Batang-Batang Rupama: Perjalanan Penciptaan Pertunjukan Bersama

Seni dan Kolaborasi, Bagaimana Bisa Berjalan Bersama?

Karya seni yang diciptakan secara kolektif adalah karya yang melibatkan proses kolaboratif, yang mana berbagai individu berkontribusi pada penciptaan dan penyempurnaan karya tersebut. Proses seperti ini dapat kita sebut sebagai proses kolaboratif. Batang-Batang Rupama adalah pertunjukan seni lintas media yang bersifat kolaboratif dengan konsep yang mengacu pada pengalaman estetis bersama sekelompok individu secara bersama-sama.

Pertunjukan ini menjelma menjadi seni interaktif, yang mana seluruh elemen melebur dalam sebuah peristiwa seni. Meminjam istilah dari seniman dan pengorganisasian acara seni, Karina Roosvita, (dalam Kent: 2023) peristiwa seni ini bisa disebut sebagai bentuk proyek seni kolaboratif yang tengah berkembang di abad ke-21. Roosvita (Kent, 2023:310) membuat sebuah refleksi diagramatik dari praktik kolaborasi yang dominan, yang mana dia memosisikan lingkaran yang saling terkait dari ‘penulis’, ‘peneliti’, ‘seniman’ dan ‘aktivis’ sehingga mereka saling beririsan dan menciptakan ruang bersama yang disebut ‘kolaborasi’. Hasil refleksi Roosvita menjadi model seni kolaboratif yang dapat dilihat pada diagram berikut:

Diagram Karina Roosvita tentang Praktik Interdisipliner di abad kedua puluh satu (Sumber: Elly Kent, 2023)

Elly Kent, pengajar pada kajian Indonesia di Australian National University (ANU), juga bekerja sebagai peneliti, penulis, penerjemah, seniman, pendidik, dan banyak terlibat dalam berbagai kerjasama antar budaya di Indonesia dan Australia, menyebutkan bahwa pendekatan kolaboratif mampu mengakomodasi jenis gerakan multiperspektif dan berbasis bukti untuk mengatasi masalah rumit yang dihadapi Indonesia, dan semua negara, saat ini. Pendapat Kent berangkat dari catatan Dirgantoro, “Arts and Artists in Society: Pathways for Indonesian Art in the 21st Century,” dalam ANU webinar, 11 Maret 2021:

Kepedulian dan peran seni dan seniman yang berkelanjutan dengan dan di dalam masyarakat, untuk mewujudkan transformasi sosial dan perubahan positif, terutama yang terkait dengan perubahan iklim dan gender… isu-isu ini tidak dapat diselesaikan sendiri, melainkan memerlukan gerakan kolektif untuk mewujudkan perubahan tersebut.

Kent menyebut kekuatan ekspresif karya seni yang terus diarahkan oleh banyak seniman untuk membayangkan dan memberlakukan perubahan sosial, sering kali melalui tindakan kolektif. Relasionalitas—kolektivitas, interdisiplinaritas, tanggungjawab, ketegangan antara mereka yang dianggap di dalam dan mereka yang di luar atau yang lain—merupakan fitur kuat dalam tantangan dan peluang yang dihadapi oleh mereka yang bekerja di bidang seni di Indonesia saat ini. (Kent, 2023:310)

Majelis Estetika Kolektif Indonesia (MEKI), juga membaca praktik seni kolaboratif dan menyusunnya dalam buku Estetika Kolektif: Praktik Mendahului Kata (Yang Penting Capek) (2023:47) mengatakan bahwa kolaborasi memenuhi konsep aktivitas kreatif yang bersifat gotong-royong; mengusung nilai-nilai kesetaraan, solidaritas, pertemanan, dan kebersamaan. Mereka melihat spesifikasi kolaborasi seniman di ruang alternatif hadir sebagai upaya pengorganisasian yang tanpa hierarki dan lebih mengandalkan kesukarelaan untuk saling berbagi tenaga dan sumber daya.

Konsep kolektif yang hadir dalam Batang-Batang Rupama juga mencoba untuk mengkomposisikan praktik kolaborasi antara peneliti, seniman, penulis, dan aktivis, yang secara bersama-sama menciptakan ruang bebas berekspresi. Ruang untuk menggali ide-ide kreatif dan eksploratif tanpa terkekang oleh batasan konvensional dan komersial yang hirarkis dan otonom (mendobrak pakem). Tindakan kolektivitas ini disadari atau tidak, telah mengonstruksi sikap kerjasama, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta kontribusi dari individu-individu seniman penggerak dalam menghadirkan praktik estetik yang lebih eksperimental. Melalui ruang kolaboratif inilah dapat diartikulasikan bahwa pada hakikatnya, kolektivitas itu terkait kesadaran proses kerja sama-sama dan mendapatkan hasil bersama.

Merenungkan Yang Personal dan Yang Politis

Pertunjukan Batang-Batang Rupama sangat lekat dengan dua narasi: yang personal dan yang politis. Dua kata kunci ini sering sekali didiskusikan selama pertemuan-pertemuan untuk produksi karya. Hal ini kami catat ketika dalam satu kesempatan ada pertanyaan yang kami lontarkan terhadap Rachmat Mustamin, sebagai sutradara, bagaimana ia memilih apa yang akan ditampilkan dalam pertunjukan. Mengingat selama proses penciptaan bersama semua yang hadir bisa bersuara dan membawa keresahan personal masing-masing.

Kelindan  dua istilah ini dalam pertunjukan Batang-Batang Rupama rupanya menjadi ciri peristiwa kesenian Indonesia hari ini, terutama pascareformasi. Selain soal politis dan personal yang saling berkelindan, orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan ini juga berasal dari ragam generasi yang bisa dibilang masih muda dan lebih banyak hidup pada masa pascareformasi. Kondisi ini menjadi bagian yang mempengaruhi terhadap karya yang dibuat.

Alia Swastika, seorang kurator, manajer proyek, dan penulis di sejumlah pameran seni internasional asal Indonesia, melihat ada tiga kecenderungan yang dapat menjadi penghubung dalam memandang fenomena terbaru peristiwa seni pascareformasi, yakni: (1) seniman tidak terlalu tertarik pada gagasan mengenai Politik (dengan P besar). Kecenderungan ini berkaitan dengan upaya mereka mendefinisikan politik dengan cara yang berbeda, yaitu politik (dengan p kecil), (2) ketertarikan yang besar terhadap tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan personal. Mereka menerapkan slogan “yang personal itu politis”, (3) para seniman cenderung berkarya dengan bentuk-bentuk yang mempertemukan seni pop dan murni, budaya ‘tinggi’ dan ‘rendah’, serta menggunakan teknologi sebagai bagian penting dalam proses penciptaan karya. Proyek-proyek seni publik masa kini (pasca-1998) juga lebih banyak diarahkan untuk membuat masyarakat sedikit berjarak dari hal-hal yang sudah kadung rutin, serta menawarkan konteks dan pemaknaan baru atas sesuatu yang selama ini terasa terberi (given) (Swastika, 2023:30).

Swastika menjelaskan dalam konteks pergerakan estetika global, penggunaan yang intensif atas material-material baru (new materiality) merujuk pada pencampuran penggunaan produk teknologi digital, teknik gambar melalui komputer, penciptaan model digital, dan sebagainya, dengan proses kreatif secara lebih luas. Swastika merujuk salah satu konsep lanjutan dari materialitas baru, yakni “hyper materiality” yang dicetuskan oleh Bernard Stiegler. Konsep ini memuat cara pandang bahwa bentuk dan subjek masalah tidak lagi dilihat secara terpisah. 

Beberapa seniman muda menyebut bahwa mereka suka ketika karya mereka bisa menampilkan kesan “kesenangan” (fun) dan “kebermain-mainan” (playful) (Swastika, 2023:99). Swastika menyebut bahwa seniman-seniman muda menghadapi situasi politik yang barangkali telah bebas dari apa yang disebut sebagai “musuh bersama”–yang pada seniman generasi sebelumnya bisa ditunjuk pada “rezim penguasa”.

Mereka menolak mengidentifikasi satu musuh bersama, dan bekerja dalam tema-tema global yang menyatukan mereka dengan anak-anak muda lain di seluruh belahan dunia: identitas, konsumerisme, budaya, massa, globalisasi/neoliberalisme, postkolonialisme, subkultur anak muda, dan sebagainya. Lebih lanjut, Swastika menjelaskan jika tema-tema global diinterpretasi oleh seniman muda dengan paradigma lokal yang mereka lihat dalam praktik hidup sehari-hari di lingkungan yang terdekat dengan mereka.

Hal ini juga terjadi dalam proses penciptaan Batang-Batang Rupama yang merespons jalan sebagai ruang peristiwa yang telah diteliti sebelumnya, kemudian para performer merespons dan menambahkan relevansi dengan dirinya.

Peristiwa kesenian lintas disiplin yang kini semakin intens berlangsung memungkinkan kerja-kerja seniman dengan medium-medium baru. Hal ini sekaligus membuka peluang mereka terlibat bersama pembuat film, musisi, aktivis sosial, aktor/aktris, dan lain-lain. Selain melakukan kerja kreatif yang kemudian dilabeli karya seni, seniman-seniman muda ini juga melakukan aktivitas lain seperti bergabung dengan band/bermain musik, membuat film indie, aktif terlibat dalam diskusi-diskusi tentang budaya pop–bahkan menjadi anggota klub baca perpustakaan, menghabiskan waktu menonton film, bermain game dan menjelajahi ruang maya.

Seniman muda melihat kerja-kerja kesenian sama besarnya dengan aktivitas keseharian yang lain, melibas batas antara “yang seni” dan “yang bukan seni”, antara “seni tinggi” dan “seni rendah”, serta memperkenalkan konsep bahwa seni adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Seniman muda cenderung melepaskan diri dari hubungan kekuasaan langsung, sedangkan narasi diri dan tubuh menjadi lebih penting dalam karya mereka. (Swastika, 2023:99)

Membawa ini pada konteks Batang-Batang Rupama, penciptaan bersama yang dipilihnya juga membawa misi yang sama. Rachmat menyebut Batang-Batang Rupama selain sebagai pertunjukan, juga ingin membawa pertunjukan ini lebih dekat dengan masyarakat dan performernya. Menjadikannya seni yang menubuh pada individu atau kehidupan sosial.

Saat improvisasi penciptaan karya, seniman diminta menggali pengalaman personalnya, kemudian direfleksikan dan dimasukkan dalam bagian pertunjukan. Meminjam pandangan Swastika, para seniman muda – termasuk kolaborator pertunjukan Batang-Batang Rupama – telah membuang jauh-jauh pandangan yang romantik, yang melulu melihat seni dalam kerangka yang mengagung-agungkan, atau bahwa seniman adalah seorang jenius yang mendapatkan privilege tertentu dalam kehidupan masyarakat. Hasilnya, Batang-Batang Rupama menjelma pertunjukan dengan ragam bentuk seni sebagai kendaraan geraknya.

Laku Aman Menyusur Pengetahuan Bersama

Pelibatan kolaborator dengan latar belakang beragam tentunya memiliki tantangan tersendiri. Mengingat setiap kolaborator yang terlibat sudah pasti memiliki pikiran dan praktik pengkaryaannya. Pertanyaannya, bagaimana Batang-Batang Rupama mengelola hal tersebut? Bagaimana menyatukan setiap isi kepala menjadi satu batang tubuh pertunjukan? Bagaimana… kenapa… apa… siapa… dan segala macam kata tanya menjelajah isi kepala hingga melihat hasilnya. 

Tanya menjelma keresahan, rasa ingin tahu terhadap wujud pertunjukan lintas media ini dan proses di baliknya, mengingat pertunjukan ini kami lihat sebagai laku eksperimental dan berani mendobrak pikiran dominan dalam diri banyak orang tentang seni pertunjukan.

Namun, dalam perjalanannya, kami akhirnya menemukan sebuah upaya laku aman dalam dunia kesenian, memberi ruang setiap yang terlibat merasa didengar sehingga pertunjukan ini bisa terwujud.

Hal ini yang menurut kami menjadi bagian penting untuk kita sadari dalam metode kerja yang digunakan.

Batang-Batang Rupama sejak awal berupaya untuk menghadirkan ruang aman bagi siapa saja yang terhubung dalam pertunjukan. Sejak awal Rachmat mengatakan bahwa setiap orang punya kendali, maka tidak semestinya ada orang yang mendominasi. Batang-Batang Rupama kami baca dibangun secara egaliter, berlangsung dengan semangat berpikir bersama bertindak setara. Semua orang yang hadir membangun respect to people, akrab dengan seluruh kolaborator.

Gagasan pertunjukan yang diharapkan mengeksplorasi lintas medium untuk menghasilkan pertunjukkan memerlukan kreativitas yang harus terus dipantik. Cara yang dilakukan bisa dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang menyentuh hal-hal personal dan menjahit relevansinya dengan konteks yang lebih luas, mulai dari antar kolaborator, kemudian berkembang hingga konteks sosial yang lebih luas.

Pertanyaannya, bagaimana merumuskan dan menyampaikan pertanyaan yang membuat setiap kolaborator yang terlibat merasa aman dan tentunya memantik kreativitas merespon gagasan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan? Jawabannya, bangun komunikasi efektif dengan mengedepankan dialog, berikan afirmatif positif baik tindakan atau ucapan, bangun kepercayaan, kunci dengan refleksi, dan tentunya merdeka sejak dalam pikiran. Biarkan ia dipenuhi kebebasan berkreasi tanpa kungkungan hal-hal yang dipatenkan, atau dalam pengertian yang lain, menjadikan seni sebagai ruang eksperimental.

Membuka dan Merawat Jalan Bersama

Jun Kitazawa, seniman yang berfokus pada upaya membangun masyarakat imajiner dengan mengemas kerja-berbasis-proses sebagai pendekatan artistiknya, merumuskan alur proses sebuah proyek seni melalui tahap research, ideation, practice, dan documentation.

Research dilakukan untuk membaca bagaimana isu atau konteks yang ingin kita sajikan dengan pendekatan seni. Pada tahapan penelitian ini seniman melakukan kerja penelitian lapangan. Swastika menyebut kerja-kerja kolaborasi lintas budaya dan lintas disiplin yang terus menguat telah memberi tantangan bagi para seniman untuk bergelut dengan satu tema atau satu pendekatan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Praktik kesenian demikian, merujuk pada kerja-kerja penelitian yang membutuhkan penelusuran literatur, pengamatan lapangan, dan pertemuan dengan orang-orang lain, atau semacam laboratorium penciptaan. (Bdk. Swastika, 2023:25)

Pada tahapan research (penelitian), seniman perlu membuat pertanyaan-pertanyaan untuk merumuskan sebuah konsep. Salah satu pertanyaan yang harus ada adalah kenapa tertarik dengan isunya? Apa relevansinya, dsb. Konsep utamanya kemudian dirumuskan dalam bentuk artist statement atau dalam tahap ini disebut sebagai proses ideation. 

Tahap ideation bisa dilakukan dengan membuat gambaran rencana proyek dan penjelasan setiap kegiatan proyek, mulai dari awal sampai selesai. Bentuknya bisa berupa proposal proyek atau untuk pertunjukan, bisa dalam bentuk naskah pertunjukan. Dalam tahap ideation, pengkarya mesti mempertimbangkan siapa audiensnya, bagaimana audiens bisa menjadi partisipan dalam proyek, relevansi proyek yang akan dibuat dengan kondisi masyarakat, dan jalinan perspektif (epistemik-antropologi) antara perngkarya dan masyarakat. Setelah itu, semua jawaban atau temuan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dituliskan. Perlu pula dipertimbangkan agar ide yang dibuat memiliki judul menarik, simpel, dan mengekspresikan konsep secara keseluruhan.

Setelah konsep ada, tahap selanjutnya adalah practice atau melakukan proses produksi karya. Jika seni dibuat melalui kerja kolaboratif, penting adanya proses-proses negosiasi dan diskusi di dalamnya. Selama proses produksi karya, seniman juga harus memikirkan dan melakukan praktik manajemen pertunjukan. Saat seniman berfokus pada penciptaan karya, pasti ia akan memikirkan bagaimana agar pertunjukan nantinya bisa sampai ke penonton. Oleh karena itu, penting adanya manajemen artistik yang baik bahkan hingga persoalan teknis. 

Seniman juga harus memikirkan sejak awal tentang pendokumentasian proses pengkaryaan hingga pertunjukannya. Tujuannya agar setelah pertunjukan bisa disebarluaskan, dievaluasi untuk pengembangan karya selanjutnya, bahkan merumuskan modul atau katalog yang berisi metode dan refleksi atas pertunjukan agar sifatnya berkelanjutan. Kami melihat setiap karya semestinya tidak sekadar dibuat, tapi ada persinggungan yang lebih luas dengan lingkungan sosialnya.

Tahapan selanjutnya adalah proses presentasi karya ke publik.

Alur Proses Proyek Seni Sumber: Jun Kitazawa, 2024

Dalam konteks Batang-Batang Rupama, rangkaian aktivitas yang dilakukan terbagi menjadi: Penelitian dan Pengembangan Konsep, Lokakarya Lintas Disiplin, Latihan Pertunjukan Lintas Media, Presentasi Karya kepada Publik. 

Kemudian untuk meneruskan metode proses artistiknya, diterbitkan modul berisi proses dari lokakarya, presentasi/performans yang berisi tentang refleksi. Modul ini menjadi arsip untuk dijadikan referensi dalam meramu program ini secara berkelanjutan.

1. Penelitian dan Pengembangan Konsep

Rangkaian awal proses pertunjukan Batang-Batang Rupama adalah kegiatan Penelitian dan Pengembangan Konsep. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan metode dan kurikulum yang digunakan dalam bekerja bersama memproduksi karya seni lintas disiplin. Kegiatan pertama ini melibatkan dua peneliti dengan latar belakang berbeda, yakni Ibe S. Palogai, seorang penulis dan penyair, dan Andi Irma Saraswati, seorang peneliti dengan latar belakang ilmu Antropologi. Meskipun dari dua latar belakang berbeda, keduanya tersimpul dengan praktik jalan kaki sebagai metode penelitian.

Ibe S. Palogai yang juga berlaku sebagai konsultan pertunjukan, melalui catatan penelitiannya, “Batang-batang Rupama: Pertemuan yang Hilang” mengurai bahwa praktik jalan kaki digunakan sebagai strategi untuk mengatasi masalah geopolitik, sosial, ekonomi atau lingkungan hidup dan untuk mempertanyakan konfigurasi teritorial dan politik. Ada berbagai dimensi pengalaman seni berjalan kaki: mulai dari praktik jalan kaki kolektif dan eksplorasi, hingga perjalanan spiritual untuk mencari jati diri; mulai dari penggunaan jalan kaki secara politis hingga pengenalan teknologi, dari tindakan puitis hingga aktivisme lingkungan, mulai dari tindakan yang bersifat pribadi dan soliter hingga fungsinya sebagai alat praktik partisipatif, dari penggunaannya sebagai metodologi hingga pemahamannya sebagai suatu sikap.

Berjalan adalah meditasi dan perhatian. Berjalan adalah kelambatan dan cara bepergian dengan kecepatan berbeda. Berjalan adalah alat untuk eksplorasi dan analisis. Tidak dapat disangkal bahwa berjalan kaki adalah mesin dan bahan bakar alami yang memelihara tubuh dan pikiran kita, sebuah metafora dari ketegangan terus-menerus antara berdiri dan bergerak: satu kaki di tanah, yang lain mengayun di udara, menghasilkan keseimbangan yang konstan antara bumi dan langit, antara masa lalu dan masa depan, antara akar dan inovasi, antara asal kita dan tujuan kita. – Ibe S. Palogai –

Dalam Theory of the Dérive (1956), Debord menjelaskan: “salah satu praktik dasar situasionis adalah dérive, suatu teknik perjalanan cepat melalui berbagai suasana. Dérives melibatkan perilaku yang menyenangkan-konstruktif dan kesadaran akan efek psikogeografis, dan karenanya sangat berbeda dari gagasan klasik tentang perjalanan atau jalan-jalan. Dalam suatu perjalanan, seseorang atau lebih dalam jangka waktu tertentu meninggalkan hubungan-hubungannya, aktivitas kerja dan rekreasinya, serta semua motif lain yang biasa mereka lakukan dalam bergerak dan bertindak, dan membiarkan diri mereka tertarik oleh daya tarik medan dan pertemuan-pertemuan yang mereka temukan di sana. (…) dari sudut pandang perjalanan, kota mempunyai kontur psikogeografis, dengan arus konstan, titik tetap, dan pusaran yang sangat menghambat masuk atau keluar dari zona tertentu.”

Menurut Ibe, metodologi dérive yang tidak konvensional – perpaduan antara kesadaran dan pelepasan – segera menjadi pendekatan dan alat yang menarik bagi para seniman, arsitek, dan penjelajah kota yang memanfaatkan potensi kreatifnya. Kota menjadi organisme hidup, kumpulan urat-urat yang berdenyut, batas-batas pernapasan, zona-zona yang menarik, dan pertemuan-pertemuan yang membingungkan yang layak untuk dilalui dan dialami.

Ibe menggunakan jalan kaki sebagai praktik seni untuk menelusuri sejumlah kawasan di Kota Makassar. Penelitian yang dilakukan Ibe melibatkan Muh. Akhdan Abizar Anwar dan Fadhilah Ummah Syam, dua seniman performans dalam menyusun rencana berjalan kaki untuk mengamati kawasan, fitur jalan, jalur, lorong, ornamen sejarah, dan monumen yang menghubungkan mereka dengan kota Makassar. Mereka menyusuri Jl. Sultan Hasanuddin yang menghubungkan dua taman: Taman Macan dan Taman Hasanuddin.

Berjalan kaki merupakan metode yang sangat penting untuk mengungkapkan dialog dan pertukaran yang menarik antara seni, arsitektur, studi perkotaan, ekologi, dan teknologi. Berjalan kaki, dengan perspektif holistik, mengungkap berbagai lapisan pengalaman dalam hubungan antara manusia dan tempat. Ada banyak penafsiran dan cara memahaminya, tetapi berjalan tentunya tidak hanya sekedar menggerakkan kaki ke satu arah saja. Praktik berjalan telah dibahas banyak penulis, yang menganalisis berbagai konsep dan makna melalui perspektif berbeda: melalui sudut pandang sejarah, sebagai filosofi, sebagai praktik yang terlibat secara sosial, antara lain sebagai pengalaman estetis atau sebagai pengalaman spiritual.

Dalam konteks Batang-batang Rupama, berjalan kaki sebagai praktik seni digunakan oleh Ibe untuk menemukan dan menjelajahi wilayah, kota, dan geografi tertentu demi mengejar pengalaman yang membuat tubuh dan pikiran sadar akan tempat yang mereka tempati sehingga secara bersamaan, sadar akan proses mobilitasnya.

Merujuk penjelasan Turner dan Behrndt, Ibe menyebut dramaturgi berjalan yang dirampungkannya memberikan dua pengetahuan, yakni: (1) ia menawarkan pemahaman tentang ruang melalui tubuh, (2) hal ini memisahkan dan menangguhkan situs-situs dari narasi nasional, budaya, dan politik yang tertanam di dalamnya.

Ibe mengatakan tempat-tempat dapat dinikmati dengan kecepatan berjalan lambat, tanpa perantara, dan dengan cara yang sepenuhnya sensoris. Dia menyebut, dramaturgi berjalan menceritakan cara-cara, pragmatis atau seperti mimpi, yang melaluinya kita memerankan dan mengalami suatu tempat. Hal ini merajut kesadaran akan mekanisme komunikasi dan konstruksi artifisial dari dunia imajiner bahkan ketika kita tergerak dan terlibat olehnya.

Jika Ibe menggunakan praktik jalan kaki sebagai metode dan praktik seni, sehingga dalam penelitiannya langsung melibatkan dua seniman performans, Andi Irma Saraswati juga menggunakan praktik berjalan kaki, tetapi lebih sebagai metode penelitian. Ia menamai metodenya dengan nama jokka-jokka. Secara harfiah, ‘jokka’ dalam bahasa Bugis berarti berjalan. Dengan menggabungkan dua kata ‘jokka-jokka’, ia berarti ‘berjalan-jalan’.

Metode ini digunakan untuk menelusuri dan mendokumentasikan segala yang ditemukan dan dialami di ruas-ruas ‘jalan’ Kota Makassar dengan tulisan “Setangkup Rasa Mengalami Ruas-Ruas ‘Jalan’ Kota Makassar”. Hasilnya kemudian ditulis sebagai respons yang memuat impresi dan refleksi personal atas objek yang dia lihat, dengar, dan rasakan.

Sebagai warga yang berdomisili di Makassar, terhitung tujuh tahun sejak 2018 saya bermukim di kota ini, lima dari dua tahun terakhir, aktivitas saya hanya bergulir di kawasan Tamalanrea (kampus-indekos-kafe). Kadang ke Panakkukang dan sesekali bermain-main ke Mall Ratu Indah di Jl. Ratulangi, kawasan Mamajang. Arah dan plang nama jalan adalah objek yang sukar saya perhatikan ketika duduk di jok motor teman atau goride, aktivitas jalanan (seperti anak yang menyodorkan dagangan, seorang ibu yang duduk di pembatas jalan sembari menggendong bayi, jejeran bangunan di jalan, dll.) bagai magnet yang lebih menarik perhatian saya.

Selama menyusuri ruas-ruas ‘jalan’ kota Makassar dan menyandingkannya dengan kompleksitas program yang melahirkan slogan Kota Dunia, Resilient City, dan Low Carbon with Metaverse, saya merasa identitas kota maritim yang melekat di kota ini menjadi kelabu karena pesatnya ekspansi kota untuk menjadi megapolitan yang hypermodern.

-Andi Irma Saraswati –

Selama beberapa hari jokka-jokka, Irma menjadikan tubuhnya sebagai medium untuk mengingat, merasakan, merekam dan memahami berbagai rupa di kota Makassar. Dia menjenguk kota Makassar lebih dekat melalui bangunan-bangunan di pinggir jalan, museum, gedung dan toko-toko lawas yang telah ada jauh sebelum Makassar hari ini yang dikenal sebagai “Kota Dunia”. Dia melakukan kegiatan jokka-jokka selama empat hari bersama teman lainnya dari Antropos, tempatnya bergiat saat ini.

Pada ‘jokka-jokka’ ini, saya dan beberapa teman menyusuri penjuru Makassar di ruas-ruas jalan Kecamatan Wajo dan Kecamatan Ujung Pandang. Ruas pertama yang dikunjungi adalah Jl. Jendral Sudirman. Kami memarkir motor di depan kompleks SD Sudirman kemudian berjalan menyusuri beberapa objek yang berada di sekitar jalan ini. Selaras dengan objek yang saya amati, Jl. Jendral Sudirman ditandai sebagai ruas jalan panjang dan di bahu jalannya berdiri Gedung MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)Setelah memotret, kami menyeberang ke Jl. Ahmad Yani dan lurus ke arah Jl. Cokroaminoto. Toko-toko tekstil seperti gorden, kain, dan pakaian berjejer di sisi kiri dan kanan. menyelimuti jalan ini sampai ke Jl. K.H Ramli yang merupakan lokasi pasar sentral Makassar. Sekitar 20 menit menyusuri dan mengamati objek-objek sepanjang jalan ini, kami memutuskan untuk bertandang ke Museum Kota Makassar.

– Andi Irma Saraswati –

Membaca catatan dari Ibe dan Irma, kita akan menemukan bagaimana dua peneliti dengan latar berbeda bisa saling mengisi tanpa tumpang tindih, juga secara praksis telah melakukan pengembangan konsep awal yang dipaparkan oleh Rachmat saat mereka bertemu pertama kali. Pengembangan itu berupa metode penelitian dan temuan lapangannya. Irma merekam hasil perjalanannya dalam tulisan deskriptif-reflektif sebagai catatan lapangan penelitian etnografi, sehingga kita seolah diajak berjalan bersama, membayangkan bagaimana jalan menjadi ruang hidup warga kota. Sedangkan Ibe menuliskan pantulan-pantulan yang sangat filosofis terkait hubungan antara jalan Makassar dengan keresahan (baca: kemarahan) yang dia rasakan sebagai warga yang kecewa. Kedua catatan ini kemudian dibaca bersama para performer dalam aktivitas lokakarya untuk memberikan gambaran konteks kota Makassar.

2. Lokakarya Lintas Disiplin

Setelah melaksanakan penelitian, aktivitas selanjutnya adalah lokakarya lintas disiplin kepada para performer yang mencoba mengurai lebih dalam proses penciptaan bersama, persilangan media dari perspektif seni teater, film, musik, dan dunia permainan digital.

a. Diskusi dan Workshop Estetika Kolektif

Estetika kolektif adalah konsep yang mengacu pada pengalaman estetis dengan melibatkan sekelompok individu atau masyarakat secara bersama-sama, dibandingkan pengalaman estetis yang bersifat individual. Karya kolektif ini dalam penciptaannya seringkali melibatkan proses kolaborasi, yang mana berbagai individu berkontribusi pada penciptaan dan penyempurnaan karya. Dalam estetika ini, keindahan dan makna suatu karya seni atau pengalaman estetis dinikmati dan dipahami secara bersama oleh sekelompok orang. Pengalaman estetis kolektif selain memberikan kesenangan emosional, juga dapat membawa makna sosial dan simbolis yang mendalam, mencerminkan identitas, nilai, dan aspirasi kelompok atau masyarakat. Hal ini bisa terjadi dalam konteks seni pertunjukan, instalasi seni publik, festival, atau bahkan kegiatan sehari-hari yang melibatkan estetika komunitas. Meminjam istilah seorang antropolog bidang seni, Alfred Gell, bahwa ada daya transformasi pada seni yang disebut the technology of enchantment (teknologi pesona).

Workshop pertama dilakukan Batang-Batang Rupama terlaksana dengan berkolaborasi bersama Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024. Batang-Batang Rupama berpartisipasi dalam workshop Proses Penciptaan Pertunjukan: Perspektif Perempuan, Riset, dan Penciptaan Bersama. Workshop ini menjadi ruang pertukaran pengetahuan dengan Luna Kharisma (seniman pertunjukan), Udiarti (pendiri Mirat Kolektif, sebuah wadah berlatih dan bereksplorasi bagi para pekerja seni) dan Rachmat (sutradara Batang-Batang Rupama) bersama para peserta tentang kerja kolektif dan metode penciptaan bersama, dari praktik dan pengalaman Mirat Kolektif dalam menggagas serta menginisiasi ragam pertunjukannya melalui perspektif perempuan, riset arsip, dan praktik lintas disiplin. Kegiatan ini menjadi ruang pertukaran pengetahuan terkait proses penciptaan pertunjukan secara kolektif melalui penelitian terhadap isu-isu tertentu.

“Penciptaan bersama adalah kerja-kerja kolektif berdasarkan riset investigasi atas isu-isu tertentu,” tutur Luna Kharisma, membuka sesi workshop dengan penjelasan sederhana tentang penciptaan bersama dalam pertunjukan. Pernyataan ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah pertunjukan berkelindan dengan isu-isu di luar seni dan penelitian adalah jalan untuk mengenalinya.

Rachmat menyebut bahwa workshop ini bertujuan menggal perspektif perempuan mengenai seni pertunjukan. Udiarti memberikan penjelasan mengenai perspektif perempuan dalam proses penciptaan bersama dapat membuka pandangan terhadap suatu isu-isu sosial yang terpinggirkan dan membuka jalan bagi tempatnya kembali. 

“Ketika kita berbicara tentang kerja-kerja perawatan, kita selalu merujuk pada ibu dan ayah. Namun, jika pertunjukan dikemas dalam perspektif perempuan, kita akan melihat orang-orang yang melakukan kerja-kerja perawatan dari tepi …Kita tidak bisa melihat suatu isu sosial dari satu sudut pandang saja. Kita mesti melihat dari berbagai lapisan, termasuk kacamata pinggiran,” ucap Udiarti.

Kegiatan workshop ini diakhiri dengan sesi interaktif antara peserta dan panelis dengan mempraktikkan dan mempresentasikan proses penciptaan bersama, mulai dari berbagi makna atau latar belakang dari objek yang telah dibawa masing-masing peserta, dilanjutkan proses penetapan kata kunci hingga pembuatan instalasi temple (monumen) dari objek-objek tersebut.

Secara keseluruhan dapat kita lihat diskusi dan workshop estetika kolektif menjadi ruang penghubung berbagai latar disiplin dan praktik kesenian. Pendekatan workshop menjadi metode kerja yang menarik untuk membangun pemahaman dan pengenalan narasi bahwa seni bisa dikerjakan bersama dan meretas persepsi yang menempatkan seniman yang berada di menara bangunan yang berjarak dari sekitarnya. Kami memosisi pertunjukan Batang-Batang Rupama selain sebagai kerja-kerja kesenian, juga berfungsi sebagai arena pendidikan seni warga.

b. Workshop Penciptaan Bersama

Workshop penciptaan bersama dilakukan untuk mengembangkan naskah, juga mengulik dan mengeksplorasi lebih jauh seluruh elemen yang akan menjadi bagian dari pertunjukan. Workshop berlangsung tiga kali seminggu selama setidaknya tiga hari, dengan durasi tiga jam setiap pertemuan. Fungsi utama dari workshop penciptaan bersama adalah untuk memutuskan plot atau presentasi, yang dapat ditentukan oleh pemain atau script yang diusulkan.

c. Proses Penciptaan Bersama

Metode atau alur proses penciptaan bersama bisa merujuk metode penciptaan dari Garasi Performance Institute. Dalam konteks modul ini, ada beberapa hal yang kami modifikasi. Perlu dipahami bahwa tahapan penciptaan bersama masih bisa diintervensi. Para seniman dibebaskan untuk berimprovisasi, meski itu sudah di atas panggung sekalipun. Namun, sebelum ke situ, naskah pertunjukan sudah harus ada sebelum latihan dilakukan agar semuanya terorganisasi dengan baik. Kami berpikir, penggunaan metode artistik yang sudah ada memang seharusnya dimodifikasi terus menerus, karena sifatnya yang memang dinamis. Terlebih proses penciptaan seni yang memang membutuhkan daya kreasi. 

Bagi yang ingin membuat penciptaan serupa atau mengembangkan proses penciptaan bersama, metodenya bagai menerbangkan pesawat ulang-alik, terutama untuk mengingat kembali esensi-esensi yang dimasukkan. Adapun alur tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:

1.Menentukan/menetapkan Pertanyaan (Locating The Question)

Location the question menjadi tahap pertama yang bertujuan untuk menjelajahi pertanyaan bersama sebagai titik berangkat. Biasanya menggunakan rumus 5W+1H. Locating the question atau mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan abstrak hingga teknis mengenai gagasan atau isu dalam karya yang nantinya banyak mempengaruhi keseluruhan rencana dalam proses praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi. 

Sebelum hari workshop tiba, Rachmat meminta kesediaan seluruh teman-teman yang akan hadir untuk melakukan dua hal, yakni: (1)⁠ membaca catatan perjalanan Ibe dan Irma, kemudian membawa minimal tiga objek atau teks kalimat atas respons dari dua catatan itu. (2)⁠ ⁠⁠menuliskan/mencatat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah Rachmat buat. Dua poin tersebut didiskusikan selama workshop berlangsung dan diharapkan bisa diturunkan ke dalam bentuk-bentuk material/konkrit seperti gestur, bunyi, dan lain-lain. Adapun daftar pertanyaan yang dimaksud dapat dilihat di sini.

2. Kerja Gali Sumber (Source Work)

Upaya mencari data/informasi yang berangkat dari pertanyaan-pertanyaan titik berangkat. Dalam proses kerja gali sumber atau source works, upaya mencari data dilakukan melalui menjawab berbagai hal yang berasal dari pertanyaan-pertanyaan titik berangkat (locating the question). Proses ini menjadi sangat berkesan karena kaitannya dengan impresi dari bagaimana jawaban itu hadir. Terdapat beberapa hal yang disampaikan oleh para peserta workshop, seperti ungkapan Saleh Hariwibowo (Ale), proses menjawab berbagai pertanyaan ini menjadikan para peserta bisa mengenal lebih dekat satu sama lain. 

Impresi yang sama dirasakan oleh Waode Nurul Hasanah (Unun), performer yang akan tampil di pertunjukan. Ia mengatakan bahwa proses menjawab pertanyaan sebagai proses pembukaan diri. Alghifahri Jasin (Agi) memiliki sudut pandang yang berbeda: mengapa harus selalu soal cinta di kota ini? Hal itu menjadi salah satu keresahannya dan cukup memualkan baginya. Ya, mungkin itu benar. Sejalan dengan narasi soal kota yang selalu ada, bagaimana I Love Makassar bergema dimana-mana. Namun, apakah bentuk nyata dari cinta itu kepada kota ini? Ataukah itu hanya sekadar kata-kata belaka?

Adin menyatakan bahwa dari berbagai jawaban yang dilontarkan oleh para peserta workshop, terdapat jawaban-jawaban yang menimbulkan pertanyaan baru. Menurutnya, hal ini wajar. Bukankah kita akan selalu mempertanyakan sesuatu? Pertanyaan yang dimaksud pada kesempatan tersebut adalah bagaimana ketika peserta workshop mendengar jawaban yang dilontarkan oleh peserta lain, lalu pertanyaan di kepala pun akan hadir.

Pertanyaan itu seperti, “kenapa saya tidak menyadari hal tersebut selama ini?” atau, “mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang membuat kau merasakan hal tersebut?” serta berbagai pertanyaan yang menjadi bentuk respon akan jawaban yang diterima. Dalam proses kerja gali sumber ini, menurut Ale, “terkadang jawaban tidak memerlukan pertanyaan untuk mengetahuinya, karena jawabannya bisa mewakili suatu hal.”

Beragam impresi yang didapatkan dalam tahapan ini, termasuk kemudian bagaimana salah satu peserta workshop dari Antropos, Halisa Salsabila (Ila), mengatakan bahwa dia merasa cukup gugup dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diimbau sebelumnya dengan mengucapkannya secara langsung. Hal ini karena dari pertanyaan yang dirasa cukup banyak, sebagian besar merupakan pertanyaan personal dan utama. Banyak orang baru dalam workshop ini, tapi hal ini tidak menjadi masalah. Segala perasaan yang hadir itu valid dan diterima keberadaannya.

Jawaban-jawaban yang didapatkan dari proses kerja gali sumber disarikan menjadi kata kunci, lalu dituangkan dalam aplikasi Miro (sebuah papan tulis daring untuk kolaborasi visual) untuk dijahit kembali sehingga terhubung satu sama lain. Ragam kata kunci yang ditemukan dikategorikan berdasarkan satu lingkup. 

Dalam tahapan kerja gali sumber, cara mendeskripsikan jawaban tentang seseorang harus disertai dengan upaya membuat orang lain merasa kehadirannya diterima pada tempat itu. Hal ini dilakukan agar jawaban yang dijabarkan bisa membuat orang yang mendengarkan ikut merasakan apa yang dimaksud. Selain itu, proses membicarakan ide yang didapatkan dari upaya mencari data/informasi yang berangkat dari pertanyaan-pertanyaan titik berangkat, perlu menimbang apa yang dilakukan orang-orang selain dari diri kita sendiri.

Tampilan kelompok kata kunci dalam Aplikasi Miro (Online Whiteboard for Visual Collaboration)

3. Merumuskan Gagasan Utama (Artist Statement)

Setelah menentukan titik pijakan dan penggalian informasi. Sebuah pertunjukan mestinya merumuskan gagasan utama yang ingin disampaikan. Gagasan utama ini disebut sebagai artist statement. Fungsinya agar pertunjukan memiliki tulang punggung cerita. Perumusan bisa sangat politis dan personal. Politis secara isu apa yang akan disampaikan/dibingkai, personal artinya berkaitan dengan titik berangkat yang tidak lepas dari diri semua yang terlibat. Dalam konteks Batang-Batang Rupama, perumusan artist statement berada pada koridor politis, personal, dan estetik.

4. Improvisasi

Pengolahan kreatif yang bercorak dari hasil data menjadi berbagai bentuk (gerak, narasi, koreografi, gambar, komposisi, bunyi, dll). Hal yang penting adalah interaksi dan komunikasi antar kolaborator sehingga pengalaman estetis menjadi lebih kaya melalui pertukaran pandangan, diskusi, dan interpretasi bersama.

Sebelum melakukan improvisasi, para peserta workshop diperkenalkan beberapa materi. Salah satunya mengenai bagaimana level akan digunakan dalam proses pertunjukan termasuk dalam improvisasi. Level terbagi menjadi tiga.

  1. Level Cepat. Dalam proses ini, teks naskah dibaca cepat.
  2. Level Netral. Proses baca seperti biasanya. 
  3. Level Lambat. Proses baca dengan sangat lambat, bahkan jika sangat lambat dibaca per kata dengan menggunakan jeda dalam rentang waktu tertentu. 

Proses improvisasi pun dimulai. Penggunaan suara dari barang merupakan salah satu dari beberapa improvisasi yang ditunjukan. Salah satu bentuk improvisasi yang dilakukan oleh Akhdan (performer), dia memerankan katak. Dia terinspirasi dari bagaimana katak ketika musim kawin itu menjadi sangat ribut dan biasanya dia mendengarkan hal itu di jalanan. 

Bentuk improvisasi yang lainnya terinspirasi dari bagaimana pelecehan yang sering terjadi di jalanan. Seringkali ada laki-laki yang menyerukan, “Cewek, cewek … balek-balek dong.” Tentu hal itu sangat meresahkan. Rasanya kenyamanan di jalanan menjadi sangat terganggu. Lalu, dilakukan bentuk improvisasi sebagai respon oleh Della, peserta workshop, “Siapa kau? Memangnya kita kenal?”

Setelah proses improvisasi, refleksi pun dilakukan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa dalam melihat sudut pandang, patut adanya kesadaran bagaimana pelibatan tubuh (Bugis: watang). Tubuh dipandang menjadi beberapa bagian.

  1. Tubuh pertama: pemain. Ketika improvisasi pertama kali dilakukan, peserta workshop dipandang sebagai tubuh pertama, yaitu sebagai pemain dalam pertunjukan. 
  2. Tubuh kedua: Pemain dalam video. Dalam proses improvisasi, semua hal yang dilakukan itu direkam melalui kamera ponsel genggam. Setelah dilakukan improvisasi, video yang dihasilkan tersebut diunggah ke dalam google drive. Orang-orang dalam video tersebut dianggap sebagai tubuh kedua.
  3. Tubuh ketiga: Orang-orang yang menonton kembali rekaman pertunjukan. Video yang sebelumnya diunggah ditonton bersama oleh orang-orang yang sama dengan yang sebelumnya terlibat dalam proses improvisasi pertunjukan. Orang-orang inilah yang dianggap sebagai tubuh ketiga

Pada hari lain, improvisasi dilakukan di halaman belakang Rumata’ ArtSpace. Sebelumnya, mulai dari workshop hingga latihan improvisasi, dilakukan di dalam ruangan. Rachmat mengarahkan para performer untuk berpindah demi mencoba eksplorasi. Sebelum dilakukan improvisasi, Rachmat melakukan briefing dengan menjelaskan batasan ruang yang digunakan untuk improvisasi. Bahan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan improvisasi berasal dari hal-hal yang dibicarakan selama workshop

Ketika improvisasi berlangsung, Rachmat akan melihat kecenderungan performer. Jika ada yang masih ragu, dia akan menyampaikan, “Improvisasi! Tidak perlu berpikir, tinggalkan pikiran! Jangan ragu!” Improvisasi pun mulai berjalan. Dia memposisikan dirinya sebagai sutradara yang membebaskan performer untuk berekspresi. Namun, ketika dia melihat ada yang kurang nyaman, maka dia akan menyampaikan kalimat-kalimat pemantik. Misalnya, “tetap fokus dengarkan bicara,” ketika mengamati perkataan para performer masih terasa tumpang-tindih sehingga susah untuk memilih fokus pada dialog yang mana.

Penggunaan tempo yang berubah-ubah juga terlihat dalam improvisasi ini. “Lambat, lebih lambat, sangat lambat, gerakan biasa,” ucap Rachmat. “Saling berinteraksi, percakapan bergantian. Saling mendengarkan dan merespon. Sadar, sadar, sadar.” Dengan dilakukannya improvisasi, performer bisa menembus batas-batas yang selama ini ditetapkan dari dalam diri masing-masing. Juga dari improvisasi, proses penyusunan kata per kata menjadi kalimat pun terjadi.

Kegiatan improvisasi selalu ditutup dengan sesi refleksi dengan tujuan: (1) memperhatikan esensi-esensi yang ditampilkan karena terdapat bentuk improvisasi yang dirasa masih tumpang tindih; (2) mengetahui komposisi yang masih terhitung berat sebelah. Hal ini dilihat dari bagaimana frame improvisasi yang diciptakan; (3) memaknai bagaimana proses improvisasi yang telah dilakukan. Refleksi ini bisa mengukur sejauh mana kemajuan yang dilakukan karena adanya proses perbandingan di dalamnya.

5. Kodifikasi

Kodifikasi merupakan tahapan memilih dan menandai hasil improvisasi menjadi unit-unit peristiwa untuk disusun ulang dan dikembangkan. Kodifikasi juga dapat disebut sebagai proses menandai kalimat-kalimat yang telah diciptakan. Hasil kodifikasinya dirangkai menjadi satu paragraf utuh. Perumusan unit-unit peristiwa yang akan disusun ulang dan dikembangkan menggunakan metode locating the question sebagai pendekatan kuratorial.

Dalam konteks Batang-Batang Rupama, unit-unit peristiwa yang didapat dari hasil improvisasi adalah, (1) keresahan perempuan ketika berjalan. Terbesit kata-kata “kesunyian adalah kericuhan”, bahwa bahkan dalam kesunyian pun kita seringkali tidak merasa aman karena sering menjumpai banyak hal yang tidak mengenakkan. (2) Keluar dari kebiasaan. Biasanya semua hal dipersiapkan dari belakang. Tapi Batang-Batang Rupama mempersiapkan semuanya secara langsung dan tampil di depan. Kebingungan atas peran pun dirasakan oleh performer. Bentuk spontanitas ada di dalamnya dan hal-hal yang ingin ditunjukan dikembalikan ke diri masing-masing performer. (3) Input-input kecil bisa jadi bug. Hal sekecil apapun berpotensi untuk menjadi sebuah bug atau dalam artian lain sesuatu berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. 

6. Komposisi 

Komposisi adalah tahapan menyusun kode-kode secara estetis menjadi rangkaian adegan hingga selesai sebagai pertunjukan yang menyeluruh. Pada tahapan ini hal politis benar-benar direnungkan, baik sebagai isu maupun sebagai laku memutuskan peristiwa, bentuk, bunyi, adegan, ekspresi, dan berbagai hal yang akan dipresentasikan. Komposisi terbagi dalam beberapa unsur, yakni: (1) ruang, (2) sarana, (3) peristiwa, dan (4) pertempuran (meski diksi ini terkesan male gaze).

Komposisi yang dirumuskan untuk pertunjukan Batang-Batang Rupama berangkat dengan melihat kota sebagai ‘simbol konsumerisme’. Hal tersebut dinilai dari bagaimana realitas hari ini terkait pola konsumsi yang hadir pada setiap kita. Akhdan membayangkan pertunjukannya nanti sebagai bentuk riil dari gim yang berlatar kehidupan nyata. Ale memberikan ide untuk memunculkan eksplorasi aroma dalam pertunjukan. Unun mengemukakan fenomena adanya privilege bagi pemerintah di jalan yang terlihat ketika mereka sedang berkunjung di suatu daerah/kota selalu dikawal polisi, membuat jalanan luang agar para pejabat bisa melintas mulus, tanpa mengalami padatnya lalu lintas kendaraan. Sedangkan, Adin menyeletuk kata-kata yang cukup menghebohkan workshop, “Badminton: bad mind town!” 

Zizi, penulis naskah pertunjukan, merasa bahwa Batang-Batang Rupama merupakan bentuk respon positif akan berbagai ‘kekacauan’ yang ada di kota ini (baca: Makassar). Rachmat juga membayangkan bagaimana  posisi dalam memandang nama-nama jalan yang cukup militeristik sebagai bentuk kritik. Kode-kode yang tersusun sebagai komposisi pun masih sangat terbuka untuk diintervensi. Rachmat menyebut beragam cerita kota akan ditampilkan melalui narasi dan visualisasi: keresahan, kerusuhan, keramaian, dan keberagaman. Berbagai kata kunci yang telah dikodifikasi dan disusun menjadi komposisi peristiwa yang akan dipentaskan dirangkai dalam naskah pertunjukan. Saat naskah pertunjukan telah selesai, improvisasinya masih tetap mungkin dilakukan hingga menjadi rangkaian adegan yang dipresentasikan dalam pertunjukan yang menyeluruh.

3. Finalisasi Naskah

Sejak awal, Batang-Batang Rupama dihadirkan sebagai karya lewat proses penciptaan bersama. Naskah pertunjukannya pun dibuat secara bersama dan mengalami proses penggarapan bersama. Naskahnya pun mengalami perubahan di hampir setiap latihan. Olehnya itu, finalisasinya justru dilakukan di luar dari agenda workshop dan latihan.

Proses penyelesaian naskah sekurang-kurangnya melibatkan sutradara, peneliti, penulis skenario, dan artistik pertunjukan. Pelibatan empat elemen ini untuk menggali dan tetap meletakkan dasar utama gagasan dan kemungkinan pengembangannya. Sutradara sebagai peletak dasar utama, peneliti mendukungnya dengan data dan konteks isu yang ingin diangkat, penulis naskah menyusun rangkaian peristiwanya, dan tim artistik yang akan merespon naskah dengan persiapan teknis yang estetik. Finalisasi naskah kembali melihat bagaimana latar belakang dari para performer. Pembicaraan mengenai detail-detail penting lainnya juga dibahas, termasuk bagaimana persiapan teknis pertunjukan untuk memunculkan beragam makna yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, pemilihan detail-detail tersebut menjadi hal yang sangat politis.

Beberapa bagian dalam naskah kadang keluar dari narasi utama. Kehadiran praktik kolaborasi sebagai metode penggalian detail membantu agar naskah tidak terlepas dari ide utama pertunjukan. Misalnya, dalam naskah Batang-Batang Rupama, kehadiran isu reklamasi yang cenderung mendominasi dan menimbun isu utama terkait jalan. Tapi dengan kerja bersama, naskah bisa dibawa kembali ke jalur utamanya. 

4. Latihan Pertunjukan

Latihan performans lintas-media membuka kemungkinan dari para pemuda untuk berlatih tubuh, rasa, pikiran mereka dari berbagai disiplin untuk mempresentasikan diri mereka secara langsung. Proses latihan dibuka dengan pengingat bahwa seseorang yang sedang memperagakan gestur diusahakan untuk sejalan dengan narasi yang ingin disampaikan. Misalnya, apabila narasinya soal perempuan, maka yang membawakannya perempuan juga. 

Pada proses latihan, sutradara dan penulis naskah mengarahkan performer untuk membayangkan soal tubuh imaji. Misalnya, dengan arahan Rachmat dan Zizi, improvisasi tubuh imaji dilakukan oleh para performer dengan menggunakan objek kelereng dan kupu-kupu. Performer diajak membayangkan bagaimana masing-masing dari dua hal tersebut masuk ke dalam tubuh. Respons tubuh terhadap objek yang masuk ke tubuh menjadi improvisasi baru dan memberikan pemahaman tentang tubuh imaji. Proses latihan juga tetap memperhatikan detail-detail seperti level, bentuk, arah, dan sebagainya. Melalui improvisasi dalam latihan, para performer akan tahu bagaimana arahan tubuh imaji tersebut membentuk tubuh, kemudian membentuk berbagai objek. 

Dilus, salah satu performer, mengatakan bahwa terdapat suatu perasaan ‘aneh’ yang dia rasakan ketika ada objek (baca: kelereng dan kupu-kupu) masuk ke dalam tubuh. Dia bingung apakah ingin membiarkannya bereaksi dalam tubuh atau merelakan benda tersebut keluar dari tubuh. Unun mengatakan bahwa tubuh imaji itu terasa seperti bagian dari tubuh juga, apalagi didukung dengan musik yang terdengar. Menurut Agi, improvisasi tubuh imaji menjadikannya bisa merasakan masing-masing letak tubuhnya dan ada usaha untuk bertahan dalam kondisi itu. Dia merasakan objek itu berjalan dalam tubuhnya, di mana dia harus bertahan dengan rasa geli dan berat. Hal ini sebenarnya tergantung pada bagaimana kontrol tubuh kita masing-masing terhadap kondisi apa yang dihadapi. Dalam artian lain, respons yang dikeluarkan tubuh melibatkan bagaimana otoritas kita atas tubuh. Apakah kita ingin menebalkan, melebarkan, ataupun menyempitkannya.

Performer berlatih memeragakan gestur, yang mana gestur sekecil apapun dapat menunjukkan makna. Gestur yang dipertontonkan terkait suatu isu atau keresahan jika dibawakan dengan sangat apik, seringkali bisa menimbulkan trigger bagi orang-orang yang mengalami hal tersebut. Hal itu wajar karena proses riset-kurasi melibatkan banyak hal yang membuat hasil yang didapatkan terasa begitu dekat. Apa yang bisa dilakukan terhadap perasan tersebut adalah menerima kehadirannya.

Penggunaan objek dalam latihan pertunjukan merupakan salah satu yang penting untuk diperhatikan. Penggunaan objek dalam latihan pun seringkali diintervensi, seperti bagaimana mengurangi objek agar menghindari penggunaan barang yang dirasa kurang relevan atau bahkan menambahkan satu objek besar yang dirasa cukup politis keberadaannya.

Batang-Batang Rupama juga melihat bagaimana ruang menjadi hal yang sangat krusial bagi warga: menelisik bagaimana keberadaan pete-pete hari ini merupakan salah satu perbincangan dalam proses latihan, termasuk perasaan ketika berada di dalam dan luar pete-pete. Tidak lupa pula membicarakan bagaimana suasana di sekeliling ketika berada di jalan, baik ketika sedang dalam membawa kendaraan atau berjalan kaki.

Proses kurasi apa saja yang ingin dimasukan dalam latihan pertunjukan, diperlukan untuk memetakan hal-hal bersifat sosio-ekologis yang didapatkan ketika proses workshop berlangsung. Dengan maksud bahwa di dalamnya mengkaji terkait bagaimana masyarakat yang dinamis dan beradaptasi terhadap berbagai faktor, seperti kondisi alam, sosial ekonomi, budaya, dan berbagai hubungan yang ada dan berinteraksi dalam berbagai skala spasial, temporal, dan organisasi. Kesadaran komunal juga penting untuk diperhitungkan demi mewujudkan berbagai kepentingan bersama.

5. Persiapan Materi Multimedia Pertunjukan

Persiapan materi multimedia dimulai dengan perbincangan awal tentang bagaimana pertunjukan akan dibuka dengan hadirnya para aktor di tengah penonton yang hadir dan ditutup dengan penampilan Kapal Udara. Estetika Batang-Batang Rupama berasal dari bagaimana penggabungan berbagai elemen dengan ciri khas tiap performer. Namun, tetap perlu dipahami bahwa ukuran estetika terhadap suatu hal bersifat dinamis.  

Jasmin, performer sekaligus penata visual, mengumpulkan berbagai bahan visual dan memasukkannya ke dalam bank visual terlebih dahulu sebelum diolah menjadi animasi. Pengerjaan animasi sejalan dengan bagaimana penataan pencahayaan yang sesuai dengan nuansa yang ingin dihadirkan pada masing-masing bagian pertunjukan.

6. Presentasi Karya/Pertunjukan

Pertunjukan yang telah disusun akan dipersembahkan kepada penonton. Tahapan ini adalah bagian yang krusial dalam proses penciptaan karya. Ia menentukan banyak perasaan yang akan hadir atas segala proses yang telah dilalui. Presentasi karya menjelma sebagai ruang percakapan seniman dengan penonton. Oleh karena itu, sebaiknya dalam proses presentasi, penting untuk dipikirkan, “siapa yang akan menonton?” Seniman harus membayangkan bagaimana penonton akan hadir dan memperhatikan hal-hal politis juga estetis yang ingin dihadirkan.

Dalam konteks Batang-Batang Rupama, presentasi karya kepada publik selama tiga hari di Echalote telah menjadi tahapan mengembalikan pengetahuan kepada warga. Penonton diberi pengalaman baru menyaksikan dan mengalami pertunjukan karya dalam bentuk silang media (hybrid). Sikap yang memposisikan pertunjukan sebagai cara pengembalian pengetahuan warga dan medium penyajian karya dalam bentuk silang media, dapat dilihat sebagai hal yang politis dan estetis.

Swastika menyatakan bahwa gagasan atas bentuk karya hybrid tidak lagi mempertentangkan oposisi-oposisi biner seperti Barat/Timur, tradisional/kontemporer, mesin/manusia, native/non-native, analog/digital, melainkan menciptakan bentuk-bentuk baru yang memungkinkan kita untuk bersikap terbuka terhadap berbagai pengaruh, praktik, dan diskursus yang sifatnya chaotic. Dalam hal proses penciptaan karya, metode-metode yang sifatnya linear, tunggal, atau mengakar pada satu konvensi saja, menjadi tidak relevan dalam dunia yang saling bercampur-campur seperti sekarang. (Bdk. Swastika, 2023:85)

Meminjam pandangan Peter Weibel, seorang kurator dan seniman praktisi media baru, Swastika menyebut kecenderungan praktik lintas disiplin sebagai kondisi pascamedia (post-medial condition). Konsekuensi yang tidak terhindarkan dari kondisi pascamedia adalah lahirnya publik, pengunjung, dan pengguna yang lebih berdaya. Kondisi pascamedia menawarkan kesejajaran posisi antara mereka yang profesional dan amatir sebagai subjek. Bagi Swastika, paparan Weibel menjadi sebuah argumen yang menarik untuk membaca apa yang terjadi dalam fenomena relasi antara seniman dan penonton.

Demokratisasi penonton melalui seni media menjadi penanda penting bagi hilangnya gagasan tentang seni yang kriterianya berbasis “aura”, dan penonton menjadi pihak yang berjarak dengan proses penciptaan. Penonton seringkali menjadi bagian dari sebuah peristiwa seni tidak dalam kesadaran untuk sepenuhnya mencerap makna, tetapi demi “pengalaman” itu sendiri (Swastika, 2023:90).

Swastika menyebut indikator keterlibatan penonton dapat dilihat dari bagaimana mereka berada dalam peristiwa ketersesatan bersama: sebuah pengalaman tubuh yang berada dalam ambang kesadaran dan ketidaksadaran, antara penghayatan dan pemaknaan. Pada titik ini, pengalaman kolektif menjadi salah satu faktor yang berpotensi membuka peluang munculnya pemahaman, pemaknaan, dan pada akhirnya membuat penonton punya posisi yang lebih berdaya (Bdk. Swastika, 2023:91).

Pelibatan penonton dalam pertunjukkan secara aktif seperti ini disebut sebagai socially engaged art.

7. Penerbitan Modul dan Dokumentasi

Untuk meneruskan metode proses artistik, perlu diterbitkan modul yang berisi rangkaian proses penciptaan hingga distribusi karya. Modul juga dilengkapi dengan catatan refleksi terhadap pertunjukannya agar dapat menjadi bahan penyusunan kurikulum dan mewujudkan program yang berkelanjutan.

Pembahasan pengembangan modul menekankan pada pentingnya proses dan potensi kolaborasi. Perekaman rangkaian proses bisa dilakukan dengan menyusun log process. Di sinilah salah satu tugas penting lainnya yang harus dilakukan peneliti/penulis yang bertugas untuk mengarsip seluruh rangkaian pertunjukan yang akan disusun dalam sebuah modul. Penyusun modul perlu menyoroti setiap yang terlibat, terutama proses pengambilan keputusan artistik, peran penulis naskah, dan sebagainya. 

Perlu dipertimbangkan dalam menyusun modul ini ada sebuah proses co-creation yang menekankan pentingnya kontribusi individu dan arah keseluruhan proyek. Konsep modul perlu memperhatikan peran dan kontribusi setiap orang sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Modul sebaiknya berfokus pada narasi tentang apa yang mendorong proyek ke depan, daripada siapa yang bertanggung jawab secara langsung.

 

Referensi

Kent, Elly. 2023. “Epilogue: Future Tense”. Living Art: Indonesian Artists Engage Politics, Society and History. Australia: ANU Press.

Swastika. 2023. Dari Protes ke Proses: Praktik Seni Pasca Reformasi. Yogyakarta: Warning Books.

Rahmady, Abi Rahma dkk. 2023. Praktik Mendahului Kata: Yang Penting Capek (Cara Ampuh Praktik Estetika Kolektif). Jakarta: Majelis Buku Estetika Kolektif.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Batang-Batang Rupama: Perjalanan Penciptaan Pertunjukan Bersama, Abdul Masli, dkk. dari Studio Patodongi menulis sebuah modul penciptaan bersama karya […]

Kalender Postingan

Jumat, Desember 27th