Halaman yang Tertutup
Untuk kebutuhan silsilah ideologis, kepada Ende-Flores, negara memberikan sebuah identitas yang nyaris fixed: tempat lahirnya Pancasila. Demikian kuat identitas itu, ibarat buku, ada halaman sejarah sebelum dan sesudah penemuan Pancasila oleh Soekarno yang tenggelam dan tidak terbaca oleh khalayak.
Konteks Missionarisme dan Kolonialisme
Ende menjadi tempat munculnya percetakan dan penerbitan pertama di Flores – NTT sekaligus tempat ideologi Pancasila direnungkan dan dirumuskan oleh Soekarno. Namun, keistimewaan historis tersebut bukanlah sesuatu yang muncul secara acak atau alamiah.
Dalam sejarahnya Ende adalah ibukota afdeling Flores. Ende menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Flores sekaligus ujung tombak misi Katolik yang digawangi oleh Serikat Sabda Allah (SVD). Ada beberapa konsekuensi dari posisi strategis tersebut.
Kota yang terletak di kaki gunung Meja ini mengambil peran penting dalam politik pada masa kolonial, yang dengannya secara otomatis membuka akses pada berbagai moda transportasi, terutama pelabuhan laut.
Ende menjadi pintu masuk wacana-wacana politik dan ekonomi. Pengasingan Soekarno di Ende menjadi salah satu bukti bahwa Ende masuk dalam peta perpolitikan pemerintah kolonial.
Sebagai pusat misi gereja Katolik, Ende mengalami akselerasi dalam beberapa hal ini: pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Katolik, media massa, literasi dan percetakan, balai latihan kerja, serta kesenian modern. Hal-hal itu menjadi sekrup-sekrup yang mengonstruksi peradaban modern Flores-NTT.
Meski begitu, posisi politis tersebut bukan tanpa masalah. Politik kolonial di Ende, yang juga erat memengaruhi politik misi Flores, cenderung mengeksklusi peradaban pesisir dan lokal yang sudah ada berpuluh-puluh tahun lebih dahulu sebelum bangsa kolonial memantapkan kekuasaannya di sana. Eksklusi itu tidak hanya soal ekonomi politik, tetapi juga tentu kebudayaan.
Sebagai misal, jarang sekali tradisi-tradisi pesisir, atau aksara lota diwacanakan sebagai budaya lokal khas Ende. Budaya-budaya Bugis/Bajo/Buton, kerap diasosiasikan sebagai pendatang. Artinya, imajinasi spasial buatan kolonial tentang pembangunan, termasuk kebudayaan, menempatkan darat/gunung dan laut/pesisir dalam relasi oposisi biner. Akibat dari relasi oposisi biner, kerap salah satu kutub lebih diutamakan atau dipandang lebih tinggi daripada yang lain.
Imajinasi warisan kolonial ini menjadi ‘prakondisi’ yang terus-menerus mengonstruksi pola-pola politik ekonomi hari ini. Isu agama, Gunung-Pantai, tidak pernah berhenti beredar pada perhelatan-perhelatan politik di daerah.
Sentralisme Orde Baru dan corak misi gereja masa kolonial menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran peradaban modern yang sempat masif berlangsung di Ende dan Flores umumnya. Dalam hal literasi, berhentinya kapal-kapal misi menyulitkan suplai bahan baku bagi percetakan Arnoldus dan Penerbit Nusa Indah, serta media-media turunan (Dian, Rumah Kita, Flores Pos, Majalah Kunang-Kunang) yang dibentuk oleh SVD. Alasan ini bisa dipandang sebagai faktor utama di samping alasan lain seperti bahan baku yang mahal, tidak terjadi akselerasi di bidang pendidikan dasar, tidak tersedianya tenaga ahli, perputaran ekonomi melemah (sementara orang-orang pesisir yang hidup dari perdagangan kerap tidak ambil bagian dalam praksis kebudayaan), dan tidak adanya wacana/visi kebudayaan yang kuat yang diintegrasikan dalam pembangunan.
Gedung Imaculata tempat karya-karya tonil Soekarno dulunya dipentaskan sudah dibangun kembali. Namun, alih-alih jadi salah satu pusat kegiatan seni-budaya, gedung ini lebih dahulu jadi artefak sebelum sempat diaktivasi. Gedung kecil di salah satu sudut kota Ende ini seperti jadi monumen politik kebudayaan Indonesia di Flores.
Kesan yang terlihat dari di Ende hari ini adalah kelesuan. Percetakan dan penerbitan berjalan dengan lambat, media massa cetak kedodoran berhadapan dengan kecepatan digital, gedung pertunjukan telantar. Institusi seperti pemerintah, gereja, dan pendidikan formal tidak cukup mampu untuk menggerakkan kesenian dan kebudayaan. Pada banyak kasus, kesenian di Flores masih berupa sekrup-sekrup yang terlepas. Pengembangannya tidak bisa lagi berharap pada institusi-institusi seperti negara, gereja, atau universitas.
Namun, di tengah kondisi demikian, kita masih bisa berharap pada kesenian rakyat, kesenian yang digerakkan oleh komunitas-komunitas. Beragam kolektif/komunitas muncul di pelbagai tempat dan dengan sokongan yang tepat dapat meretas kemandekan institusi-institusi dalam pengembangan kebudayaan. Boleh jadi, pengembangan kebudayaan memang sudah seharusnya ‘dikembalikan’ kepada warga, kepada kolektif. Negara dan institusi lainnya hanya berkewajiban untuk menunjangnya.
Ende: Dua Halaman
Bagi orang Ende Lio, halaman memiliki beragam fungsi dalam hidup sehari-hari: tempat bermain, menjemur hasil bumi, menenun, berpesta, juga melakukan ritual. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan yang telah berlangsung secara turun-temurun: halaman adalah tempat bagi orang-orang yang hidup maupun bagi mereka yang telah meninggal. Halaman adalah irisan antara rumah dengan komunitas warga yang ada di luarnya, ruang pertemuan yang personal dan sosial, ruang antara yang ekonomis dan politis.
Flores Writers Festival tahun ini mengajak para partisipan untuk mai kea bēgo gha wēwa sa’o, mari bermain di halaman. Frasa dalam bahasa Lio ini sekaligus menjadi undangan untuk memaknai kembali halaman rumah kita hari-hari ini, yang perlahan mengalami pergeseran fungsi dan kerap dilupakan, atau berangsur kehilangan nilai kolektivitasnya akibat pembangunan yang mengatasnamakan kebaikan bagi semua orang.
Ende adalah sebuah halaman, sebuah muka buku sejarah berjalan yang perlu dibaca dan ditulis berulang. Ende juga sekaligus menjadi sebuah pekarangan dengan sejarah panjang, sebuah tempat di sekitar rumah (sastra) Indonesia yang belum sepenuhnya digarap sesuai potensinya.
Mari bermain di halaman!
Aktivitas Flores Writers Festival 2022 bisa dilihat di sini!