SUAR DAN SUARA

Ruang adalah kekosongan yang terbingkaikan (Lao Tzu, 500 M)

Menyusuri Kampung Wuring adalah sebuah pengalaman sinematik. Di sepanjang jalan dari Kampung Wuring Atas, Leko, Tengah, hingga Ujung, hadir gambar-gambar bergerak yang menampilkan ragam adegan, mulai yang paling personal hingga yang politis. Aktivitas domestik seperti memasak, mencuci pakaian, mandi, bisa hadir di pandangan kita dalam waktu yang bersamaan dengan aktivitas lain yang sifatnya publik seperti kerja bakti, musyawarah, pengajian, atau kegiatan bongkar muat barang dan jual beli ikan yang bernuansa ekonomis. Jejalin peristiwa yang bisa ditemui di sepanjang jalan Kampung Wuring itu seperti sinema yang tidak sekuens, tidak ada bingkai yang memisahkan dan mengurutkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, tidak ada relasi sebab akibat yang ketat, tidak ada direksi atau proyeksi. Jejalin gambar bergerak itu seperti kerja sebuah sistem yang tidak terpetakan. Ia hanya bergerak dan terus bergerak, monoton. Atau mungkin kekosongan.

Menyusuri Kampung Wuring adalah pengalaman menegosiasi kedirian. Di kerumunan gambar-gambar bergerak sepanjang jalan Kampung Wuring, subjektivitas diuji untuk terus diidentifikasi dan dinegosiasikan. Cara pandang dan perspektif terhadap yang lain selalu mendapatkan pantikan untuk dikritisi. Dorongan untuk menjustifikasi, kehendak untuk menilai, kecenderungan untuk memberi kategorisasi dan definisi bergerak begitu dinamis, berhadapan dengan layer-layer, seperti lawang-lawang yang terus terbuka: realitas tanpa putus, dialektika tanpa telos. 

Sampah-sampah yang yang berserakan di areal kampung tidak serta-merta bisa jadi alasan untuk mencap kampung ini sebagai perkampungan kumuh dan tidak sehat. Rumah-rumah yang reot di sepanjang kampung tidak bisa jadi ukuran miskin atau kaya, tanah lapang yang sempit tidak serta merta bisa jadi alasan untuk menyampaikan rasa kasihan kepada anak-anak Wuring sebab mama-mama di Kampung Ujung punya arisan seratus ribu setiap hari dan anak-anak punya samudra yang begitu luas untuk dijadikan tempat bermain. Lantas pertanyaan timbul, siapakah yang bergerak? Siapakah saya yang melihat dan mengalami Kampung Wuring? Siapakah mereka yang diam di dan mengalami Kampung Wuring?

Menyusuri Kampung Wuring adalah pengalaman memasuki semesta yang terbuka. Semesta yang terbuka itu menyediakan ruang temu, menyediakan waktu untuk berinteraksi. Mudah sekali berkomunikasi dengan warga di sepanjang jalan Kampung Wuring. Mudah sekali meminta tempat beristirahat, baik di kolong atau beranda rumah panggung. Tidak sulit meminta informasi dan berbagi cerita dengan warga. Mulai dari yang sifatnya basa-basi hingga yang paling personal seperti kisah hidup, sejarah, atau ingatan mereka tentang sebuah peristiwa yang menandai perubahan-perubahan dalam kampung, seperti peristiwa seputar pembantaian 1965 atau tsunami Flores 1992. 

Semesta yang terbuka itu pun hadir secara amat performatif melalui ragam ekspresi: anak-anak telanjang bermain ceria, tertawa lepas, menyeletuk dengan makian-makian, suara tawa ibu-ibu yang sedang bergosip di bale-bale rumah, suara para perempuan yang riuh bermain gadget, suara para pemuda yang karaoke dengan volume musik besar-besar, azan, stom kapal, deru eksavator, riuh mobil pengangkut beras,  suara perintah juragan, atau candaan para buruh di Kios Madam. Dalam semesta yang terbuka dengan realitas yang amat performatif itu berjajar momen pun monumen yang mengungkapkan gairah, suka, duka, harapan, kerja keras, kekecewaan, putus asa, perjuangan dan kesedihan yang terakumulasi menjadi satu spektrum, mungkin aspirasi atau suara warga Kampung Wuring yang tak selalu tertuju apalagi sampai pada tujuan. 

MADAKAU:Suar Suara Kampung Wuring berisi foto-foto yang diambil pada rentang waktu Oktober 2020 –  Februari 2021 oleh beberapa peserta workshop fotografi (yang diampu Bernard Lazar dan Valentino Luis) dan tiga orang juru foto dari Komunitas KAHE. Sebelum foto-foto ini diambil, para juru foto telah lebih dahulu bersosialisasi dengan masyarakat, entah melalui forum-forum formal seperti musyawarah bersama warga maupun kegiatan informal dan inisiatif-inisiatif lain seperti live in, kunjungan rumah, kondangan saat ada hajatan adat atau pernikahan, bertamu ketika hari raya dan banyak macam lainnya. Foto-foto ini diambil menggunakan berbagai jenis kamera, entah DSLR, mirrorless, dan kamera dari beberapa model gadget.

Terlepas dari persoalan-persoalan teknis mengenai fotografi, mata kamera yang dipakai  untuk merekam gambar-gambar bergerak  di sepanjang Kampung Wuring adalah representasi dari cara para fotografer bergerak, melihat, mengidentifikasi dan mendekati realitas yang menjadi keseluruhan pengalaman mereka. Aksi ini dipengaruhi pula oleh kerangka-kerangka tematik  yang disepakati sejak awal. Dengan demikian, fotografer menjadi subjek  aktif yang turut menentukan dan memutuskan, akan seperti apa gambar-gambar bergerak itu direkam.  Fotografer adalah pribadi yang otonom, yang terbuka pada momentum, tetapi sekaligus aktor yang mengkonstruksi isi dari bingkai-bingkai kosong yang ada pada mata kamera. 

Pertemuan antara mata kamera dan Kampung Wuring sebagai sebuah realitas yang terbuka bisa jadi adalah sebuah sintesis apriori. Jika demikian, ketika produk ini diintensikan untuk menyampaikan isu-isu yang ada di Kampung Wuring, ia harus bersifat imperatif kategoris, semata-mata terjadi karena telah menjadi sebuah kewajiban untuk dilakukan. Jika isu-isu yang ada di Kampung Wuring tersampaikan, itu semata-mata terjadi karena isu-isu tersebut harus tersampaikan. 

Dengan pembacaan yang lain, pertemuan antara mata kamera dengan Kampung Wuring sebagai semesta yang terbuka adalah sebuah aksi yang bersifat arkeologis, yang coba menyingkap artefak-artefak sejarah, kebudayaan, pengalaman, gagasan dan membentangkannya kepada pembaca. Jika foto-foto ini diniatkan untuk menyampaikan isu-isu yang ada di Kampung Wuring, maka jejalin bingkai demi bingkai dalam buku ini bersifat relasional, adalah peta untuk menelusuri gagasan-gagasan  serta jaring-jaring kekuasaan di balik seluruh kenyataan yang ditemui di Kampung Wuring. Imaji-imaji dalam buku foto ini adalah representasi dari kekuasaan yang beroperasi melalui pipa-pipa kapiler di seluruh lini kehidupan manusia. 

Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian besar dengan sebelas tema foto. Bagian I, Pijakan/Fondasi berisi foto-foto bertema Anak, Jalan, Rumah, Manusia, yang lebih berfokus pada tempat tinggal, aktivitas domestik dan suasana pemukiman Kampung Wuring. Bagian II, Lintasan/Rute merangkum empat tema antara lain Nelayan, Pasar, Buruh, Sampah, dan narasi mengenai aktivitas ekonomi, perdagangan, pelayaran dan efek-efek yang ditimbulkannya. Bagian III, Perjumpaan/Simpul memuat tiga ragam narasi tentang negosiasi dan titik temu antara silang identitas dalam tema-tema Waria, Masjid, dan Kuliner.

Di samping semua kacamata yang bisa digunakan untuk melihat buku ini, pada dasarnya ada dua hal penting yang harus disadari hadir di dalamnya, yaitu foto-foto sebagai media visual dan realitas di Kampung Wuring sebagai isi dan isu yang berbicara. Foto-foto dalam buku ini boleh jadi adalah suar-suar yang bersinar kerlap-kerlip di ujung dermaga, atau menara kampung, sebagai penanda bahwa ada sesuatu yang diam, hidup, tinggal di tempat yang ditandai. Foto-foto dalam buku ini hanyalah cerlang kecil yang di baliknya ada ragam suara yang harus didekati, harus didengar lebih sungguh, harus ditanggapi dengan sepenuh hati. Suara-suara yang membuka peta dan spektrum lain dari realitas yang tampak baik-baik saja di permukaan. 

 

Eka Putra Nggalu

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th