Kampung Halaman yang Terjebak Masa Lalu dan Masa Depan

Di hari ulang tahun ke-31, saya memutuskan pergi ke Sidoarjo seorang diri, menziarahi masa lalu yang memanggil saya pulang. 

Pagi itu saya naik kereta ekonomi Sri Tanjung dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, menuju Stasiun Wonokromo, Surabaya. Sengaja, saya tak menunggu Sri Tanjung tiba di Stasiun Sidoarjo. Sebab, kereta itu harus berhenti cukup lama di Surabaya, berganti lokomotif untuk persiapan melanjutkan separuh perjalanannya ke Banyuwangi, kota paling timur di Jawa. Di usia yang tak lagi muda, saya tak cukup sabar membuang satu setengah jam hanya untuk menjalani rute memutar dan menonton rombongan besar penumpang turun-naik ke dalam kereta di Surabaya.

Saya menganggukkan kepala kepada seorang lelaki berpeci yang menyambut para penumpang di gerbang keluar Stasiun Wonokromo.

“Ke Bungurasih berapa, Pak?” tanya saya.

“Dua puluh lima ribu rupiah saja,” ujarnya ringan.

Saya tak menawar, tak juga hendak membandingkan tarif ojek online dengan ojek tradisional. Udara panas yang lengket menyergap saya seketika di luar stasiun. Ini membuat kepala saya tak mau memikirkan sebuah upaya sederhana, jalan kaki sedikit lagi untuk tiba di suatu titik penjemputan ojek online. Saya langsung mengikuti bapak berpeci itu ke parkiran. Ia ramah dan terlatih kebut di sela-sela lalu lintas metropolitan yang padat.

Dari Terminal Bungurasih saya hendak naik bus jurusan Surabaya-Malang yang melintas di Jalan Arteri Porong, Sidoarjo. Tapi, sialnya, perlu setengah jam saya berdiri di depan bus-bus yang keluar tiada henti dari dalam terminal. Sudah lima bus jurusan Malang yang berlalu karena mereka tak lagi lewat Jalan Arteri. Mereka lebih memilih jalur tol panjang di atas Jalan Arteri Porong dan keluar di mulut tol Pandaan. Saya tak ingat kapan terakhir kali naik bus untuk pulang kampung. Perubahan kecil ini mendadak terasa merepotkan. Posisi Porong, kampung halaman saya, terasa tak lagi cukup strategis.

Porong, demikianlah saya lebih suka menyebutnya ketimbang menyebut Sidoarjo sebagai kampung halaman. Porong adalah sebuah kecamatan di selatan Kabupaten Sidoarjo, berbatasan langsung dengan Kabupaten Pasuruan. Sebuah sungai besar bernama Kali Porong menjadi penanda yang mudah diingat orang-orang yang melintasi daerah ini sejak zaman Kerajaan Jenggala. Ahli sejarah menyebut bahwa adanya sebuah candi dalam radius 5 kilometer dari Kali Porong merupakan bukti bahwa sempat terjalin hubungan antara Majapahit dan Campa di abad ke-14. Di era keemasan komoditas gula pada masa kolonial Belanda, Porong juga jadi salah satu daerah penting di wilayah Keresidenan Surabaya.  Tak jauh dari jembatan Kali Porong, sebuah pabrik gula berdiri, yang kini menjadi salah satu pusat pendidikan akademi polisi. 

Pakde Kamek, kakak tertua ayah saya, pernah bercerita tentang Porong yang terkenal sebagai kawasan preman di masa Belanda. Saya tertawa cekikikan saat Pakde menyebut kami masih keturunan preman. Orang-orang bengal terkenal dari Porong. Sarip Tambak Oso, pemberontak legendaris yang diabadikan karakternya melalui banyak pementasan ludruk, konon berasal dari bagian utara Sidoarjo. Saya senang membayangkan salah satu leluhur saya pernah menjadi begundal legendaris itu, bagian dari tim Robin Hood-nya Sidoarjo.

Ketika akhirnya mendapatkan bus yang mau melaju di Jalan Arteri alih-alih Tol Panjang, saya langsung sigap memanggul ransel, naik dari pintu belakang bus. Di dalam, penumpang cukup padat. Ingatan saya terlempar pada kejadian tak mengenakkan sebelas tahun lalu, ketika nyaris kecopetan di bus yang melaju dari Malang menuju Surabaya. Saat itu, Jalan Arteri masih dibangun. Saya naik dari tepi Jalan Raya Porong dalam keadaan belakang bus berjubel sesak. Seorang lelaki memepet tubuh saya dengan mencurigakan. Sontak saya merogoh isi tas dan tak mendapati ponsel yang sebelumnya saya simpan di sana. 

“Pak! Sampeyan mencuri, ya?!” tegur saya dengan suara kencang. Lelaki tambun itu kaget bukan main. Ia menunjuk ponsel yang telah ia lempar ke lantai dengan tergesa dan segera keluar dari bus. Semua orang kini memandangi saya dengan tatapan aneh. Saya duduk sambil mendekap tas erat-erat. Napas saya tersengal. Berani-beraninya! Saya tersulut emosi karena pencopet itu mengambil ponsel saya ketika bus masih melaju di ruas Jalan Raya Porong. Pencopet itu diturunkan di depan Tugu Siring.

Di tahun 1986, pembangunan tol Surabaya-Gempol yang melintasi Porong membuat kampung saya semakin strategis. Denyut perekonomian dari sektor industri dan perdagangan menguat. Meski sawah dan ladang masih terhampar luas, memori masa kecil saya lebih banyak terisi oleh keramaian jalan raya dan pasar yang selalu sibuk. Ibu pernah bercerita, ketika kami masih menempati rumah di depan Jalan Raya Porong, ketika saya masih berumur dua tahun, kematian Marsinah yang misterius begitu menghebohkan. Saat itu, seorang buruh perempuan yang bekerja di salah satu pabrik di Desa Siring, tidak jauh dari rumah kami, diculik, lalu dibunuh, dan menjadi ikon pergerakan buruh hingga saat ini. Belasan tahun kemudian, sosok Marsinah pun telah berkembang menjadi salah satu rumor di balik nuansa mistis bencana Lumpur Lapindo. 

Motivasi saya pulang kampung kali ini berlatar urusan keluarga besar. Saya mencoba hadir kembali, menyaksikan kekacauan yang tak pernah saya jumpai di tanah perantauan. Cerita-cerita bernuansa komedi gelap selalu lebih mudah saya temui di kampung halaman.

Meski pembangunan tampak cukup meyakinkan: jalan tol baru yang megah, gudang supermarket waralaba begitu besar, pasar yang menyediakan bahan makanan lebih murah daripada di Yogya, bahkan standar upah minimum Sidoarjo dua kali lebih besar ketimbang Yogya. Zona nyaman saya terletak di tanah rantau, bukan di kampung halaman sendiri.

Cerita-cerita mengenai tragedi hidup orang-orang biasa berserakan di Porong. Orang tua saya guru di sekolah pinggiran. Maka dari itu, ibu saya seringkali menuturkan kembali cerita mengenai murid-muridnya yang broken home, wali murid curhat mengenai rumah tangga yang berantakan, gadis-gadis yang hamil di luar nikah, yang sebagian besar enggan sekaligus tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, yang beberapa di antaranya bahkan belum lancar membaca di usia 14 tahun, dan terkadang sekian anak muda terseret kasus oplos miras dan menenggak pil anjing gila.

Pada mulanya, cerita tersebut sekadar mampir, akrab di telinga dan saya tetap berjarak dengan orang-orang di kampung halaman sendiri. Namun, ketika saya memutuskan memboyong semua buku dan selembar ijazah S1 dari Yogya ke Porong, kampung halaman terasa hidup, perlahan menyedot kepercayaan diri saya sebagai seorang sarjana. Ilmu dan pengalaman yang saya timbun selama ini di kota yang berisi beragam cendekiawan tiba-tiba tampak tak berarti di hadapan problem-problem sosial di Porong. Barangkali saya kelewat jemawa, masih berjiwa muda, jadi saya pikir setidaknya saya dapat membawa perubahan kecil untuk kampung halaman.

Pikiran seperti itu terlampau muluk.

Sebagai penulis yang berambisi menuliskan sebuah novel tentang kampungnya, saya memilih jalan yang sungguh merepotkan diri. Saya melamar menjadi guru di sekolah menengah kejuruan yang menempati gedung bekas sekolah dasar. Di hari pertama saya mengajar, saya masih mengenakan celana jins dan bertemu sekumpulan murid lelaki yang enggan masuk kelas dan memilih merokok di sudut gang sekolah, beberapa di antaranya juga bercelana jins. Saya pikir, dengan menjadi guru, saya akan sedikit banyak bersinggungan dengan cerita-cerita satir yang dapat saya catat. Memang demikian adanya. Diam-diam, saya pulang kampung dengan motivasi yang berlapis-lapis: ya kerja sosial, ya riset untuk keperluan menulis novel, ya untuk mengganti waktu yang hilang bersama keluarga.

Namun, sialnya, secara lahir-batin saya belum siap menjadi orang Porong kembali. Ketika mendapati seorang murid hanya termangu menatap jalan raya berdebu dari jendela di sebelah ia duduk, saya begitu antusias mengenalinya lebih dekat. 

Seorang guru berpikiran kritis dari Yogyakarta tiba-tiba bertanya seperti ini, “Kenapa matamu terlihat kosong, dari tadi hanya menatap truk-truk yang melintas itu? Apakah ada yang menarik? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan sekarang? Jadi, apakah kamu mau bercerita mengenai masalahmu? Anggap saja aku temanmu.”

Murid itu sekilas memandang saya dengan tatapan heran lalu air mukanya kembali datar. “Saya tidak punya masalah, dan saya tidak sedang memikirkan apa-apa, Bu.”

Saya turut termangu mendapati murid yang tersisa di kelas hanya empat orang, salah satunya bermata kosong tapi merasa dunianya baik-baik saja.

Tak sampai dua tahun, saya mundur dari pekerjaan menjadi guru. Meski demikian, cerita Ibu saya masih mengalir hingga detik ini mengenai komedi-komedi gelap yang berputar di ruang kelasnya.

“Aku iseng menanyai murid-muridku, siapa di sini yang ingin menikah? Kaget banget, lebih dari separuh mengacungkan tangan. Duh, anak-anak ini masih SMP. Mayoritas mereka anak broken yang justru menganggap kawin muda sebagai tujuan hidup mereka,” cerita Ibu suatu ketika. Saya tertawa kering karena rasanya seperti ditagih hutang. Belakangan ini, saya dan seorang teman di Yogya berencana mengadakan lokakarya journaling untuk kampanye pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja di Porong. Hanya saja, tak kunjung ada kesempatan.

Di kepulangan yang entah kesekian kalinya, saya pernah menjadi asisten seorang mahasiswa doktoral yang tengah meneliti perubahan sosial masyarakat Porong. Pada mulanya, saya kira saya akan ditugasi lebih banyak menggali pengalaman warga yang masih bermukim di dekat Lumpur Panas Lapindo. Bagaimanapun, Porong menjadi terkenal berkali-kali lipat sejak 2006 silam. Bermula dari alarm perusahaan pengeboran gas alam yang tiba-tiba berdering nyaring di tengah permukiman padat penduduk. Lumpur cair yang pekat, berbau busuk menyengat, menyembur dari dalam tanah dan dengan cepat meluber, lambat-laun menenggelamkan satu-persatu desa di Porong dan sekitarnya.

Kawah lumpur panas ini menjadi sorotan nasional. Bahkan, diperlukan sebuah konferensi internasional yang mengumpulkan pakar geologi seluruh dunia untuk mendiskusikan penyebab luapan lumpur tersebut. Para ahli terpecah menjadi dua kubu: (1) mereka yang menyebut bencana ini disebabkan gempa bumi Yogyakarta dua hari sebelumnya dan (2) mereka yang menyebut bencana ini dikarenakan kesalahan prosedur pengeboran. Kedua teori tersebut menjadi bola panas di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Salah satu menteri SBY saat itu, Aburizal Bakrie, merupakan pemegang saham terbesar Lapindo Brantas, perusahaan eksplorasi minyak dan gas alam yang nyaris menyulap Porong menjadi kota mati.

Saat menjadi asisten peneliti itu, saya berinteraksi dengan para petani dan buruh tani di Porong untuk pertama kalinya. Data saya lebih banyak bercerita mengenai para perempuan ngasak, pengumpul serpihan bulir-bulir padi, alih-alih cerita tentang tahun-tahun awal masa semburan lumpur. Di tengah kemajuan dan kemunduran peradaban di Porong, di antara kelindan fasilitas publik, pembangunan infrastruktur, beragamnya pabrik, dan lumpur yang menenggelamkan 19 desa, masih dapat ditemukan orang-orang pinggiran yang sehari-hari bertahan hidup dengan berburu sisa-sisa hasil panen.

Di sawah, di bawah cuaca yang sangat terik, saya berkenalan dengan Yu Pat. Ia seorang janda dengan lima anak. Di pertemuan pertama kami, Yu Pat bercerita bagaimana suaminya mempunyai selingkuhan dan mati karena dipatil ikan keting. Suami Yu Pat sehari-hari buri ikan di tambak. Jika ngasak adalah istilah kegiatan mengumpulkan sisa-sisa gabah hasil panen padi di sawah milik orang lain, buri adalah istilah kegiatan mengumpulkan sisa-sisa ikan hasil panen tambak di kolam ikan milik orang lain. Serupa, namun beda hasil buruan. Saya baru tahu bahwa manusia bisa tewas karena dipatil ikan sungai yang tampak tidak berbahaya. 

Di tengah bisingnya mesin perontok padi, perempuan ngasak sesekali bersenda gurau dengan buruh ndoros (pemanen padi) yang didatangkan dari Jember, daerah yang berjarak empat jam perjalanan dari Sidoarjo. Saya bertanya mengapa buruh ndoros itu didatangkan dari tempat yang jauh. Dengan bibir mencucu, Yu Pat bilang, “orang laki-laki sekarang pilih-pilih pekerjaan!” Menurutnya, perempuan bekerja lebih keras.

Sejujurnya, secara personal maupun tidak, Porong lebih mudah didekati sebagai masa lalu. Andaikata saya tak punya iktikad menulis novel tentang kampung halaman, di mata saya Porong sebatas ruang di mana identitas tak lagi perlu dipertanyakan, tak perlu saya telusuri lika-liku kehidupan orang-orang di dalamnya. Andaikata pula, saya menganggap Porong sebagai tujuan mudik Lebaran belaka, saya tak akan pernah mengetahui sedemikian strategis posisi Porong dalam menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur, yang sejak tempo dulu juga turut menjadi titik perlintasan peristiwa-peristiwa sejarah.

Porong teramat susah saya bayangkan sebagai masa depan. Andaikata novel itu kelak benar-benar rampung dituliskan, saya pikir hanya kepuasan membayar hutang kepada diri sendiri yang benar-benar saya butuhkan. Keinginan memberikan sedikit perubahan positif di kampung halaman sendiri semakin lama terdengar seperti suara truk yang melintas di tengah malam, di seberang rumah saya. Sayup terdengar, terkadang terasa seperti menggetarkan bangunan rumah, tetapi tak pernah sungguh-sungguh menjadi gangguan di waktu istirahat. 

Di kepulangan saya, di usia 31 tahun, menjelang 16 tahun peringatan luapan Lumpur Lapindo, samar-samar saya masih dapat mencium aroma khas lumpur panas yang terbawa angin sejauh enam kilometer, jarak rumah orang tua saya sekarang dengan pusat semburan lumpur. Saya mengajak adik saya mampir, naik ke atas tanggul, untuk sekadar melihat matahari terbit di balik asap yang membumbung, menandakan kawah lumpur masih aktif hingga detik ini. Hanya ada kami berdua di atas tanggul sepagi itu. 

Tak seorang pun yang tahu kapan lumpur panas akan berhenti. Meski demikian, pemerintah lokal sempat mewacanakan kawasan Lumpur Lapindo menjadi sebuah geopark lengkap dengan kereta gantung seperti di tempat wisata sungguhan. Tak saya temukan tanda-tanda perkembangan yang signifikan terkait wacana geopark itu di atas tanggul. Saya hanya menemukan sisa-sisa monumen dan beberapa patung buatan seniman sebagai penanda 8 tahun Peringatan Lumpur Lapindo, yang telah dipindahkan dari atas tanggul, lalu diletakkan begitu saja di sudut tempat parkir. 

Langit biru dengan semburat jingga di atas tanggul pagi itu harus saya akui cukup mengesankan. Terlepas dari keterbatasan saya berbaur kembali di kampung, saya juga terkesan pada bagaimana orang-orang Porong tetap bertahan, memilih melanjutkan hidup berdampingan dengan bencana industri yang masih terus mengintai. Apakah mereka benar-benar meniadakan ketakutan terhadap ancaman tanah amblas, tanggul jebol, dan lain sebagainya tatkala 16 tahun berjalan dan roda perekonomian di Porong telah kembali pulih?

Sebagian orang saya pikir sibuk dengan konfliknya masing-masing. Lumpur Lapindo sebagai medan pertempuran antara oligark dan rakyat seolah-olah telah berakhir, meski kerugian psikis dan pencemaran lingkungan masih belum benar-benar pulih, atau tak akan pernah pulih.

Mudik kali ini sesungguhnya menyadarkan saya bahwa Porong bukanlah masa lalu yang tertinggal jauh di belakang, bukan pula masa depan yang akan mendominasi kehidupan saya. Porong selalu berubah dengan maupun tanpa keinginan terhadap perubahan itu sendiri. Seringkali, saya merasa Porong terasa terjebak di antara masa lalu dan masa depan, penuh dengan ketidakpastian nasib warganya, begitu pula penuh dengan ketidakjelasan arah pembangunan. Tapi, barangkali, sejatinya saya terus-menerus terpanggil dan dipanggil pulang oleh kampung halaman, baik dalam kurun waktu pendek maupun panjang untuk menyaksikan sendiri perubahan yang bergerak tanpa henti.  

Untuk banyak orang, kampung halaman ibarat suatu tempat nun jauh di mata, sebuah desa permai nan damai, sebuah tempat pulang di mana jalinan kekerabatan eksis dan diterima begitu saja. Bagi saya di usia 31 tahun, Porong adalah masa sekarang, suatu tempat yang tidak dihindari tetapi juga tidak didambakan. Saya jadi lebih peka terhadap detail-detail yang berubah.

Minimarket yang baru renovasi dan semakin lengkap; pengeras suara dari masjid-masjid terdekat sahut-menyahut begitu nyaring hingga sempat menimbulkan konflik antara para takmir masjid dan seorang tetangga disabilitas, para anak motor yang pada pukul enam pagi di bulan Ramadan sudah berjajar nongkrong di pinggir ruas Arteri, dan ingatan saya yang memudar pada letak persisnya makam beberapa orang dari keluarga besar saya. 

Nama almarhum dan almarhumah di beberapa batu nisan seolah terhapus begitu saja. Mungkin pengurus makam mengecat ulang batu nisan tapi belum sempat menuliskan kembali nama-nama orang yang berbaring di sana. Mungkin, ia pikir anak cucu cicit akan selalu hapal di mana letak makam keluarganya. Saya rasa, saya menaburkan bunga di beberapa makam yang keliru. Andaikata roh-roh leluhur saat itu bangun dari kubur dengan raut muka kesal, menegur kecerobohan saya, maka akan saya ceritakan pada mereka perkara-perkara yang tak sempat mereka saksikan. 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] catatan perjalanan berjudul Kampung Halaman yang Terjebak Masa Lalu dan Masa Depan, kita dapat melihat bagaimana gigi masa menggerus habis ruang hidup manusia. Amanatia bercerita […]

Kalender Postingan

Jumat, Desember 27th