Kampung Nelayan, Bukan Yang Terhempas atau Terkikis

Oleh Chois Ochho Bhaga –

Pada tahun 2019 lalu, saya bersama kawan-kawan “Studio Teater KAHE” melakukan riset untuk seni pertunjukan tentang Kampung Wuring yang terletak di pinggir kota Maumere, Flores. Pementasan itu kemudian dilangsungkan pada tanggal 29 Mei 2019 dengan judul, “Yang Terhempas, Yang Terkikis”.

Awalnya saya secara pribadi merasa ada kejanggalan dengan term judul tersebut. Apakah Wuring memang selama ini dilihat sebagai locus yang terhempas atau mungkin sudah terkikis? Penanda apa yang menunjukkan itu? Atau, bagaimana cara pandang terhadap kondisi kampung Wuring?

Kegelisahan ini kemudian menimbulkan refleksi yang lain bagi saya, semacam ambivalensi dalam melihat kampung Wuring itu sendiri. Ini juga dipertegas dengan beberapa pertanyaan lanjutan sebagai stimulus untuk menggali lebih jauh seperti apa Kampung Wuring. Berangkat dari situ, tulisan ini merupakan usaha untuk menjawab ambivalensi termaksud serentak melihat Wuring secara lebih komprehensif.

Nama Wuring berasal dari kata bahasa suku Bajo “Buring”, yang secara etimologis berarti sejenis kerang laut. Kerang ini digunakan oleh para nelayan untuk memanggil angin dengan cara ditiup. Sebelum bertumbuh-kembangnya peralatan (mesin) yang modern atau canggih, para nelayan menggunakan perahu layar untuk menangkap ikan. “Buring” sebagai alat tradisional memang sangat dibutuhkan untuk mendatangkan angin demi kelancaran pelayaran.

Dalam sebuah wawancara dengan Fransiskus Ropi Cinde, tokoh masyarakat yang juga seorang nelayan dari pulau Palu’e, saya mendapat penjelasan bahwa masyarakat Wuring bermula dari orang-orang nomaden yang berasal dari suku Bajo, Sulawesi Tenggara. Mereka berdiaspora karena adanya perselisian dalam perang saudara memperebutkan wilayah.

Kelompok yang kalah perang akhirnya tidak mempunyai tempat tinggal dan memutuskan bermigrasi. Dalam hidup nomaden itu, menjadi nelayan merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup bagi mereka.

Sejak dulu, sebagian besar anak laki-laki suku Bajo memang diwajibkan untuk melaut. Sebab, dengan itulah kejantanan seorang lelaki sejati diuji. Untuk konteks Wuring sendiri, menurut cerita nelayan Muhammad Wayudi, banyak anak laki-laki yang drop out atau putus sekolah karena harus melaut. Sementara yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah kaum perempuan.

Adapun ketika mendengar kata Wuring, hampir sebagian orang akan mengidentifikasikan sebagai sebuah kampung nelayan yang jorok, menjijikkan, dan tak layak huni -selain dianggap sebagai “surga ikan” di wilayah Maumere. Di Wuring mereka melihat terdapat banyak sampah plastik yang bertebaran ataupun mencium aroma amis, hingga bau ikan-ikan yang dijemur.

Bahkan, orang akan merasa lucu ketika menyaksikan kambing-kambing yang memakan sampah plastik tersebab tidak adanya tanah atau lahan yang ditumbuhi rumput. Dapat dikatakan, telah terjadi pergeseran yang luar biasa; keadaan lingkungan membawa perubahan bagi hewan itu dalam bertahan hidup.

Salah satu gang yang berada di Kampung Wuring . Foto Ticha Solapung

Akan tetapi, ketika saya mengajukan pertanyaan kepada salah seorang nelayan; bagaimana perasaannya dengan kondisi lingkungan yang kotor, dekil, bau, dan ruang gerak anak-anak untuk bermain yang sangat tidak memungkinkan itu, dengan lugas dia mengatakan bahwa mereka sebenarnya merasa biasa-biasa saja. Kondisi tersebut sudah tidak memungkinkan mereka untuk berpindah.

“Pekerjaan pokok kami adalah nelayan. Jika dari pihak pemerintah berencana membangun ruang bermain bagi anak-anak, kami mempersilakan. Tapi, di mana tempat yang paling pas untuk anak-anak ini? Mereka tidak boleh terlalu jauh dari kami sebagai orangtuanya. Kami sudah merasa nyaman dengan kondisi lingkungan yang seperti ini, meskipun secara kasat mata kampung ini adalah kampung yang terkenal dengan lingkungan yang kurang asri,” begitu kata dia.

Saya kemudian terkesan oleh esai yang ditulis oleh Eka Putra Nggalu dari Komunitas KAHE bahwasanya problem lain yang masih tersisa dari sekian persoalan yang terjadi di Wuring ialah meskipun sudah ditetapkan sebagai wilayah zona merah bencana, Wuring masih tetap dihuni oleh penduduk dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi, bahkan sampai sekarang semakin membengkak.

Masyarakat sendiri memang bersikap tegas, menolak direlokasi dan memilih tetap tinggal di rumah-rumah panggung, baik yang dibangun di atas air maupun di darat. Alasan substansial adalah mereka tidak dapat hidup jauh dari sumber penghasilan mereka yang rata-rata berasal dari hasil laut.

Segala jenis biota yang hidup di perairan adalah ladang mereka. Alasan ini logis dan terbukti benar. Wuring kini menjadi salah satu tempat dengan aktivitas ekonomi yang tinggi.

Sementara itu, pada tahun 2017 lalu, terlihat aktivitas pembangunan di Wuring. Jembatan-jembatan kayu di atas permukaan air laut yang dulu menghubungkan rumah-rumah warga dan menjadikan tempat ini menarik, telah dibongkar.

Buldoser-buldoser silih berganti datang membangun tanggul-tanggul penghubung rumah sekaligus penghalang dan pemecah ombak. Hemat saya, barangkali itu dilakukan untuk melindungi sekawanan kecil orang yang berani hidup di daerah “terlarang”.

Namun, menarik ulur pada sejarah, keberadaan kampung Wuring seyogianya bisa dibaca dalam paradigma ekonomi-politik perkara relasinya dengan masyarakat Maumere. Di tahun 1470-1500 pada masa pemerintahan Mo’ang Bata Jati Jawa, Sikka mulai berdagang dengan masyarakat Bugis.

Perdagangan itu kemudian berkembang hingga sekarang, dan secara ekonomis kampung Wuring merupakan salah satu jantung pendapatan daerah bagi kabupaten Sikka. Mereka memberikan kontribusi yang sangat signifikan. Adapun agama yang mereka anut adalah Islam.

Pembicaraan tentang agama ini menjadi menarik. Menurut cerita lisan, sekitar tahun 1580-1625, Raja Don Alesu di Sikka bersama para misionaris dari Eropa membangun sebuah kapela (tempat ibadat bagi orang Kristen Katolik) di sekitar wilayah pertigaan -yang dibatasi dengan jalan raya- menuju kampung Wuring.

Tujuannya agar masyarakat di kampung itu tidak menyebarkan agama di sekitar daerah pegunungan. Hal ini memang agak diskriminatif, meskipun seiring perkembangan waktu, terjadilah perkawinan campur antarmasyarakat Muslim dan Nasrani. Dari sinilah kemudian muncul wacana-wacana ihwal toleransi antara warga Wuring dan Sikka.

Dalam perjalannnya, sempat terjadi sedikit perselisian antara suku Bajo di Wuring dan penduduk asli dari Maumere. Suku Bajo mengkalim bahwa tempat yang mereka tinggali adalah lahan milik mereka, bukan tanah dari warga Maumere. Peristiwa ini sedikit menimbulkan percecokan antara suku Bajo dan masyarakat Sikka, terutama pada zaman Raja Don Thomas. Penyelesaiannya dilakukan oleh raja secara adat.

Dalam kaitannya dengan politik elektoral, bisa terlihat bahwa terdapat beberapa orang Wuring menjadi anggota legislatif di parlemen kabupaten Sikka. Hal ini dalam beberapa penafsiran, meski menurut saya terkesan agak dangkal, dianggap sebagai bentuk toleransi. Toleransi sejatinya mesti bergerak lebih daripada itu. Ia mesti terwujud secara horizontal bukan secara vertikal, sebab manusia sangat membutuhkan relasi sosial yang harmonis agar tidak terjadi diferensiasi di antara sesama yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan.

Pada akhirnya, kebutuhan masyarakat akar rumput di Wuring harusnya lebih jadi perhatian bersama. Dengan begitu, relasi dengan mereka tidak hanya sebatas label “surga ikan” atau simbol rajutan toleransi, tetapi lebih menyoroti hal-hal dasariah yang telah jadi steorotip buruk di kepala kita; jijik, bau, kotor, dan tidak layak huni. Sungguh aneh, sebab pada satu sisi kita memuji, sementara sisi lainnya kita menyindir. Kampung nelayan itu bukan yang terhempas atau yang terkikis.

Referensi

Cinde, Fransiskus Ropi. Wawancara per telepon seluler, 29 Mei 2019.

Dionitius, Dominikus dan Alexius Boer Pareira. Hikayat Kerajaan Sikka. Maumere:  Ledalero, 2008.

Madung, Otto Gusti. Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi. Maumere: Ledalero, 2017.

Wayudi, Muhammad. Wawancara personal, 19 April 2019.

*Chois Ochho Bhaga, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero. Anggota Komunitas KAHE. 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th