Oleh Andry Sola –
Pada tahun 2015 lalu, saya mendapat kesempatan mengerjakan proyek video promosi daerah dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sikka. Waktu itu Pemda Sikka gencar mempromosikan wisatanya dan kampung nelayan Wuring menjadi salah satu destinasi termaksud, selain beberapa kampung nelayan lain, seperti Koja Doi dan Pemana.
Karena letak Kampung Wuring yang lebih dekat dengan kota Maumere – waktu perjalanannya hanya 5-10 menit pakai kendaraan roda dua- saya lantas intensif pergi ke sana untuk mengumpulkan berbagai footage videografi. Kampung Koja Doi dan Pemana sendiri letaknya di seberang pulau Flores dan untuk pergi ke sana harus menggunakan moda transportasi laut.
Saat itu, masjid “apung” di Kampung Wuring -yang sekarang menjadi salah satu ikon tempat itu- masih dalam proses pembangunan. Kendaraan-kendaraan belum bisa mendekat langsung ke arah masjid karena terhalang air laut pada empat sudut arah mata angin. Jika ingin sampai ke masjid, siapa pun harus memarkir kendaraan, jaraknya sekitar 200 meter, baru kemudian berjalan kaki melintasi jembatan bambu.
Lima tahun pun berlalu, dan dalam rentang waktu setelah itu, apabila ada kesempatan mampir ke Wuring, saya hanya sekadar mencari ikan segar di Pasar Wuring lantas bergegas pulang. Namun, tanpa saya sadari, rupanya ada perubahan yang begitu besar -dan dekat dengan saya sebetulnya- di tempat tersebut, terutama di ujung perkampungan Wuring tadi.
Kesadaran itu semakin terbersit ketika saya bersama teman-teman Komunitas KAHE sepakat menjalankan aktivitas kesenian di Kampung Wuring. Sebagai bagian dari persiapan, kami mengadakan workshop pembekalan pada akhir Januari 2020 lalu. Pada kesempatan itu, kami mengunjungi Kampung Wuring, untuk melakukan praktik atas metodologi penciptaan kesenian.
Saya datang ke Wuring dengan gambaran yang masih sama seperti lima tahun lalu. Gambaran itu melekat jelas di memori saya; saya mencoba menerka warna kubah ataupun tembok masjid “apung” yang saya kira pasti telah berdiri sempurna di Kampung Ujung.
Kami yang terpisah menjadi beberapa kelompok saat itu berpencar ke beberapa sudut kampung untuk melihat ataupun berkenalan dengan masyarakat setempat. Sesuai perjanjian, kami akan bertemu dengan teman-teman dari kelompok lain di area tambatan perahu. Saya sempat bertanya ke seorang anggota kelompok yang berasal dari Wuring, di mana letak tambatan perahu?, dan dia menjawab, Ada, kaka. Kita jalan saja, nanti kita sampai tambatan yang ada di ujung. Saya ikut saja.
Menjenkang salat magrib, kami keluar dari jembatan bambu yang menghubungkan himpitan rumah-rumah terapung di atas laut, kembali ke jalan tanah yang dapat dilalui kendaraan bermotor. Dari kejauhan tampak bongkahan-bongkahan batu besar yang terlihat setinggi laut. Bongkahan itu seolah menjadi foreground sebelum pandangan saya sampai pada lanskap sore dan horison laut. Saya amati, bongkahan-bongkahan itu tampil seperti tembok pemisah, benteng yang menegaskan jarak, berdiri dengan kaku.
Lebih dekat, saya kemudian melihat beton-beton kokoh dermaga tersebut; dermaga yang baru dibangun. Tembok-temboknya masuk ke dalam laut tetapi masih enggan ditumbuhi lumut. Saat tiba di ujung tambatan perahu, saya baru menyadari, jalan tanah yang saya lalui tadi adalah jalan baru hasil reklamasi. Saya kira itu merupakan jalan menuju masjid “apung” seperti dalam ingatan saya sebelumnya. Saya juga perhatikan, lokasi di depan masjid sudah dapat dilewati sepeda motor bahkan mobil yang menghubungkan akses ke area tambatan perahu.
Ketika hendak pulang ke Maumere, saya menyempatkan diri untuk mengubah ingatan saya tentang Kampung Ujung saat ini, dari yang saya datangi lima tahun lalu. Di timur masjid “apung” telah ada tambatan perahu yang menjorok dan menjadi bagian dari Kampung Wuring; di utara masjid ada pemecah gelombang yang membentang dari timur ke barat dan menjadi foreground sebelum sampai ke horison; juga di selatan ada jalan tanah yang menggantikan lintasan bambu menuju masjid “apung”.
Di atas semuanya itu, yang harus saya lupakan adalah situasi/kondisi yang menggantikan posisi sekitaran masjid “apung” sebagai ruang untuk menyambut nelayan-nelayan yang baru pulang menangkap ikan. Lintasan dari bambu-bambu tak ada lagi, diigantikan oleh tanah reklamasi, juga semen dan beton yang tadi sempat mengoceh penglihatan dan ingatan saya.
*Andry Sola, penggiat aktif KAHE dan pekerja event keliling di NTT. Alumni magang teknikal dan manajemen stage di Jcorp Stage Company & Circle Lighting Indonesia.