Cerita-Cerita dari Mandar

 Antara Saya dan Pinggiran

Syamsul Arifin berfoto bersama beberapa warga di tempat residensi. (Foto: Dokumentasi Pribadi Syamsul Arifin)

 

Sedari awal, saya memilih fokus ruang observasi saya di pesisir, yang pastinya tidak akan jauh-jauh dari kapal, laut, juga mitos. Di sana Saya juga menjumpai dinamika sosial, perubahan budaya, beserta tegangan yang berlangsung di saat/sesudah pembangunan tanggul beton di sepanjang bibir pantai Pambusuang sampai ke ujung desa sebelah. Pembangunan tanggul beton mengganggu proses pembuatan kapal khususnya, juga ketika hendak melarungkannya serta membatasi ruang (space) berlabuhnya kapal usai melaut. Berangkat dari temuan pun isu-isu itulah, saya kemudian melahirkan karya berjudul “Museum Kapal”.

Alasan saya begitu tertarik menelusuri atau mempelajari hal-hal dari perspektif pinggiran seperti pesisir adalah pertama, saya menganggap bahwa ruang pinggiran menyimpan banyak narasi sejarah yang tersembunyi (entah itu disengaja atau berlalu begitu saja) mengenai peradaban Indonesia, entah peradaban Islam dengan berbagai jenis praktik perdagangan dan akulturasi budaya yang berlangsung saat itu, juga hal seputarnya. Kedua, saya gelisah dengan isu sentralisasi, bahwa kota/tengah seolah menjadi sesuatu yang sentralistik dalam berbagai hal, mulai dari  sosial-politik, budaya atau identitas, ras dan segala macam mobilitas modernisme serta tetek-bengek lainnya. Ketertarikan saya memilih ruang pinggiran seperti komunitas pesisir bukan serta-merta karena saya juga bekerja dan hidup di kampung nelayan. Bukan! Meski begitu, saya dengan sadar terus-menerus mencurigai sekaligus mempertanyakannya. Itu lantas rentan menghantam diri saya sendiri: “jangan-jangan saya memilih ruang pinggiran-pesisir karena saya berasal dari ruang itu sendiri atau secara bawah sadar saya telah menandai diri sendiri sebagai bagian dari ruang pesisir (yang ditandai itu): aku dengan ruang pesisir?”. Posisi itu terus saya pertanyakan berulang-ulang sampai saat ini, dan sesekali saya ingin keluar dari posisi ini (entah sebagai keterikatan maupun sebagai gagasan). Meski kemudian saya kembali lagi ke ruang sejenis dan ingin menelusurinya lagi melalui konteks dan pengalaman yang berbeda.

Sebelumnya saya melihat hal-hal unik dari peristiwa nelayan dengan kapal saat bekerja sebagai nelayan di kampung saya sendiri. Saya punya praduga bahwa nelayan tertentu memiliki hubungan erat dengan kapal dan menganggap kapal lebih dari sekedar alat transportasi. Kemudian kecurigaan itu saya dekati saat saya bekerja atau melaut di kampung saya sendiri maupun saat perjalanan observasi di Pambusuang, Polewali Mandar. Selain kecurigaan itu, saya ingin mempelajari dan melihat sejarah Indonesia melalui perspektif pinggiran. Ruang pinggiran seperti pesisir menurut saya adalah identitas bagi Indonesia itu sendiri, yang lebih spesifik, yang primordial. Saya menganggap ruang pinggiran adalah juga sejarah Indonesia. Ruang pinggiran adalah benteng  sekaligus awal mula berkembangnya peradaban di Indonesia. Meski pada akhirnya, ruang pinggiran akhir-akhir ini tampak teralienasi oleh otoritas pusat/kota yang seolah-olah mengalami perkembangan yang berdiri sendiri dan menjadi sentralistik dalam aspek kebudayaan, politik, juga ekonomi.

Ruang pinggiran seperti pesisir memiliki kelenturannya sendiri. Sebagai benteng, rupanya ia belum cukup kuat di hadapan penjajah kolonial Belanda. Rapuh. Ia mudah jebol dan tak terhidar dari berlangsungnya beragam praktik peradaban dan modernisasi. Kita lihat misalnya, peradaban Islam bergerak melalui modus perdagangan yang sangat politis, selanjutnya melalui akulturasi budaya yang dilakukan terhadap kebudayaan setempat, pinggiran, kemudian bergerak merambat ke tengah. Hal lain, politik kekuasaan yang melalui segala macam cara, siasat, dalam praktik pendudukan di era kolonial, pintu masuknya juga sebagai besar lewat ruang-ruang pinggiran. Sialnya, sejarah serta kebudayaan yang ada di ruang pinggiran mudah “terlupakan/tidak dibicarakan, mudah dilupakan atau sengaja tidak dibicarakan sebagai identitas ataupun sejarah Indonesia.

Gambaran yang juga jelas dapat kita lihat dari Madura saat ini. Setelah jebolnya Madura melalui Jembatan Suramadu, percepatan ekonomi, infrastruktur dan teknologi yang berlangsung sebagian besar telah mengubah lanskap Madura dan memengaruhi cara pandang dan cara berpikir sebagian besar masyarakat Madura, juga cara masyarakat Madura bernegosiasi dengan pola-pola urban seperti Surabaya, misalnya. Untuk melihat lebih konkret visualisasi dari kata kunci-kata kunci yang telah saya sebut barusan bahwa perubahan sosial-budaya, pembangunan, infrastruktur, percepatan ekonomi, tengah mengubah Madura saat ini, kita bisa menyaksikannya itu langsung melalui frame Bangkalan. Lebih dekat dengan Surabaya sebagai pusat kota di Jawa Timur, masyarakat Bangkalan sangat mudah dan leluasa mengakses atau membuat relasi pertemuan sosial-budaya dengan kehidupan urban Surabaya.

Itulah alasan saya akhirnya menyebut ruang pinggiran sebagai salah satu benteng, meskipun pada kenyataannya ia belum cukup kuat. Dalam segala perkembangan arus globalisasi dan atau modernisasi itu, saya setuju dengan ujaran Afrizal Malna “kebudayaan lebih banyak diwarnai atau didikte oleh ekonomi dan politik”. Kadang saya berfikir bahwa kita terlalu sibuk melihat pusat/kota melalui berbagai macam term seperti infrastruktur, ekonomi, patriarki, pelecehan seksual, isu lingkungan, politik identitas, yang sebenarnya semua itu juga masih berlangsung di ruang pinggiran seperti komunitas pesisir.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th