andry 3

Di Rumah Apung Ibu Hasnah

Oleh Carlin Karmadina  – 

Rumah apung adalah representasi orang Bajo atas kehidupan mereka sebagai orang laut. 

Pada tanggal 13-20 Maret 2020, beberapa anggota Komunitas KAHE mengadakan aktivitas live in (tinggal bersama) di Kampung Wuring. Saya dan Sesilia Brandt tinggal di kompleks Wuring Leko, tepatnya di sebuah rumah apung atau rumah panggung di atas laut. Pemilik rumah bernama ibu Hasnah dan untuk sampai ke kediamannya, kami perlu melewati jembatan bambu.

Ini merupakan pengalaman kedua bagi saya dalam melintasi jembatan tersebut. Pengalaman pertama terjadi beberapa waktu sebelumnya ketika saya berkunjung ke rumah Om Wen, warga kampung Wuring lainnya.

Saya perhatikan, biasanya jembatan bambu ini memiliki sejumlah cabang. Ujungnya langsung berpapasan dengan pintu-pintu rumah milik warga.

Sebagian jembatan bambu itu tidak punya pegangan, sebagian sudah mulai rapuh dan sebagian lagi timbulkan bunyi derik jika dijajaki. Ibu Hasnah bercerita bahwa bambu penghubung ke rumahnya itu  diganti terakhir kali sekitar 5 tahun lalu.

Kami cukup terkejut. Ketika kami lewat tadi, air laut sedang pasang naik dan beberapa anak kecil sedang berenang. Mereka menyapa kami dengan ramah dan tak menunjukkan kecemasan sama sekali. Kami malah takut kalau jembatan itu ambruk waktu kami lewat dan menciderai mereka.

Sementara itu, hampir semua rumah apung di Wuring Leko memiliki bentuk sederhana tanpa desain arsitektur yang mencolok. Rumah-rumah itu kebanyakan beratapkan seng, berdinding papan atau bambu, berlantai papan atau bilah bambu dan punya jendela yang minim, rata-rata hanya satu per ruangan. Beberapa rumah memiliki tangga ke laut. Sampan-sampan pun berlabuh di dekat kaki tangga itu.

Rumah ibu Hasnah sendiri memang berada pada bagian belakang di dekat laut. Rumahnya tidak terlalu luas. Di depan rumah itu ada teras yang dipakai untuk menyimpan gabus. Ada juga tali tangsi yang diikat pada dinding dan dipakai untuk jemuran.

Rumah itu terbagi ke dalam tiga ruangan; ruang depan, dapur dan kamar tidur. Lantainya sendiri beralaskan papan dan sebagian lagi dari bilah bambu. Ruang depan adalah ruang multifungsi karena bisa dijadikan ruang tamu ataupun ruang makan. Kamar dan ruang depan dibatasi dengan tripleks dan sebuah lemari. Namun, jika ingin membuat ruangan itu menjadi kamar, siapa saja boleh membentang karpet dan membikin batasan dengan kain.

Adapun jeriken-jeriken air berjejer mulai dari pintu depan sampai ke arah dapur. Lantai di dapur sendiri memakai bilah bambu untuk kemudahan pembuangan air cucian. Makanya, lantai bambu itu sering diganti karena cepat lembab dan rusak.

Secara umum, rumah orang-orang Bajo juga ditandai dengan keberadaan tiang tengah. Tiang tengah itu berupa sebatang kayu yang utuh dan lurus. Dalam proses pembuatan rumah, tiang tengah ini mesti didirikan terlebih dahulu.

Di rumah ibu Hasnah, tiang tengah mengait beberapa barang;  setandan pisang yang sudah kering, sebotol air, sebutir kelapa, dan dua ikat gula merah. Ada pula kain putih yang terikat pada bagian ujungnya. Sepertinya orang Bajo memang punya pandangan hidup tersendiri mengenai tiang tengah.

“Ada perhiasan emas yang dibungkus dengan kain putih itu,” terang ibu Hasnah.

Carlin Karmadina, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa Maumere. 

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th