Badan Kajian Pertanahan: Komitmen Seumur Hidup Warga Kampung Wates

 

Bunga Siagian adalah warga kampung Wates. Pelaku budaya dan penulis, sedang menempuh pendidikan Cultural Studies di Universitas Indonesia. Saat ini tertarik menguji coba praktik kurasi gambar bergerak sebagai bentuk peristiwa seni.  Sejak 2017, turut aktif mengelola Badan Kajian Pertanahan (BKP). Sebuah lembaga temporer yang dibentuk untuk mengeksperimentasikan peran, metode, dan bentuk seni di dalam persoalan-persoalan yang spesifik terkait dengan pertanahan. (Sumber: Website Pekan Kebudayaan Nasional)

 

Eka: Selamat malam Bunga, warga Jatiwangi, yang sudah berkenan menyanggupi ngobrol bareng malam ini. Kita akan ngobrol soal Badan Kajian Pertanahan, salah satu inisiatif Bunga dan Ismal untuk tema Lau Ne kali ini. Bagaimana pangan  menyatu atau terintegrasi dengan masyarakat dan warganya?

Ada anekdot, orang Flores itu tidak bisa makan kalau bukan nasi. Setelah dilacak, ternyata Flores jadi salah satu fokus gerakan swasembada pangan era Orde Baru yang kemudian mengubah pola konsumsi, mengubah cara warga melihat makanan. Empat sehat lima sempurna dan standar-standar gizi pada masa itu selalu diindoktrinasi ke warga. Nasi jadi sentral.  

Fenomena yang lain, banyak sekali gerakan untuk mengelola kuliner lokal, yang juga sering muncul di festival-festival. Sementara, memori kami juga dekat dengan festival-festival kuliner yang digagas oleh ibu-ibu PKK, yang seolah-olah mendorong supaya kuliner-kuliner lokal mendapat tempat di masyarakat tetapi tetap saja jadi masalah karena bahan-bahan makanan lokal itu tak ada di pasaran.

Apakah ada hubungan dengan Badan Kajian Pertanahan saya tidak tahu, tapi baiklah kita ngobrol-ngobrol tentang  aktivitas-aktivitas Bunga dan Ismal, yang melihat kembali tanah, menanam lalu ada ritusnya, lalu  menggerakan ibu-ibu  Mother Bank dalam beberapa aktivitas. Saya penasaran  melihat seni terintegrasi dengan warga terutama dalam hal ketahanan dan pengelolaan pangan dengan memanfaatkan sumber daya lokal. 

Pertanyaan pertama, mengapa kalian membuat Badan Kajian Pertanahan? Dari namanya saya pikir, ini satu badan seperti BPOLBF, begitu. Apa yang ingin kalian wujudkan dengan platform ini?

Bunga: Kenapa Badan Kajian Pertanahan? Sebenarnya, dalam kerja-kerja di JAF (Jatiwangi Art Factory), kita sering banget mencoba untuk memakai bahasa yang memang sudah ada. Jadi ngenalin ke warga itu nggak susah-susah lagi. Badan Kajian Pertanahan itu sebenarnya mimikrinya Badan Pertanahan Nasional, cuma kita nggak pakai nasional. Ditambah kajian gitu. Jadi orang tahu rujukannya kemana. Harus mimikri BPN karena kami punya proyek jangka panjang soal tanah dan harus terus berhubungan sama BPN.  

Kami ada di suatu kampung, satu wilayah yang masih punya konflik tanah. Mungkin sejak pasca perang dunia kedua, warisan kolonial lah. Tanah warga diambil sama Jepang terus sama tentara Indonesia nggak dibalikin. Jadi, sampai sekarang lokasi kami ini tanah konflik. Sampai sekarang kami nggak punya sertifikat. 

Waktu itu gagasannya, karena BPN itu nggak ngurusin konflik tanah, ngurusin administrasi, cuma ngeluarin sertifikat dan segala macam, kita mikir yang ngurusin gini-ginian siapa ya? Akhirnya kami sengaja bikin kajiannya. Badan Kajian Pertanahan. Logonya juga sama kayak BPN, cuma BPN sayapnya satu,  kami sayapnya dua  biar lengkap. Kami pakai jalur kebudayaan. 

Proyek pertama kami adalah ngeluarin sertifikat tanah. Desainnya sama persis kayak sertifikat kepemilikan tanah yang dikeluarin BPN. Cuma, di antara kata sertifikat dan tanah kami tambahkan  ‘kebudayaan’. Jadi sertifikat kebudayaan tanah. Itu kami bagikan ke kampung sini, kampung Wates. Waktu itu, idenya, secara material-fisik kita emang belum punya tanah tetapi secara kebudayaan kami yang memiliki.  Warga yang memiliki kebudayaan tanah di sini. Karena kita udah punya sertifikat, jadi kecebur ya. Apa yang disebut kebudayaan kalau gitu?

Sertifikat Kebudayaan Tanah. Dok. Badan Kajian Pertanahan

Jatiwangi itu wilayah industri banget dari dulu. Warga kalau nggak kerja di pabrik genteng, jadi buruh tani.  Cuma dua itu aja profesi dari dulu. Jadi, yang disebut dengan ‘kebudayaan’, ‘tradisi’, nggak ada. Kayak masyarakat-masyarakat  industri di Jawa. Di pesisir. Praktiknya udah nggak lagi, udah jauh banget dari tradisi yang di gunung. Bener-bener kosong! Kami nggak punya makanan khas yang kalau di Jawa Tengah, Jawa Timur bisa jadi bagian dari ritual. Tarian dan segala macam itu emang benar-benar pengaruh dari Indramayu, dari Cirebon. Kebudayaan yang mana yang mau kita pakai atau kita klaim? Jadinya ya bikin sendiri waktu itu.

Eka: Kebudayaannya dibikin?

Bunga: Kebudayaannya bikin sendiri, tradisi-tradisi baru.

Setelah punya sertifikat kebudayaan tanah, kami mereklaim satu tanah besar yang posisinya ada di perbatasan antara kampung yang masih berstatus konflik dengan desa yang kepemilikannya udah jelas. Nama tempatnya Sawah Segitiga. Di Sawah Segitiga ini, dari dulu tuh udah pengen dibangun pangkalan AU (Angkatan Udara, red.), karena itu ada di perbatasan paling depan. Cuma belum jadi-jadi. Kita pikir, sebelum mereka bikin pangkalan kita dudukin aja gitu.

Eka: Bagaimana caranya menduduki?

Bunga: Bikin kegiatan. Karena tanah kosong,  jadinya kami tanam padi hitam di situ. Terus bikin ritual baru yang melibatkan satu kampung. Setiap proses penanaman, panen, dan segala macem itu, warga pasti terlibat. Itu jadi kayak tempat kultural baru karena tadinya nggak ada yang nempatin, nggak ada yang olah, nggak ada ngapa-ngapain terus kita jadiin ini laboratorium bareng. Namanya supranatural farming. Sekarang, supranatural farming  jadi satu metode yang kami pakai untuk menanam di halaman rumah dan macam-macam. 

Idenya sederhana. Orang-orang (di kampung, red.) religius banget, rajin ke mushola. Tapi kayak terpisah gitu antara praktik keagamaan sama praktik kolektif. Kita pikir, coba aja ini digabungin. Mulailah ada slogan-slogan ‘ibadah di sawah’, semua bibit-bibit yang mau kita tanam, kita doain dulu bareng-bareng di mushola. Pokoknya pendekatannya menggunakan pendekatan kultural. Karena kami sudah punya sertifikatnya,  berarti kami harus membuktikan bahwa memang kami ini yang telah menjaga tanah dan segala macem. Dari situ, berkembang  kegiatan-kegiatan lain. Bikin reinactment sejarah lewat ngegotong rumah. Terus yang terakhir itu Mother Bank karena selama ini tiga tahun pertama aktivitas kami, rata-rata bapak-bapak yang ikut. Patriarkal banget ya, jadi ibu-ibu ‘ditaruh’ di dapur.

Eka: Terbalik berarti. Di sini, biasanya yang aktif mama-mama.

Bunga: Kebalik ya? Di sini gitu. Bahkan di grup WhatsApp kampung, gue tuh cewek sendiri. Lewat Mother Bank itu gue pingin nyoba, ibu-ibu dibikin satu platform sendiri karena platform-platform lain yang dominan bapak-bapak. 

Kami sekarang kayak lagi ngumpulin CV karena kalau di undang-undang agraria, yang berhak atas tanah sebetulnya orang yang udah tinggal di sana sekian tahun dan mereka yang mengolah tanah tersebut. Jadi, kalau misalnya kami punya kesempatan untuk ada di jalur legal hukum, kami udah punya CV-nya, bahwa kami udah ngelakuin A sampai Z, sampai bikin pasar. 

Kenapa ini juga soal pangan, karena juga ngomongin hal sehari-hari ibu-ibu di sini ya. Kayak soal jualan makanan, terus cabenya bisa bareng-bareng ditanam di halaman rumah atau di kebun kolektif. Kita punya kebun kolektif. Sederhana gitu, hal-hal yang praktis.

Eka: Berarti inisiatif itu berangkatnya dari kesadaran bahwa kalian juga warga yang sebenarnya tinggal di tanah sengketa?

Bunga: Di dalam seni bersama masyarakat juga ada wacana soal etika gitu ya. Kayak, orang-orang yang kerja bersama warga itu sebenarnya cuma mengekstrak mereka (warga, red.) buat ditransfer ke pameran atau proyek. Salah satu yang mau kita coba, mungkin bisa nih kalau posisinya setara. Mungkin juga proyeknya jadi nggak ‘by project’ gitu. Kayak gue sama Ismal kan bukan orang sini. Kalau gue tidak tinggal di sini, mungkin satu proyek, dua proyek, tiga proyek, selesai. Tetapi karena gue tinggal di sini, bangun rumah di sini,  jadi komitmennya seumur hidup. Itu yang diuji coba juga. 

Temen-temen tuh kayak, “eh lu gila ya, lu beli tanah sengketa gitu. Sayang banget. Seniman kan duitnya nggak banyak masa lu harus mengorbankan apa yang lu punya buat sesuatu yang nggak jelas?” 

Itu memang jadi salah satu komitmen Badan Kajian Pertanahan. Kita nggak pengen kerja bareng masyarakat tapi kerja sebagai masyarakat. Posisinya setara, sama-sama memperjuangkan tanah dan ruang hidup kita, jadi komitmennya seumur hidup.

Eka: Ketika kalian bikin beberapa aktivitas kultural, misalnya pengelolaan tanah supranatural. Budaya apa yang jadi rujukan? Kamu bilang sendiri bahwa di Wates, karena tempatnya sangat industrial, dianggap tidak punya kebudayaan. 

Bunga: Kalau bentuk-bentuk ritualnya, ngarang banget, benar-benar ngarang abis. Itu biasanya kerjaannya Si Ismal. Dia lebih terbiasa sama gesture-gesture. Misalnya, salah satu ritualnya adalah kita bawa gedebog pisang ke tengah sawah terus kita muterin sambil berdoa, sambil sholawatan. Apa yang diucapin kita ambil dari  Alquran. Awal-awal, kita mengundang Ustadz buat validasi apa yang kita lakukan karena orang-orang lebih percaya sama gitu-gituan, otoritas-otoritas keagamaan. 

Kita undang Ustadz buat nyari doa di Alquran. Ada nggak sih ‘beras’, kata ‘beras’ di-mentioned?. Ternyata ada. Beneran ada ayat, kayak Nabi Muhammad ternyata mengkonsumsi beras hitam buat obat. Berarti ini sakral. Si beras hitam itu kemudian jadi cara kita ngebranding kampung. Kita punya Sawah Segitiga yang sakral, yang keramat karena tanamnya beras hitam.

Salah satu ritual dalam supranatural farming a la warga kampung Wates. Dok. Badan Kajian Pertanahan

Eka: Berasnya diproduksi dari tanah itu?

Bunga: Iya. Kalau ada acara kampung, tamu-tamunya JAF itu sering kita bawa ke Wates. Itu biasanya disuguhkan beras hitam. Beberapa kita jual buat biaya produksi. 

Eka: Kalau filosofi lokal soal tanah? Di sini, misalnya tanah adalah ibu. Ada di Wates? 

Bunga: Nggak ada, nggak ada! Lu bayangin, tanah itu hampir seratus tahun dipakai buat transaksi ekonomi, diolah jadi bata, genteng.  Emang udah nggak ada sakral-sakralnya itu tanah.

Ada cerita. Pak Ginggih pernah bilang, masa-masa tahun 90-an, hampir 80% warga Jatiwangi kerjanya di pabrik genteng. Obrolan sehari-harinya cuma duit. Pak Ginggih itu, masa mudanya tumbuh dengan kultur ‘semuanya duit’. Gimana caranya bakar genteng ratusan ribu terus dijual ke mana? 

Eka: Nah, bagaimana bernegosiasi dengan warga? Bagaimana meyakinkan warga melakukan ini sama-sama? Atau sudah ada perasaan senasib sepenanggungan karena hidup di tanah sengketa?

Bunga: Tetap harus diyakinin karena banyak yang pertama-tama kita ajak, dengan cara yang kita tawarkan, malah bertanya, “kok mesti muter?” Kasusnya kan udah lama. Pada zaman Orde Baru, wilayah ini didatengin banyak banget LSM, aktivis-aktivis kampus. Jadi mereka terbiasa dengan jalur demonstrasi atau jalur legal. Di kepala mereka, agak aneh. Apa hubungannya kita bikin festival, ritual sama legalitas tanah? 

Awalnya memang agak susah ngobrolnya.  Dijebak-jebak dulu. Nggak bisa berdasarkan kesadaran bahwa kita pake jalur kultural untuk kerja ini. Kita kayak ngehack.

Di kampung, kalau tetangga bikin sesuatu, lu pasti akan bantu karena kalau ditrace, satu kampung itu masih sodaraan semua. Nah, misalnya kita bikin festival, mereka akan secara sukarela terlibat. Walaupun  tujuannya awalnya tidak dikasi tahu “ ini sebenarnya buat tanah bersama.” Mereka sekadar membantu tetangga.

Sampai kemudian aktivitas ini mulai diliput media, terus bisa datengin orang-orang penting kayak Hilmar Farid, Ridwan Kamil, baru mereka ngeh. Kampung ini jadi mulai dikenal orang, isunya jadi mulai keangkat lagi,  orang banyak mau datang bantuin. Jadi emang pelan-pelan. Kita juga awalnya nggak pengen menyadarkan orang. Capek.

Eka: Iya, persis.

Bunga: Kelebihan seni, dia bisa melompat. Metode LSM kan lu mesti FGD  panjang, debat kusir dulu. Kita langsung aja dilompatin

Eka: Kalian bikin dulu, ada gerakan, perubahannya kelihatan baru kemudian itu meyakinkan warga?

Bunga: Iya, benar-benar emang harus dirasain dulu sama orang-orang.  

Eka: Negosiasinya sama yang legal-legal atau pemerintah itu bagaimana?

Bunga: Ini juga menarik. Sertifikat itu kami jadikan monumen. Kami punya museum, isinya sertifikat doang. Sama timeline kegiatan kami. Jadi,  kalau orang datang ke Kampung Wates, yang pertama kali orang lihat itu sertifikat karena ada di depan kampung. Beberapa kali audiensi ke BPN juga kami tunjukin aktivitas-aktivitas kami.

Kalau kami datang dengan pengetahuan, bisa ngobrol  undang-undang, sama bukti-bukti, mereka bisa paham. Ini wilayah abu-abu. Jadi Si AU nggak akan pernah bisa mensertifikatkan ini jadi milik AU karena masih ada klaim dari warga. Kami cuma satu dari tujuh desa yang terklaim. Sebenarnya masih ada enam desa lainnya yang punya konflik tanah dan udah ada berapa desa yang berhasil disertifikatin sama AU. Brengseknya, ada beberapa desa, sertifikatnya atas nama oknum. 

Museum Wakare yang berisi Sertifikat Kebudayaan Tanah warga kampung Wates. Dok. Badan Kajian Pertanahan

Eka: Kita singgung sedikit soal kuliner, soal pangan. Kamu melihat warga punya visi soal ketahanan pangan? Sementara kamu sendiri cerita bahwa resources bukan dari kampung sendiri.  

Bunga: Seperti masyarakat industri lain, mereka nggak pernah punya ikatan yang sakral sama material, sama hutan, sawah. Untungnya, karena di sini wilayahnya masih sangat plural, banyak lahan yang bisa dipakai. Warga masih bisa makan dari yang bisa mereka tanam. Tetapi bukan karena kesadaran soal ketahanan pangan. Lebih kepada ekonomi, karena kebutuhan. Warga juga nggak gede-gede banget penghasilannya. Di Majalengka UMR (Upah Minimum Regional. red.) tuh cuma 1,8 juta yang di Jakarta udah  4,7 juta.

Memang sekarang ada tren ke arah sana (pengelolaan pangan lokal. red), tapi bentuknya jadi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, red.). Mulai ada tuh narasi-narasi, misalnya kalau lu minum kopi, kopinya dari Majalengka. Kesadaran untuk mengkonsumsi pangan dari tempat lu juga campur sama kebanggaan atas wilayah. Mulai banyak tuh di coffee shop atau toko-toko roti udah mengolah tepung yang diproduksi sama UMKM. 

Kalau buat gue, tren itu sebenarnya nggak masalah. Jadi salah satu cara di wilayah yang populer buat bangun kesadaran untuk makan makanan lokal atau mengkonsumsi produk-produk lokal. Walaupun tentu ada  praktik-praktik yang lebih radikal, seperti yang dilakuin sama Dicky. (Lakoat Kujawas, red.)

Kami juga memilih untuk ngomongin hal itu karena itu berdasarkan kebutuhan sehari-hari. Apalagi posisinya ibu. Ngomongin pangan itu sebenarnya ngomongin apa yang lu kasih ke anak lu. Yang berkali-kali gue omongin sama Mother Bank adalah kita mesti ngasih makanan terbaik buat anak. Ngomong konservasi, yaelah, keberatan. Karena nasabah Mother Bank itu masih banyak punya balita, sampai cucunya kecil-kecil, gue ngomongin stunting, juga banyak penyakit gagal ginjal. Sama ibu-ibu gue ngomong, kita mengkonsumsi apa yang kita masak sendiri. Kita tahu bahannya. Bahannya kita ambil dari pasar atau kebun. Jadi kita nggak bawa wacana rantai makanan impor-ekspor. Nggak bisa ngomong kayak gitu. Mesti pelan-pelan dan gue rasa memang harus punya cara komunikasi masing-masing.

Eka: Menarik. Jadi kamu masuk ke pangan justru lewat mama-mama dan bahasa kamu adalah ibu-ibu harus memberikan makanan yang paling baik untuk anak-anaknya. Kamu kemudian punya Mother Bank. Bisa diceritakan sedikit nggak?

Bunga: Mother Bank itu kami bikin pas awal pandemi, ketika ekonomi kacau, kolaps. 80% tetangga di sini kerjanya adalah buruh serabutan. Terus tiba-tiba banyak yang kehilangan pekerjaan. Saat itulah bank-bank ilegal ke kampung-kampung. Bunganya tinggi banget.

Eka: Untungnya kami daerah pecinta koperasi, hahaha. Koperasi harian.

Bunga: Kalau di sini, di satu kampung bisa ada lima bank berbeda yang beroperasi, nggak jelas.  Bunganya 20%. Waktu awal pandemi, semua orang minjam ke sana karena emang nggak punya pilihan. Saat itu gue lagi punya duit. Harusnya kami berangkat residensi, nggak jadi berangkat tapi duitnya tetap dikasih. Ya udah kami pakailah uang itu untuk jadi modal bikin bank. Sama, metode kami adalah tidak mengenalkan sesuatu yang baru. Yang udah eksis aja tapi dimodifikasi.

Eka: Lagi-lagi mimikri?

Bunga: Iya, mimikri bank-bank ilegal, bank emok, bank duduk. Ibu-ibu kalau lagi setoran, semua duduk di emperan sambil ngurusin administrasi. Seminggu sekali, manual setorannya. Prosesnya itu bisa sampai dua jam, tiga jam. Harus nyanyiin dulu yel-yel terus harus berjanji. Saya berjanji, blablablabla!  Bener-bener kayak lagi performance. Gue  mikir, dua jam seminggu daripada nunggu urusin administrasi, kita pakai buat ngerjain apakah bareng-bareng. 

Ya udah, bikin bank yang sama aturannya, ngumpul seminggu sekali tapi nggak ada bunganya. Minjem sejuta, balikinnya sejuta. Waktu buat ngurusin administrasi itu kita pakai buat ngelakuin sesuatu bareng. Gue niatnya pengen mulai menempatkan ibu-ibu ada di garda depan aktivitas di Wates karena selama ini bapak-bapak. Belum mikir kegiatannya apa, jadi yang bisa dilakuin dulu. Waktu  awal-awal pandemi, tiba-tiba semua orang berkebun. 

Eka: Monstera, janda bolong viral.

Bunga: Hahaha.. Iya benar. Gue inget banget itu, apalagi di kota-kota. Semua orang nggak tahu mau ngapain, jadi berkebun. Lalu, orang jadi pengen hidup sehat. Banyak banget berjemur, pengen empon-empon minum-minum jamu. Jadi kita pikir, ini ada pasarnya, orang-orang kota. Kita bikin kebun di lahan yang gak kepakai. Kita menanam jahe, singkong. Singkongnya kita bikin tepung,  yang kita pamerin di Jogja Biennale waktu itu (2021, red.), terus kita jual ke teman-teman, tepung, jahe, beras, rosela. Tanam apa aja lah yang bisa kita tanam.

Edisi pertama, per satu pinjaman itu 10 bulan. 10 bulan itu kita mengolah kebun bareng. Tahun pinjaman kedua aktivitasnya macam-macam, tergantung situasi dan kebutuhan. Terus sekarang, warga lagi pada bikin pasar gitu. Edisi ketiga, kita ngisi pasar aja deh.

Kemarin, kita bertemu Mama Fun di Magelang, jadi benar-benar belajar pangan lokal, cara mengolahnya. Mesti ketemu orang luar, kelihatan hasilnya,  terinspirasi sama mama Fun, terus bikin inovasi-inovasi asyik. Kegiatannya tergantung kesiapan atau material apa yang ada di kampung. 

Eka: Nggak ngebayangin program apa gitu?

Bunga: Nggak gitu. Organik-organik aja sesuai kebutuhan. Karena seumur hidup, nggak usah terlalu gimana-gimana. Santai-santai.

Penampilan Mother Bank di Biennale Jogja 2021. Dok. Badan Kajian Pertanahan

Eka: Seringkali orang bisa membaca aktivitas yang kamu buat dari kacamata feminisme, pemberdayaan. Ada latar domestik yang kamu angkat dan jadi eksotis, malah toxic. Sementara, pada kenyataannya kamu memang berangkat dari kebutuhan hidup harian. 

Bunga: Di Jatiwangi, ada JAF yang memang terbiasa juga bikin mitos. Jadi kalau misalnya ada orang membaca a b c d gitu, itu sebenarnya layer-layer yang perlu juga. Bikin fiksi baru tentang kegiatan-kegiatan kami itu perlu agar bisa terkoneksi dengan orang dari scene yang berbeda. Metode kami, bekerja dengan banyak orang, dari berbagai kepentingan, bidang. Jadi kalau kamu mau membacanya dalam konteks empowerment, terserah. Kalau mau baca dalam konteks seni, ya boleh. Kayak gitu gitu aja sih, romantis aja.

Eka: Kalau kamu sendiri punya intensi apa? Atau intensimu ya sedinamis yang  kamu ceritakan tadi?

Bunga: Gue sih gitu aja. Nggak punya ambisi buat dibaca sebagai apa karena basisnya bukan program yang selesai lalu harus dipresentasikan. Kalau nggak dibaca, sayang. Kami tuh kayak orang lagi survive aja sehari-hari, bareng  ibu-ibu, tetangga karena emang basisnya realitas sehari-hari. Gue bikin kelompok-kelompok sama ibu-ibu tuh buat temen gue ngobrol juga. Kebayang ya gue enggak punya temen di sini. Gue dari Jakarta gitu, terus gue ngobrol sama siapa dong kalau bukan sama tetangga. Jadinya gue mesti bikin grup ini, terus-terusan berkomunikasi sama mereka, belajar banyak sama mereka. Juga ada pragmatis gue gitungapain gue tinggal di sini cuma laptopan doang, kerjanya dalam kamar?

Eka: Pertanyaan berikut agak filosofis. Bagaimana kamu merefleksikan kerja-kerjamu dengan ibu-ibu, pakai pendekatan kesenian? Apakah ini kemudian buat kamu punya rumusan sendiri tentang seni?

Bunga: Iya jelas. Kita kan terbiasa, kayak seni bersama masyarakat, rujukannya ke  Mulyono. Versi kontemporernya Forum Lenteng dengan akumassa. Tadinya, gue juga gitu. Oh seni bersama masyarakat tuh gini.

Udah tinggal bareng di kampung, terus hidup sebagai warga, bukan orang yang datang, itu lebih memperkaya perspektif gue soal cara berkomunikasi. Seniman tuh bukan siapa-siapa kalau udah ada sama warga. Please lah! Ya memang hidup bareng, terus kayak.

Eka: Intermezzo!

Bunga: Ahaha.. Iya bener. Intermezzo aja, nggak usah terlalu gimana-gimana gitu, kayak merasa proyeknya penting. Seni bisa jadi nggak penting buat warga. Kadang baper (bawa perasaan, red.). Misalnya, kita udah bikinin kegiatan, terus tiba-tiba ada yang nanyain balik, “jadi kapan kita demo?” Tetap balik lagi gitu obrolannya. 

Lu nggak bisa ngebayangin orang di kampung tuh harmonis. Gila, semua orang punya pikiran masing-masing di kepalanya. Makin lama kita makin belajar, terbawa dalam setiap proyek bahwa semua orang nggak harus punya pemikiran yang sama. Nggak perlu gitu. Jadinya emang bertahan sama yang namanya sirkel. Itu yang penting,  yang dirawat,  yang harus dibangun. Yang lain, yang tadinya nggak percaya, lama-lama ngikut. Tapi kalau udah keburu baper, ya udahlah kayak ngerasa sia-sia, nggak dianggap. 

Eka: Masih ada pride anak kota juga kan?

Bunga: Iya. Seniman.

Eka: Tapi menurut kamu itu justru kekhasan kita tidak sih? Profesi seni kan kita adopsi dari modernisme barat. Sementara kalau kita, seniman itu juga petani, juga imam, juga bapak keluarga. Yang bikin kegiatan sama kalian juga yang kerja di pabrik genteng, juga bapak keluarga.

Bunga: Betul.  Kalau  gue, yang jadi pelajaran banget adalah jangan punya bentuk duluan, lalu kamu presentasi. Itu udah pasti gagal. 

Eka: Kecewa

Bunga: Kecewa karena mereka juga nggak ngerti itu proyek apaan? Makanya, prosesnya, belajar cara untuk ngobrol penting banget sih. Jangan punya ekspektasi duluan, balikin semuanya ke nol. Makanya, cara-cara yang kita pakai juga biasanya berangkat dari apa yang udah ada, nggak terlalu berambisi biar kelihatan kontemporer.

Eka: Setelah Mother Bank, kira-kira kamu punya temuan apalagi dengan dinamika warga yang memantik kamu untuk bikin sesuatu?

Bunga: Nggak pernah! Nggak pernah punya rencana hidup, hahaha. Asal semua jadi, jalan. Benar-benar soal waktu. Mother Bank aja nemu. Yang terus kita usahakan berjalan tuh sebetulnya kegiatan yang sudah ada jadi konsisten karena tadi gue bilang di awal, kita lagi ngumpulin CV. Kesiapan  mental, material juga mengamati tetangga lagi pada mau ngapain, itu jadi kegiatan bareng untuk memelihara kolektif. 

Eka: Dari pengalaman dan konteks kerja-kerja kalian, kolektivitas bersama warga itu apa menurutmu?

Bunga: Kolektivitas ya? Gue sebenarnya belajar dari melihat praktik-praktik JAF. Lalu gue ngerasain sendiri. Kolektivitas itu harusnya nggak dibaca sebagai konsensus. Konsensus tuh dalam artian bahwa, aduh rasanya ribet ya …

Eka: Nggak apa biar kamu kontemporer dikit.

Bunga: Hahaha… Ketika seni ngomongin kolektivitas itu sebetulnya cara mereka untuk muncul, kelihatan. Kolektivitas di ranah kita tuh ranah kultural.

Sebenarnya kalau mau politis, kolektivitas dibaca bukan sebagai konsensus. Kesepakatan itu sesuatu yang bukan jadi tujuan. Kolektivitas itu justru jadi  alat. Di  kita tuh ‘dissensus’ istilahnya.

Misalnya kita pakai metode-metode festival. Warga nih kelihatan kolektif, rame-rame padahal di dalamnya pada berantem. Belum tentu kepalanya sama. Belum tentu kita ngomongin hal yang sama. 

Eka: Kadang-kadang toxic juga?

Bunga: Banyak banget, pasti. Cuma yang dimunculkan adalah kita yang terlihat sebagai kolektif. Kolektivitas itu perlu ditunjukan di depan power yang kita mau negosiasi. Kayak rampak genteng, tiga tahun sekali. Itu  jadi ikrarnya warga untuk terus mengolah tanah. Tapi apakah warga yang datang ke pabrik genteng itu semua sepakat bahwa kita ngebayangin hal yang sama? Belum tentu. Ada yang ke sana cuma mau selfie, ada yang cuma mau hore-hore, ya terserah deh. Maksudnya kepentingannya beda-beda. Mereka punya tujuan yang beda-beda.

Yang penting itu adalah seni kemudian bisa mengikat orang bareng-bareng pada satu momen yang sama dan itu ternyata bisa bikin kita punya statement  bareng tentang wilayah kita. Jadi, kerja-kerja kolektif atau kolektivitas itu emang strategi.

Kita juga udah kehilangan tradisi pengorganisiran akar rumput pra-65. Buruh, petani semua bisa diorganisir dan ada pendidikannya. Sekarang kita udah nggak punya tuh gitu-gitu. Sekarang siapa yang ngelakuin? Komunitas ngerjain gituan  berat banget tugasnya.

Eka: Persis

Bunga: Seni, kebudayaan muncul sebagai kolektif, muncul sebagai momentum dan harus dipakai momentumnya buat lu menyatakan sesuatu. Itu sih kalau gue ngelihatnya. Kenapa lu perlu berfestival yang kelihatan nilai komunalnya, kenapa lu mesti bikin performance yang kelihatan rame banget, kenapa mesti visible? Sebetulnya bukan karena kita ngomongin hal yang sama tapi karena kita sedang mengklaim atau mereklaim apa aja lah, terserah sesuai konteksnya masing-masing.

Eka: It is such a great thing for us.

Terima kasih atas kesediaanmu untuk diwawancarai. Ini sangat berharga dan semoga sengketanya bisa kalian hadapi hari demi hari karena itu hidup kalian. Sa tidak mau sa pu teman homeless hanya karena negara ambil dia punya tanah.

Bunga: Hahaha… Makasih Eka, Tika.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th