Arena Kontestasi Warga dalam Je.ja.l.an

 

Yudi Ahmad Tajudin adalah sutradara teater kontemporer Indonesia dengan pengalaman kesenian lintas disiplin, meliputi karya opera kontemporer, teater-tari, seni performans dan interpretasi seni pertunjukan tradisional yang telah ditampilkan di berbagai panggung dan forum seni internasional di Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Ia merupakan salah satu pendiri Teater Garasi @teatergarasi, sebuah kolektif seniman lintas disiplin di Yogyakarta, yang telah menerima penghargaan Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, Belanda pada tahun 2013.

Yudi adalah sutradara sekaligus ko-produser dari proyek Multitude of Peer Gynts, sebuah kolaborasi teater lintas Asia yang memenangkan Ibsen Scholarship dari Ibsen Awards Norwegia pada tahun 2019 dan telah dipentaskan di Larantuka, Flores Timur dan Shizuoka, Jepang. Pada tahun 2020, proyek ini juga dikembangkan dengan judul “UrFear: Huhu dan Kerumunan Peer Gynt (Huhu and the Multitude of Peer Gynts)”, berupa jejaring 11 karya pertunjukan individual-modular di dalam situs web interaktif.

 

Eka: Lau Ne kali ini temanya Kota dan Warga. Ini pengalaman kami melihat Maumere sebagai sebuah kota ‘kuasi planologi’. Tidak dirancang tapi dirancang. Tidak berbentuk tapi berbentuk. Tidak benar-benar privat, tidak benar-benar kolektif juga. Modern juga tanggung, tradisional juga tanggung. Itu yang kami alami dengan Maumere sekarang, Maumere hari ini. Mungkin itu bisa jadi karakter kota-kota di negara-negara dunia ketiga. Modernitasnya ada, berlangsung tidak sempurna, terlambat, dan cenderung berkiblat ke barat. 

Warga selalu berjuang dengan yang dirancang sebagai planologi pemerintah juga ruang-ruang bentukan atau ‘jalan-jalan tikus’ kalau kata Mas Ugo (Ugoran Prasad, red.). Jadi, warga selalu berkontestasi dan berkonstelasi di antara itu.

Waktu bikin pengantar redaksi ini, saya langsung ingat Je.ja.l.an. Kayaknya pas kalau wawancara Mas Yudi untuk berbagi gagasannya. Mungkin kami telat beberapa puluh tahun, tetapi bisa jadi Je.ja.l.an masih relevan dibicarakan dalam kaitannya dengan tema ini. 

Mungkin obrolan kita lebih banyak tentang Je.ja.l.an: bagaimana Mas Yudi dan teman-teman Teater Garasi melihat jalan, kota, modernitas, atau mungkin pertarungan antara yang dirancang  maupun yang tidak dirancang di Jogja atau di kota-kota lain di Indonesia pada umumnya. 

Sebelum masuk ke karya Je.ja.l.an, saya selalu penasaran dengan satu hal yang belum saya tanyakan ke Mas Yudi. 

Yudi: Personal, kah?

Eka: Hahaha, tidak, tidak. Ini, Mas. Teater Garasi itu punya credo ‘teater sebagai alat baca kenyataan’. Selalu dibilang itu salah satu quote-nya Mas Yudi, dari esainya Mas Yudi entah yang mana. Saya ingin tahu itu kira-kira kenapa sampai ada kesimpulan itu, Mas? 

Yudi: Ya, saya kira itu berkaitan dengan sejarah Teater Garasi. Sejarah kehadiran, keberadaan sejak mula, dan bagaimana kami menyikapi teater atau kesenian saat itu. Melihatnya dari dekat.

Kami misalnya, membentuk Teater Garasi bukan dari sekolah seni. Ada latar belakang yang lebih besar dari itu. Bukan ambisi menciptakan masterpiece, karya seni yang bagus, atau pertunjukan teater yang bagus. Awalnya Teater Garasi didirikan sebagai satu—waktu itu belum disebut sebagai kolektif—kumpulan yang sebagian besarnya mahasiswa sospol UGM.

Awalnya bagian dari cara kami, waktu itu, mencari ruang-ruang alternatif untuk berbagi kegelisahan. Mencari alternative spaces. Background-nya kalian semua tahu. Tahun 90-an awal itu ruang publik, di ruang yang formal itu, kita nggak bisa bebas bicara, nggak bebas berbagi pikiran atas kenyataan-kenyataan yang ada. Kita berhadapan dengan represi politik yang besar, represi politik yang nyata, yang mengancam. 

Ada latar belakang itu. Misalnya, di dua tahun awal, kami tidak membuat karya tapi membangun satu lingkungan, ruangan. Tempat orang-orang yang ada di dalam lingkungan atau ruangan itu bisa berbagi kegelisahan, bisa berbagi pikiran, berbagi ide-ide. 

Karena kemudian kami memilih teater sebagai ekspresi utama dalam menyampaikan kegelisahan itu, dari karya satu ke karya yang lain, sejak awal sampai 2000an awal, 2001 kalau nggak salah, kami mulai merumuskan pandangan kami atas teater. Salah satunya, kami melihat bahwa teater atau kesenian secara umum, di samping dia merupakan ekspresi artistik, terkait rasa estetika, sesungguhnya dia juga punya kemampuan menjadi alat membaca kenyataan dan alat mementaskan kenyataan yang sedang dibaca itu.

Jadi ini nggak khas, nggak spesifik terkait dengan estetika Teater Garasi. Sebenarnya semua karya yang kuat dan bagus, baik di teater maupun di disiplin seni yang lain itu selalu memantulkan kenyataan tertentu yang menjadi pijakan karya itu. Kita juga bisa membacanya atau terlibat masuk ke dalam isu yang disampaikan atau kenyataan yang dihadirkan dalam karya-karya itu. Di novel, puisi, film, formulasi semacam credo itu lebih menegaskannya. Pandangan itu juga yang membentuk Teater Garasi, membentuk estetikanya katakanlah, atau bagaimana karya-karya kami kemudian diciptakan dari awal sampai saat ini. 

Eka: Baik. Mungkin tadi Mas Yudi sempat singgung, tapi saya mau menegaskan lagi soal bagaimana kemudian Mas Yudi dan teman-teman di Teater Garasi semacam mengawasi atau memastikan bahwa gagasan ini operasional di karya-karya, di dalam bentuk apa saja, apakah tema, bentuk, atau kemudian juga riset, dan lain-lain?

Yudi: Awalnya, ketika kami bikin karya-karya, sebelum 2000-lah ya, tentu saja formulasi itu belum hadir. Tetapi dari latar belakang yang saya sebut tadi itu, sesungguhnya selalu sebelum merancang satu produksi pertunjukan, pertanyaannya selalu ‘ini tentang apa? Kita mau ngomong apa? Kita mau mementaskan apa?’ Jadi, bukan teater macam apa yang akan kita bikin? Dalam arti style. Tapi ini tentang apa? Kita mau menyampaikan apa? Kita mau membagi atau berbagi kegelisahan tentang kenyataan apa? Yang secara singkat misalnya, apa idenya? Apa gagasannya? 

Meskipun awalnya tidak terbahasakan tapi kemudian di tahun 90-an akhir, pasca 98, ketika ada kebutuhan untuk merumuskan ulang posisi, kemudian terlihat bahwa kerangka kerja, katakanlah teater sebagai satu alat baca dan alat mementaskan kenyataan itu sesungguhnya sejak awal berlangsung. Jadi kami tinggal merumuskannya, menuliskannya sehingga itu kemudian menjadi panduan yang lebih terang pada kerja-kerja berikutnya. Dan memang begitu dirumuskan, kami bisa menurunkan cara kerja kami dan menuliskannya sebagai satu metodologi, kerangka pendekatan penciptaan.

Jadi, cara mengawasi bagaimana kerangka itu bekerja ya ketika dia dirumuskan, didiskusikan kembali, dan kemudian itu memandu kami. Mungkin tidak otomatis. Mungkin di beberapa momen, kami tetap saling mengingatkan bahwa yang penting, pertama adalah idenya apa? kenyataan apa yang sedang kita rujuk? dan posisi apa kita atas kenyataan itu? Turunan berikutnya, bagaimana kita memposisikan diri pada kenyataan yang dirujuk itu dan bagaimana kita memposisikan penonton, kita mau mengundang penonton itu sebagai apa? Sebagai partner dialog, sebagai orang yang mesti disadarkan – tidak pernah kami ambil karena kami sadar diri nggak punya rasa didaktik. Kalau pertanyaannya bagaimana kerangka itu terus memandu kami ya, karena itu dirumuskan dan kemudian kami saling mengingatkan.

Eka: Dalam kaitannya dengan ini,  berarti bentuk kemudian jadi semacam artikulasi dari gagasan yang ingin diungkapkan.

Yudi: Ya, bentuk bukan berarti tidak penting tapi di kami, bentuk bukan yang awal. Ini lebih alur berpikir kali ya

Eka: Alur kerja juga

Yudi: Alur bekerja. Karena di sisi lain, misalnya di beberapa karya, kami disebut sangat sadar bentuk. Sangat estetis misalnya.

Eka: Spektrumnya lebar

Yudi: Sesungguhnya, di baliknya adalah keinginan untuk menemukan bentuk yang paling tepat untuk menyampaikan kegelisahan berdasarkan intensi penciptaan, tujuan-tujuan penciptaan dan bagaimana kami melihat penonton.

Eka: Ok Mas. Lalu satu lagi yang mungkin juga penting di Teater Garasi adalah tempat bagi pengetahuan bagi riset, bagi observasi. Kenapa ini kemudian penting dan disadari harus jadi bagian dari kerja kreatif yang kalau sebelum-sebelumnya cenderung lebih mementingkan rasa dari pada intelek.

Yudi: Saya harus bilang ini bukan hal baru. Malah justru kami itu belajar dari karya-karya sebelumnya, baik panggung maupun dunia lain. Buatku, paling tidak kalau kita membaca novel yang kuat, itu selalu seperti sedang menyampaikan pengetahuan tertentu. Atau proses menggali pengetahuan. Karya itu sedang menyampaikan proses dan pengetahuan tertentu. Karena karya selalu merupakan refleksi, selalu merupakan hasil perenungan. Baik perenungan koreografer, perenungan penyair, perenungan novelis, perenungan pelukis. 

Nah, dengan latar belakang yang kami refleksikan tadi, kemudian tahun 2000-an awal kami harus merumuskan posisi kami, terlihat dengan terang buat saya pribadi bahwa setiap karya kesenian, dibahasakan atau tidak oleh si seniman, selalu suatu produksi pengetahuan. Selalu proses dan produksi pengetahun. Selalu suatu dokumentasi pengetahuan juga.

Buat saya ini menyenangkan. Dia tidak baru tetapi identifikasinya buat saya menyenangkan karena kemudian dia membuka kemungkinan yang lebar, yang tidak terbatas pada bahwa dia cuma ekspresi, cuma dalam tanda petik. Bahwa karya seni adalah  ‘cuma’ ekspresi artistik. Refleksi rasa semata. 

Bahkan mungkin ada seniman yang merasa dia sesungguhnya cuma sedang mengungkapkan perasaannya tapi perasaannya itu dibentuknya atau hadir di mana, kapan, dalam situasi seperti apa? Itu semua ‘kan terdokumentasikan. Semuakan kemudian terealisasikan di dalam ekspresinya dan itu juga akan menyapa pembaca atau penontonnya atau pemirsanya.

Jika demikian, hal ini kenapa tidak diidentifikasi dan diakui saja? Karena setidaknya, buat saya dan teman-teman Teater Garasi, itu membuka kemungkinan yang lain, memandu kerja-kerja berikutnya, melebarkan cakrawala saya atas kemungkinan pengucapan tater.

Eka: Observasi sudah. Ya, data. Kerja observasi kan sangat terkerangka pada dunia akademisi. Riset berarti akademis berarti output-nya selalu seputaran kerja akademik. Garasi sendiri bagaimana menyikapinya?

Yudi: Ya, sebenarnya dengan cara lihat yang seperti yang kita ceritakan panjang lebar itu, jelaslah kalau data riset, informasi itu signifikan dalam membangun imajinasi. Secara simpel, kalau pakai analogi komputer, input data menentukan bagaimana kemudian pengolahan ekspresi isi komputer, gitu kan misalnya.

Mungkin bukan analogi yang tepat, tapi apalah, orang mengimajinasi buat pesawat karena dia pernah melihat burung to? Saya tidak bisa membayangkan seseorang yang belum pernah melihat burung terbang punya imajinasi bikin pesawat. Itu terlampau mistis buat saya, hahaha. Nah, meskipun tidak sadar. Tentu saja ketika punya imajinasinya, dia nggak segera menemukan korelasi antara data yang pernah dia lihat: burung terbang, dan imajinasi dia atas pesawat terbang. 

Di tahun 2000-an awal, memang saya lumayan menebalkan itu dan menawarkannya ke diskusi-diskusi teater di Indonesia. Lebih karena saya kira, setelah diskusi-diskusi teater setidaknya tahun 80-an 90-an, sisi itu seperti menghilang. Diskusi teater kita lebih banyak tentang dimensi perasaan dan imajinasi. Tidak melihat bahwa di balik karya, juga ada proses pengetahuan. Ada proses membaca kenyataan atau memikirkan gagasan tertentu atau isu tertentu. Saya lebih menawarkan ada sisi ini yang prinsip dan kita lupa. Pada teman-teman Teater Garasi awalnya. 

Ketika dihadirkan dalam diskusi-diskusi formal atau seni formal, memang kemudian tegangannya adalah perbedaan antara praktik seni dan praktik akademis. Awalnya saya juga, ya kenapa kita mesti antipati terhadap yang akademik?  Ada soal apa? Praktik akademik yang kaku, dingin, ya itu punya problem tertentu barangkali tapi kenapa tidak?

Ketika kita hendak memberi nama, menyebut satu fenomena tertentu, kita sedang merumuskan sesuatu. Baik kita berada di suatu institusi akademik maupun tidak to? Seniman-seniman tradisi kita itu punya banyak term, punya banyak istilah yang lahir dari pembacaan mereka. Mereka tidak sekolah atau tidak berada di institusi, universitas akademik tetapi mereka merumuskan pengetahuannya dan melakukan praktiknya yang kemudian disebut sebagai riset.

Jadi kenapa? Saya kira kemudian problemnya lebih di polarisasi yang, 

Eka: terlalu binary, oposisi

Yudi: Ya. Jadi ada pikiran dan perasaan. Ada sains dan seni. Ada pengetahuan dan seni. Netral.

Padahal jangan-jangan itu semua adalah spektrum. Tapi ya, mungkin tidak justified ketegangannya atau resistensi atas pembicaraan saya waktu itu.

Bahkan saya menggunakan term, kalau nggak salah di Waktu Batu: research based performance. Pertunjukan yang berdasarkan riset, bukan berdasarkan existing script, lakon yang sudah ada.

Yang dilakukan pertama adalah riset, kemudian menulis. Penulis menulis dengan kata-kata, performer menulis dengan tubuhnya, musisi menulis dengan musiknya, visual artist menulis dengan bahasa gambar. Saya memang melontarkan itu. Saya cukup sadar, dibahasakan atau tidak, karya yang kuat itu selalu buah pikir. Bukan cuma olah rasa tapi dia juga buah pikir. 

Pertunjukan Je.Ja.l.an. Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. 16-17 Mei 2008. Teater Luwes IKJ Jakarta. 23-24 Mei 2008. Fotografer: Mohamad Amin

Eka: Nah, kita masuk ke Je.ja.l.an. Je.ja.l.an itu produksi 2008 e, setelah masterpiece pertama, Waktu Batu, hahaha…

Yudi: Kau salah, ada beberapa masterpiece yang sebelumya, hahaha…

Eka: Haha, Oke. Je.ja.l.an sendiri itu seperti apa gagasannya? Mengapa kemudian Mas Yudi berpikir untuk bikin teater yang omong soal jalan di Jogja?

Yudi: Ceritanya, Je.Ja.l.an itu kan karya yang kami buat setelah saya mengidentifikasi dan kemudian menciptakan secara bersama-sama karya-karya Waktu Batu. Waktu Batu, kan di 2001 akhir, sampai.. Kalau karyanya dibikin, yang versi ketiga itu 2004-2005 sampai 2006. Itu cukup panjang, intensif dan ekstensif dalam jelajahnya. Catatannya, saya butuh beberapa waktu untuk istirahat. 2007 itu, teman-teman Teater Garasi punya beberapa proyek kecil, termasuk solo proyek. 

Di 2008 ada tawaran, nah ini terkait dengan isu Lau Ne warga dan kota. Waktu itu Dewan Kesenian Jakarta punya program seni dan kota. Kemudian Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Kelola melangsukan program itu. Ada open call, panggilan terbuka pada seniman untuk membuat karya dalam kerangka tema seni dan kota.

Saya kemudian tertarik. Tetapi ketika memikirkannya, karena ini pasca Waktu Batu yang memang merupakan investigasi, refleksi, jelajah pikiran dan bentuk yang mencoba memikirkan ide-ide besar, identitas, transisi, modernitas, sejarah, saya kemudian bicara kepada teman-teman Teater Garasi, bagaimana kalau kita berangkat dari yang dekat, situasi-situasi yang dekat, yang hari ini, kenyataan hari ini. Kalau di Waktu Batu kan kami menelisik mitologi, sejarah Jawa 1415, kalau ini kita berangkatnya dari sekarang. 

Sebenarnya, Waktu Batu satu versi pertunjukannya ‘kan suatu perjalanan balik dari masa lalu kemudian mendekat ke kenyataan hari ini. Waktu Batu 1 itu pekat mitologinya, Waktu Batu 2 itu pekat sejarahnya, Waktu Batu 3 kami coba kembali ke hari ini, kenyataan kami waktu itu. Je.ja.l.an, kita berangkat dari hari ini, apa yang ada, apa yang ingin kita sampaikan. 

Kemudian, di tahun-tahun itu saya memang sedang memikirkan jalanan sebagai satu lanskap, sebagai satu situs. Apa lagi sekarang ya. Waktu itu saya sudah melihat, jalanan di Jogja dan Jakarta kalau saya kembali, ada kontestasi, ada pertarungan yang langsung. Tiap hari, tiap saat.

Misalnya secara visual saja, antara kendaraan sama pejalan kaki, kendaraan kecil, sedang, besar, dalam ruang yang sama. Waktu itu mungkin saya agak dramatis. Ini seperti homo homini lupus, siapa yang kuat akan berkuasa. Misalnya, bus besar akan mendominasi jalanan karena tidak ada struktur yang rigid buat pejalan kaki. Yang kuasanya lebih kecil pasti harus menyingkir. Ini ada apa? Awalnya itu.

Saya kira ini fenomena yang menarik. Bagian dari kenyataan kita sebagai komunitas besar masyarakat yang hidup bersama. Kemudian kami memikirkan, meneliti, bahkan meminta Muhammad Abe bikin penelitian tentang sejarah jalanan di Indonesia. Jalan Daendels, Jalan Raya Pos. Kami mengundang juga arsitek waktu itu, Mas Manto, dosen UKDW, untuk juga omong tentang jalanan dari perspektif arsitektur dan ruang. Ini sudah lama sekali ya 12 tahun yang lalu. Hahaha. 

Yang saya ingat misalnya dia bilang, jalanan yang kita kenal sekarang sebenarnya bagian dari modernitas. Modernitas akhir. Ide tentang ruang atau cara melihat ruangnya berbeda dengan masyarakat zaman dulu. Dia bercerita tentang Mandala. Seperti yang kamu sebut di awal. Di kita kan transisi dari satu pandangan dunia ke pandangan dunia yang lain nggak linear, dia berlapis. Sampai sekarang pun, bukan berarti kita sudah meninggalkan cara pandang yang lama, sensibilitas yang lama. Dia berlapis dan hadir pada saat yang sama. 

Cara kita menyikapi, misalnya, ruangan antar rumah. Saya nggak tahu di Maumere. Kalau di kampung-kampung di Jawa, sebenarnya depan-belakang itu nggak jelas. Dapur atau ruang tamu. Tetangga bisa datang bertamu di dapur, melalui belakang, melalui sumur di belakang rumah. Ruangan antar rumah itu adalah jalanan, dilintasi orang. Sementara, jalanan yang kita kenal, yang lurus, bagian dari tata ruang.

Kemudian diskusinya jadi banyak. Sampai pada jalanan sebagai satu lanskap pertarungan, lanskap negosiasi antar-nilai, antar-cara pandang atas dunia yang berbeda-beda. Katakanlah yang disebut cara pandang tradisional, cara pandang modern. Bertarung setiap hari, mengokupasi ruangan. Misalnya pedestrian, pejalan kaki, trotoar yang diokupasi menjadi ruang…

Eka: Jualan.

Yudi: Jualan. Atau ruangan yang diokupasi jadi tempat olahraga.

Eka: Itu siasat juga sebenarnya?

Yudi: Ya. Itu kan… Karena kita nggak bisa melihatnya secara linear maka sebenarnya itu siasat atau strategi subjek atau warga kota membangun ruang hidupnya berdasarkan cara lihat atas ruang dan melihat relasi-relasi sosial-ekonomi.

Jadi, memang pertarungan, negosiasi yang terus menerus karena pada saat yang sama, negara, begitu menyebut negara, dia bagian dari modernitas, negara modern. Dia punya satu sistem nilai sendiri tentang bagaimana ruangan harus diorganisasi secara ketat berbeda. Meskipun penyelenggara negaranya juga barangkali berlapis cara melihatnya. 

Itu yang kami lihat. Pertarungan dan negosiasi yang terus menerus. Itulah kehidupan sosial-kultural kita. Misalnya, bagaimana kuasa politik bekerja, dinegosiasi.

Bagaimana kreativitas muncul: bagaimana membuka tutup botol dengan paku yang dibengkokkan, kursi yang buat duduk jadi tempat tidur. Di satu sisi, dari perspektif tertentu, itu masuk dalam diskusi soal maladaptasi. Kursi atau bangku buat duduk di taman atau di pinggir jalan tapi dipakai buat tidur. Pedestrian atau trotoar yang buat berjalan kaki jadi tempat dagang. Itu maladaptasi. Di sisi lain, itu siasat untuk memberlangsungkan hidup warga. 

Yang menarik, agak di akhir proses Je.ja.l.an itu, kami ketemu dengan konsepnya Zygmunt Bauman, Liquid Modernity. Ketika kita melihat modernity sebagai satu rumusan tunggal, modernity yang diberlangsungkan di Barat, Eropa, Amerika, kita jadi punya problem. Ini modernitas atau bukan? Tetapi, apa yang berlangsung di kita, apa yang tadi kamu sebut antara desain dan tanpa desain, antara bentuk dan nirbentuk, ya itu modernitas kita. 

Kalau ajuannya Zygmunt Bauman, itu modernitas yang spesifik, lokal. Jadi, modernitas itu nggak universal, dia likuid, dia cair. Waktu itu, dia memang sedang hendak mengganti term postmodernity, penemuan lapisan-lapisan nilai yang berlangsung di satu tempat yang sama. Tetapi, kerangka itu, buat kami cukup menjelaskan.

Aku kira positioning-nya kemudian, atau problemnya adalah ketika kita gegabah, menyebut sesuatu salah. Misalnya, dengan menyebut pedagang kaki lima salah, kotor, dan harus dibersihkan, harus digusur karena nggak seperti di Singapura yang rapi tertata atau Korea Selatan. Ini apa? Sementara, ada relasi-relasi ekonomi, relasi-relasi sosial yang tidak bisa difasilitasi negara juga kan. Saya kira problemnya di sana. Itu yang coba kami hadirkan.

Eka: Cetak birunya tidak selalu persis. Antara cetak biru sama yang diwujudkan selalu berjarak.

Yudi: Nggak pernah konsisten. Kalau mau konsisten, ini saya dapat dari istri saya karena dia studinya tentang kota dan ngulik tentang kota waktu dia di media besar. Perumahan rakyat itu sebenarnya hak asasi dan tanggungjawab negara. Hatta itu orang yang pertama ingin mengupayakan setiap warga bisa punya rumah. Tetapi, negara nggak mampu. Jadi, kemudian memang ada satu titik—saya lupa persisnya, harus dilihat ulang— dalam mengambil posisi, negara hanya pada batas tertentu sehingga warga mengupayakan sendiri: mencari tanah, membeli tanah, membangun rumah.

Kalau mau pakai konsep modern Eropa-Amerika, itu bagian dari tanggungjawab negara, menyediakan perumahan. Maka ada perumahan rakyat. Semakin ke sini, orang semakin lupa. Negara, pemerintah, bahkan kita semakin lupa. Itu seolah-olah sepenuhnya tanggung jawab warga, sehingga kerepotan dan diserahkan pada pasar.

Saya nggak tahu kalau di Flores. Kalau di Jawa, itu semakin jadi isu. Jogja, Jakarta, semakin gila-gilaan harga properti, yang digerakkan oleh kuasa modal atau pasar. Yang nggak punya akses, ya kesulitan.

Eka: Oke, walaupun keduanya berbasis riset, kalau kita bandingkan dengan Waktu Batu, subjeknya jelas berbeda. Waktu Batu subjeknya sangat mitologis, literer. Je.ja.l.an sangat empiris. Secara estetika, ada pengalaman yang lain tidak? 

Yudi: Sejak awal, kita berangkatnya dari kenyataan yang hari ini, bukan mitos, bukan sejarah masa lalu, kemudian secara spesifik jalanan, jalan, atau pinggir jalan. Estetika mesti turun dari sana, bagaimana tubuh membahasakan atau diolah.

Kami bekerja dengan apa yang disebut dengan found text: teks-teks temuan, objek-objek temuan. Misalnya, skenografinya itu disusun oleh objek-objek temuan dan diriset seniman-seniman yang terlibat. Misalnya payung. Waktu itu dibawa oleh Citra Pratiwi. Dia jalan sendiri, kemudian dia melihat pasar luber. Dia melihat payung. Aku belum tahu ini bagaimana mesti dibahasakan, tapi aku merasa payung ini menarik. Oh iya, ini menarik. Kita eksplor. Seng juga dibawa. Seng ada kalau ada pembangunan. Seng juga bisa jadi dinding rumah sementara. 

Jadi ada sekian banyak found objects dan found texts. Misalnya, ada teks yang lahir dari wawancara atau percakapan aktor dengan anak jalanan. Di sisi lain, saya waktu itu nemu puisinya Chairil Anwar. Situsnya jalanan, kan. Aku Berkisar Antara Mereka. Jadi halte, pinggir jalan, ngomongin tentang gigi waktu (gigi masa, red.), bioskop dan modernitas, dansa, itu bagaimana jalanan, ruangnya juga cair. Bukan berarti tanpa masalah, tapi di saat yang sama juga kita nggak bisa bilang itu sepenuhnya salah. 

Yang kami lihat waktu itu, ada kreativitas. Ada gaya hidup di jalanan dan itu mesti berangkat dari sana. Estetikanya berangkat dari yang sehari-hari. Dari sana kemudian saya dan beberapa teman menyimpulkan the practice of everyday life, the aesthetic of everyday life. Estetika dari hidup sehari-hari, bukan estetika yang extraordinary. Misalnya, bukan relief-relief di candi di Waktu Batu, tapi ini bahasa tubuh sehari-hari warga di jalan. Maka kemudian ada daster, ada dangdut gerobak.

Pertunjukan Je.Ja.l.an. Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. 16-17 Mei 2008. Teater Luwes IKJ Jakarta. 23-24 Mei 2008. Fotografer: Mohamad Amin

Eka: Kemudian apakah stilisasinya itu, pendekatan teater tari sudah dipikirkan sejak awal oleh Mas Yudi atau disesuaikan dengan found texts tadi? 

Yudi: Tantangannya sebenaranya gini. Kita ingin membaca dan mementaskan jalanan. Bahkan di kami sendiri, diskusi awalnya, “kan nggak ada yang baru dari jalanan? Kita setiap hari melewatinya. Kita setiap hari bertemu dengannya. Terus apa yang baru?”

Waktu itu saya bilang, “benarkah tidak ada yang baru atau belum kita lihat di jalanan? Benarkah bahwa kita sepenuhnya sudah memahaminya? Coba dulu, ditahan.” Ternyata temuannya banyak. 

Tetapi ketika kemudian kami berpikir bagaimana merancang bentuk pertunjukan, ini isunya tetap sama, pada penonton. Ini ‘kan jalanan, apa yang istimewa? Mesti ada satu strategi yang membuat fenomena yang familiar itu menjadi agak sedikit berjarak sehingga orang bisa melihat apa yang familiar itu dalam satu titik kritis, dalam satu momen reflektif.

Kalau dia disampaikan begitu saja, dalam arti kenyataan sebagaimana kenyataan begitu saja, untuk konteks di jalan, bisa jadi nggak strategis karena, mau ngapain

Eka: Apa bedanya? 

Yudi: Apa bedanya? Maka kami butuh, bisa disebut, strategi-strategi pengasingan. Alienation effect, Brecht, kalau kita mau pakai kerangka itu. Atau setidaknya, dibutuhkan satu strategi yang menunda familiaritas atas fenomena itu, sehingga di momen penundaan itu orang atau penonton bersama kami bisa sama-sama melihat secara kritis fenomena yang sedang dipertunjukan. 

Maka kemudian teater tari jadi satu kemungkinan. Ekspresionisme tari Jerman.

Kami melihat waktu itu Sasha Waltz, turunan-turunannya, Pina Bausch, jadi referensi bentuk. Di salah satu karya Sasha Waltz, juga tentang keluarga urban, mereka di dalam rumah. Dari gestur mengepel, gestur nonton TV, jadi satu ekspresi tari. Beberapa inspirasi prinsip tekniknya memandu kami untuk melakukan pengasingan, penjarakan dari familiaritas tadi.

Eka: Saya baca di beberapa riset/esai ada yang membaca Je.ja.l.an sebagai tubuh riset. Saya penasaran, bagaimana proses memindahkan yang dari jalan ke studio?

Yudi: Sebenarnya ini berlangsung juga di Waktu Batu atau di karya sebelumnya misalnya di Carousel tahun 1997. Terutama untuk performer, risetnya bukan cuma membaca tapi mengalami. Bagaimana tubuhnya mengalami. Ada experiential learning, pembelajaran melalui pengalaman, atau embodiment, penubuhan. 

Salah satu ilustrasinya, yang sedikit lebih tajam, beberapa aktor memutuskan untuk selama beberapa malam tinggal bersama anak-anak jalanan untuk mengalami kehidupan di jalan dan kehidupan mereka. Bukan membaca dari jarak, dari jauh, tapi tubuhnya mengalami. Memakan makanan mereka, minum minumannya mereka misalnya.

Dari proses-proses itu, entah riset ketubuhan, experiential learning, atau riset literatur mendengar Mas Manto membaca buku sejarah jalanan di Indonesia, ketika di studio, itu yang kami sebut sebagai improvisasi. Diskusinya bukan lagi secara verbal. Bentuk-bentuk aja. Musisi menciptakan bunyi, performer menghadirkan tubuhnya, atau suaranya. Ketika di studio, ketika kami improvisasi, memang seperti, “ini apa sih?”

Saya ingat, proses latihan kami di jalan, juga di studio Banjarmili milik almarhum Miroto, koreografer. Beberapa kali latihan di sana, terutama di saat-saat akhir.

Waktu dia nonton pertunjukan di Taman Budaya Yogyakarta, sehabis pertunjukan dia bilang ke saya, “aku tidak menduga kalian bisa bikin sesuatu yang menarik dari sampah.” Maksud dia, sampah itu adalah bentuk-bentuk sampah. Kalau dia lewat di studionya, dia melihat, “apa sih ini yang mereka lakukan? Nggak jelas. Nggak bagus.” Karena proses dialognya sedang berlangsung, dialog non-verbal, non-diskursif lah. Dialog melalui tubuh, melalui bunyi, melalui bentuk itu sedang berlangsung dan chaotic mungkin untuk orang yang melihatnya di luar. Itu yang kemudian kami bersihkan di tahap berikutnya. Bagaimana improvisasi dibersihkan menjadi kode-kode.

Prosesnya pada dasarnya demikian. Dari riset, pengalaman ketubuhan, mencari bentuk. Kadang-kadang nggak usah terlalu banyak cingcong bikin sesuatu. Bisa bunyi, bisa gerak, bisa menawarkan satu pencahayaan tertentu, lalu direspons oleh seniman yang lain dan saling berinteraksi. Dialognya menjadi seperti non-diskursif. Dialognya merupakan dialog-dialog esoterik, mungkin ya, dalam arti untuk membedakan antara yang diskursif dengan yang bentuk. Di tahap komposisi baru kemudian yang diskursif itu dihadirkan lagi, dilihat sebagai satu ukuran. Kita sebenarnya ngomongin apa, sedang menyampaikan apa?

Kalau tentang Je.ja.l.an, ada satu bagian yang buat saya dan beberapa teman sebenarnya bagian favorit. Bagian terakhir, kami menyebutnya ‘dangdut sureal’. Ketika nggak ada dialog, ada peristiwa-peristiwa kecil: orang tidur, orang dibangunin, ganti baju, adegan kekerasan, berfoto.

Itu lahir dari satu improvisasi performer dan waktu itu saya nggak ada. Waktu itu saya harus ke luar kota, (terjadi, red.) improvisasi antara performer, musisi, dan stage manager. Ketika saya kembali, “gimana improvisasinya?” Semua yang terlibat bilang nggak senang, nggak enak.

Waktu itu kami selalu merekam. “Coba saya pingin lihat”. Ketika saya lihat, saya suka sekali. Jadi, ini! Seluruhnya buat saya sudah jadi. Cuma tinggal soal komposisi, bagaimana dilihat oleh penonton. Tinggal digeser-geser. Saya kemudian minta mereka untuk mengkodifikasi keseluruhan dari sesi improvisasi-improvisasi itu dan menuju satu adegan terakhir, dangdut sureal itu.

Ini ilustrasi. Di dalam improvisasi, yang berlangsung memang bukan analisa. Ketika dianalisa, itu malah, “ini apaan sih?” Jadi, ini memang ekspresi, memang interaksi. Tapi ketika dia diambil jarak, analisa mulai muncul, “oh ini sebetulnya memang sedang menyampaikan sesuatu.” Fenomena yang beneran ingin kita baca dan pentaskan. Layer-nya banyak banget buatku waktu itu.

Semoga menjawab pertanyaanmu soal riset dan bentuk.

Eka: Di beberapa esai, ada yang membaca Je.ja.l.an sebagai trying to be Pina Bausch tapi tidak sampai. Menurut Mas Yudi bagaimana? Sebenarnya di beberapa ulasan, sudah secara terang menyebut ini teater tari dan beberapa referensi seperti Mas Yudi sebutkan tadi. Masalah orisinalitas itu menurut Mas Yudi seperti apa? Walaupun dari prosesnya sudah found material semua. Agak ambigu ya membahas orisinalitas.

Yudi: Kalau tentang ini barangkali timbul pusarannya itu di istilah teater tari, saya kira. Kalau saya tidak menggunakan istilah teater tari, orang nggak akan meributkan itu. Pertanyaan sebenarnya, istilah teater tari sendiri spektrumnya luas sekali. Tidak merujuk pada satu-dua saja, tapi…

Eka: Eksponennya banyak.

Yudi: Iya. Ketika dia menjadi suatu istilah, dia membuka kemungkinan fase yang lain. Buat saya, pada dasarnya dia pertemuan antara disiplin teater dan disiplin tari. Kalau misalnya Pina Bausch dan beberapa koreografer setelahnya ingin bergerak dari tari ke teater, misalnya, ‘kan bisa saya sebaliknya, dari teater ke tari. Ukurannya ‘kan di antara itu. Bukan lagi kata teater atau tari, tapi proses menujunya. Itu kan point of view, siapa yang melihat dan referensi apa yang digunakan untuk melihat.

Dalam karya, saya selalu punya rujukan. Nggak selalu sadar, berang kali. Tapi kemudian saya menyadari bahwa ada rujukan, bukan saja bentuk, melainkan tema, misalnya.  Pada akhirnya, buat saya, ukurannya, yang mau saya bicarakan secara keseluruhan pada dasarnya apa? Di luar bentuk. Bentuk-bentuk itu sudah menyampaikan yang ingin saya bicarakan belum? Bukan bentuknya itu sendiri. 

Bentuk-bentuk itu kan vocabulary, kata-kata. Bentuk di panggung, tubuh, skenografi, kita bisa menyebutnya vocabulary. Kosa. Kalau analoginya di penulisan, siapa yang menciptakan kata? Tentu bukan si penulis yang sedang menulis saat itu. Dia tidak menciptakan kata baru, dia menggunakan kata-kata yang sudah ada sebelumnya. Terus mau diukur gimana? ‘Kan yang mau diukur ekspresi keseluruhan, bukan kata yang digunakan lagi. “Diksi ini, nggak baru nih katanya. Udah pernah digunakan sekian juta orang untuk satu kata tertentu.”

Pertunjukan Je.Ja.l.an. Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. 16-17 Mei 2008. Teater Luwes IKJ Jakarta. 23-24 Mei 2008. Fotografer: Mohamad Amin

Eka: Menarik juga karena ada yang membaca ini sebagai realisme yang lain. Spektrumnya jadi luas.

Yudi: Karena sebenarnya di samping teater tari, kami merujuk pada documentary theatre. Kami sedang mengulik tentang itu. Teater dokumenter yang menggunakan unsur-unsur di film dokumenter: wawancara, atau kalau film gambar-gambar yang dilihat.

Jadi, aku kira tergantung siapa yang melihat dan referensi apa yang digunakan. Kalau buat saya pribadi, saya dan tim kreatif kan punya satu ukuran tertentu yang dikejar. Ketika ukuran-ukuran itu pada titik tertentu sudah dicapai, kami hidangkan ke publik. Pada saat itu, yang berlangsung adalah persepsi selektif.

Cara orang melihat karya itu persepsi selektif karena nggak ada kritikus profesional. Buat saya, kalau kritikus profesional, dia nggak akan melihat dari satu perspektif. Dia akan coba kelilingi itu karya dari banyak perspektif dan kemudian berdialog dengan itu. Nggak kejebak pada like or dislike dengan satu perspektif tertentu, satu style tertentu.

Kalau persepsi selektif yang mengemuka, ya nggak apa-apa. Maksud saya, di luar itu, kontak pertemuannya kayak gimana? Apa yang dimunculkan di luar referensi-referensi yang ada di kepala penonton tertentu saat itu.

Eka: Images awalnya bahkan sudah muncul sejak karya performance art, seni rupa itu?

Yudi: Jelaslah. Jelas saya terpengaruh oleh banyak hal. Jadi, nggak ada yang orisinal. 

Eka: Kalau omong yang sedang Mas Yudi kerjakan di lintas media, cara melihat, cara membaca, cara mengelolanya sudah dari sebelum-sebelumnya berarti?

Yudi: Ya iyalah. Nggak ada yang baru, Ka. Makanya saya sejak lama, sejak awal Garasi bahkan, saya nggak mau pakai istilah baru karena susah sekali. Saya sendiri sebagai seniman bisa terjebak pada satu naivitas tertentu. Lebih karena referensi saya atas sejarah seni atau sejarah teater yang pendek, kemudian saya mengklaim, saya bikin sesuatu yang baru, padahal dulu udah pernah dilakukan orang, udah pernah dipake orang, atau dijelajahi orang.

Jadi, bukan barunya, tetapi dengan bentuk itu, saya ingin berdialog atau ingin menyampaikan apa? Bentuk itu tepat atau tidak sehubungan dengan ide dan penciptaannya? Barangkali saya cuma modifier, sebagai seniman modifikasi-modifikasi aja. Saya nggak punya klaim bentuk baru karena, emang ada? Nggak tahu. Mungkin aja ada, tapi waktu dan tenaga saya nggak cukup untuk memburu yang baru.

Eka: Oke, dua pertanyaan terakhir. Pertama, dari referensi-referensi, karya-karya Teater Garasi sering diidentikkan dengan teater intelek, teater yang sulit, rumit. Namun, saya pribadi sebagai penonton, saya selalu mendapati unsur puitik atau unsur dramatik yang kuat di karya-karya yang membawa gagasan besar, seperti pikul salib: beban dosa dunia. Bagaimana karya yang gagasannya sebegitu rumit, ilmiah, sophisticated, bisa tetap puitik, bikin orang menangis, bikin orang terenyuh?

Yudi: Saya kira saya berusaha terus menyadari bahwa pada akhirnya, saya menyampaikan melalui medium yang terbatas, yang disebut sebagai teater atau panggung. Artinya, saya mesti berangkat dari keterbatasan atau keluasan panggung. 

Misalnya, atas isu atau tema Je.ja.l.an, jika sejak awal saya ingin membuat film atau membuat tulisan atau novel, mediumnya, itu akan berbeda. Bentuknya jelas berbeda. Karena panggung, apa hal-hal yang ingin saya sampaikan atau bagi dan dengan cara apa bisa disampaikan, tentu dalam batasan atau keluasan panggung. Identifikasi kamu bahwa karya-karya saya dan Teater Garasi pada saat yang sama bisa tetap dramatik atau puitik, meskipun ide-ide, latar belakang, dan basis penciptaannya berdasarkan riset, kompleks, untuk tidak menyebutnya canggih – nggak tau canggih atau nggak – awalnya ya dari sana. Saya berusaha menyadari batasan dan keluasan medium yang sedang saya pilih, dalam hal ini teater.

Kalau kita ngomong keluasan, saya sebagai seniman akan sangat terbantu kalau pengetahuan saya atas sejarah teater, estetika teater itu luas. Apa yang sudah pernah dilakukan orang di dalam teater. Idiom panggung macam apa. Sehingga, ketika saya berekspresi, kemudian kelihatan vocabulary-nya jadi banyak. Itu satu.

Kedua, dari awal banget, kenapa saya bikin teater? Karena saya ingin ngobrol, berdialog, dalam hal ini dengan penonton. Saya mengundang penonton karena ingin ngobrol, berdialog, dan personal. Beberapa tahun belakangan, kadang-kadang saya bikin karya pesanan, lebih ke pertimbangan-pertimbangan yang nggak terlalu personal, dalam arti pikiran dan kegelisahan personal. Tapi, kalau karya-karya yang berangkat dari urusan personal, ingin percakapannya juga personal dengan penonton.

Ketika ada keinginan macam itu, barangkali itu yang menciptakan situasi pertunjukan atau komunikasi pertunjukan dengan penonton yang kamu lihat sebagai puitik. Kadang, kalau kita berada pada momen percakapan yang personal, itu terasa sebagai puitik. Ada yang puitis di sana. Atau dramatik, karena berkarakter. Ada personalitas, persona yang membuatnya jadi drama relasi antar persona.

Barangkali juga, akan ada di luar saya yang bisa melihat kemungkinan yang lain. Bisa jadi karena saya memang penyuka drama. Hahahahaha.

Eka: Kalau soal personal tadi, karakter-karakter di Je.ja.l.an  sebenarnya no name semua to?

Yudi: Ya subjek yang cair karena bukan 

Eka: Ngomong soal identifikasi/identitas juga itu?

Yudi: Bukan melakukan representasi atas karakter spesifik, pertunjukan yang berbasis pada lakon-lakon drama.

Eka: Terakhir, setelah mengecek lagi soal Je.ja.l.an dan karya-karya Garasi sampai sekarang. Saya teringat satu credo-nya Mas Yudi: ‘Yang Dramatik, Yang Subversif’. Itu masih berlangsung tidak di Garasi sampai sekarang? Bagaimana dia berlangsung?

Yudi: Ini persis sebenarnya lebih berkaitan dengan hasrat besar saya di balik bikin karya: membangun dialog, menciptakan ruang dialog, pertemuan yang berdialog. Nggak cuma satu kali mengelus, saling puk-puk, tapi berdialog.

Itu kan formulasi yang saya tulis 90-an akhir. Ada konteks spesifik di baliknya. Misalnya, pada waktu itu teater Indonesia didominasi oleh teater tubuh. Ini kaitannya juga sama represi rezim Soeharto, politik bahasanya Soeharto, sensor terhadap kata, kontrol terhadap bahasa. Kemudian banyak seniman atau kelompok teater yang menggunakan bahasa non-kata, non-verbal.

Di Carousel kami juga mengeksplor itu, Atau Siapa Saja juga mengeksplor itu tahun ‘95. Terus 97 akhir… Nah, ini saya nggak konsisten. Jadi, setelah Carousel, Kapai-Kapai, terus sama teman-teman, “eh, aku capek dengan teater dua terakhir. Kita main-main dengan realisme, yuk! Refreshing.” Nanti ada yang marah lagi saya bilang realisme sebagai refreshing

Kemudian saya nyari naskah. Kepingin nggak beban produksi dan pikiran, saya cari naskah-naskah yang sudah ada dan naskah pendek. Kebetulan ketemu kumpulan naskah pendek terjemahan Suyatna Anirun. Kemudian saya menemukan juga terjemahannya Sapardi Djoko Damono, Pagi Bening. Yang mempertemukan itu, hubungan laki-laki dan perempuan, pasangan dalam banyak tahap. Ngomong tentang keluarga, kompleksitas relasi personal.

Karya-karya sebelumnya, Kapai-Kapai, ada perspektif Marxian di sana, relasi buruh dan majikan. Terus Carousel tentang kekerasan negara, kekerasan personal. Ini kita ngomong tentang relasi, intimacy. Apakah intimacy? Kompleksitas di dalamnya. Waktu itu dipentaskan di Lembaga Indonesia Perancis pertama kali.

Saya lupa persisnya, saya harus nulis sesuatu, terus saya melihat bahwa apa yang kami lakukan waktu itu subversif. Pilihan tema, pilihan isu, pilihan bentuknya, itu subversif atas versi besar teater Indonesia yang sedang berlangsung waktu itu. Juga subversif atas kecenderungan kami dan kerja-kerja kami sebelumnya.

Karena dia subversif, karena dia menawarkan versi yang tidak dominan, kemungkinan dialognya buat saya jadi lebih terbuka. Ini kan jadi nggak rutin. Kalau yang versi dominan, karena dia dominan, hampir setiap saat, setiap hari dia berlangsung, dipikirkan, orang terpapar pada versi dominan. Kalau nggak dominan, artinya peluang untuk dialognya lebih intens. Sementara, saya sebagai sutradara selalu ingin bikin peristiwa yang nggak biasa, bikin peristiwa yang bisa membangun dialog. 

Kemudian, sedang asik-asiknya membaca gagasan-gagasan teater waktu itu: Brecht, Antonin Artaud, Grotowski, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Rendra. Saya melihat, semuanya itu pingin bikin dramatik, bikin peristiwa spesial, atau kemudian macam-macam formulasinya, sangat tergantung pada konteks seniman masing-masing, tempat, dan waktunya. Kalau bisa dibahasakan, semuanya kepingin bikin karya teater yang dramatik. Saya melihat, supaya bisa dramatik, dia mesti subversif, atau bisa menawarkan perspektif yang lain. Saya tulis aja sejarah pemikirannya, gitu

Waktu di tulisan itu, saya sudah menuliskan bahwa yang saya maksudkan dengan subversif itu bukan cuma dalam politik praktis, misalnya. Lebih pada pengertian dasarnya. Subversi. Versi yang nggak dominan, yang di bawah. Dia akan menggulingkan atau tidak, tergantung proses selanjutnya. Menggulingkan versi dominan, tergantung proses selanjutnya. Emang teater mau bikin revolusi macam apa?

Kalau pertanyaannya apakah sampai sekarang, pada prinsipnya, iya. Cuma kalau saya munculkan istilah itu sekarang, akan punya pengertian yang lain lagi. Tafsir dan diskusinya jadi lain lagi.

Eka: Dengan Garasi yang sekarang

Yudi: Ya, saya kira nggak perlu lagi. Tapi basisnya sebenarnya keinginan untuk terus bikin karya dan mengundang penonton, ingin beneran dialog. Nggak basa-basi, nggak demi puja-puji, demi dapat foto bareng.

Pertunjukan Je.Ja.l.an. Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. 16-17 Mei 2008. Teater Luwes IKJ Jakarta. 23-24 Mei 2008. Fotografer: Mohamad Amin

Eka: Satu yang saya hampir lupa, dalam konteks Je.ja.l.an, sejauh yang Mas dengar atau lihat dari penonton, sejauh mana mereka mengalami karya itu?

Yudi: Spektrumnya luas ya. Dan ini yang buat saya senang. Tergantung persepsi selektif masing-masing penonton karena tadi, bukan kritikus profesional. Tapi begitu spektrumnya luas, saya suka.

Ada juga yang “ini kan kenyataan yang kita semua tahu.” Oke, ya sudah. Tapi ada yang “gila ya, apa yang kita anggap biasa-biasa aja ternyata menyimpan negosiasi yang keras.” Ada yang sangat emosional, ada yang sangat intelektual, ada yang “wah, karyanya solid banget.” Itu kritikus fotografi. 

Saya nggak tahu jawaban macam apa yang kamu bayangkan, tapi spektrumnya lumayan luas dan memang sehabis pertunjukan Je.ja.l.an, memang kami bikin semacam acara bersama. Je.ja.l.an diawali dan ditutup dengan peristiwa bersama yang tanpa batas. Ngobrol, sampai lelah sendiri. Awalnya kan begitu. Begitu masuk, ini mana panggung, mana performer itu nggak jelas. Di akhir pun demikian. 

Ada peneliti dan kritikus tari Jepang yang kemudian membuat karya Je.ja.l.an sebagai satu pattern dramatik tari. Diskusinya waktu itu sayangnya di media sosial. Je.ja.l.an itu kayak satu lanskap, satu estetika yang menggelar lanskap.

Ya… Masih ada juga orang yang menyoal saya nggak paham estetika jeda. Itu masih ada di Je.ja.l.an.

Eka: Ada jam malam di Je.ja.l.an, Mas

Yudi: Kan ada momen malam di Je.ja.l.an, ada momen aku berkisar di antara mereka sejak terpaksa.

Eka: Ada momen romantik.

Yudi: Iya, ada gerak performer yang sangat hening, bisa dibilang. Yang saya suka, spektrumnya lumayan luas. 

 

Pertunjukan Je.Ja.l.an bisa ditonton di sini.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Desember 7th