Cerita-Cerita dari Mandar

Bermukim di Pambusuang, Polewali Mandar

Indonesia, bangsa yang memiliki kebudayaan maritim yang sangat kuat. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri ketika saya menelusuri dan kemudian menemukan satu data konkret; dalam sebuah garis imajiner yang dapat segera merujuk pada titik teritorial yang spesifik, laut. Garis imajiner ini merupakan salah satu temuan tentang pusat-pusat kebudayaan maritim di nusantara melalui tiga wilayah, yaitu Selat Makassar, Laut Jawa, dan Laut Flores.  Ketiga titik wilayah ini diberi nama ‘Segitiga Emas Nusantara’ yang di dalamnya meliputi enam suku yang memiliki orientasi sangat kental dengan laut, diantaranya Bajau, Bugis, Buton, Madura, Makassar,dan Mandar. Meski dalam tulisan itu, hanya berfokus pada empat suku saja dari enam suku yang disebut barusan, yaitu; Bajo, Bugis, Buton, Mandar. Karena dalam tulisan itu hanya keempat suku itulah yang paling memiliki catatan sejarah tertulis dari enam suku tersebut.

Sebelumnya, Arham Rahman sebagai kurator Biennale Jogja 2019 menjelaskan gagasan program residensi kelana dalam sebuah wawancara, bahwa telah ada dua teori kanon mengenai asal usul bangsa Asia Tenggara. Yang pertama adalah informasi yang menjelaskan bahwa nenek moyang bangsa Asia Tenggara dari daratan Yunan di China Selatan. Teori ini menyebutkan bahwa nenek moyang bangsa-bangsa Asia Tenggara berasal dari satu sumber, yaitu bangsa Austronesia. Teori yang kedua adalah teori Nusantara, yang menyatakan bahwa asal mula manusia yang menghuni wilayah Nusantara ini tidak berasal dari luar, melainkan mereka sudah hidup dan berkembang di wilayah Nusantara itu sendiri.

Sebagai provinsi, Sulawesi Selatan memiliki empat etnis besar seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Keempat etnis tersebut memiliki khasanah kebudayaannya sendiri-sendiri. Kemudian, jika tidak salah, tahun 2004 silam, Mandar pecah dari ikatan kepemerintahan Sulawesi Selatan dan mekar menjadi provinsi Sulawesi Barat yang di dalamnya meliputi beberapa kabupaten diantaranya; Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara.

Di Pambusuang, saya merasa seperti menjadi bagian dari masyarakat pesisir itu. Hal tersebut bisa saja terjadi karena sejarah hidup atau latar belakang saya sebagai seorang nelayan. Sense dalam diri saya atas latar/lingkup sosial yang mirip, menganggap pesisir Pambusuang adalah wilayah atau bagian dari kehidupan saya, dan saya adalah orang dari Pesisir Pambusung itu sendiri. Perasaan akan posisi seperti ini tentu memiliki risikonya sendiri. Saya membangun kesadaran bahwa ketika melihat sesuatu, lebih-lebih yang hubungannya sangat dekat dengan diri sendiri, terutama dalam konteks penelitian, membuat batasan/jarak menjadi penting.

Tentu saya memiliki alasan dan cara sendiri ketika saya harus membuat batasan tersebut karena yang akan saya lakukan berhubungan antara lain dengan mengamati dan berpikir. Sementara tubuh saya bagaimana? Dalam hal ini, saya sangat yakin dengan pengalaman tubuh saya. Bahkan saya sangat yakin, bahwa tubuh secara tidak sengaja akan merekam kenyataan saat itu, yang saya alami, di tempat saya berada. Tubuh lantas menjadi data itu sendiri meski ia masih agak abstrak.

Saya sangat berharap mengalami dan merasakan golombang di teluk Mandar, menghirup aroma laut Mandar dan terlibat dalam aktivitas perburuan ikan terbang. Namun, jadwal untuk berlayar bersama para nelayan Pambusuang gagal karena informasi cuaca dari BMKG waktu itu mengabarkan bahwa akan ada angin kencang. Para nelayan diharapkan untuk tidak melaut. Memang bulan Juni-Agustus adalah musim angin kencang. Itulah awal musim timur (kemarau). Saya mengetahui hal ini ketika saya mulai menyentuh kehidupan sebagai seorang nelayan. Namun uniknya, musim kemarau adalah musim melaut atau berlayar untuk nelayan di sana. Berbeda dengan di Madura, aktivitas melaut justru dilakukan ketika musim barat (musim hujan). Ketika musim timur, nelayan Madura tidak melaut karena angin yang tidak mendukung. Kalau pun masih ada yang melaut itu, sangat jarang dan tidak masif seperti di musim barat.

Seperti yang telah banyak diketahui, ketika berbicara mengenai nelayan ulung di nusantara, kita nyaris tidak bisa tidak menyebut suku Bugis. Persepsi ini sudah terlanjur melekat dalam benak kebanyakan orang dari luar Sulawesi. Mengenai ini, ada hal menarik yang saya temukan ketika  berdialog dengan Mas Ridwan. Seperti yang sempat saya sebutkan, Mas Ridwan cukup banyak tahu tentang kebudayaan Mandar. Selain berasal dari pengetahuan pribadinya sebagai orang Mandar, ia juga rajin melakukan penelitian mengenai budaya maritim di berbagai daerah. Ia sempat singgah di Madura, di daerah pulau-pulau khususnya di Sumenep, saat mendapat informasi bahwa ada orang Mandar di sana.

Dalam obrolan kami, Mas Ridwan menegaskan bahwa orang Bugis bukanlah nelayan ulung, sebagaimana sering dicitrakan. Mereka adalah pedagang di tengah laut. Nelayan ulung yang sebenarnya adalah orang Mandar. Pernyataan itu diperkuat oleh data studi pustaka, terutama hasil peneleitian Christian Pelras dalam bukunya The Bugis (1999). Seorang peneliti lain bernama Hussin menyebut orang Bugis pertama kali menetap di wilayah pesisir Mandar, hingga ke Makassar. Topografi tempat mukim orang Bugis tergolong datar dengan material tanah  alluvial. Hal tersebut memungkinkan aktivitas pertanian dan nelayan menjadi mata pencaharian utama Suku Bugis, sejak masa sebelum abad 19. Keterang ini lantas menjelaskan bahwa barang dagangan (komoditas) utama Suku Bugis adalah hasil bumi, seperti berat. Di sinilah, saya semakin yakin dengan kebenaran itu, bahwa orang Bugis adalah pedagang ulung.

Perihal tradisi atau kebudayaan di Mandar, saya melihat bahwa corak kebudayaan tradisional di sana masih sangat terasa, meski kenyataan bahwa ada akulturasi budaya sejak Islam berhasil menguasai tanah Mandar tetap tidak terelakan. Konon, pengaruh Syekh Addurrahim yang cukup besar di tanah Mandar membuatnya mampu mengubah kebiasaan penduduk di sana. Kehadiran Syekh Addurahim kala itu sudah barang tentu memastikan berlangsungnya komunikasi dan interaksi Islam dan budaya Mandar pada waktu dan kesemptakan tertentu, yang selanjutnya memungkinkan agama Islam merekonstruksi nilai-nilai budaya yang ada sampai pada tata nilai dan berujung pada akulturasi. Sebelum Islam masuk, kehidupan tradisional Suku Mandar berlangsng dalam nuansa Hinduistik. Kehadiran agama Islam di tengah-tengah mereka membawa ajaran dan nilai baru yang melahirkan akulturasi antara nilai Islam dengan kebudayaan Mandar (Arifuddin Ismail, 2012).

Sebagai contoh, Budaya Sayyang Pattuqduq atau dalam bahasa Indonesia Kuda Menari, adalah tradisi pada zaman kerajaan yang diberlangsungkan sebagai tarian penjemputan ketika tamu dari kerajaan lain datang berkunjung. Syekh Addurahim lah yang menggeser kebiasaan itu. Tradisi itu dilaksanakan sebagai perayaan saat seorang telah khatam al-qur’an, berlangsung sampai saat ini.

Struktur pemukiman di Pesisir Pambusuang begitu padat dan rapat, sama seperti tempat tinggal saya di Madura dan beberapa lokasi/kampung nelayan yang pernah saya singgahi, misalnya di Tanjung dan Camplong (dua-duanya masih dalam Kab. Sampang). Saat ini, rumah penduduk Pambusuang sebagian besar sudah berkembang dan beralih     menggunakan material bata dan semen. Sebagian masih tetap menggunakan material kayu dan bambu, dan tetap dengan konsep rumah panggung yang memiliki nilai filofis, berangkat dari mitologi dan atau kepercayaan yang mereka yakini. Orang-orang Mandar percaya  bahwa dunia ini terbagi atas tiga bagian (atas/langit, tengah/bumi, bawah/tanah). Keyakinan itu  kemudian mereka representansikan ke dalam simbol-simbol, salah satunya adalah rumah panggung. Dalam sebuah dialog pendek saya dengan Zizi, mitologi tiga dunia itu juga bisa kita lacak melalui teks kuno I La Galigo, dalam sebuah cerita pertemuan antara Dewa dari langit dengan Dewi dari tanah yang bertemu di Bumi.

Suasana pemukiman yang padat juga seolah tampak memengaruhi struktur yang mengkonstruksi relasi sosial antar masyarakat pesisir, meski saya belum tahu bagaimana suasana atau struktur pemukiman kampung pesisir di daerah lain, seperti di Flores misalnya. Namun, pada bagian yang lain, struktur pemukiman semacam ini memiliki kenyataan yang cukup problematis: kumuh karena minimnya tempat sampah dan mampat jika selokan-selokan tidak betul-betul diperhatikan. Meski saya sangat mengalami dan menyaksikan tubuh-tubuh masyarakat pesisir sangat kuat, kebal, tidak mudah terkontaminasi atau terjangkit oleh penyakit. Namun setidaknya, lingkungan mudah tercemar dan menyebabkan bau tak sedap. Juga karena kebersihan adalah kunci bagi kenyamanan hidup dan lingkungan.

Saya pun melihat ada cukup banyak fenomena ketubuhan antara tubuh masyarakat di kampung saya dengan tubuh masyarakat di Pesisir Pambusuang. Tubuh-tubuh mereka tampak sangat santun, gelagat berjalannya sedikit lambat, suara saat bercakap pun terasa lembut dan halus. Sangat berbeda dengan orang-orang di kampung saya, cara berjalan kami umumnya lebih cepat dan suara dalam bercakap pun begitu keras.  Ini tentu hanyalah impresi yang saya temukan selama berada di Pesisir Pambusuang, bukan sebagai tolok ukur mana yang lebih saya terima atau sepakati, karena saya mengamini bahwa lingkungan dan sejarah budaya yang bekerja memiliki otoritas tertentu dalam menciptakan tubuh dan kebudayaan itu sendiri.

Contoh lain misalnya dalam tubuh perempuan  Mandar. Perempuan Mandar sangat berbeda dengan perempuan Madura. Perempuan Mandar tampak begitu lembut dan halus dalam berinteraksi. Saya pertama kali mengalami impresi itu ketika bertemu teman saya Tajriani Thalib dalam sebuah pertemuan (FGD) di Jogja. Saat bermukim di pesisir Pambusuang, tampak bahwa kuatnya negosiasI dengan tradisi dan kebudayaan Islam di Mandar saat itu, telah mampu membentuk ketubuhan (sikap, gerak tubuh, tatakrama, kostum dll)  sosial-religius yang sangat kuat.

Syamsul Arifin bersama karyanya dalam Museum Kapal, dalam forum presentasi Proyek Seni Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana, di Cemeti Institute, Yogyakarta, 2019. (Foto: Dokumentasi pribadi Syamsul Arifin)

Catatan:

Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada mas Dimas selaku manajer dalam program Rimpang Nusantara. Rimpang Nusantara yang digagas oleh dua lembaga kesenian yaitu Cemeti Institute dan Biennale Jogja, sudah dan akan berlangsung sepanjang 2019-2021. Saya terlibat dalam pertemuan dan dialog dengan mas Dimas bersama Pak Nindit beserta satu tim dokumentasi (saya lupa namanya) sewaktu berkunjung ke Madura melalui tiga titik lokasi yaitu Bangkalan, Pamekasan dan Sampang.

Sebelumnya saya tidak tahu maksud kedatangan tim dari  Cemeti Institute dan  Bienale Jogja, serta narasi gagasan atau proyek semacam apa yang sedang direncanakan. Saya hanya menduga kalau mereka datang dengan maksud dan tujuan tertentu yang berhubungan dengan proyek seni (program). Setelah terlibat dalam obrolan, saya akhirnya menyambut baik tawaran residensi yang menarik ini. Ini penting bagi saya yang merasa sangat minim pengetahuan seni dan kerja riset untuk karya seni. Dalam sebuah percakapan, saya kerap ditimpali pertanyaan-pertanyaan sedikit serius. Tapi itu penting, selain itu tidak gampang dan mudah mendapatkan kesempatan seperti ini. Residensi Rimpang Nusantara adalah pengalaman kedua saya untuk belajar lebih semangat lagi, setelah sebelumnya saya terlibat dalam program AntarRagam (Performing Differences) yang digagas oleh Teater Garasi, sepanjang tahun 2017-2019. Sekali lagi, saya sangat berterimakasih sedalam-dalamnya, karena telah memberi kepercayaan dan melibatkan saya dalam program ini.

Madura, 2020

Syamsul Arifin adalah seniman pertunjukan asal Sampang, Madura. Tahun 2017 menjalani residensi seniman di Teater Garasi, Yogyakarta dan terlibat dalam program AntarRagam/Performing Differences hingga tahun 2019. Tahun 2019, ikut dalam program residensi Rimpang Nusantara  yang diinisiasi oleh Cemeti Institute dan Bienale Jogja. Karya-karyanya tampil di beberapa forum maupun festival, di antaranya Remo Teater Madura, Cabaret Chairil, Tanglok (Seni Rupa Pertunjukan), Nemor-South East Monsoon, dan beberapa forum lainnya.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Jumat, Oktober 18th