Cerita Pernikahan Dini yang Membuat Saya Sedih

Oleh Inna Atu –

Salah satu isu yang sempat diangkat dalam workshop riset dan penciptaan bersama Teater Garasi Yogyakarta ialah pernikahan dini. Isu ini berangkat dari beberapa temuan awal juga informasi lepas perkara kebanyakan warga di perkampungan Wuring yang seringkali melakukan perkawinan di bawah umur. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan malah naik ke pelaminan.

Saya memang sering mendengar kejadian tersebut, tetapi dalam  keterlibatan riset di kampung Wuring saya ternyata menemukan itu sendiri secara langsung. Salah seorang kawan bernama Amir (24) yang sempat terlibat dalam workshop menikahi pacarnya, sesama orang Bajo yang tinggal Nangahure, salah satu untuk daerah translokasi pasca tsunami 1992. Pacarnya masih SD dan berusia 14 tahun.

Tentu saja saya dan teman-teman anggota KAHE sontak kaget mendengarnya. Bagaimana tidak, saat workshop perrsiapan riset, kami sempat sama-sama membahas isu tersebut dan tak berapa lama kemudian pernikahan dini itu terjadi.

Semenjak menikah, Amir semakin sulit kami temui, apalagi untuk sama-sama melakukan riset. Setiap kali kami ke Wuring, ia selalu tidak ada di rumahnya. Kata ibunya, ia sedang pergi melaut bersama pamannya, Ketua RT di tempat itu. Saya pikir, secara tidak langsung, menikah muda yang Amir lakukan membuat beberapa mimpinya terpaksa harus ditunda, salah satuny melakukan riset di Kampung Wuring dan aksi bersama kami.

Toh waktu workshop Amir terlihat sangat antusias. Ia bersemangat untuk belajar hal baru, bahkan ingin bermain teater. Namun, sekarang situasinya semakin berbeda. Amir mau tak mau harus mencari nafkah karena ada keluarga baru yang harus ia hidupi. Ia tidak mungkin lagi bergantung pada kedua orangtuanya yang usianya sudah semakin uzur. Amir harus mandiri dengan keluarga baru.

Tentu simpati saya bukan hanya kepada Amir, melainkan juga kepada istrinya. Anak seusia dia  seharusnya menikmati bangku pendidikan, memikirkan tugas sekolah dan bermain bersama teman sebaya. Mimpi-mimpi lain yang harus dia capai ke depannya terpaksa harus dikubur. Pernikahan dini mau tak mau membuat dia harus siap secara mental dan fisik sebagai seorang istri dan ibu nantinya. Sementara itu, pada lain hal secara biologis usianya belum cukup untuk mengandung apalagi melahirkan anak.

Menurut saya, di sini peran keluarga sangat penting selain imbauan dari pemerintah. Ini karena keluarga merupakan orang yang terdekat dengan kita. Memberikan edukasi tentang bahaya pernikahan dini dan dampaknya bisa membuat mereka bisa berpikir lebih terbuka. Karena anak-anak harus mendapat pendidikan, mengejar mimpi dan mengembangkan bakat.

Pada suatu kesempatan, saya pernah mewawancarai mertua dari paman Roni, salah seorang warga kampung Wuring. Mertuanya bernama nenek Hanna dan berumur sekitar 80 tahun. Nenek Hanna bercerita, ada keluarganya yang menikah muda dan mengalami tiga kali keguguran.

Saya sangat sedih mendengar cerita tersebut. Saya bayangkan, seorang perempuan dengan usia yang masih sangat muda harus menerima segala kemungkinan yang bakal terjadi; tentang menjadi ibu, mengasuh anak, mengurus rumah tangga, bahkan mungkin harus pergi ke laut untuk menemani suaminya, seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu lain di kampung Wuring.

*Inna Atu, penggiat Komunitas KAHE

 

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Desember 7th