Long-nolongén: Meretas Dapur dalam Dramaturgi Hajatan

Lebih dari seminggu lamanya, dapur Lembâna tampak tak berhenti mengengepul. Aroma ikan asing, sambal AK-47, hingga nasi hangat tak pernah mangkir dari jangkauanku. Saban hari, menjelang jam-jam penuh asupan seni, kami mengisinya dengan berkumpul di dapur; entah sekadar membicarakan residu acara semalam, menjumpai langsung ibu-ibu Lembâna yang sedang meniriskan ikan, atau sekadar menanti ikan itu matang hingga siap kami lahap. Semua itu berlangsung selama sepekan, sejak masing-masing dari kami memutuskan datang dan terlibat dalam gelaran Babad Lembâna jilid 4 yang berlangsung pada 13-19 Desember 2024 lalu.

Jauh sebelum pagelaran tersebut berlangsung, seorang kawan kurator muda dari Madura kerap menantangku untuk mengalami langsung Babad Lembâna. Ia berkilah agar aku punya imajinasi lain terhadap ekosistem seni yang beroperasi di luar pusat-pusat kebudayaan. Sebagai orang Jawa yang kadung terisolasi di pusat imperium seni bernama Yogyakarta, tantangan tersebut lekas menghantui pikiranku yang barangkali latah membaca gejala kultural di luar teritoriku. Maka di penghujung tahun itu, aku lekas membawa punggung mudaku yang renta menuju Madura menggunakan bus Mila. Perjalanannya sendiri memakan waktu hampir setengah hari lamanya dalam keadaan tegap.

Saat punggungku tiba di kabupaten ujung timur Madura, Sumenep, tepatnya di Dusun Perigi, Desa Gaddu Barat, Kecamatan Ganding, tubuhku lekas tawar-menawar terhadap lanskap sosial di sana. Bersamaan dengan itu, terdapat aturan main yang mesti aku ikuti selama menjadi subjek di ruang tersebut, yakni kami dilarang lapar. Bagiku, sebagai pribadi yang cukup dekat dengan kemiskinan, sudah tentu aturan tersebut terlampau mudah untuk aku sanggupi. Bahkan, dalam sehari, pola makanku telah melampaui batas kewajarannya sehingga dapur Lembâna, sebagai ruang sekaligus peristiwa, menjadi begitu dekat denganku. Namun, dalam kadar tertentu, relasi tersebut justru menjadi biasa aja alias tak lagi memberiku stimulus apa pun. Karena berlangsung setiap hari, secara repetitif tubuhku kadung terprogram untuk mendulang nasi dan menempatkan ikan asing di atasnya.

Pola harian tersebutlah yang mengubah caraku menatap dapur. Selama mengalami Lembâna, tubuhku dibuat terpencar ke berbagai situs, entah itu di masjid, panggung pertunjukan, rimbun hutan, maupun tebing-tebing desa. Dan ketika asupan seni di berbagai situs itu membuat perutku lapar, aku tinggal kembali ke dapur untuk menuntaskan kebutuhan tersebut. Itulah mengapa dapur tak lagi mampu kulihat sebagai ruang maupun peristiwa, melainkan sebagai tempat di mana tubuhku kerap menyepelekan jaringan relasi yang ditampungnya.

Semua itu menjadi kacau ketika Perempuan Xpresif memutuskan meretas dapur sebagai basis presentasi artistik mereka pada 19 Desember 2024. Peretasan tersebut berlangsung menjelang penutupan Babad Lembâna 4, ketika lagi-lagi dalam sehari tubuhku dibuat terpencar ke berbagai situs. Seharian itu, tubuhku benar-benar tak berhenti bergerak. Paginya kami diajak berdendang bersama Athia Alamanda dan Claudya Cikita di pekarangan Lembâna, kemudian siangnya dibawa oleh Enji Sekar menyusuri bukit lalu menyerap sebanyak-banyaknya stimulus yang ada di sekitar kami. Lagi-lagi serangkaian asupan seni tersebut membuat perutku lapar. Seperti biasa, dalam keadaan lapar, tubuhku akan otomatis meninggalkan peristiwa dan kembali ke dapur, kemudian diam-diam mendulang nasi dan meletakan ikan asing di atasnya.

Namun, kali ini, seperti ada yang berbeda dari keputusanku untuk beranjak ke dapur. Keputusan untuk mendulang nasi dari baki dan meletakan ikan asing di atas piring jadi tak sesederhana yang kerap kulakukan. Kali ini, lelaku tersebut justru menjadi peristiwa yang mencekam dan penuh ketegangan, ketika beberapa perempuan berkebaya mondar-mandir di dapur membawa muatan emosi dan tatapan yang tajam. Tubuhku seperti dikepung oleh sekumpulan entitas yang tampak asing yang kehadirannya seperti sedang mengawasiku sedari tadi.

Ketegangan inilah yang kemudian mengubah ritme makanku, ketegangan yang barangkali tak biasanya aku alami selama berada di dapur Lembâna. Lantas aku pun dibuat terburu-buru ketika segerombolan kawanku, selepas dibawa Enji Sekar dari tebing, beralih berdatangan dan menaruh perhatian pada sekumpulan perempuan berkebaya tadi. Kamera lekas diarahkan ke dapur, kemudian muncul teriakan anak perempuan dari dalam rumah, seusai tubuh mereka mengucap semacam mantra secara repetitif. Sedangkan mulutku masih berusaha mengunyah sepotong ikan asing yang justru membuatku makin kesulitan untuk menelannya.

Barangkali tubuhku masihlah kaget akan kehadiran Perempuan Xpresif. Dari serangkaian pertunjukan Babad Lembâna yang membawa mobilitas tubuh kami ke situs-situs publik, justru pertunjukan tersebut memilih dapur sebagai basis pertunjukan mereka. Dapur yang mereka retas justru mengacaukan imajiku terhadap ruang privat yang barangkali kerap kusepelekan. Dapur menjadi serupa suar, ketika Perempuan Xpresif menyalakan ‘api’ di bilik-bilik yang jarang memperoleh sorotan.

Barangkali situasi anomali tersebut tak lepas dari kemunculan mereka sebagai varietas kolektif seni yang muncul di luar pusat-pusat kesenian nasional. Mereka muncul di Bangkalan, Jawa Timur, ketika pandemi secara massal menjangkiti ritus serta entitas kesenian daerah namun secara bersamaan justru memunculkan varietas seni baru yang lebih segar dan tak lagi membawa identitas dominan. Keterangan itu disampaikan Nike Dianita selaku sutradara sekaligus peneliti dari Kolektif Perempuan Xpresif.

“Perempuan Xpresif tumbuh bukan karena ketersengajaan,” ujar Nike ketika kami berbincang melalui ruang virtual Zoom Meeting satu bulan pasca pementasan mereka di Babad Lembâna 4. “Kita sebenarnya punya komunitasnya masing-masing, Mas,” lanjutnya. “Kek Sari dengan komunitas tarinya, aku juga tumbuh dari pantomim dan teater, terus ada temen-temen lain yang fokusnya ke musik dan seni rupa. Namun, karena covid kita ga bisa beraktivitas, akhirnya kita kumpul ngobrol terus gatel pengen bikin sesuatu. Awalnya, sih, aku pernah bikin konten di IG [semacam diskusi sederhana]. Jadi, temen-temen seniman [di Bangkalan] tak todong biar punya kegiatan gitu. Dari situ akhirnya kami  bisa kumpul-kumpul [sambil] rujakan dan makan-makan gitu. Tahun 2022 setelah covid, akhirnya kami membicarakan secara serius bersama [banyak orang dari] disiplin ilmu lainnya. Karena kita yang ngobrol kebanyakan perempuan, yaudah kenapa kita ga fokus atau concern aja ke isu perempuan. Terlebih seniman perempuan [di Bangkalan] juga minoritas, di lingkungan yang banyak pesantren, sehingga banyak perkara tabu di sekitar kami. Kek si Sari deket banget dengan salah satu pesantren besar di sini, jadi kalau pulang [dari] menari ia kerap menerima stigma dari orang-orang sekitar. Belum lagi teman-teman lainnya yang ga punya kesempatan yang sama dengan temen-temen seniman cowo. Akhirnya kami berinisiatif untuk membentuk kolektif perempuan. Begitu kurang lebih, Mas.”

Belum sempat aku menanyakan lebih dalam, Nike yang sedang ngopi malam bersama Sari, kawan satu kolektifnya, justru berinisiatif mempertebal konteks bagaimana Perempuan Xpresif justru muncul dari celotehan-celotehan keliru yang kerap dialamatkan kepada mereka. “Sebenarnya Perempuan Xpresif itu [sekadar] nama sebuah acara,” jelas Nike. “Karena di Bangkalan setelah covid gada apa-apa, sedangkan kita muncul dan menginisiasi sesuatu, banyak pihak yang menyambut kami termasuk media seperti JTV. Akhirnya orang-orang kenal kita sebagai Perempuan Xpresif. Banyak pertanyaan seperti kapan Perempuan Xpresif tampil lagi? Lhaa, kok, nama kita jadi Perempuan Xpresif. Alhasil kita jadinya make nama itu.

“[Di Bangkalan] teaternya hidup di lingkungan kampus, yakni [Universitas] Trunojoyo,” sahut Nike lagi ketika aku mengalihkan topik perihal ekosistem teater di Bangkalan. “Hampir tidak ada kesenian [teater] yang hidup di luar itu. [Padahal] teman-teman seniman di Bangkalan, meskipun warga biasa, pada haus akan teater. Mereka pada antusias, namun tidak ada yang mengerjakan, tidak ada yang produksi, makanya ketika ada [produksi teater] yang nonton justru banyak. Dengan kata lain, apresiasinya besar tapi produksi teaternya sedikit.”

Tatkala aku mencoba menggali lebih dalam concern mereka terhadap isu perempuan serta bagaimana kata kunci ‘perempuan’ dan ‘santri’ berkelindan dalam praktik artistik mereka, Nike akhirnya memaparkan bahwa identitas mereka tak sesederhana sekumpulan perempuan yang berasal dari desa. “Perihal perempuan,” terang Nike, “Kami adalah perempuan yang membelah diri. Perempuan desa [sekaligus] perempuan kota. Perempuan di desa masih lekat dengan tradisi dan stigma, bahwa perempuan sebagaimana perempuan yang hidup dalam kota santri. Namun, karena kami deket banget dengan [Jembatan] Suramadu, jadi kita mudah terkontaminasi dengan bau-bau kota yang membentuk pola pikir kita jadi modern.”

Perempuan Xpresif mengawali pertunjukannya di Babad Lembana 4 (dok. Lembana Artgroecosystem)

***

Andi’ ghabâi dâporrah ma’ seppéh, pola ta’ toman long-nolongén é tatangghâh, yèh!? (Punya hajatan kok dapurnya sepi, tidak pernah bertetangga, ya!?)

Celetukan di atas barangkali merupakan premis dasar yang coba Perempuan Xpresif bawa ke Babad Lembâna 4. Sebagai subjek yang hanya mampu berbahasa nasional, aku kerap dibuat roaming dengan berbagai celotehan berbahasa Madura yang hinggap begitu saja di telingaku, entah itu berlangsung selama punggungku bersemayam di galeri Lembâna atau ketika ibu-ibu buruh tani mengajakku menyemai padi di petak sawah mereka. Situasi itu kembali aku rasakan ketika Perempuan Xpresif menghimpun partisipasi penonton untuk merespons persoalan yang sedang mereka bawa.

Tatkala aku tak mampu menjangkau bahasa yang terartikulasi secara verbal, maka pilihan paling masuk akal untuku adalah menikmati saja pertunjukannya sembari mengunyah ikan asing yang tak kunjung berhasil kutelan. Pilihan ini mengaktifkan imajiku terhadap bahasa yang beroperasi sebagai laku tubuh. Dalam laku sahut-menyahut, aku menangkap beberapa kata kunci yang coba Perempuan Xpresif hadirkan pada pertunjukan tersebut, yakni perihal ‘dapur’, ‘hajatan’, dan ‘perempuan’. Sebagaimana judul pertunjukan mereka, long-nolongén merupakan sebuah definisi maupun tradisi yang bila dikonversi dalam bahasa nasional berarti tolong-menolong. Bila dikonversi ke dalam tradisi Jawa, ia berubah menjadi rewang atau semacam tradisi gotong-royong yang lakunya melekat pada dapur dalam hajatan besar.

Akan tetapi, serangkaian konversi tersebut tak seutuhnya mampu mendefinisikan apa yang disebut sebagai long-nolongén. Perkara pelik tersebutlah yang kemudian coba diartikulasikan oleh Nike. “Long-nolongèn itu, kan, menolong atau rewang kalau dalam budaya Jawa, Mas,” terangnya. “Mungkin ada beberapa kesamaan dengan Jawa cuma ada adat-adat dan prosesinya [yang] sangat berbeda. Nah, kalau di Bangkalan, posisinya jadi menarik, long-nolongén [ada yang] untuk orang meninggal dan [ada pula] long-nolongén untuk hajatan pernikahan, [dan masing-masing itu] pasti beda. Kalau orang meninggal, orang dengan otomatis akan datang tanpa diundang [sukarela], tapi kalau kita rewang di pernikahan itu kalau ga diundang gakan datang. Karena harga diri juga, aku ga diundang, kok, ngapain dateng?” pungkas Nike sambil menirukan celotehan-celotehan kecil dari riset yang ditekuninya.

Berangkat dari artikulasi yang telah Nike ungkapkan, aku lalu mengalihkan perbincangan kepada Alif Nirwana Sari, yang kebetulan sedang membersamai Nike dalam proses perbincangan kami di Zoom Meeting malam itu. Selaku aktor yang mengawali debutnya sebagai penari, ia mengaku banyak dilibatkan dalam proses riset untuk pertunjukan Long-nolongén. “Menariknya lagi, Mas,” sambung Sari, “Di sini itu [pertunjukan yang mereka bawakan di Babad Lembâna 4] bukan hanya perihal manten atau pun orang meninggal, tapi ada yang namanya itu rémoh atau to’-oto’, [yakni] mengadakan pesta untuk mendatangkan uang. Jadi kek semacam arisan doang, tanpa ada manten-nya. Posisinya kami kemarin tu di situ. Jadi kadang orang tu butuh menyekolahkan anaknya, kadang orang tu butuh bangun rumah, itu [siasatnya] boleh mengadakan to’-oto’ tapi cuma sekali. Dan kalau ada orang yang melakukan itu, kita diundang dan kita harus balas-membalas [mengundang balik di waktu lain].”

Pernyataan Sari di atas lekas ditimpali oleh Nike sembari memberi analogi terdekat untuk mengartikulasikan fakta-fakta yang mereka peroleh dari riset. “Nah, nanti ada bhubuen[1]-nya, Mas,” sambung Nike, “Bhubu itu dicatat, nanti ada tukang catat-mencatatnya sendiri, terus itu tu ketika tetangganya mengadakan acara yang sama, kita tu harus mengembalikan barang atau uang sejumlah yang diberikan oleh orang itu. Dan apabila [pengembalian] tidak sesuai itu tu akan ada tukang tagihnya. Misal Sari datang ke acaraku, Mas, Sari bawa minyak 5 liter dan itu dicatat. Seekstrim itu Madura, Mas. Dan tukang catet itu namanya carek. Nah, nanti kalau Sari punya hajatan, aku akan buka lembarannya [carek itu]. Kalau enggak nanti lapor ke tukang tagihnya. Aku kemarin naruh 5 liter, tapi Nike cuma balikin 2 liter, disamperinlah ke rumah dan minta buat balikin kekurangannya itu. Dan tukang catet itu profesi, berhonor, nanti dibayar. [Selain itu] tukang catet itu harus kenal warga di sekitar. Paling tidak kalau nagih tau orang itu siapa.”

Pertunjukan Perempuan Xpresif di Babad Lembana 4 menggunakan dapur sebagai lokasi dan lokus isu. (Dok. Lembana Artgroecosystem)

***

Lantas konsekuensi semacam apa yang akan diterima oleh mereka yang menolak tradisi long-nolongén?

Pertanyaan tersebut coba aku lempar kepada Nike dan Sari, guna merespons beberapa data yang telah mereka himpun selama proses riset artistik. Barangkali pertanyaan tersebut tidak muncul begitu saja, laiknya aku yang menjumpai bagaimana modernisasi muncul menawarkan serangkaian perangkat praktis. Kemudahan tersebutlah yang memungkinkan siapa pun—bahkan yang berada di pinggir-pinggir teritori nasional sekalipun—untuk meninggalkan tradisi atau memangkas serangkaian prosesi yang dinilai tak efisien dalam sebuah hajatan. Menariknya, riset yang coba diangkat oleh Nike dan Sari tak luput dari perkara pelik tersebut. Saling timpal-menimpali, mereka menjelaskan:

“Ini juga yang digadang-gadang oleh masyarakat Madura, [maka] ada kalimat ‘andi’ ghabâi dâporrah ma’ seppéh, pola ta’ toman long-nolongén é tatangghâh, yèh?’ Karena long-nolongén sendiri adalah investasi sosial. Jadi ibaratnya kalau kamu ga pernah dateng ke hajatan orang, jangan harap orang dateng ke hajatanmu. Kalau di perumahan, kan, beda dengan yang desa, lingkungan mereka individualis dan jarang keluar [bersosialisasi dengan tetangga]. Ketika punya hajat beneran sepi, Mas, makanya mereka lebih memilih [memesan] katering.”

Katering adalah salah satu produk modernisasi yang memangkas serangkaian ritus yang barangkali sedang mengepung masyarakat desa di Bangkalan. Sebagaimana yang dipaparkan Nike dan Sari secara berganti-gantian padaku malam itu:

“Nah, masuk nih katering. Posisi long-nolongén dan katering ini udah punya gesekan ketika kami riset kemarin. Ternyata, [orang-orang] di kota lebih memilih lebih simpel dan praktis dengan memilih katering. Sementara di desa, [long-nolongén] itu, ya, harga diri, Mas. Jadi ga mungkin [memesan] katering, karena mereka juga akan mengadu strata sosial mereka. Kalau orang berdatangan membantu berarti dia emang suka membantu. Mereka jadi nantanganin sehingga membuat orang jadi gengsi kalau ngambil katering. Dapur atau orang yang datang itu juga sebagai simbol bagi mereka soal bagaimana keluarga itu di mata masyarakat sekitar. Jadi mesen katering tu jadi ga enak dan gengsi. Lhaa, kok, mesen katering jangan-jangan dia ga pernah long-nolongén ke tetangganya, jangan-jangan dia ketakutan kalau gada yang dateng ke dia. Jadi long-nolongèn di desa itu ramai, undangan sama yang nolongén malah lebih banyak yang long-nolongèn alias rewang.

Akan tetapi, resistensi long-nolongèn di ruang desa turut didukung oleh tata ruang yang beroperasi di sekitarnya. Pembacaan inilah yang akhirnya melatarbelakangi mengapa dapur menjadi lokus utama dalam pertunjukan Perempuan Xpresif di Babad Lembâna 4.

“Apa yang kami angkat dalam pertunjukan tersebut bahwa rewang atau long-nolongèn itu masih terjadi sangat kental di desa. Sementara di kota, ketika hajatannya di gedung sudah pasti pake katering. Karena kalau di desa itu masih sangat kental dengan Tanéyan Lanjhâng[2], di mana mereka punya halaman dan pekarangan yang luas. Posisi kayak kamar, mushola, dapur sudah ada bentukannya, Mas. Jadi aneh [kalau punya tanah yang panjang] tapi hajatannya malah di gedung. [Dan] justru [mereka] dinilai telah meningalkan tradisinya, sehingga anti bagi masyarakat desa [di Bangkalan] untuk merayakan pernikahannya di gedung,” pungkas Nike sembari menghela napas lebih dalam.

Pertunjukan Perempuan Xpresif di Babad Lembana 4 melibatkan partisipasi penonton yang setiap hari bersinggungan dengan dapur Lembana. (Dok. Lembana Artgroecosystem)

***

Terlepas dari apa yang sudah menjadi ritus, lantas bagaimana kalian melihat dapur?

Kali ini aku mencoba menawarkan pertanyaan lain kepada Nike dan Sari, pertanyaan yang barangkali dapat dibaca sebagai closing statement, namun secara bersamaan adalah upaya untuk melihat lebih jauh bagaimana Perempuan Xpresif mengkonversi pertunjukan mereka, yang semula berada di panggung beralih ke dapur. Pertanyaan ini juga hendak menyibak bagaimana long-nolongèn tidak hanya dilihat sebagai ritus yang diromantisasi, melainkan memiliki keterikatan kuat terhadap ide maupun pengetahuan lokal yang dihidupinya.

Menurut Nike dan Sari, “Seiring berjalannya waktu, kita sering mengadakan riset. Dan ternyata dapur [merupakan] ruang informasi, dapur sebagai pusat tukar informasi. Dapur juga tempat keluh-kesah bagi ibu-ibu buat ngobrolin suami atau anaknya, ada yang positif ada yang negatif. Dapur juga sebagai bahan sombong bagi sebagian orang, [seperti] aku kemarin, abis beli mobil dua, kamu kerja begini kok ga punya apa-apa. Sehingga dapur sebagai apa itu kompleks. Dan dapur adalah tempat di mana kita bisa menilai pola pikir orang lain, sikap orang lain gitugitu si, Mas. Ada semacam jaringan rumit yang terjadi di ruang sosial bernama dapur, dan Perempuan Xpresif menaruh sorotan tebal terhadap dapur karena menampung semua kerumitan itu.”

Di akhir pertunjukan mereka, akhirnya aku sanggup menelan ikan asing yang sedari tadi masih bercokol di lidahku. Pertunjukan yang barangkali memakan waktu setengah jam tersebut–sekaligus satu-satunya pertunjukan yang mampu membuatku kenyang—justru membuatku mempertanyakan ulang bagaimana relasiku terhadap dapur, serta bagaimana aku melihat diriku sendiri yang terisolasi di ruang privat sekaligus merefleksikan ulang ruang-ruang kecil yang jarang aku sadari kehadirannya.

____________________

Catatan:

[1] Dalam bahasa Madura-Bangkalan, bhubuen atau bhubu berarti uang/barang yang jadi sumbangan acara dalam mekanisme resiprokal.

[2] Dalam bahasa Madura, secara harfiah berarti halaman panjang. Tanéyan Lanjhâng merujuk pada struktur permukiman tradisional di Madura di mana rumah-rumah antarkerabat berkumpul dalam satu halaman panjang.

Editor: Ragil Cahya Maulana

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Selasa, Maret 25th