumentasi Pribadi.

Saya paham dan merasakan dualitas yang Ruby maksud, namun saya agak sukar menerka maksud “tubuh manusia sebagai kode mistik”. Kode mistik? Ketika saya mengetikkan “kode mistik” di Google, yang muncul adalah info-info kode mistik togel. Pasti bukan itu maksud Ruby.

Terlepas dari itu, setelah membaca teks deskripsinya, saya melihat karya Ruby sebagai metafor atas perjalanan spirituil kita sebagai manusia. Dalam perjalanan itu, kita niscaya menghadapi dualitas sebagai kasunyatan hidup. Hidup kita senantiasa berayun di antara hitam dan putih, antara Yang Duniawi dan Yang Ilahi. Sebagaimana seluruh karya yang saya tengok hari itu di Cemeti, hidup kita adalah sekumpulan siasat tak berkesudahan menghadapi suka-duka, kebangkitan dan kehancuran, tawa dan air mata.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th