Jalan Tunjungan di tengah kota Surabaya dipenuhi deretan kafe dan restoran yang ramai pengunjung. Tak jauh dari sana, persisnya di Jalan Genteng Kali, terdapat sebuah kafe baru di sebuah gedung dansa era kolonial. Gedung itu dulunya bernama Deutscher Verein. Ia berarsitektur modern pada zamannya, dengan gaya Amsterdamse School yang populer pada paruh kedua abad 20 di Belanda. Pada plakat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya, gedung itu kini dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya dengan nama Gedung Balai Sahabat. Dalam pers dan iklan di Masa Pergerakan, gedung ini juga dikenal sebagai Duitscher/Deutscher Club Genteng Kali, yang berasosiasi dengan Deutscher Bund Batavia.
Warga setempat mengenal Balai Sahabat sebagai bekas restoran, gedung dansa, tempat kursus tari, gedung pernikahan, bahkan sebagai tempat karaoke dan lokasi berkumpulnya jemaat gereja pada akhir pekan. Pintu utamanya mengarah ke ruangan dengan panggung besar. Namun, yang membuat saya takjub, ini bukan panggung biasa, melainkan sebuah teater yang cukup megah. Terdapat balkon dengan kursi untuk para penonton. Akustik ruangan ini juga sangat baik; dengan perawatan yang lebih baik, akustiknya bisa saja melampaui kualitas Gedung Cak Durasim yang terletak persis di sebelahnya.
Gedung Balai Sahabat saat ini. Dulu bernama Deutscher Verein dan terletak di Jl. Genteng Kali 89-91. Gedung ini mendapat status cagar budaya kota Surabaya dan bagian sayap kanan menjadi café Java Cup.
Jejak kemegahan Gedung Deutscher Verein pernah ditulis G.H. von Faber, seorang budayawan Belanda-Jerman kelahiran Surabaya sekaligus pendiri Museum Negeri Mpu Tantular. Dalam Nieuw Sorabaja (1935), ia menulis, “Bangunan [Deutscher Verein] ini didekorasi dengan gaya dan seni yang luar biasa. Bagian depan lantai satu terdiri dari balkon dan pergola yang ditumbuhi tanaman merambat dan bunga, tempat orang bisa duduk-duduk di malam hari. Bangunan utama memiliki aula teater dua lantai dengan pencahayaan dan kombinasi warna yang sangat baik. Yang paling istimewa adalah gedung teater ini mempunyai satu-satunya panggung berputar di Hindia Belanda. Bangunan ini jelas dipengaruhi oleh gaya Amsterdamse School karena fasad pahatan dan dekorasinya.”
Panggung teater di gedung ini dilengkapi tiga lapis tirai, menyerupai panggung teater atau opera di Eropa. Ini mengingatkan saya pada satu hal: bahkan di Hindia Belanda, teater digunakan sebagai sarana propaganda budaya, layaknya teater dan musik di Jerman. Richard Wagner, sang komposer kenamaan Jerman, dan Lingkaran Bayreuth-nya menyebarkan propaganda melalui pamflet serta esai kajian budaya. Meskipun pamflet tersebut terbatas peredarannya, pengaruhnya sangat kuat atas usaha para anggota Lingkar Bayreuth seperti Houston Stewart Chamberlain dan Ludwig Scheeman. Sementara itu, di panggung teater Deutscher Verein, pernah digelar drama komedi nasionalis Schneider Wibbel karya Hans Müller-Schlösser.[1] Acara-acara propaganda di gedung tersebut juga meliputi pameran buku dan peringatan untuk korban Perang Dunia I, yang akan dibahas lebih lanjut di artikel ini. Terdapat pula penampilan musik Meistersinger von Nürnberg karya Wagner[2] yang menjadi musik pengiring Reli Akbar Nuremberg pada 1934.
Koloni Jerman di Surabaya sendiri telah memiliki pusat kegiatan sejak 1902. Sebelumnya, sekelompok warga Jerman sudah rutin mengadakan pertemuan mingguan. Perkumpulan mereka awalnya bernama Deutscher Männer-Gesang-Verein, namun segera dikenal sebagai Deutscher Verein. Meskipun tahun-tahun awal berdirinya tidak mudah, organisasi ini kemudian berkembang dengan kokoh.
Kemajuan Deutscher Verein mulai terlihat di bawah kepemimpinan Dr. M. Schöppe pada 1904. Di bawah kepemimpinan Burghoff pada 1909, organisasi ini membeli tanah di Genteng Kali, yang kemudian menjadi markas besar mereka hingga kini. Setelah reorganisasi pasca-Perang Dunia I, organisasi ini benar-benar berkembang dengan memperluas aktivitasnya ke bidang olahraga, pertunjukan teater, konser, ceramah, serta membentuk liedertafel–sebuah grup paduan suara.
Bangunan di Genteng Kali ini telah beberapa kali direnovasi agar sesuai dengan kebutuhan organisasi. Renovasi besar dilakukan pada 1924 dan 1925. Pada Desember 1928, proyek renovasi ketiga selesai. Renovasi ini mencakup pembangunan ruang utama dan panggung, sehingga organisasi Deutscher Verein kini memiliki gedung dengan arsitektur modern, lengkap dengan panggung putar. Proyek ini dirancang oleh insinyur Nobile de Vistarini[3].
Sebagai kelompok, Deutscher Verein menjalin hubungan baik dengan berbagai klub dan asosiasi lainnya. Mereka berhubungan erat dengan organisasi pusat Jerman di Hindia Belanda, Deutsche Bund, serta dengan Kunstkring dan subdivisi-subdivisinya. Mereka juga berkolaborasi dengan Simpangsche Sociëteit dalam olahraga boling.
Masih mengacu pada catatan von Faber, Deutscher Verein di bawah kepemimpinan A. F.W. Becker saat itu disebut, “Melanjutkan tradisi baiknya dengan kehidupan asosiasi yang kuat dan aktif, berfokus pada seni dan relaksasi.” Catatan itu sejalan dengan isi plakat yang saat ini terpampang di Gedung Balai Sahabat. Pada plakat itu, Balai Sahabat disebut sebagai, “Tempat pertemuan orang-orang Eropa pecinta seni dansa yang ada di Surabaya, khususnya orang-orang Jerman (…) [Deutsche].”
Dalam sejarahnya, fungsi Gedung Deutscher Verein berkembang tidak hanya sebagai panggung seni-budaya, tetapi juga sebagai wadah politik. Menurut arsip yang saya temukan, gedung ini tidak hanya digunakan oleh kulturgenosse (rekan budaya), melainkan juga oleh parteigenosse (rekan partai) dari diaspora Jerman. Gedung ini menjadi saksi propaganda Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei/Auslands-Organisation (NSDAP/AO), sayap organisasi luar negeri Partai Nazi. Propaganda itu disebarluaskan melalui kegiatan budaya dan seni yang diagungkan oleh Jerman-Reich Ketiga saat itu. Salah satu sosok di balik propaganda ini adalah Wilhelm ‘Willi’ Liesenfeld, ketua NSDAP cabang Surabaya periode 1935-1940, yang menggantikan W. Schmidt. Pada 1935, jabatan Konsul Jerman untuk Surabaya dipegang H. J. L. Bartels-Troje[4], yang diketahui telah memiliki mansion Tannenheim di Surabaya sebelum 1935[5].
Menurut von Faber, pada akhir 1930, setidaknya 845 orang Jerman tercatat sebagai residen di Surabaya, baik dari kalangan diaspora maupun keturunan. Keberadaan mereka itu memantik beberapa pertanyaan: apakah sebagian besar dari mereka yang menjadi anggota Deutscher Verein juga menjadi anggota NSDAP/AO? Bagaimana pergerakan tokoh-tokoh dalam dewan Deutscher Verein? Dan sejauh mana keterlibatan mereka dengan Nazi? Lebih jauh, bagaimana propaganda budaya yang dikerahkan Liesenfeld berperan dalam mendukung ambisi Hitler di Hindia Belanda, terutama Surabaya?
Sekilas Sejarah Diaspora Jerman di Surabaya
Dalam catatannya, von Faber menyebut Deutscher Verein sebagai pusat pertemuan Auslandsdeutsche (diaspora Jerman) di Surabaya. Tapi, sebelumnya, apa yang membuat para Auslandsdeutsche ini ada di Surabaya? Keberadaan mereka didorong oleh ekspansi ekonomi Jerman yang pesat pada akhir abad 19 dan awal abad 20[6]. Masa ini dikenal sebagai Revolusi Industri Kedua, ketika Kekaisaran Jerman tumbuh menjadi kekuatan industri besar. Untuk mendukung pertumbuhan itu, para pengusaha dan individu Jerman mencari pasar luar negeri serta akses terhadap bahan baku. Hindia Belanda, yang kaya sumber daya alam dan terletak di jalur perdagangan dunia, menjadi sasaran utama pedagang dan investor Jerman. Perusahaan-perusahaan Jerman, seperti Behn, Meyer & Co. yang didirikan di Singapura oleh dua orang Hamburg pada 1840, berperan mendorong pengusaha dan profesional Jerman untuk menetap di kota-kota bandar seperti Surabaya. Tujuannya guna memfasilitasi kegiatan impor, ekspor, dan usaha industri. Pada 1938, pembelanjaan Jerman di Hindia Belanda berjumlah 23.725.000 gulden, atau 3,62% dari total ekspor Hindia Belanda. Jerman menganggap Hindia Belanda sebagai sumber karet, kopra, serat, dan produk lainnya yang berharga untuk industri mereka; dan sejumlah besar orang Jerman tidak hanya terlibat dalam kehidupan ekonomi di Hindia, tetapi juga terlibat dalam dinas administratif dan militer Belanda.[7]
Ambisi imperial Jerman juga berperan dalam migrasi diaspora ini. Migrasi orang-orang Jerman ke Hindia Belanda dapat dilihat sebagai bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas. Jerman ingin membangun tidak hanya klik komersial, tetapi juga relasi budaya dan politik di kawasan di mana mereka dapat memproyeksikan pengaruh tanpa perlu melakukan penjajahan langsung[8].
Sebagai kota pelabuhan besar, Surabaya menawarkan lingkungan yang stabil dan menguntungkan bagi orang asing, termasuk diaspora Jerman, untuk menjalankan bisnis. Salah satu yang berperan besar menghubungkan industri Jerman dengan Surabaya adalah Hamburg-Amerikanische Packetfahrt-Actien-Gesellschaft (HAPAG), perusahaan pelayaran Jerman yang didirikan pada 1847 di Hamburg. Pada 1890, HAPAG meresmikan Sunda-Linie yang menghubungkan langsung jalur pelayaran Hamburg-Surabaya. Ia memfasilitasi transportasi barang, komoditas, dan migrasi antara Eropa dan Asia.
“Deusche” di Pintu Masuk
Plakat di pintu masuk Balai Sahabat saat ini mengandung saltik cukup fatal, yaitu penggunaan istilah “Deusche” [sic!]. Ini berpotensi membingungkan masyarakat awam. Sebab, plakat tersebut menggunakan tiga istilah berbeda: Jerman, Belanda (Dutch), dan Deu[t]sche. Secara literal, Deutsche dalam bahasa Jerman berarti ‘orang Jerman’. Sebaliknya, orang Belanda dalam bahasa Jerman disebut Holländer, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Dutch. Sementara itu, dalam bahasa sehari-hari pribumi Surabaya, dua kalangan itu biasa disebut Londo.
Kesalahan penghubungan antara istilah Dutch dan Deutsche ini mengingatkan saya pada lirik lagu kebangsaan Belanda, Het Wilhelmus, yang juga merupakan lagu kebangsaan Hindia Belanda sejak 1932. Menariknya, dalam lirik Het Wilhelmus terdapat istilah “Duitsen“, yang menyebut Willem van Nassau (pendiri dinasti Oranje-Nassau) sebagai “berdarah Duitsen (Jerman)”:
Wilhelmus van Nassouwe,
Ben ik van Duitsen bloed,
Den vaderland getrouwe,
Blijf ik tot in den dood.
Namun, bagian “Duits-” dalam lirik lagu ini masih diperdebatkan para akademisi. Sebab, saat himne ini digubah pada 1574, negara Jerman modern belum terbentuk. Duits yang dimaksud di sini merujuk pada wilayah de Nederlanden (Lowlands). Secara historis, de Nederlanden mencakup daerah-daerah yang sekarang menjadi Belanda, Jerman, Belgia, dan Luksemburg. Interpretasi ini terus berkembang, terutama pada paruh ketiga abad 20, ketika nasionalisme Belanda menemukan konteks baru.
Ketika Jerman menginvasi Belanda, Het Wilhelmus menjadi populer terutama di kalangan pendukung Nationaal-Socialistische Beweging (NSB), partai fasis Belanda yang berkolaborasi dengan Nazi. Sebelumnya, ketika imperialisme Belanda mencapai puncaknya dan fasisme berkembang di Eropa, lagu yang digubah pada abad ke-16 tadi dihidupkan kembali sebagai simbol nasionalisme baru. Het Wilhelmus lalu resmi dijadikan lagu kebangsaan Belanda dan koloninya pada 1932, tepat di tengah kebangkitan nasionalisme Belanda yang berbarengan dengan gelombang keinginan merdeka di tanah jajahan. Namun, saat puncak masa invasi Nazi di Belanda, NSB yang telah sepenuhnya mendukung Nazi beralih menggunakan lagu Alle Man van Neerlands Stam sebagai himne, karena Het Wilhelmus dianggap terlalu nasionalis dan pro-Belanda.
Eksklusivitas Deutscher Verein dan Keterlibatan Politisnya
NSB yang berhaluan fasis itu juga cukup tenar di Hindia Belanda, terutama di kalangan Indo-Eropa. Setidaknya menurut Oktorino (2008), terdapat 2.000 anggota NSB di Hindia Belanda, 70% di antaranya adalah orang Indo-Belanda.[9]
Deutscher Verein rupanya punya karakter lebih tertutup dibanding NSB. Klub ini tampak kurang ramah terhadap orang Belanda, apalagi orang Indo-Eropa. Undangan untuk acara-acara Deutscher Verein, seperti operet atau drama, hanya diperuntukkan bagi warga Jerman. Sebab, pertunjukan tersebut menggunakan bahasa Jerman dan sering mengandung pesan politis.
Eksklusivitas itu kadang berkembang menjadi insiden dengan kelompok masyarakat lain. Salah satu insiden yang terkenal melibatkan dr. Bornhaupt[10], pejabat Deutscher Verein sekaligus anggota NSDAP Surabaya. Di bar Cercle Hellendoorn[11], ia menghina seorang perempuan Jerman dengan sebutan anti-Semit dan menyebut negeri Belanda akan lenyap dikuasai Jerman. Peristiwa ini diberitakan surat kabar Soerabajasche Handelsblad pada 22 Januari 1936 dan memicu keributan, yang akhirnya menyebabkan dr. Bornhaupt dikeluarkan dari NSDAP Surabaya. Pengadilan dr. Bornhaupt di Raad van Justitie Surabaya pada 2 April 1936 juga menjadi sensasi pers, terutama laporan detailnya di koran Algemeen Handelsblad.
Soal watak eksklusif dan insiden di atas, mungkin pengumuman di Soerabajaische Handelsblad perihal aktivisme atau orasi politik seperti yang dilakukan dr. Bornhaupt bisa dijadikan acuan. Pengumuman itu ditujukan hanya untuk warga Jerman (“deutsche Volksgenossen und genossinen”) di Surabaya dan menyerupai poster pemilu dengan slogan “Aufruf an das Deutsche Volk” dari pidato Hitler pada 30 Januari 1933. Dalam pidato tersebut, Hitler menyerukan dukungan terhadap dua peristiwa penting: pengangkatan dirinya sebagai Reichskanzler dan pengukuhan NSDAP sebagai satu-satunya partai berkuasa di Jerman pada 14 Juli 1933 setelah diberlakukannya Undang-Undang Penentangan Pembentukan Partai (Gesetz gegen die Neubildung von Parteien).
Selain peristiwa politik itu, dukungan terhadap Hitler pun semakin kuat setelah kongres dan reli besar-besaran berlangsung di Nuremberg dari 30 Agustus hingga 3 September 1933, serta keluarnya Jerman dari Liga Bangsa-Bangsa pada 16 Oktober 1933. Warga Jerman di luar negeri, termasuk mereka yang tinggal di Surabaya, turut memberikan dukungan melalui organisasi AO[12].
Kemungkinan besar, terdapat pemungutan suara untuk Reichstagswahl[13] pada 4 November 1933 yang berlangsung di Deutscher Verein, dengan dokumen yang dikirim melalui kargo udara agar tiba di Berlin sebelum 12 November. Namun alih-alih pemungutan suara, yang terjadi justru undangan untuk menandatangani sebuah petisi politis. Surat kabar De Indische Courant edisi 6 November 1933 menyebut petisi ini bertujuan untuk menunjukkan dukungan pribadi maupun kolektif bagi Hitler dan pemerintahannya. Dukungan ini bersifat informal, tidak berkekuatan hukum seperti referendum. Berikut adalah terjemahan laporan De Indische Courant itu:
Pertemuan Warga Jerman: Pernyataan Kesetiaan
Sabtu malam pukul 9, hampir seluruh warga Jerman di Surabaya dan sekitarnya berkumpul di aula teater Deutscher Verein untuk menandatangani pernyataan kesetiaan kepada pemimpin mereka, Adolf Hitler, dan pemerintah Jerman. Diperkirakan sekitar 250 hingga 300 orang menghadiri acara ini.
Acara dimulai dengan sebuah pertunjukan musik, diikuti sambutan dari ketua Deutscher Verein yang menyambut para hadirin. Selanjutnya, Ortsgruppenführer NSDAP, Tuan W. Schmidt, memberikan pidato yang berapi-api. Setelah itu, dr. Bornhaupt menyampaikan pidato utamanya, setelah lagu Ich hab’ mich ergebendinyanyikan, lagu Horst Wessel juga dinyanyikan dengan semangat, diikuti pembacaan puisi karya Dietrich Eckhart dan Deutschlandlied.
Bagian utama acara ini adalah penandatanganan pernyataan kesetiaan yang berbunyi:
“Warga Jerman di Hindia Belanda berdiri tegak bersama seluruh bangsa Jerman dalam mendukung pemimpin mereka, Adolf Hitler, dan pemerintah Reich.”
Pernyataan ini ditandatangani oleh semua hadirin dan akan dikirim ke Konsulat Jerman di Batavia untuk diteruskan ke Jerman melalui telegraf. Daftar tanda tangan juga akan dikirim langsung melalui pos udara.
Selain di Surabaya, pertemuan serupa juga diadakan di pusat-pusat lain di Hindia Belanda, seperti Batavia, Semarang, Bandung, dan Malang. Aula besar Deutscher Verein dihiasi dengan bendera Jerman—hitam, putih, merah—dan bendera swastika untuk acara ini.
Pada 20 Agustus 1934, Soerabajasche Handelsblad memberitakan pemungutan suara lainnya oleh anggota Deutscher Verein sekaligus NSDAP Surabaya. Pemungutan suara kali ini merupakan referendum untuk mendukung Hitler sebagai pemimpin negara dengan jabatan ganda, yaitu presiden dan Reichskanzler. Ini terjadi segera setelah wafatnya Presiden Paul von Hindenburg. Uniknya, pemungutan suara ini tidak dilakukan di Gedung Deutscher Verein lagi, melainkan di atas kapal uap Kurmark yang lepas jangkar dari Pelabuhan Probolinggo pada 19 Agustus 1934. Pemungutan suara ini diikuti sekitar 211 peserta dari berbagai daerah, termasuk Surabaya, Malang, Semarang, dan Banyuwangi. Kegiatan ini diorganisir oleh agen HAPAG di Probolinggo, dengan bantuan Nederlandsch-Indische Handelsbank yang menyediakan transportasi dari darat ke kapal menggunakan perahu motor Mien.
Setelah para peserta diangkut ke Kurmark, kapal pun mulai berlayar menuju perairan internasional di lepas pantai Pasuruan pada pukul 10 pagi. Setelah mencapai wilayah nonteritorial, kapal dianggap berada di bawah yurisdiksi Jerman, dan pemungutan suara pun dimulai. Pemungutan ini dikelola oleh komite yang diketuai oleh Kapten O. Kettner, dengan anggota lainnya termasuk para verwalter kapal, sekretaris konsulat Jerman di Surabaya, ketua Deutscher Verein saat itu (Hoppmann), boatsman Dreschner, sekretaris NSDAP Surabaya (Nothelfer), serta ketua grup NSDAP (W. Schmidt).
Laporan dari surat kabar Het Nieuws van den daag voor Nederlandsch-Indie pada 23 Agustus 1934 soal peristiwa ini juga tak kalah sensasional dan penuh gestur patriotik; pidato W. Schmidt dan dr. Bornhaupt yang simpatik, salut tiga kali “Heil Hitler”, serta ditutup oleh kumandang Deutschlandslied dan Horst-Wessel-Lied.
Strategi untuk melakukan pemungutan suara di laut lepas dan menyatakannya sebagai ‘wilayah Jerman’ ini sesuai dengan hukum maritim Hindia Belanda saat itu. Prinsip hukum maritim Hindia Belanda sebelum 1945 didasarkan pada doktrin Cannon Shot Rule. Doktrin itu mengizinkan negara mengklaim wilayah laut sejauh tembakan meriam dari pantai, yakni sekitar 3 mil. Dalam jarak laut tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memiliki yurisdiksi penuh, termasuk pengaturan hukum pidana, perdata, dan regulasi perdagangan serta navigasi. Maka, laut di luar batas 3 mil, seperti Laut Jawa di utara Pasuruan, dianggap sebagai laut lepas dan berada di luar yurisdiksi Hindia Belanda.
Dalam berita “Het Deutsche Plebisciet” di atas, Hoppmann dan F. Schmidt dari Deutscher Verein tampak memfasilitasi aktivitas NSDAP Surabaya yang diwakili ketuanya, W. Schmidt, untuk terlibat dalam kegiatan politik internal Jerman. Aktivitas ini juga melibatkan kehadiran Sturmabteilung (SA) Marinee-stuurmannen, yang berseragam Nazi. SA berseragam cokelat ini juga terkenal mengawasi serta mengintimidasi para pemilih selama pemilu di Jerman pada periode 1933-1934. Situasinya dikondisikan seperti di wilayah Jerman sendiri. Semangat nasionalisme ‘wilayah Jerman’ ini pun diwujudkan melalui hukum maritim tadi.
Hasil pemilu tersebut memberikan 221 suara yang mendukung Hitler sebagai presiden sekaligus Reichskanzler, sebuah langkah yang memperkuat kediktatorannya dan mengantar Jerman menuju Perang Dunia II pada 1939.
Pemilu di laut lepas tadi kemudian diulang lagi untuk mendukung keputusan Hitler sebagai pemegang jabatan ganda dan meremiliterisasi Rheinland, yang melanggar Perjanjian Versailles 1919. Pemungutan suara kedua itu dilakukan di atas kapal Halle di perairan utara Probolinggo pada 29 Maret 1936[14]. Kali ini, NSDAP Surabaya sudah berada di bawah pimpinan W. Liesenfeld, seorang pegawai di N.V. Carl Schliepper sekaligus aktor/penyanyi lepas di teater Deutscher Verein. Berikut laporannya dalam De Indische Courant pada 31 Maret 1936:
PROBOLINGGO. (Dari koresponden kami.) Pemungutan suara di atas kapal “Halle”.
Dengan cara yang sama seperti dua tahun sebelumnya di atas kapal “Kurmark” di perairan Probolinggo, pada hari Minggu yang lalu, warga Jerman yang tinggal di Jawa Timur diberi kesempatan untuk memberikan suara di atas kapal “Halle” milik Deutsch Australische Dampfschiff Gesellschaft (DADG). Mereka dapat memilih “Ya” atau “Tidak” untuk kebijakan pemerintahan Jerman saat ini.
Secara total, 201 suara diberikan, dengan hasil 198 suara mendukung “Ya”, dua suara menolak “Tidak”, dan satu suara dinyatakan tidak sah. (…)
Begitu kapal keluar dari wilayah teritorial, beberapa pembicara menyampaikan pidato. Yang pertama berbicara adalah kepala mesin kapal “Halle” sebagai pemimpin politik; Ortsgruppenleiter Surabaya, Bapak Liesenfeld, memberikan pidato yang sangat baik dan penuh semangat, sementara kapten kapal “Halle” juga menyampaikan pidato penutup kepada para hadirin. Setelah semua surat suara dikumpulkan, komisi pemungutan suara bekerja memeriksa dan menghitung suara, kemudian hasil yang disebutkan di atas diumumkan. (…)
Liesenfeld dan Propaganda Seni-Budaya di Deutscher Verein
Keterlibatan warga Jerman di Surabaya (dan Hindia Belanda) dalam Volksabstimmung[15] serta pemilu referendum lainnya menunjukkan partisipasi aktif mereka dalam politik pemerintahan Jerman saat itu. Dan seperti yang tercermin dari sejarah Lingkar Bayreuth, sentimen NSDAP sebagian besar disebarkan melalui propaganda budaya. Ini bertujuan untuk membangun mitos kebesaran Hitler dan Nazi. Joseph Goebbels, sang tangan kanan Hitler di Jerman, menjadi arsitek utama dalam upaya propaganda ini.
Di bawah kepemimpinan ‘Willi’ Liesenfeld, NSDAP Surabaya kerap menyelenggarakan berbagai pameran budaya Jerman-Reich Ketiga di Deutscher Verein, disertai orasi patriotik, upacara khidmat, dan pertemuan sosial. Liesenfeld sendiri adalah seorang penggemar seni-budaya. Sekitar tahun 1933-1934, Liesenfeld kerap tampil di panggung Deutscher Verein, seperti berperan sebagai Treysa dalam drama Zwölftausend karya Bruno Frank.[16] Liesenfeld juga membawakan peran utama dalam drama nasionalis komedi Schneider Wilbel karya Hans Müller-Schlösser.[17] Yang paling sensasional, ia tampil dalam operet Sein Glücksfall im Leben karya Eduard Fritsch dan Ralph Schwarze.[18] Liesenfeld juga memanfaatkan panggung Deutscher Verein sebagai sarana propaganda budaya yang mendukung ideologi Nazi, seperti terlihat dalam pameran Het duitsche boek dan pemutaran film-film propaganda Reich Ketiga yang dirancang Goebbels.
Sebelumnya, saat W. Schmidt masih mengetuai NSDAP Surabaya, terdapat pemutaran dua film propaganda Reich di Kunstkring. Pemutaran film ini diselenggarakan atas kerja sama Deutscher Verein, Konsulat Jerman, dan NSDAP Surabaya. Berikut adalah terjemahan laporan Soerabajasche Handelsblad edisi 16 Juli 1934 soal pemutaran film tersebut:
FILM “Duitsland Baru”: Pemutaran Film
Atas undangan dari pemimpin Konsulat Jerman di Surabaya, banyak orang menghadiri pemutaran film “Deutschland erwacht” dan “Tag der Nationalen Arbeit” pada Minggu pagi di aula besar Kunstkring. Mayoritas penonton adalah warga Jerman, namun turut hadir Wali Kota Surabaya [G. J. ter Poorten] serta beberapa perwira Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Aula didekorasi sederhana dengan bendera merah panjang yang berhiaskan lambang swastika serta kain bendera hitam-putih-merah.
Sebelum film diputar, sekretaris Konsulat Jerman menyampaikan sambutan singkat mengenai peristiwa-peristiwa yang mengarah pada pembentukan pemerintahan Nasional-Sosialis dan tujuan dari ideologi Nasional-Sosialisme Jerman. Ia juga mengenang duka atas wafatnya Pangeran Hendrik dari Kerajaan Belanda dan meminta hadirin untuk menyampaikan tiga kali “hoch” untuk Ratu Belanda, yang diikuti dengan lagu Wilhelmus yang dimainkan dengan piano.
Pemutaran film pertama, “Deutschland erwacht”, merupakan film dokumentasi perkembangan gerakan Nazi di Jerman hingga kemenangan yang mengangkat Hitler sebagai Kanselir. Gambar yang menyoroti kerumunan rakyat dan pidato Hitler, Goering, Goebbels, dan lainnya disajikan dengan sangat baik. Setelah film pertama, Herr Schmidt, pemimpin kelompok Nazi di Surabaya, menyampaikan pidato singkat tentang perjuangan 15 tahun Hitler dan sekutunya, yang berujung pada kemenangan sang Führer. Ia juga menjelaskan tujuan utama Nasional-Sosialisme, salah satunya adalah mencapai kesetaraan bagi Kekaisaran Jerman di antara negara-negara Eropa.
Pidato diakhiri dengan ajakan kepada hadirin untuk menyanyikan lagu “Deutschland, Deutschland über alles” dengan penuh semangat, sambil memberikan salam khas Hitler. Lagu Horst-Wessel juga dinyanyikan dengan antusias.
Film kedua, “Tag der Nationalen Arbeit”, menampilkan dokumentasi perayaan Hari Buruh Nasional pada 1 Mei 1933, yang meliputi persiapan besar-besaran, demonstrasi massal, dan pidato dari Von Hindenburg, Hitler, dan Goebbels di hadapan 1,5 juta orang. (…)
Setelah Schmidt mengalihkan kepemimpinannya pada Liesenfeld yang masih muda dan antusias, terselenggaralah pameran Het duitsche boek[19] sebagai ajang propaganda budaya melalui literatur yang telah lulus sensor Nazi. Ini tampaknya adalah ajang memamerkan produk dari Bücherverbrennung. [20]
Selain drama dan musik, Liesenfeld juga memanfaatkan film sebagai sarana propaganda. Atas kerja sama Deutscher Verein dan NSDAP, beberapa film terkenal diputar di Capitol Theater[21], antara lain: Triumph des Willens[22], Echo der Heimat[23], Jugend erlebt Heimat, dan Tag der Freiheit[24] tentang reli Nuremberg garapan sutradara Leni Riefenstahl, yang terkenal menggarap film-film propaganda Nazi. Bayangkan haru para penonton itu, yang memberi suara dalam dua pemilu tadi, melihat pasukan SS dan SA baris-berbaris menggotong bendera dan hiasan swastika, serta rakyat negeri mereka yang tak kalah antusias dan bersalut di layar lebar bioskop Capitol: “Saya adalah bagian dari kejayaan ini!”
Gedung Deutscher Verein sendiri, seperti saya sebut di awal, memiliki teater besar yang mewah. Ini membuatnya layak menjadi tempat pertunjukan operet, opera, maupun orkestra. Meskipun orkestra lengkap biasanya dimainkan di Kunstkring(huis) di Jalan Embong Malang, Deutscher Verein tampak menjadi pusat kegiatan budaya Jerman-Reich Ketiga di Surabaya selama periode 1930-an.
Menurut laporan Indische Courant pada 18 Maret 1935, Deutscher Verein di bawah kepemimpinan Liesenfeld juga menyelenggarakan Doodenherdenking untuk mengenang korban Jerman dalam Perang Dunia I. Acara tersebut diawali dengan pembacaan sajak “Unsere Toten” dari tabloid pro-NSDAP, Deutsche Wacht, diikuti dengan bagian khidmat dari simfoni ke-5 Beethoven, Eroica yang patriotik, serta musik dari opera Wagner, Meistersinger von Nürnberg. Wagner sering kali dipakai sebagai simbol nasionalisme Jerman oleh Nazi. Karya-karya Wagner kerap menekankan pentingnya seni-budaya dalam mempertahankan kebesaran Jerman, sesuai dengan ideologi ultranasionalisme Hitler.
Propaganda budaya Nazi terlihat jelas dalam upaya Kementerian Propaganda Reich yang memanfaatkan seni dan musik Jerman yang bersifat völkisch[25]. Ini bak gayung bersambut dengan latar belakang seni pertunjukan dan musik yang dimiliki Liesenfeld. Dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan tirolerland.tv, Rudolf—putra Liesenfeld yang lahir di Surabaya pada 15 November 1935—mengungkapkan bahwa sejak kanak ia telah terpapar musik klasik Jerman seperti karya Franz Schubert dan Robert Schumann, melalui ayahnya yang gemar bermain piano.
Ideologi Rasial dari Berlin
Insiden dr. Bornhaupt yang tadi sudah disinggung bisa dilihat sebagai cerminan Nazisme di Hindia Belanda melalui komunitas Jerman setempat. Sebab, dr. Bornhaupt sudah pernah berdebat dengan perempuan yang sama sebelumnya. Perempuan itu mungkin pernah aktif di Deutscher Verein sebagai bagian dari komunitas Jerman di Surabaya.
Keributan bermula ketika dr. Bornhaupt dan tiga rekannya (termasuk sang saksi, yang tak lain keponakannya sendiri) memasuki bar di Cercle Heleedoorn setelah lewat tengah malam. Sang dokter lalu berdebat soal politik dengan seorang pelayan perempuan Jerman yang bekerja di bar tersebut. Ketika si pelayan menolak melanjutkan debat politik itu, dr. Bornhaupt menghina dan mengancam akan memukulnya. Ia juga mengatakan bahwa pelayan tersebut harus malu bekerja di sebuah bisnis milik Yahudi.
Insiden tersebut memicu teguran dari pemilik bar, yang dibangunkan oleh karyawan setelah mendengar laporan tentang kelakuan dr. Bornhaupt. Salah satu rekan sang dokter ikut campur dan mulai menghina staf bar dengan sebutan “Juden-Halbblut” (separuh Yahudi) dan “Jodentuig” (sampah Yahudi). Ia juga menyebut chef d’orchestre di bar itu sebagai Yahudi karena memainkan jaz alih-alih musik Vienesse. Sang dokter memperkeruh keadaan dengan menyatakan bahwa seorang Nazi tidak akan hidup di bawah pemerintahan asing dan bahwa Belanda akan segera lenyap. Pada akhirnya, sang dokter dan ketiga rekan Jermannya tersebut diminta angkat kaki dari bar.
Setelah insiden yang memicu kontroversi itu, langkah hukum pun diambil. Persidangan digelar untuk menyelidiki kelakuan dr. Bornhaupt. Jaksa menuntut sang dokter dengan denda 100 gulden atas pelanggaran pasal 156 tentang penyebaran kebencian.
Perihal kejadian ini, seorang kolumnis berinisial d.K menulis sebuah artikel di koran De Locomotief edisi 13 Januari 1936. Artikel itu memuat kritik soal pandangan ekstrem di kalangan anggota NSDAP, seperti dr. Bornhaupt. Artikel tersebut juga menggambarkan pelaksanaan kebijakan rasial Nazi di Hindia Belanda, terutama soal larangan bagi anggota NSDAP yang menikah dengan perempuan Indo-Eropa untuk tetap menjadi anggota partai. Kebijakan ini mencerminkan penerapan Hukum Nuremberg yang diberlakukan sejak 15 September 1935. Hukum yang di antaranya melarang pernikahan warga Jerman dan non-Jerman itu juga berlaku bagi komunitas Jerman di luar negeri.
Meskipun terdapat perdebatan soal penerapannya, kebijakan tersebut semakin memperkuat eksklusivitas dan diskriminasi rasial di kalangan komunitas Jerman di Hindia Belanda. Pernikahan dengan perempuan Indo atau perempuan Eropa yang lahir di koloni dianggap merusak ‘kemurnian’ ras Jerman.
Sentimen rasis dr. Bornhaupt tampak terkait dengan kebijakan baru partai yang diumumkan Liesenfeld. Konsulat Jenderal Jerman saat itu, H.J.L Bartels-Troje, atau yang dimaksud di sini adalah konsulat di Batavia, rupanya berselisih pandang dengan Liesenfeld soal kebijakan ini dan membeberkan hal yang berbeda ke Radio Aneta:
“Aneta menerima informasi dari instansi partai yang berwenang, terkait laporan dari Surabaya yang menyatakan bahwa anggota NSDAP yang menikah dengan ‘wanita Indo’ tidak lagi dapat menjadi anggota partai, bahwa tidak ada informasi terkait hal tersebut. Dengan tegas dinyatakan bahwa tidak ada rencana demikian. Anggota partai yang menikah dengan ‘wanita Indo’ memiliki hak yang sama seperti anggota lainnya. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa pimpinan partai di Jerman berniat mengubah sikap yang selama ini mereka pegang terkait masalah ini.”[26]
Namun, harian Bataviaasch Nieuwsblad mencatat bahwa pernyataan tersebut mengabaikan satu fakta penting. Surat kabar itu menegaskan bahwa sejak 1 November 1934 warga Jerman yang menikah dengan “wanita Indo” tidak lagi diizinkan bergabung dengan NSDAP. Informasi ini diperkuat oleh telegram dari Berlin yang diterima melalui Makassar pada 7 Januari 1936.
Hal itu dikonfirmasi oleh Sumatra Post edisi 23 Januari 1936, yang melaporkan penolakan keanggotaan seorang anggota NSDAP di Surabaya karena menikahi seorang perempuan “non-Arya”. Surat penolakan keanggotaan tersebut dikirim oleh Ortsgruppeleiter Surabaya, Liesenfeld, kepada anggota yang bersangkutan. Konfirmasi penolakan ini disampaikan ke Aneta dan kebenarannya dikonfirmasi oleh Konsulat Jenderal Jerman di Batavia.
Berita soal diskriminasi ras di kalangan NSDAP di Hindia Belanda memicu reaksi keras dari berbagai surat kabar, baik di Hindia Belanda sendiri maupun di Belanda. Banyak pihak khawatir bahwa Pemerintah Jerman mulai mengintervensi dan merusak keharmonisan sosial di koloni Belanda. Opini yang dimuat di De Sumatra Post dan De Locomotief pada 13 Januari 1936, misalnya, menggambarkan fenomena ini sebagai “Een Krenking” (Sebuah Penghinaan). Berikut ini adalah opini yang ditulis oleh d.K tersebut:
Sebuah Penghinaan:
“Teori ras yang konyol dan paganisme baru yang sama konyolnya adalah ekses dari rezim yang, jangan lupa, telah menyelamatkan Jerman dari kehancuran dan mungkin juga Eropa dari komunisme.” – Thibaud.
Secara tak terduga, sebuah insiden yang menyakitkan terjadi dan perlu dijelaskan demi menjaga hubungan baik dalam masyarakat. Ortsgruppenleiter (pemimpin lokal) NSDAP di Surabaya [W. Liesenfeld] mengumumkan bahwa anggota partai yang menikah dengan wanita Indo-Eropa tidak boleh lagi menjadi anggota organisasi. Konsulat Jenderal Jerman segera menanggapi dengan pernyataan yang menyatakan bahwa “anggota partai yang menikah dengan wanita Indo memiliki hak yang sama seperti anggota lainnya.”
Namun, pernyataan ini segera dibantah oleh pihak NSDAP lainnya di Hindia Belanda, yang menyatakan bahwa aturan tersebut tidak berlaku bagi anggota saat ini, tetapi hanya untuk anggota baru. (…)
Keberadaan ekspatriat Jerman di Hindia Belanda yang terhubung melalui organisasi seperti Duitscher Club/Verein dan Konsulat, serta keterwakilan keduanya sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Jerman, tampak memaksa Berlin untuk menazifikasi institusi pemerintahan dan klub orang-orang Jerman ini. Meskipun tidak semua anggota ataupun Konsulat adalah anggota NSDAP, mereka tetap terdampak oleh kebijakan ini.
Penerapan Hukum Nuremberg di koloni Belanda menyebabkan banyak orang dikeluarkan dari organisasi seperti Front Pekerja dan NSDAP, serta terjadinya alienasi para ekspatriat Jerman di Hindia Belanda.[27] Menurut beberapa laporan, W. Liesenfeld dan dr. Bornhaupt tampak sebagai pendukung fanatik kebijakan ini. Namun, Konsul Jenderal Jerman sekaligus komisaris utama Deutscher Verein, Bartels-Troje, tampaknya lebih tertarik mengkaji sastra dan budaya ketimbang bersimpati pada kebijakan anti-Indo dan antipribumi tersebut. Dalam berbagai laporan, ia antusias memberikan kuliah tentang sastra Jerman modern[28] serta simfoni no. 9 Beethoven di gedung Deutscher Verein.[29]
Kebijakan Reaksioner De Jonge dan Dinamika Fasisme di Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936), Hindia Belanda mengalami salah satu periode paling reaksioner. de Jonge terkenal menerapkan kebijakan-kebijakan otoriter yang menghambat gerakan nasionalis Indonesia. Sebelum menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda, ia memilih mempertahankan kamp interniran Tanah Merah di Boven Digoel. Kamp ini telah digunakan sejak masa Gubernur Jenderal de Graeff (1872-1957) untuk menahan aktivis nasionalis.
Semangat kolonialismenya juga kuat. Ia pernah berkata, “Kami telah memerintah di sini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan tongkat, dan harus terus melakukannya selama tiga ratus tahun lagi.” Terhadap pergerakan nasional, de Jonge sangat keras, terutama terhadap tokoh seperti Sukarno, yang dianggapnya sulit ditoleransi[30]. Kebijakan-kebijakan otoriter dan reaksionernya sering dianggap sebagai perpanjangan pemikiran Hendrik Colijn, politikus Belanda yang lebih memilih pendekatan patriarkal dalam pengelolaan tanah jajahan. Colijn, seperti de Jonge, menolak peningkatan otonomi politik di Hindia Belanda melalui Volksraad (Dewan Rakyat) dan lebih memilih keputusan diambil langsung oleh pemerintah kolonial.
Saat de Jonge memimpin, Hindia Belanda tengah menghadapi dampak Depresi Besar. Harga barang mentah yang diekspor jatuh, sedangkan harga barang impor tetap tinggi. Krisis ekonomi ini memperburuk kondisi politik di Hindia Belanda. Selain itu, gerakan nasionalis pun makin gencar menagih Janji November 1918—janji Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum untuk memberikan peningkatan otonomi politik. Tetapi, de Jonge malah memilih jalan represif dalam menghadapi tuntutan tersebut.
Salah satu langkah represif de Jonge yang paling signifikan adalah pengasingan tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Sukarno ke Flores dan Mohammad Hatta serta Sutan Sjahrir ke kamp tahanan Boven-Digoel. Tindakan ini merusak gerakan nasionalis yang masih muda dan membuka ruang bagi tumbuhnya ideologi-ideologi reaksioner, termasuk fasisme. Pada masa ini, partai fasis seperti NSB mulai mendapatkan dukungan di Hindia Belanda. Pada Agustus 1935, de Jonge dua kali menerima kunjungan Anton Mussert, pemimpin NSB, di Batavia[31]. Selain itu, organisasi ultrakanan-konservatif Vaderlandsche Club muncul pada 1929, dan berupaya mempertahankan dominasi kolonial dengan mendukung kebijakan represif pemerintah.
Pada 1936, akibat kebijakan represif de Jonge terhadap tokoh-tokoh pergerakan nasional, Soetardjo Kartohadikoesoemo[32] mengajukan sebuah petisi di Volksraad[33]. Ia meminta peningkatan otonomi Hindia Belanda dalam kerangka Kerajaan Belanda. Petisi ini berhasil memenangkan dukungan di Volksraad dengan 26 suara mendukung dan 20 menolak. Pada 1 Oktober 1936, petisi tersebut kemudian dikirim kepada Ratu Belanda, Staten General[34], dan Menteri Tanah Jajahan di Negeri Belanda. Meskipun berhasil di parlemen, petisi itu akhirnya ditolak Ratu Wilhelmina pada 1938. Penolakan ini mencerminkan kegagalan upaya moderat untuk mencapai otonomi, yang pada akhirnya memperkuat ketidakpuasan di kalangan kaum nasionalis Indonesia.
Pada saat yang sama, terjadi perkembangan politik yang lebih progresif. Salah satunya adalah pengangkatan wali kota pribumi pertama di Hindia Belanda, yang dianggap sebagai langkah bersejarah oleh surat kabar nasionalis. Soeara Oemoem, yang dikelola partai nasionalis Perindra, menyambut pengangkatan ini dengan harapan bahwa langkah serupa akan diterapkan pada jabatan penting lainnya, termasuk ketua Volksraad. Keng Po, surat kabar nasionalis peranakan Tionghoa, melihatnya sebagai pengakuan bahwa non-Eropa mulai dianggap layak memegang posisi penting, membuka jalan menuju kesetaraan moral dan sosial bagi semua kelompok masyarakat.
Artikel tersebut kemudian menyoroti perbedaan tajam antara politik yang dijalankan di Hindia Belanda ini dan kebijakan Nazi di Jerman maupun fasisme di Italia. “Politik yang dijalankan oleh pemerintah di sini sangat jauh berbeda dari politik Nazi di Jerman atau fasisme di Italia. Belanda jelas bukan Jerman, dan waktu akan membuktikan siapa yang benar: mereka yang mendukung kerja sama dan kesetaraan, atau mereka yang memilih penindasan model Jerman untuk memperbudak penduduk kolonial,” tulis Keng Po.[35]
Komparasi kebijakan ini bisa dipahami sebagai pengakuan bahwa meskipun rezim de Jonge dan penerusnya keras, masih ada ruang bagi kebijakan-kebijakan yang memungkinkan emansipasi, seperti pengangkatan pejabat pribumi. Ini sangat berbeda dengan kebijakan Nazi yang ultranasionalis dan rasis, terutama pasca Hukum Nuremberg. Namun, keberadaan komunitas Jerman yang besar di Hindia Belanda, bersama aktivitas Konsulat Jerman dan organisasi seperti Deutscher Verein yang terpengaruh Nazi, tentu menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah Belanda, terutama Perdana Menteri Hendrikus Colijn, khawatir kebijakan Nazi bisa diterapkan di Belanda dan koloninya. Hal ini terbukti pada 10 Mei 1940, ketika Jerman menginvasi Belanda.
Setelah Rotterdam dibombardir dan Belanda menyerah, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bertindak cepat dengan menginternir semua warga Jerman dan menghentikan operasi perusahaan-perusahaan Jerman yang ada di wilayahnya. Aset-aset mereka disita, dan warga Jerman yang terkait dengan NSDAP sekaligus anggota NSB ditahan di Jawa atau diinternir di Suriname. Sebagai respons, pemerintahan di Belanda pun segera dinazifikasi. Terutama setelah 1940, saat NSB semakin terlibat penuh dalam kolaborasi militer dengan Nazi. Ini terjadi di bawah pengaruh seorang Belanda kelahiran Surabaya, Meinoud van Tonningen[36].
Pada saat yang sama, Colijn juga mulai mencermati peningkatan pengaruh NSB di Hindia Belanda. Pada masa itu, NSB belum sekeras Nazi, tetapi ia melihat ada tanda-tanda radikalisasi dalam tubuh NSB, terutama menjelang 1939 ketika ideologi mereka mulai mengarah pada ultranasionalisme dan rasialisme.
Kepada Parlemen Belanda, Colijn memperingatkan bahwa baik NSB maupun gerakan nasionalis seperti yang diusung Soetardjo, meski berbeda motivasi , keduanya sama-sama berpotensi merongrong kekuasaan Belanda di Hindia. Di satu sisi, NSB menyebarkan ideologi fasis dan pro-Nazi. Di sisi lain, gerakan nasionalis menuntut hak-hak politik yang lebih besar. Pada 3 Februari 1937, De Indische Courant memuat laporan soal ini, berikut terjemahan kutipannya:
Partai-partai Belanda di Hindia
Mengenai partai-partai Belanda di Hindia, Menteri memberikan perhatian kepada N.S.B. (Gerakan Nasional Sosialis Belanda) berdasarkan komentar dalam laporan Parlemen. Akan dilakukan penyelidikan mengenai sikap “penguasa” terhadap Nazi Belanda. Namun, kami merasa bahwa penyelidikan resmi semacam ini akan kurang bernilai. Daftar anggota N.S.B. hampir pasti tidak akan diungkapkan, dan para pejabat yang mungkin bersimpati dengan gerakan ini, dalam banyak kasus, tidak akan mau mengakuinya. Terkait hal ini, ada sebuah pertanyaan. Di akhir paragraf tentang Nazi, sang menteri menyatakan bahwa “gangguan ketertiban yang terjadi dalam pertemuan-pertemuan telah mendorong pemerintah Hindia untuk mengambil tindakan tegas.”
NSB dan Jejak Fasisme di Surabaya
Sejalan dengan kekhawatiran Colijn, pada periode 1930-an, aktivitas NSB di Hindia Belanda memang semakin terlihat. Contoh kongkretnya adalah kedatangan Anton Mussert ke Surabaya pada 1935, yang disambut antusias di Darmo Vliegveld[37], serta adanya markas NSB di Jl. Embong Malang No. 55. Kunjungan Mussert menandai momen penting dalam sejarah NSB di Hindia Belanda, di mana Mussert berusaha memperkuat dukungan bagi gerakan fasis di kalangan komunitas Eropa lokal. Ia disambut antusias oleh simpatisan NSB di Surabaya, dan menggelar sejumlah acara penting, termasuk propaganda-avond di Kunstkring.
Selama kunjungannya, Mussert tinggal sementara di rumah keluarga W.A. Logeman di Opakstraat 37. Lambang segitiga merah-hitam dan singa NSB terpampang di dinding depan rumah tersebut. Beberapa arsip foto memperlihatkan alamat rumah yang ditempati Mussert berada di Opakstraat no. 21. Namun, laporan De Indische Courant edisi 9 Maret 1938 mencatat bahwa rumah keluarga Logeman terletak di Opakstraat No. 37.
Untuk memahami lebih lanjut tentang kehadiran NSB di wilayah tersebut, saya melakukan wawancara pada 1 Oktober 2024 dengan Ibu Siti Sutiyah, seorang warga lama di Jl. Opak. Ibu Siti, yang keluarganya tinggal di Jl. Opak sejak 1980-an, mengungkapkan bahwa pada masa itu masih ada beberapa rumah, termasuk rumahnya sendiri, yang memiliki lambang segitiga NSB di dindingnya. Ia menyebut bahwa simbol NSB ini tidak hanya ditemukan di rumahnya, tetapi juga di beberapa rumah lainnya di sekitar kawasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Jl. Opak setidaknya pernah menjadi kawasan perumahan para anggota NSB.
Sayangnya, rumah di Opakstraat no. 21, yang disebut sebagai tempat tinggal sementara Mussert selama kunjungannya, telah dibongkar dan diubah menjadi kafe baru. Karena itu, saya tidak bisa melakukan perbandingan visual langsung antara rumah Ibu Siti dan rumah yang digunakan Mussert. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh dari wawancara dengan Ibu Siti memberikan bukti tambahan tentang kehadiran NSB di kawasan ini, sekaligus memperkuat narasi sejarah tentang aktivitas fasis di Surabaya pada masa Hindia Belanda.
Catatan:
[1] Berita dari De Indische Courant, 7 Mei 1934.
[2] Berita dari De Indische Courant, 18 Maret 1935.
[3] Ir. Bruno Nobile de Vistarini (Marburg an Drau, 8 April 1891 – Knittelfeld, 8 Desember 1971) adalah seorang insinyur asal Styria, Austria, berdarah Italia. Ia lulusan Technische Hogeschool di Graz dan dikenal sebagai perancang banyak bangunan penting di Surabaya, terutama gedung sekolah. Karya utamanya meliputi sekolah MULO Kristen di Embong Wungu, Sekolah Kristen Hollands-Chinese di Bubutan, gedung kantor Droogdok Maatschappij di Tanjung Perak, renovasi Gedung Deutscher Verein di Genteng Kali, serta perencanaan jalan dan pembangunan di Ketabang-Oost. de Vistarini juga merancang Noorderkerk di Grisseescheweg dan kompleks pertokoan di Songoyudan. Sumber: zoeken.nieuweinstituut.n
[4] Helmut Johannes Lambert Bartels-Troje (1894-1981) adalah direktur perusahaan N.V. Behn, Meyer & Co cabang Surabaya dan Konsul Jerman terpilih. Saya sendiri tidak menemukan bukti bahwa Bartels-Troje adalah anggota aktif NSDAP walau ia menjadi presiden Deutscher Verein menggantikan Nothelfer pada 1935. Setelah diinternir sebagai ‘musuh’ selama Perang Dunia II, ia menjadi salah satu pengungsi Hindia Belanda yang dipulangkan dari Jepang ke Jerman dalam kapal Marine Jumper pada 1947. Ia menjadi komisaris utama die Gesellschaft für Natur-und Völkerkunde Ostasiens e.V., Hamburg (OAG) milik Universitas Hamburg periode 1963-1978.
[5] Rumah ini beralamatkan di Kajoon 62 berdasarkan De Indische Courant edisi 23-10-1939. Sekarang menjadi kafe.
[6] Hochstadt, S. (1981). Migration and Industrialization in Germany, 1815-1977. Social Science History, 5(4), Hlm. 463.
[7] Emerson, R. (1940). The Dutch East Indies Adrift. Foreign Affairs, 18(4), hlm. 738
[8] Biskup, T. and Kohlrausch, M. (2016). Germany: 2. Colonial empire. In The Encyclopedia of Empire (eds N. Dalziel and J.M. MacKenzie). https://doi.org/10.1002/9781118455074.wbeoe364
[9] Oktorino, Nino. Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015. Hlm.23.
[10] Leo Otto Johann Bornhaupt (lahir di Moskow, Imperial Rusia, 13 Mei 1874 – meninggal di Batavia, 31 Juli 1936) adalah seorang dokter bedah di Riga, Lituania dan kemudian dinaturalisasi sebagai warga Jerman Deutschbalte Prusia Timur. Ia tiba di Surabaya pada 1921 dan membuka praktik sebagai dokter bedah, ginekolog, dan urolog di Kliniek voor chirurgische patienten en kraamvrouwen di Kaliasin 45. Beberapa catatan mengenai kasusnya menyebut bahwa ia juga berdinas di C.B.Z (Rumah Sakit Simpang).
[11] Sekarang disebut Bioskop Indra, terletak di Jl. Gubernur Suryo.
[12] Auslandsordnung, istilah untuk cabang NSDAP di luar negeri.
[13] Istilah di sejarah Jerman untuk menyebut pemilu parlemen (Reichtstag) pada 4 November 1933. Akibat UU 14 Juli, hanya dua terdapat pilihan di surat suara: NSDAP serta 22 “tamu partai”.
[13] Nederlandsch-Indische Handelsbank (NIHB) atau dikenal sebagai Bank Dagang Hindia Belanda adalah sebuah bank Belanda yang didirikan pada 1863 untuk membiayai perdagangan antara Belanda dan Hindia Belanda. Gedung NIHB di Surabaya sekarang menjadi Bank Mandiri cabang Jembatan Merah.
[14] Laporan De Indische Courant dipublikasi pada Selasa, 31 Maret 1936 dan menyebut pemungutan suara terjadi pada “op Zondag j.l” (“hari minggu yang lalu”), maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 29 Maret.
[15] Istilah untuk menyebut pemungutan suara mengenai kepala negara Reich Jerman pada 19 Agustus 1934, setelah Presiden Reich terakhir, Paul von Hindenburg, wafat. Kanselir saat itu, Adolf Hitler, meminta persetujuan dari rakyat Jerman untuk menggabungkan jabatan Kanselir Reich dan Presiden Reich ke dalam dirinya sebagai Führer dan Kanselir Reich. Meskipun pemungutan suara di negara Nazi ini tidak dilakukan secara bebas, hasilnya menunjukkan 89,93% suara mendukung.
[16] Soerabajasche Handelsblad, 6 Februari 1933
[17] De Indische Courant, 7 Mei 1934
[18] De Indische Courant, 25 Agustus 1933
[19] De Indische Courant, 1 November 1935
[20] Kampanye Bücherverbrennung (Pembakaran Buku-buku) dimulai pada 10 Mei 1933 oleh Serikat Pelajar Jerman (Deutsche Studentenschaft) di Nazi Jerman dan Austra. Kampanye pembakaran buku ini dilakukan secara seremonial atas pengaruh Menteri Propaganda Joseph Goebbels. Mereka menargetkan buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi Nazi. Buku karya penulis Yahudi, pasifis, liberal, anarkis, sosialis, komunis, dan lainnya menjadi sasaran. Buku-buku yang lulus sensor Kementerian Propaganda, atau tidak dibakar, kemudian dipamerkan di ajang-ajang kebudayaan Nazi, seperti yang diselenggarakan Deutscher Verein pada 1935.
[21] Sekarang gedung Bapenda Jatim di Jl. Pahlawan
[22] De Indische Courant, 9 Mei 1936
[23] De Indische Courant, 11 November 1937
[24] Soerabajasche Handelsblad, 4 Juli 1937
[25] Gerakan etno-nasionalis di Jerman sejak pertengahan abad ke-19 dan menjadi salah satu dasar ideologi Nazisme.
[26] De Locomotief, “De Duitsche „Ariërs.” N.S.D.A.P.’ers gehuwd met „Indische vrouwen” worden geweerd.” 10 Januari 1936. Sumber: Delpher.nl
[27] Bayangkan, terdapat 845 warga Jerman yang terdaftar di gemeente Surabaya, namun hanya sekitar 200 yang aktif menjadi simpatisan atau anggota NSDAP mengingat laporan mengenai kedua pemilu sebelumnya. Hal ini mungkin karena NSDAP/AO cabang Surabaya menerapkan Hukum Rasial Nuremberg yang efektif berlaku mulai Januari 1936.
[28] De Indische courant, 30.10.1936. “KUNST. HET DUITSCHE BOER. Lezing van H. Bartels-Trojé”. Sumber: Delpher.nl
[29] De Indische courant, 03.11.1937. “HET DUITSCHE BOEK. EEN GESLAAGDE EXPOSITIE. Interessante inleiding.” Sumber: Delpher.nl
[30] Iqbal, M. (2023) https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/De_Jonge . Diakses pada 23.10.2024
[31] Mark, E. (2020). Fascisms seen and unseen: the Netherlands, Japan, Indonesia, and the relationalities of imperial crisis. In J. Adeney Thomas & G. Eley (Eds.), Visualizing fascism: the twentieth century rise of the global right (pp. 183-210). Durham/London: Duke University Press. Hlm. 199-200
[32] Soetardjo Kartohadikoesoemo (Kunduran, 22 Oktober 1892 – Jakarta, 20 Desember 1976) adalah gubernur pertama di Jawa Barat dan dikenal sebagai tokoh nasional yang berperan aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sepanjang 1931 hingga 1942, ia menjabat sebagai anggota Volksraad.
[33] Dewan Rakyat, atau lembaga parlemen yang berwenang sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
[34] Parlemen Negeri Belanda.
[35] Het volksdagblad: dagblad voor Nederland, 25.01.1939. “Eerste Inlandse burgemeester Stemmen uit de Indonesische pers”. Sumber: Delpher.nl
[36] Meinoud Rost van Tonningen (Surabaya, 19 Februari 1894 – Scheveningen, 6 Juni 1945) adalah politisi fraksi radikal NSB yang menginginkan Belanda menjadi bagian dari Reich Jerman. Van Tonningen yang menggencarkan antisemitisme dan rasisme membentuk organisasi paramiliter Mussert Guards yang menjadi Nederlandsch SS dengan 7.000 anggota dari NSB. Pendukung dan anggota NSB melonjak menjadi 100.000 di bawah pengaruhnya.
[37] Sekarang menjadi Kodam Brawijaya di kawasan Gunung Sari.
[…] rubrik Jangkar, tulisan Sarita Rahel Diang Kamelu berjudul Deutscher Verein dan Jejak Nazisme di Surabaya menjelaskan Balai Sahabat Surabaya itu dulunya merupakan gedung yang digunakan oleh diaspora Jerman […]