Hari-hari Pasar di Wilayah Kepulauan Timur Asia Tenggara

Pengantar

Tulisan ini adalah sebuah proposal. Ia berkembang dari zine yang saya terbitkan secara mandiri pada September 2022 lalu, sebagai fellow The 2021/2022 BAK Fellowship for Situated Practice. Perkembangan tulisan ini mencakup catatan-catatan singkat atas kunjungan-kunjungan ke hari-hari pasar di beberapa kepulauan di Asia Tenggara dari Maret 2022 hingga April 2023; bacaan-bacaan yang melimpah dan menarik, sekaligus meletihkan untuk dipelajari; dan pertemuan-pertukaran pengetahuan dengan kawan, kolega, orang pasar, rekan seperjalanan seberang lautan. Setelah bertemu pasar di sungai, pasar di pulau, pasar di pesisir, pasar di gunung, dan pasar di perbatasan di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara, penelitian ini akan membahas diskursus pasar sebagai ruang anti-kolonial. Tulisan yang akan Anda baca memuat berbagai arsip bacaan, percakapan, dan pengalaman saya menjelajahi daerah-daerah yang menjadi wilayah riset saya.

pasar, pekan, tamu, tabo, padian, regang, rega 

Pasar dan Perempuan Pedagang

Pertemuan intensif pertama saya dengan pasar dan pedagang perempuan berlangsung pada proses pemetaan 117 pasar swadaya (non-pemerintah) di kota Surabaya, Indonesia pada tahun 2020 – 2021 yang saya lakukan secara mandiri. Begitu besar dan pentingnya pasar-pasar swadaya ini di kehidupan sehari-hari warga Surabaya, menarik saya untuk mempelajari tradisi pasar di Indonesia dan dunia. Peran pedagang perempuan dalam pasar mulai saya pelajari dari buku The Domestication of Desire: Women, Women, Wealth, and Modernity in Java, sebuah karya etnografis masyarakat pedagang Laweyan di Surakarta oleh Suzanne April Brenner yang diterbitkan tahun 1998. 

Brenner menyebutkan bahwa para perempuan Jawa telah aktif dan memiliki peran penting dalam perdagangan jauh sebelum era pemerintahan penjajah Belanda. Namun, peran mereka dikerdilkan. Akses mereka ke pasar ditutup dengan kebijakan-kebijakan eksploitatif serta monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru. 

Buku selanjutnya adalah The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia oleh Barbara Watson Andaya. Barbara Andaya membeberkan sejarah gender terkait perempuan Asia Tenggara yang banyak diabaikan dalam historiografi. Ia menggambarkan pesatnya penyebaran agama dan penjajahan melemahkan dimensi spiritual dan intelektual kaum perempuan, termasuk dalam perdagangan. Buku ini membimbing saya untuk memperhatikan pengalaman-pengalaman sebelumnya berkunjung ke Maluku Utara dan pulau Ambon, bertemu dengan perempuan pedagang. Terdapat ragam nama dan praktik perempuan pedagang di Indonesia Timur, seperti papalele, jibu-jibu, tibo, dibo-dibo

Papalele untuk orang Maluku adalah sebutan lokal untuk perempuan pedagang keliling, baronda. Di pulau Morotai (Maluku Utara), penjual ikan dinamai dibo-dibo. Di pulau Tomia (Sulawesi Utara), orang juga mengenal istilah papalele yang ditujukan untuk para pedagang ikan, sama halnya dengan istilah jibu-jibu. Namun, istilah papalele pada penerapannya ternyata ditujukan pada segala macam penjual pinggiran, seperti penjual buah, ikan, sayur, dan lain-lain. Beda halnya dengan jibu-jibu yang hanya ditujukan secara khusus untuk penjual ikan saja. Saat kunjungan ke hari pasar di pasar Airmadidi, kabupaten Minahasa Utara, ada konsep tibo sebagai perempuan pedagang dan makelar. 

Saya mendapat rekomendasi buku klasik mengenai perempuan dan pasar di Minahasa yang diterbitkan tahun 1987, Peasant Pedlars and Professional Traders: Subsistence Trade in Rural Markets of Minahasa, Indonesia karya Helmut Buchholt dan Ulrich Mai, berikut ini cuplikannya:

Marketing lake, as opposed to sea, fish is a thoroughly female business. Lake fish traders add considerably to the characteristic picture of the Minahasa market: in the morning they usually arrive in a group at the marketplace, always occupying the same corner. There they stand closely together or squat over their fish bowls, exchanging market information as well as gossip, and always prepared to assist in any transaction going on. The impression of solidarity and collectivity, existing not only among the traders but also between them and their customers, is further strengthened when the customers, with friends or relatives among the tibo, inter­ mingle with them. Since there are no stalls to function as a barrier, morphologically speaking, the customer cannot be distinguished from the tibo

Saat bertemu dan berbincang-bincang dengan dua papalele, perempuan pedagang keliling di pulau Ambon, saya baru sadar bahwa pilihan hidup mereka sebagai pedagang adalah pilihan ekonomis dan ritual, sama seperti pekerjaan penenun yang ditekuni oleh perempuan-perempuan di Asia Tenggara. Papalele yang saya temui di pulau Ambon dan pulau Saparua memiliki pakaian khusus, yaitu sarung dan kebaya, juga tali renda untuk mengikat sarung di pinggang dan sebagai kantung untuk menyimpan dompet dan apa-apa yang dianggap membawa keselamatan dan keberuntungan. 

Papalele berdagang keliling dengan menjunjung sejenis keranjang warna coklat kehitaman yang disebut ‘atiting’ atau ‘dulang’ – yang terbuat dari bambu dań kayu – di atas kepala. Mereka juga mengelola kebun yang hasilnya dijual saat hari pasar. Di pulau Saparua (Kepulauan Lease), papalele yang saya temui memiliki kebun aren di sekeliling rumahnya, dia membuat gula aren, kemudian menjualnya di pasar Pulu (Saparua). Sedangkan di pulau Ambon, papalele yang saya temui memiliki dan mengelola kebun nanas dan buah-buah lain di pekarangan rumahnya, hasil kebun dijual di pasar Mardika di pusat kota Ambon. Kesempatan bertanam, meramban, dan berjalan kaki antara rumah-kebun-pasar memberi pengetahuan kepada papalele mengenai wilayah mereka, menjadi familiar dan menghormati lingkungannya.

The gender specificity of Southeast Asian cloth is of immense significance in assessing community attitudes to women’s work. Basic to many local economies, especially in times of food shortages, cloth could be used for all manner of exchanges and in some areas did actually function as a currency. On the island of Buton (near Sulawesi), for instance, small rectangles of rough cloth were woven and sold as a monetary equivalent that circulated in surrounding areas. The centrality of textiles, however, was less a function of their economic role than their place in the ritual life of most Southeast Asian communities. (Barbara Watson Andaya, 2006:115)

Hari-hari pasar di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara mendapatkan gelar yang penting dan sakral. Hari pasar di Sabah (Malaysia Barat) disebut dengan tamu, di wilayah Visayas (Filipina Tengah) disebut dengan tabo, di kabupaten Sikka (pulau Flores) disebut dengan regang, di kabupaten Ende disebut dengan rega. Tamu, tabo, regang, dan rega memiliki makna yang sama, tempat bertemu

Kesakralan hari pasar bisa ditelusuri secara spasial di pulau Bali. Letak pasar di Bali selalu di perempatan agung, Catus Patha. Cuplikan di bawah ini saya ambil dari artikel Cultural Value Transformation in Traditional Market Spatial Planning in City of Denpasar, Gianyar and Klungkung – Bali, Indonesia, oleh Widiastuti, Syamsul Alam Paturusi, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra:

The trading activity called the market or old market in Bali, especially according to the story of the elders, takes place under the banyan tree, which is protected from the heat of the sun. Traditional markets in Bali are built on traditional village spatial arrangements arranged based on the spatial layout concept of Hindu. In that conception space is regarded as a macro cosmos which is the embodiment of the micro cosmos. The structure has the same parts: head, body and legs. They also have the same purity values as: holy for head, middle for body, and profane for the feet. At the traditional village level, the concept is transformed in the traditional Balinese village spatial structure. Traditional markets as part of the village, occupying parts of the body with the value of middle. Along with the palace, community building (bale banjar), and the square, the market forms the grand square of the village.

In the era of the kingdom, the market is an element of the city that has an important role for the survival of the community. This is reflected in the concept of spatial royal city that is Catus Patha (Main Cross Section) pattern. Catus Patha is not just an intersection that has a sacred value but is associated also with its status as the capital of the kingdom. In its position as the center of the kingdom of this main cross section, it consists of four elements, namely (1) the palace as the kingdom as well as the center of government, (2) the market as the center of economy, (3) the public square or open space used as a recreational park, and (4) Wantilan (community building) as a cultural center.  

Saya mendapatkan buku The Tamparuli Tamu–A Sabah Market karya Tina Rimmer setelah kunjungan saya ke pasar barter Mambunibuni, distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Ilustrasi dan teks dari buku ini sangat menggambarkan suasana hari pasar Mambunibuni di hulu sungai. Orang-orang gunung membawa tembakau, orang-orang pesisir membawa daun kering yang panjang (seperti daun kawung yang biasa digunakan di Jawa untuk membungkus tembakau kering) sebagai bungkus tembakau. Orang-orang gunung dan orang-orang pesisir ini masih punya ikatan darah. Pasar barter Mambunibuni adalah reuni, temu keluarga. 

Saya pun diajari cara membungkus dan kemudian menikmati rokok gunung dan daun pesisir ini sepanjang hari pasar. Selain tembakau gunung-daun pesisir, orang-orang pasar menikmati pinang-daun sirih yang jadi salah satu komoditas utama pasar ini. Pasar Mambunibuni ini salah satu dari sejumlah pasar barter yang masih diselenggarakan di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara. 

Saya juga bertemu dengan salah satu pasar barter di pulau Lembata (Nusa Tenggara Timur) bagian selatan, pasar Labala yang digelar setiap hari Rabu di Teluk Labala, Desa Leworaja, 15 km dari Lamalera (desa Katolik pemburu Paus). Pasar barter di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara adalah pengalaman yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya karena seumur hidup, saya berada di Jawa, pusat modernisasi terjadi.

H. Barnes & Ruth Barnes memberikan petunjuk kenapa pasar barter ini masih berlangsung hingga saat ini dan di masa mendatang:

Lembata was brought under direct Dutch administration and military control only in 1910. This part of Indonesia escaped Sir Thomas Raffles’s land-rent system, the Dutch’ cultivation system and the policies of the liberal period which commercialized and so transformed Java and parts of Sumatra in the nineteenth and early twentieth centuries. There were, and are, no large plantations operated on a European model, no rural proletariat, no landless peasants dependent on wage labour for their existence. Lamalera retains a very mixed economy, where non-monetary barter and subsistence activities co-exist with entirely modern cash-earning pursuits (R. H. Barnes and Ruth Barnes, 1989:401).

Kembali ke tamu di Sabah, akhir September 2022, dengan menumpang angkutan umum antarkota di Sabah, saya tiba di Tamu Tamparuli. Rimmer memberikan narasi yang kaya atas pertemuan ini, Tamu Tamparuli: 

The tamu is a traditional institution going back countless generations. Tamu were set up on open land between areas occupied by different ethnic or dialectal groups, and were places for barter trade. Often marked by an oath stone that had been erected in a peace-making ceremony and dedicated in sacrificial blood, tamu land was neutral ground governed by the behavioral prescriptions of adat—no weapons, fighting or arguments were permitted, and feuding groups had to set aside their differences while on that land. The tamu or market (from the Malay temu = “meet”) gets going early on a Wednesday morning. Many people come from afar on a Tuesday afternoon and settle in somewhere for the night. It has been an age-old custom for people from the hills to bring down their tobacco and their rotan (rattan) and to return laden with salt fish such as only the coastal peoples cab produce. Another coastal product is the bark of a swamp tree, which is used in the brewing of coconut toddy (bahar). This exchange is the basic reason for the situation of this tamu ground at a site where the Tuaran river debouches from the last wrinkles of the Crocker Range to wind through the coastal plain and then reach the sea. In earlier times hill people had trudged many miles with back-packing baskets (wakid) to reach the tamu. (Rimmer, 1999: 1-2)

Dari Kota Kinabalu, Sabah, dengan pesawat terbang saya mendarat di Davao (bagian timur-selatan pulau Mindanao, Filipina Selatan). Saya terpaksa naik pesawat karena kapal laut dari Sandakan (Sabah, Malaysia Barat) ke Zamboanga (Mindanao, Filipina Selatan) hanya berangkat satu kali dalam seminggu. Kedatangan saya di Davao hanya beberapa hari setelah Mindanao dan Visayas dilanda badai tropis ganas, Nalgae (orang lokal menyebutnya Paeng), pada akhir Oktober 2022. 

Saya mengubah rencana perjalanan di Mindanao, dari timur ke barat, dari Davao ke Zamboanga jalur darat. Jembatan di beberapa titik di Mindanao rusak karena banjir bandang-badai topan. Saya menumpang sebuah grup dapur umum yang dikelola seniman Davao, kami naik truk ke Cotabato. Dalam perjalanan ke Cotabato, Angely Chi (koordinator grup dapur umum Art Relief Mobile Kitchen, Davao dan kolektif film Pasalidahay) bercerita tentang hari pasar di Mindanao dan kepulauan Visayas. Saya mendengarkan Chi bercerita sambil mengingat narasi yang diberikan oleh kolega saya di Mindanao, Teng Mangasakan dan Renan Lauran. 

Tabo is an old Visayan word for “meet”. Taboan is the place where the tabo is held. It could be by the sea or by the river; or where rivers, roads or people meet. It has become the name for the traditional market event where and when farmers, fishermen, potters, mat weavers, tinsmiths, lamp makers, merchants, vendors and buyers meet to exchange goods – to barter as in ancient times and to buy or sell as in modern time. The Cebuano word “tabo” means ‘congregate’ and refers to traders from relatively far areas congregating to sell goods on different market days hosted by barangays. The practice is still observed in the rural areas of Cebu, however in the city the Taboan is a permanent hub for traders of dry goods. Taboan is one of the three biggest markets in Cebu City (Central Visayan); the other two are Carbon for fresh meat and vegetables and Pasil for seafood.1

Indigenous people in the Visayas region, Ati, has tradition to seek opportunities and transfer from one place to another through the process of “molangyaw” and “paningpalad”. They have a list of all the fiestas and tabo (market day) in all cities and towns of Cebu. Based on the event dates, a group of Ati numbering from 4 to 6 related individuals, mostly women, would undertake a trade expedition (molangyaw) to visit these places for a few days. With a bag each of medicinal products, they would go to the fiesta or tabo a day or two before the actual event bringing only enough money for their food and transportation for the first location. Their target is to sell as much as they can so that they can move on to another location. They use the sale from the previous location to finance their trip to the next location.2

Hari pasar di Mindanao disebut dengan padian. Ini pengetahuan yang saya dapatkan dari perbincangan melalui email dengan Teng Mangansakan, seorang penulis film yang berbasis di General Santos, Mindanao. Berikut ini cerita mengenai padian oleh Teng:

Tabo also happens in Mindanao. In the now predominant settler towns, it is called tabo. But in mainland Mindanao Muslim towns, we call it padian. This is perhaps the reason why it’s hard to find tabo narratives in Mindanao online. 

Tabo or padian happens once or twice a year. It is characterized by the day farmers or fishermen bring to the main town market their harvest and produce. Traditional artisan and craftsmen also bring their products to the market on this day because of the large number of potential buyers converging in the market. Tabo/padian are the existing binary markers of town and kampung, center and periphery. The periphery/kampung as the producer of goods bring to the center/town their produce for commerce and consumption. Padian/tabo happen in towns far from urbanized centers.

In Maguindanao, for instance, which is the center of the Bangsamoro region, major padian are observed in Dalican, Datu Odin Sinsuat town on Saturdays; while it is observed on Tuesdays in Dulawan (Datu Piang town), once the capital of the Sultanate of Buayan. Thursdays and Sundays are the padian days in the neighboring Pikit, in North Cotabato province. There are padian days also in Marawi City and other Lanao towns. While Marawi is a city, it is in many ways still rural with fishing and agriculture as the main livelihood. Padian is still observed in this city because it is landlocked and far from the urbanized center of Iligan City. Manypadianand tabo in cities like Cotabato and General Santos City have ceased to exist because of the better transport system and greater access to goods from Manila due to the airports on a daily basis. It is significant to note that a tabo an hour from General Santos, in the town of Glan, used to be an important commercial hub for Indonesians living in the small islands that are closer to Mindanao than Manado. They would usually come in boats to buy the goods in the tabo.

Aside from the dynamics of the center and periphery, tabo and padian provide illustrations of how indigenous culture and its people are now introduced and adapting to the modern market system, how traditional crafts compete and usually lose against cheaper Chinese imports, even how traditional agricultural and aquaculture resources change (for instance, tilapia which is an introduced species is the most dominant fish in the market now; farmed commercially, it has killed or reduced the traditional and endemic fish in both its habitat and the market). Personally, I would wait for padian to buy galangal or kaffir lime which are no longer sold in a present-day market.

Melalui email, Renan Lauran berbagi pengetahuan mengenai padian dan wilayah Maguindanao (bagian dari BARRM3). Menurut Renan, padian di wilayah Maguindanao sekarang semakin beragam dan terintegrasi karena hubungan pedagang Muslim-Kristen dan antar-suku. Dia mengingat padian di Cotabato akrab dengan sebutan barter dan umumnya diasosiasikan dengan pedagang Muslim. Saya belum bisa bertemu dengan padian di pulau Mindanao karena keterbatasan waktu kunjungan dan rintangan perjalanan pasca-topan Paeng. 

Pertemuan-pertemuan saya dengan hari-hari pasar yang berlangsung di perbatasan negara, teluk sungai, muara sungai, pinggir pantai, di pulau, dan di perempatan suci di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara menunjukkan bahwa perdagangan, lingkungan, dan politik bukanlah domain yang terpisah, tapi jalinan arena yang menyajikan sumber daya yang saling melengkapi. Namun, ide-ide dan praktik-praktik modernisasi yang dipaksakan penjajah Belanda sejak penerapan politik etis tahun 1901 di Hindia Belanda telah menjauhkan pribumi dengan tradisi dan lingkungannya. Salah satunya adalah modernisasi pasar dengan pemberantasan aktivitas pasar di lapangan jalan dan menggiring pasar dari area terbuka ke dalam bangunan modern. Inisiatif modernitas ini dibawa oleh, antara lain para arsitek dan perencana kota di Hindia Belanda, seperti Thomas Karsten, Wolff Schoemaker, dan Maclaine Pont.

While Wolff Schoemaker, Maclaine Pont and Thomas Karsten all held very different views, often bitterly disagreeing with each other about traditional Javanese architecture, all shared a coloniser objective to create a brand new typology for buildings in the Dutch East Indies. Schoemaker was on the side of those who promoted Western rationality over indigenous building practices, while Pont and Karsten shared the belief that reinterpreting these traditions was the fundamental ingredient in developing the New Indies Architecture. Both had attempted to reinvent the knowledge and skills of the Javanese vernacular to establish a new approach (David Hutama Setiadi, 2022:204).

Saya bertemu dengan pemikiran-pemikiran Karsten saat bekerja sebagai asisten peneliti urbanisme di Indonesia pada tahun 2021-2022. Saya pun mengunjungi kembali karya-karya Karsten di Semarang (Jawa Tengah): pasar Johar, pasar Randusari, dan Kampung Mlaten. Bangunan pasar karya Karsten ini adalah arsitektur pasar yang baik, tapi saya kemudian bertanya, apakah pasar yang tidak berada di dalam bangunan tertutup seperti pasar di bawah pohon beringin bisa disebut dengan arsitektur pasar yang baik?  

For Karsten, markets were a key element of traditional activity, remaining crucial to the life of densely populated cities. They had evolved from rural settlements, but, from his perspective, needed to be remodeled to conform to the socio-economic order of the twentieth century Indies city. Traditionally, markets (pasar) were often identified by the day of the week when they were held, or the name of the tree under which locals had formerly set up their stalls. They were focus of communal interaction and often locations where itinerant performers could find an audience. In meeting the concerns and interest of a “progressive” urban council, Karsten was giving expression to his own notions of a properly ordered urban environment, ensuring that appropriate pedagogical and hygiene principles were embedded in the urban built environment. (Joost Coté, 2017:200)

Essential to the design was the need for ease in handling the produce and the incorporation of hygienic conditions compatible with modern standards. As Karsten noted in referring to the creation of space defined by the introduction of his-mushroom-like constructions, while facilitating the provision of 100% roof coverage, nevertheless it also produced a natural division of space which for the Indigenous users, being somewhat fearful of large spaces, can be nothing but agreeable, and is therefore, better for achieving an appropriate pasar atmosphere. Karsten noted that the mushroom-like construction, as well as allowing “the complete absence of dark and hollows spaces, completely flat undersides of roofs and floors, the correspondence between the most economical distance between columns (about 5-7 meters) and the normal passageway in a pasar-aisle with stalls on either side which are also about 5-6 meters. Aesthetically, the series of aligned trunk-like concrete columns suggested the ambiance of a forest glade. (Joost Coté, 2017:208)

Ide untuk memberantas pasar-pasar yang berlangsung di lapangan jalan (open-air market) dan membangun bangunan pasar untuk mengurung para pedagang (sehingga pemerintah kolonial mudah untuk meraup keuntungan dari pajak pasar) mulai dikibarkan oleh perencana dan birokrat kota, seperti yang tercatat dalam kesan-kesan Kongres Desentralisasi yang diselenggarakan oleh Vereniging Locale Belangen pada tahun 1939 di Surabaya (Jawa Timur): 

Pendjoelan di Lapangan Djalan

Kongres. Dalam Decentralisatiekongres jang telah berlaloe di kota Soerabaia diadjoekan soeatoe preadvies tentang pendjoelan di lapangan djalan (straatverkoop), preadvies mana jang dapat banjak perhatian, hoebaja-hoebaja dari fihak bestuur locale ressort. 

Preadviseur Mr. Soenario berpendapatan bahwa pendjoealan di lapangan djalan itoe soeatoe kepentingan jang mengenal ekonomi-nja berbagai-bagai rakjat ketjil. 

Mr. Boissevain mengadjoekan soeatoe pembantahan bahwa kepentingan ekonomi itoe tak seberapa, karena pendjoealan di djalan boeat si pembeli lebih mahal harganja djika dibanding dengan harga pasar. Maka beliau berpendapatan bahwa djika diadakannja banjak pasar di masing2 poesat (buurtpasar) nistjaja nantinja keboetoehan dari rakjat ketjil itoe tersampai djoega. Oleh Mr. Boissevain dan oleh Ir. Karsten diterangkan poela bahwa dengan sesoenggoehnja pendjoelan didjalan itoe mengroesak keadaan ekonomi jang ditemoe di pasar. Pasar itoe jalah kepentingan jang termoeka sendiri. Maka kedoea debaters terseboet berpendapatan bahwa pendjoelan di djalan lebih oetama dikoerangi, bahkan seberapa boleh dibrantas. Pembantah toean Daniels menerangkan poela betapa tidak sehatnja pendjoelan di djalan itoe. 

Tentoonstelling. Dalam kongres terseboet diadakan djoega soeatoe tentoonstelling dari poto-poto dan kaart-kaart jang mengenaikeadaan pendjoelan didjalan itoe. Oleh Ir. Thijsse diterangkan masing2 gambar itoe dengan menoendjoekan poela beda-bedanja keadaan pendjoelan di masing2 kota. 

Gambar 1: Hari pasar di Amuntai, Borneo, sekitar tahun 1925. Sumber: KITLV 175818. Published (digital) Leiden University Libraries. http://hdl.handle.net/1887.1/item:743806

Gambar 1 adalah koleksi awal saya tentang hari pasar di Hindia Belanda. Saya membayangkan pemerintah penjajah Belanda paranoid menyaksikan pertemuan akbar ini, hari pasar di bantaran sungai Amuntai (Kalimantan Selatan). Tradisi pertemuan ini yang sakral dan  selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat ini merupakan hasil pemikiran kolektif dan perasaan kolektif, sebuah pesta. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara sangat bersemangat. Ada saling kunjung-mengunjungi yang terus menerus dari satu klen ke klen-klen lainnya, dari keluarga ke keluarga lainnya, dari satu pesta dilanjutkan ke pesta lainnya. Saya membandingkannya dengan teori Pemberian oleh Marcel Mauss, ketika menyaksikan orang-orang merayakan pertemuan di hari-hari pasar.

Orang-orang Melanesia mempunyai ekonomi domestik yang ekstra dan suatu sistem tukar-menukar yang berkembang tinggi, serta secara komersial lebih sibuk daripada petani-petani dan pelaut-pelaut Perancis dalam masa seratus tahun terakhir ini. Mereka mempunyai kehidupan ekonomi yang luas dan perdagangan-perdagangan penting yang melampaui batas-batas geografi dan linguistik wilayah-wilayah mereka. Mereka mengganti sistem penjualan dan pembelian kita dengan sistem pemberian dan pemberian balasan.4 

Mauss menggambarkan di dunia Melanesia seperti masyarakat kepulauan Trobriand (Papua New Guinea) sebagai masyarakat yang telah melestarikan prinsip-prinsip, motif-motif, dan intensitas dari tukar-menukar; Pemberian. Mereka dikenal  sebagai pedagang-pedagang yang baik dan pelaut-pelaut tangguh. Mereka hidup sebagai nelayan-nelayan mutiara yang makmur. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, mereka hidup sebagai ahli-ahli pembuat benda-benda tembikar dan batu-batuan yang kaya. Mereka melestarikan wasi, hubungan yang menyajikan terjadinya saling tukar-menukar yang biasa dan yang wajib dilakukan di antara pasangan-pasangan, di antara suku bangsa-suku bangsa pertanian di satu pihak dengan suku bangsa-suku bangsa maritim di pihak lain. Pasangan pertanian meletakkan hasil-hasil pertanian di hadapan rumah nelayan yang menjadi pasangannya. Selanjutnya, si nelayan, setelah kembali dari perjalanan menangkap ikan yang berhasil, mengembalikan pemberian yang diterimanya dari pasangan pertanian dan bersama dengan pemberian tersebut juga bunganya dalam bentuk hasil tangkapannya di laut.5

Kunjungan-kunjungan ke hari-hari pasar membawa saya ke satu pertanyaan besar, bagaimana hari-hari pasar di wilayah kepulauan timur Asia Tenggara berlangsung di era pre-kolonial, era kolonial, dan di masa setelah Indonesia merdeka? 

Wilayah Studi: Kepulauan Timur Asia Tenggara 

 Saya memakai rujukan teks oleh Heather Sutherland dalam bukunya Seaways and Gatekeepers: Trade and State in the Eastern Archipelagos of Southeast Asia, c.1600–c.19066 untuk menentukan wilayah awal penelitian, yaitu the Eastern Archipelagos of Southeast Asia yang saya terjemahkan bebas sebagai wilayah Kepulauan Timur Asia Tenggara. 

Gambar 2. Physical geography of the Eastern Archipelagos of Southeast Asia (Sutherland, 2021:46)  

Wilayah ini terbentang mulai dari Filipina selatan sampai ke timur Laut Jawa, dan dari Borneo pesisir timur hingga pantai barat Papua Barat. Perdagangan tidak pernah menghormati perbatasan negara. Jadi Sutherland memasukkan kepulauan Sulu dan Mindanao (Filipina Selatan) yang terhubung erat dengan Borneo timur laut (Sabah); dan Timor Leste. Tiga wilayah Indonesia Timur yang mendapatkan perhatian utama Sutherland. Pertama, Kepulauan Rempah-Rempah Maluku, di mana pulau-pulau kecil Ternate dan Tidore yang secara historis penting tetapi kecil, dikerdilkan oleh Halmahera yang luas, pulau Buru dan Seram. Kedua, Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan, sedangkan Nusa Tenggara adalah yang ketiga. Bali dan Banjarmasin dipertimbangkan di sini karena keduanya memiliki ikatan yang lama dan seringkali diremehkan dengan jaringan Sulawesi Barat Daya.

The strongest eastern archipelago states the Europeans encountered in the late sixteenth century were Buayan, Maguindanau (Cotabato) and Sulu in the Southern Philippines, Banjarmasin in southeast Borneo, the Maluku Sultanates of Ternate and Tidore, and Makassar or Gowa-Tallo in Sulawesi. There were also the Javanised realms of Bali, and a growing number of lesser Muslim polities. Beyond the kingdoms were a range of other entities encompassing nomadic foragers, shifting cultivators, itinerant trading and raiding bands, settled village federations and coastal rajas. The more remote coasts, like mountainous inland regions, were seen as not just inaccessible, but as chaotic and dangerous (Sutherland, 2021: 23).

Karena luasnya wilayah studi, saya menentukan perjalanan kunjungan awal dari wilayah terdepan, wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Sebagai seorang warga negara Indonesia, saya menggunakan bebas visa di negara-negara ASEAN. Ternyata paspor Indonesia saja tidak jadi jaminan untuk masuk ke wilayah kepulauan Sulu (Filipina). Saat saya mau membeli tiket kapal laut ke Bongao (pulau Tawi-tawi, salah satu pulau utama di kepulauan Sulu) dari Zamboanga, petugas penjual tiket ferry meminta surat keterangan (pass letter) dari pihak militer Angkatan Laut dan satu orang berkewarganegaraan Filipina untuk mendampingi saya. Tentu ini syarat yang tidak bisa dikerjakan dalam hitungan jam. 

Tantangan ini meyakinkan saya untuk tekun mempelajari kawasan kepulauan timur Asia Tenggara sebagai suatu bentuk solidaritas orang keturunan Kei (pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara). Kawasan ini adalah wilayah yang kompleks, rawan konflik, mengalami konflik, dan memiliki trauma pasca-konflik. Mereka adalah minoritas, under-appreciated, tidak dipercaya oleh pemerintah masing-masing. Banyak dari penduduknya dianggap sebagai “orang tanpa sejarah”, sementara perbatasan kolonial membelah seenak jidat pola-pola budaya yang telah dilestarikan bersama. Banyak dari masyarakat ini terkait dengan sistem perdagangan lintas samudra selama ribuan tahun, tetapi diabaikan dalam sejarah dunia. Kawasan ini juga sarat dengan irregular migration: migrasi dari Papua Barat ke Papua New Guinea, Timor Timur (sekarang Timor Leste) ke Timor Barat, Filipina Selatan (Laut Sulu) dan Indonesia ke Sabah.7

Wilayah kepulauan timur Asia Tenggara meliputi jalur laut yang menghubungkan Cina dan Samudra Hindia, hingga labirin rute yang lebih kecil sebagai penghubung dengan pelabuhan lokal, muara sungai, teluk, dan pantai. Jalur laut ini melayani pelayaran di Laut Sulu dan Laut Sulawesi di utara, perairan sekitar Maluku, Banda dan Flores serta sirkuit yang jarang dikunjungi di Laut Sawu, Laut Timor dan Laut Arafura. Perdagangan maritim di kawasan tersebut adalah konvergensi hubungan ekonomi dengan jaringan kekerabatan dan patronase yang membentang melintasi lautan. Dalam masyarakat bahari, afinitas dan kesetiaan mengikuti hubungan translokal kekerabatan, pemberian, kredit, dan hutang daripada batas desa atau pulau.8

Masyarakat bahari yang paling menonjol adalah suku pengembara laut, Orang Bajo. Saya diberi kesempatan untuk berkenalan dengan orang Bajo di kampung Bangau-Bangau di Semporna, Sabah (akses dari komunitas Borneo Komrad & Sekolah Alternatif) dan kampung Wuring di Maumere, Flores (akses dari Komunitas KAHE). Film dokumenter tentang suku pengembara laut di Laut Sulu, Orang Bajo di Sabah, Living Stateless, bisa ditonton gratis di kanal YouTube. Voicing Bajo and Bugis People of Kampung Wuring in Maumere bisa dibaca gratis di portal Lau Ne.

Diskursus dalam Pengetahuan Geografis (Pulau, Sungai, Jalur Darat dan Jalur Air)

“Sutherland berpendapat bahwa perdagangan di Indonesia Timur mungkin karena dukungan dua landasan utama. Pertama, geografi. Angin monsun timur dan barat didukung oleh jalur sungai yang menjadi penghubung antara pedalaman dan pesisir di Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Orang-orang dari pedalaman menciptakan jalan setapak dalam kelompok-kelompok kecil, datang dan pergi melakukan transaksi jual beli.”9

Berikut ini adalah cuplikan-cuplikan dari pengetahuan geografis sebagai pijakan awal untuk mempelajari kawasan kepulauan timur Asia Tenggara berdasarkan buku Seaways and Gatekeepers: Trade and State in the Eastern Archipelagos of Southeast Asia, c.1600–c.1906.

1. Islands (Pulau-pulau)

For seafarers, islands favoured by winds and sea currents were natural stopovers, as long as they could provide fresh water and provisions, and ideally the materials required for ship maintenance as well. Some islands and harbours located along popular sailing routes became established ports-of-call where ongoing relationships overcame distrust. Examples are the Sarangani, Sangihe and Talaud archipelagos in the Sulawesi Sea, Gebe between central Halmahera’s Patani and the Raja Ampat of west new Guinea. The Southwestern and Southeastern Islands chains, defined by their location vis-à-vis Banda, curved southwest through the Banda Sea, from New Guinea to Timor. Similar advantages were offered by river islands, such as Tatas, formed by the junction of the Barito, Martapura and a lesser stream, and the archipelagos of Sulawesi, along the island chains stretching from Seram Laut to Flores and in the island groups of the Papua (West New Guinea) coast. (Sutherland, 2021:59)

Pulau Sarangani adalah tempat pertemuan tradisional untuk para pedagang, populer bagi orang Bajo dan Bugis sebagai tempat pertukaran. Saya mencoba untuk membayangkan rute kunjungan ke kepulauan Sangihe dan Talaud setelah bertemu dengan Nono S. A. Sumampouw di Manado yang memberikan gambaran awal mengenai hubungan antar-pulau di perbatasan Indonesia dan Filipina. Lain kesempatan ke Mindanao, saya akan berkunjung ke kota General Santos dan menyebrang ke pulau Sarangani. Sementara pulau Gebe sekarang hancur karena eksploitasi tambang ore nikel.10

Pulau-pulau terdepan yang berada di perbatasan negara wajib dipelajari, seperti pulau-pulau Katolik di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan pulau-pulau di Laut Sulawesi, di perbatasan Indonesia dengan Filipina, dan perbatasan Kalimantan (Indonesia) dengan Malaysia Barat. Tekanan-tekanan di perbatasan kolonial ini mempengaruhi pertukaran yang sudah berlangsung ribuan tahun. Penduduk Maguindanao (Mindanao) harus menjaga agar Belanda tetap berada di pulau Ternate dan mereka harus melindungi kemerdekaan mereka dari serbuan Spanyol maupun Belanda. Bagi Belanda, Mindanao berfungsi sebagai penahan antara Manila yang dikuasai Spanyol dan Maluku yang dikuasai Belanda.11

Keputusan Inggris untuk menambahkan kepemilikannya atas setengah dari pulau raksasa Kalimantan, untuk dijadikan Malaysia dan menghambat simpati kepada komunisme, sehingga Indonesia harus berbagi perbatasan panjang dengan wilayah kolonial Inggris yang digabungkan ke dalam Malaysia dengan maksud melemahkan kekuatan kaum kiri.12 Pulau Flores dan sekitarnya direstui sebagai pulau-pulau Katolik oleh Belanda sebagai benteng pertahanan bagian selatan terhadap penyebaran Islam di Hindia Belanda dan dipakai sebagai kawasan penyanggah penyebaran komunisme di rezim Soeharto.

2. Rivers (Sungai-sungai)

Pada bulan Maret 2022 saya menelusuri pesisir timur Borneo, dari Banjarmasin sampai Malinau, melewati Pasir, Balikpapan, Samarinda, Bulungan, dan pulau Tarakan. Perjalanan tersebut membantu saya membayangkan jaringan perdagangan dari Sabah hingga Banjarmasin, melalui sungai Barito, sungai Mahakam, dan sungai Sesayap. 

Kesedihan menyertai perjalanan saya di pesisir timur Borneo. Pertama, karena saya menyaksikan pasar apung Lok Baintan di sungai Tabuk hanya dilakukan oleh tidak sampai dua puluh pedagang perempuan bersampan. Hilangnya identitas perempuan pedagang karena hancurnya kebun-kebun mereka di awal tahun 2021 akibat banjir bandang melanda Kalimantan Selatan. Kedua, karena saya menyaksikan lalu -lalang tongkang-tongkang pengangkut batu bara di sungai Mahakam, seperti artikel panjang tentang sungai Mahakam oleh Siti Maimunah dan Sarah Agustiorini,

“the river´s socio-ecological infrastructures have been transformed into an extraction infrastructure.”13

Borneo’s rivers have been channeling commodity flows between the coast and interior for many hundreds of years. Southeast Borneo’s three main rivers debouche into the Java Sea: they are the Kahayan, the Kapuas (the downstream section of which is the Kapuas Murung) and the Barito. The most complex system was that of Banjarmasin’s Barito, which included the Negara and its tributaries. The webs of waterways were so long and so ramified that it is not easy to distinguish trunk rivers and tributaries; stretches of both commonly bore different names. Moreover, they were linked by cross-streams. In places old sections of riverbed, antasan or terusan, were used as short-cuts between meanders, or to link different rivers. Sometimes shallow waterways were excavated to create canals and obtain earth to build up marshy areas. Travel up the Barito to the royal seat of Martapura was made easier by a system dug on royal orders in the 1780s. These interventions, and the wandering of natural streams, created extensive areas of land surrounded by water, so inland settlements often bore names including such terms as pulau (island) or kuala or muara; these last two terms both mean river mouth, where one either joins another stream or enters the sea. (Sutherland, 2021:76)

The greatest river systems of East Kalimantan, those of the Barito and the Mahakam, sustained the sultanates of Banjarmasin and Kutai. Forest commodities, gold and diamonds traveled downstream to coastal settlements where they were exchanged for salt and other imports. These rivers were characterized by webs of tributaries, while tidal downstream waters flowed through complex estuaries. (Sutherland, 2021:63)

The three most important rivers north of Cape Mangkalihat were the Sesayap, the Bulungan and the Berau. The Sesayap was the main connection between the coast and the interior, entering the Celebes Sea well north of Tarakan. Typically, there was no sandbank before the Sesayap’s mouth, so ships could enter straight from the sea. A handful of coastal, predominantly Bugis, polities nestled by the broad estuaries of lesser rivers which decided their names, incomes and influence. (Sutherland, 2021:75)

3. Overland & Waterways Trails (Jalur Darat & Jalur-Jalur Air) 

Sutherland menjelaskan, masyarakat pedalaman di Papua Barat  yang heterogen dihubungkan oleh jalur darat pedalaman, berupa rute perdagangan khusus pejalan kaki di sepanjang pegunungan. Dalam kunjungan perdana ke Papua Barat tahun 2022, saya hanya berkunjung ke pesisir timur Papua, mulai dari Sorong sampai Fak-fak melalui jalur laut. Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah kepada masyarakat Papua Barat memunculkan upaya-upaya untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Ketegangan yang masih berlangsung hingga saat ini membuat saya sulit membayangkan kunjungan ke wilayah pegunungan Papua Barat.

Di Sulawesi Utara, pedagang di Gorontalo dan Manado menggunakan jalur lintas semenanjung. Gorontalo, terletak di sebuah muara di pantai selatan lengan utara, dihubungkan ke pedalaman oleh tiga sungai. Sungai Bone dan Tamalate menghubungkan pelabuhan dengan wilayah pedalaman yang subur dan produktif, sedangkan yang ketiga, Topadu merupakan bagian dari jalur penting yang menghubungkan Teluk Tomini dengan Laut Sulawesi. Lembah sempit Topadu memungkinkan perahu melewati hulu ke Danau Limboto. Dari danau, sebuah celah memungkinkan para pelancong dan pedagang untuk turun ke Kuandang di seberang pantai utara, dekat dengan jalur laut yang menghubungkan Kalimantan timur laut, Filipina selatan, dan Maluku (Sutherland, 2021:67).

Dalam monograf On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Social Organization of a Moluccan Trading Network, Roy Ellen berusaha menunjukkan bagaimana pertukaran di sebuah kepulauan kecil di Indonesia Timur harus dipahami dengan latar belakang perdagangan regional dan partisipasi dalam sistem perdagangan global yang telah berlangsung lebih dari dua ribu tahun. Terdapat dua jalur laut yang secara signifikan dipelihara, jauh sebelum awal abad ke-16. Satu melewati Hoamoal, semenanjung barat Seram, pulau-pulau yang terletak di antara semenanjung Hoamoal dan pulau Buru dan semenanjung utara Ambon (Hitu). Jalur lainnya membentang di sepanjang pulau Seram bagian timur dan pulau-pulau Seram Laut. Dari sana, para pelancong dapat pergi ke wilayah Onin di New Guinea atau mengikuti kepulauan Gorom dan Watubela ke selatan menuju Kei dan Aru–kepulauan terbesar di Maluku Tenggara. 

In exchange for all this the island settlements can offer two commodities to the periphery: one is fish, which it has in abundance in the shallow reefs; and the other is a market for agricultural products, which are then sold to larger markets outside the area. The East and Southeast Seram littorals, together with the Gorom Archipelago, represent the periphery of the area, are the least integrated economically with other parts of the system, and are less dependent on imports for basic subsistence. Involvement in this commodity trade has not only subsidized an ecologically and economically deprived area, but turned a marginal area into a historically crucial one in terms of global economic systems. (Ellen, 2003: 53) 

Traders in archipelagic Southeast Seram not only occupy a marginal and ambiguous social position and moral universe but are also less likely to inhabit a social space that has clear local physical correlates than almost any other group. Theirs is a social world that is essentially regional or at least supralocal, in which the intimacies of kinship compress the extricacies of spatial distance. Moreover, there is a widespread tendency in the Moluccas to manage a discourse of unbounded spaces in terms of specific central places. In the model of the world of those living in particular places the periphery is divided into dominant secondary centers. Thus, traders in Ambon or Banda usually speak of Tual, Geser, Dobo when referring not to particular places but to entire zones on a periphery, because such places are the main channels through which all commodities and information are channeled. (Ellen, 2003: 261)

Sebagian dari tulisan ini adalah hasil obrolan dengan Jiahui Zeng (Beijing-Morowali-Yogyakarta), Teng Mangansakan (General Santos, Mindanao), Renan Laruan (Sultan Kudarat, Mindanao), Silvy Chepy (Maumere, Flores), Maria Pankratia (Ruteng, Flores), Eka Putra Nggalu (Maumere, Flores). Teks dan gambar dikumpulkan oleh Anitha Silvia sepanjang April 2022 – Mei 2023.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st