Mantra Putih Perisai Diri: Usaha Perempuan Cijulang Menghadapi Kerentanannya

Urang teh salawasna kudu caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket.

Peribahasa Sunda yang berarti “siap siaga dan waspada menghadapi marabahaya baik fisik maupun batin” itu disampaikan Daryanti (bukan nama sebenarnya), ketika kami bersua pada penghujung 2021 lalu. Perempuan berusia 57 tahun ini merupakan kerabat dekat orangtua saya yang tinggal di kampung halaman kami, Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Pada perbincangan yang akrab selepas Isya itu, ia memperingatkan saya agar selalu waspada saat pulang kampung. Terlebih, menurutnya saya di mata penduduk sekitar tergolong perempuan muda yang sukses di rantau dan belum menikah.

“Kita tidak tahu isi hati orang,” tuturnya dalam bahasa Sunda. “Ada yang senang, tetapi ada yang diam-diam menyimpan kedengkian. Orang dengki itulah yang harus diwaspadai karena dapat mencelakakan. Mereka bisa membunuh tanpa menyentuh.”

Selama masa hidupnya, Daryanti cukup sering menerima teror magi hitam dari keluarga maupun segelintir tetangga. Teror tersebut dapat dirasakan apabila ia tengah mendapatkan suatu anugerah. Ia dan suaminya pernah bertengkar sangat hebat karena tiba-tiba saling membenci. Ia merasa hatinya panas hareudang (panas dan gerah) tanpa sebab. Menurut pengakuan beberapa orang, perasaan tersebut kerap timbul pada korban magi hitam. Hal itu pun kemudian diperkuat oleh adanya taneuh sasaeuran di kolong kursi ruang tamu, beberapa hari setelah kedatangan anggota keluarga yang terang-terangan mendengki kepadanya.

Pembicaraan spontan dengan Daryanti itu kemudian membawa saya menelusuri secara mendalam terkait pewarisan mantra dan penerapannya di Kabupaten Pangandaran, yang ditulis menjadi beberapa artikel. Pada penelusuran ini, saya memperoleh informasi dari beberapa narasumber perempuan Sunda yang lahir dan besar di Kota Cijulang. Namun, dalam tulisan ini saya tidak dapat menuliskan nama terangnya dengan alasan privasi dan keamanan.

Sebelum itu saya sedikitnya pernah mendengar soal beberapa “kejahatan pendengki” yang dimaksud Daryanti, dari penuturan beberapa orang. Sekitar tahun 2000-an, salah seorang perempuan di desa tetangga meninggal dunia dengan cara tidak wajar. Ia menderita sakit yang parah selama hampir 2 tahun. Saat meninggal, wajah dan badannya menghitam seperti terbakar. Konon, ia dikirimi santet oleh rekan kerjanya yang iri karena ia dilantik menjadi kepala sekolah.

Diceritakan pula bahwa pelaku santet bisa menyebarkan magi hitamnya di berbagai tempat untuk menjebak target ke dalam perangkapnya. Magi hitam tersebut biasanya disimpan pada media makanan di warung langganan target, angkutan umum, pangkal jalan menuju rumah, benda klenik yang dikubur dekat rumah, barang pemberian, dan taneuh sasaeuran atau tanah kering yang diambil untuk dihamburkan di rumah target. Selain itu, ada pula magi hitam yang dirapalkan langsung di hadapan target berupa mantra-mantra.

Bagi Daryanti, menjadi perempuan tak cukup bermodal cantik tetapi juga harus punya jampe pamake (mantra yang dipakai) dan ulah bolostrong (jangan terlalu polos). Ia diwariskan mantra oleh ibunya sejak remaja yang di antaranya adalah serangkaian “mantra putih” untuk perisai diri. Mantra tersebut harus dirapalkan dalam berbagai aktivitas sehari-sehari, terutama dalam interaksi sesama manusia.

Mantra pertahanan diri yang diwarisi Daryanti hanya diturunkan kepada perempuan yang memiliki hubungan keluarga, misalnya dari ibu ke anak perempuan, dan sebagainya. Tidak semua perempuan dalam keluarga tersebut dapat mewarisinya. Pemangku tradisi aktif dapat memilih calon pewaris berdasarkan keakraban hubungan, kepercayaan, rasa kasih, dan apabila diminta secara serius. Ia menurunkannya secara sukarela. Mantra tersebut tidak dikomersilkan kepada khalayak seperti halnya dukun.

Istilah “diwarisi” bukan berarti tanpa syarat. Pewaris yang tepat adalah yang telah menunaikan semua syarat dan pameuli. Pameuli adalah syarat wajib penebus mantra dengan ritual tertentu agar dapat diambil manfaatnya. Salah satu syaratnya yang paling dasar adalah ritual mandi penyucian diri, puasa wedalan (hari lahir), maupun puasa mati geni (puasa berturut-turut selama berhari-hari tanpa berbuka).

Kenyataan tersebut selaras dengan yang dijabarkan dalam penelitian Bagbagan Puisi Mantra Sunda oleh Yus Rusyana yang mengungkapkan bahwa kepercayaan terhadap alam supranatural berdampak pada keyakinan terhadap mantra. Masyarakat Sunda ada yang meyakini bahwa mantra dapat memberikan manfaat bagi penggunanya, sehingga mantra terikat dengan segala aktivitas keseharian masyarakat.

Biasanya,  mantra-mantra yang dimiliki tersebut menggunakan bahasa daerah masing-masing dan ada pula yang dipengaruhi oleh bahasa asing tertentu. Pada umumnya, mantra pertahanan diri digunakan sebagai doa untuk memohon perlindungan kepada Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantara makhluk gaib.

Di samping tradisi bermantra, Daryanti dan pengguna lain yang juga mewariskan mantra pertahanan diri, mengamalkan sebuah laku paling dasar secara turun-temurun dari leluhur. Praktik ini lumrah dilakukan sejumlah perempuan Sunda di beberapa wilayah Kabupaten Pangandaran, di antaranya:

  1. apabila tiba-tiba timbul perasaan berkecamuk, hendaknya membaca ta’awudz dan basmallah, kemudian membasuh muka dengan air seni dan meminumnya sedikit. Air seni dipercaya dapat melunturkan pengaruh mantra jahat;
  2. jika diberi atau membeli makanan dan minuman dari orang yang dicurigai memiliki magi hitam, maka makanan dan minuman tersebut harus dilangkahi minimal tiga kali. Lebih baik lagi jika dibakar sedikit, serta tidak lupa selalu diawali ta’awudz dan basmallah;
  3. jika diberi barang atau makanan langsung oleh orang yang diketahui memiliki magi hitam dan terbukti sering merugikan orang lain, maka barang tersebut harus dibakar habis dengan mengucapkan ta’awudz, basmallah, serta mengucapkan niat melindungi diri dari kejahatan dan semoga keburukan ilmu hitam tersebut kembali pada yang mengirimnya;
  4. membuang air seni di pangkal jalan menuju rumah. Langkah ini dipercaya dapat meleburkan magi hitam yang disebarkan pelaku di sepanjang jalan;
  5. mengamalkan ajaran agama dalam rangka menjaga diri dari kejahatan jin, setan, dan orang-orang dengki (membaca kitab suci, memperhatikan adab tidur, bersuci, dan sebagainya).

Kerentanan perempuan dalam hal ini tidak lepas dari mengakarnya perspektif soal tiga simbol yang mewakili prestise keluarga, yaitu harta, tahta, dan wanita. Selain itu, dari kacamata tafsir tertentu dalam Islam, perempuan dikatakan sebagai “perhiasan dunia” apabila bertingkah laku sesuai syariat Islam, patuh kepada suami, betah di rumah, dan salih. Di sisi lain perempuan dapat menjadi sumber fitnah apabila ia berkiprah “di luar rumah”, mempunyai kelebihan dari segi fisik, dan memiliki popularitas.

Misalnya, perempuan yang berkarier baik dan berdaya akan menjadi sosok yang membanggakan keluarga serta dihormati masyarakat. Namun, tidak semua mengapresiasinya secara positif. Bagi segelintir masyarakat, perempuan yang berdaya dapat menjadi pemicu rasa insecure laki-laki dan perempuan lain sehingga menimbulkan kedengkian. Hal ini bisa jadi disebabkan ketimpangan sosial. Tidak semua perempuan di kota Cijulang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi atau dianugerahi kehidupan ideal seperti tercukupinya kebutuhan lahir dan batin dalam rumah tangga, kecantikan, harta, popularitas, dan karier.

Serangan magi hitam pada perempuan dapat dikirimkan oleh lawan jenis, sesama perempuan, anggota keluarga, saingan, teman, maupun orang yang baru dikenal. Ada pun tujuan serangan tersebut di antaranya membuat korban terlihat menjijikkan, susah mendapat jodoh, rusak rumah tangganya, tidak akur keluarganya, dicemooh, runtuh kariernya, mengidap penyakit misterius, hingga meninggal dunia. Oleh karena itu, beberapa perempuan bersuku Sunda di Cijulang mengaku memakai “mantra putih” sebagai perisai diri.

Dilihat dari fenomena sosial seperti itu, dapat dikatakan ada ketimpangan “keamanan” antara laki-laki dan perempuan. Mengapa harus perempuan? Mengapa laki-laki tidak serentan itu, sehingga tidak harus memproteksi dirinya dengan mantra-mantra sebagaimana perempuan?

Motif gangguan magi hitam terhadap perempuan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin pelaku. Motif pelaku laki-laki kebanyakan adalah harga dirinya terusik oleh perempuan, seperti cinta ditolak atau merasa insecure karena status sosial perempuan yang ditaksirnya lebih tinggi baik dari segi harta maupun jabatan profesi. Sedangkan motif pelaku perempuan mayoritas disebabkan insecurity terhadap kelebihan perempuan lain dari segi kecantikan, kekayaan, popularitas, dan keharmonisan rumah tangga. Selain itu, tidak sedikit pula perempuan bersuami merasa terganggu oleh hadirnya perempuan berstatus single maupun janda, apalagi jika dipandang memiliki kelebihan yang dikhawatirkan berpotensi menjadi orang ketiga rumah tangganya. Kecurigaan seperti ini acapkali tidak berdasar.

Perjumpaan dengan Daryanti mengingatkan saya kepada pemikiran Kluckhohn, seorang antropolog Universitas Harvard tentang nilai budaya dalam folklor.

Teori Klukhon soal nilai budaya yang diuraikan dalam buku karya Endraswara berjudul Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi menyebutkan bahwa manusia yang berbudaya tak terpisahkan dengan relational (hubungan manusia dengan sesama) dan man-nature (hubungan manusia dengan alam sekitar).

Relational menggambarkan interaksi dan keterkaitan sesama manusia dalam hubungan sebab-akibat. Pun demikian dengan man-nature, hidup manusia melekat dengan eksistensi alam. Dalam hal ini, ada pihak yang berperan sebagai active bearer of tradition (pemangku aktif tradisi) dan passive bearer of tradition (pemangku pasif tradisi). Dalam realitas yang saya temui di Kota Cijulang, keterkaitan relational dengan man-nature salah satunya tergambar dalam praktik merapal mantra yang dilakukan oleh banyak perempuan. Daryanti adalah contoh active bearer of tradition, yang secara sadar berpartisipasi sebagai pewaris tradisi terkait, yang menjaga, mempraktikkan, sekaligus mewariskannya kepada generasi setelahnya.

Eksistensi magi hitam di Kota Cijulang dapat dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang di kota kecil itu tampak menampilkan citra damai dan penuh kehangatan. Jika tidak diceritakan oleh orang-orang seperti Daryanti, saya tidak akan mengetahui bahwa banyak perempuan yang dibayang-bayangi keresahan terhadap gangguan magi hitam.

Namun, berdasarkan informasi dari berbagai pihak, magi hitam yang dipakai justru asalnya bukan dari pusat kota Cijulang, melainkan dari desa-desa sekitar yang santer sebagai pusatnya dukun santet. Masyarakat dan beberapa media massa pernah dibuat geger oleh pembantaian terduga dukun santet pada tahun 1998 di Kabupaten Pangandaran. Sungai Ciwayang, yang kini menjadi objek wisata olahraga air, menjadi saksi bisu tubuh-tubuh manusia terikat dalam karung dan ditenggelamkan hidup-hidup. Menurut Daryanti, perempuan dusun dari berbagai usia adalah manusia yang paling rentan terhadap gangguan. Anehnya, serangan yang diterima mereka bukan bersifat fisik, melainkan “merusak individu secara gaib.”

Para pengguna mantra perisai diri seperti Daryanti, menganut agama Islam dan menjalankan ibadah seperti muslim pada umumnya. Namun, dalam kesehariannya ia tidak memisahkan keyakinannya dengan tradisi bermantra yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Menurutnya, magi hitam telah eksis jauh sebelum kedatangan Islam. Maka, di samping berdoa sesuai ajaran Islam, magi hitam harus dilawan pula dengan cara tradisional yang sama buhun-nya (kuno).

Jenis-jenis Mantra Pertahanan Diri dan Fungsinya

Mantra pertahanan diri yang diwariskan kepada Daryanti dan beberapa perempuan Sunda lainnya terdiri dari beberapa jenis. Selain di Kota Cijulang, mantra-mantra di bawah ini pun eksis di beberapa wilayah sekitarnya. Menariknya, mantra-mantra pertahanan diri ini mengandung konten Islami. Ajaran bermantra merupakan tradisi buhun yang diwariskan secara turun temurun jauh sebelum agama-agama samawi (Islam, Kristen) datang. Teks mantra mengandung unsur pemujaan dan pengharapan pada kekuatan alam maupun makhluk gaib seperti dalam kepercayaan animisme dan dinamisme.

Menurut Fathurahman dalam buku Filologi Indonesia: Teori dan Metode, Islam baru masuk ke Indonesia pada awal abad ke-14. Dalam ajaran Islam, bertauhid atau mengesakan Tuhan adalah mutlak. Tauhid merupakan landasan utama beragama. Allah adalah tunggal, tidak boleh disandingkan segala makhluk atau hal apapun yang dipercaya mengandung kekuatan.

Dalam bermantra, terdapat pengharapan dan pemujaan terhadap sumber kekuatan selain Allah. Hal ini terkandung dalam teks maupun ritus pengiringnya. Salah satu ritusnya adalah praktik pewaris mantra menebus pameuli dengan menjalankan puasa di luar perintah Islam dan bersaji pada waktu tertentu. Maka, adanya konten islami yang berkolaborasi dengan mantra disinyalir sebagai asimilasi agar tradisi tersebut tidak dimaknai sebagai ilmu hitam dan kemusyrikan, serta dapat diterima masyarakat.

  1. Mantra Mandi
A’udzu billahi minasy syaitonirrojiim

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Ya ingsun niat adus mandi

Dicucunduk bentang timur

Dikarang bentang sumaga

Nyurup mebyar kawas bidadari medal

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Aku berniat membersihkan diri

Berkonde bintang timur

Dironce bintang sumaga

Bersinar cemerlang seperti bidadari menjelma

 

Mantra di atas dirapalkan sebelum mandi, sebagai bagian dari ritual penyucian lahir dan batin. Tujuan utamanya adalah membersihkan hal-hal buruk yang bersifat magis di dalam diri dan menangkal keburukan dari mantra-mantra jahat. Mantra ini pun dipercaya dapat menambah pesona bagi perempuan yang menggunakannya.

Mantra mandi di atas menunjukkan percampuran ajaran Islam dan budaya setempat. Baris pertama dan kedua mantra mandi adalah kalimat ta’awudz dan basmallah, yang dalam agama Islam merupakan adab pembuka membaca kitab suci Al Quran. Menurut sesepuh setempat, terjadinya asimilasi budaya leluhur dengan ajaran Islam merupakan penanda mantra putih sebagai lawan magi hitam.

Mantra biasanya berisi kata-kata berdaya magis, rayuan, dan harapan. Pada kalimat “nyurub mebyar kawas bidadari medal” mengandung makna sang perapal mengharapkan kecantikan seperti bidadari. Di samping itu, mereka merasa lebih “aman” menampilkan kecantikannya karena telah dilindungi kekuatan magis.

  1. Mantra Seuweu Camat

 

A’udzu billahi minasy syaitonir rojiim

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim

 

Pur puyuh pur kasintu

Treup kana pakalongan aing

Seuweu camat nu ngabancana

Teu kawelas teu kaasih

Mangka welas asih….(sebut ngaran anu dituju)

ka badan aing… (sebut ngaran sorangan)

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Terbanglah puyuh terbanglah ayam hutan

Hinggap di jendela kamarku

Titisan camat yang mengguncang

Bukan belas bukan kasih

Berbelaskasihlah….(sebut nama orang yang dituju) pada diriku yang bernama… (sebut nama sendiri)

 

Mantra Seuweu Camat dirapalkan sebelum berangkat kerja atau menghadiri acara penting. Istilah “seuweu camat” menunjukkan keinginan perempuan terhadap kekuatan dan kewibawaan seumpama pemimpin suatu wilayah. Perapalnya berharap agar dikasihi, dilindungi, dihargai, dihormati, dan tidak dipandang sebelah mata khususnya di tempat kerja atau di suatu acara.

  1. Mantra Diuk Ratu
A’udzu billahi minasy syaitonir rojiim

 

Bismiilahirrahmaanirrahiim

 

Diuk aing diuk ratu

Emok aing emok batara

Ngeundeuk-ngeundeuk srangenge medal

Ti peuting aing ku sia kaimpi

Ti beurang aing ku sia karasa

Hayu urang baralik jeung aing

Mangka welas asih ka badan aing… (sebut ngaran sorangan)

 

 

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Duduk aku duduk ratu

Simpuhku simpuh batara

Mengayun-ayun matahari terbit

Saat malam aku kau impikan

Saat siang aku kau rasakan

Marilah kalian pulang denganku

Berbelaskasihlah pada diriku… (sebut nama sendiri)

Fungsi mantra Diuk Ratu (Duduk Ratu) hampir sama dengan Seuweu Camat. Bedanya, sasaran mantra ini adalah orang jamak di sekelilingnya. Mantra ini digunakan pada saat menemui orang penting, pentas di panggung, dan menghadiri acara besar.

Pada kalimat “diuk aing diuk ratu” dan “emok aing emok batara” menyiratkan harapan perempuan Sunda untuk dapat tampil anggun, memesona, dan terhormat di hadapan relasinya sebagaimana sesosok dewi maupun ratu. Selanjutnya, pada kalimat “ti peuting aing sia kaimpi” dan “ti beurang aing ku sia karasa” menandakan keinginan untuk selalu dikenang sebagai perempuan yang menarik. Harapannya, kesan baik tersebut dapat melindunginya dari hinaan.

Mantra Diuk Ratu pun digunakan perempuan ketika menghadapi orang yang berperangai kasar agar lunak hatinya dan memperlakukannya dengan baik. Targetnya meluluskan niatnya, serta bentuk waspada terhadap segala keburukan orang yang dimaksud, terutama kejahatan yang tak kasat mata.

  1. Mantra Sagara Geni
A’udzu billahi minasy syaitonir rojiim

 

Bismiilahirrahmaanirrahiim

 

Allohumma puji giling bagusti

Latarku sagara geni

Musnah ku kersaning Allah

Laaillahaillalohu

Muhammadarrosulullah

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Allohumma puji giling bagusti

Latarku lautan api

Musnah atas kehendak Allah

Tiada Tuhan selain Allah

Muhammad adalah utusan Allah

 

Mantra Sagara Geni (Lautan Api) dirapalkan untuk melindungi diri dari kejahatan setan kiriman dari orang yang bermaksud jahat maupun penunggu tempat angker. Mantra ini bukan doa pencegahan, melainkan sebagai perlawanan. Oleh karena itu, mantra ini hanya diucapkan ketika seseorang telah merasakan ancaman nyata dari gangguan setan. Narasumber menuturkan bahwa setelah merapal mantra, gangguan jahat tersebut berangsur hilang dan memberikan sugesti keberanian.

Pada kalimat “latarku sagara geni” menyiratkan kekuatan perapal mantra di hadapan lawan. Dalam kepercayaan agama Islam, setan diciptakan Tuhan dari api dan akan dilawan dengan panah yang terbuat dari panas bintang-bintang jika mengucapkan ta’awudz. Maka, perapalnya berharap dirinya dapat sekuat panah itu untuk melawan gangguan setan atas kehendak Allah.

  1. Mantra Maung Kuru
A’udzu billahi minasy syaitonir rojiim

 

Bismiilahirrahmaanirrahiim

 

Asihan aing si Maung Kuru

Maung datang sideku

Gajah galak datang depa

Sima aing sima maung

Sima aing sima manusa

Mangka kasima sia ku nu ngaran…(sebut ngaran sorangan)

Mangka welas asih ka badan aing.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Asihan aku si Maung Kuru

Harimau datang bertekuk lutut

Gajah buas datang mendekam

Kharismaku kharisma harimau

Kharismaku kharisma manusia

Tercenganglah kamu akan diriku yang bernama… (sebut nama sendiri)

Berbelaskasihlah pada diriku

Mantra Maung Kuru dirapalkan ketika menghadapi manusia yang mengancam secara langsung di hadapan dirinya. Pada zaman dahulu, mantra ini dipakai perempuan saat hendak bertarung. Melalui mantra ini, subjek memohon perlindungan kepada Allah SWT seperti yang tersurat dari baris ke satu dan kedua mantra. Selain itu, mantra ini mengandung kekuatan magis yang bersumber dari kekuatan alam, yaitu sosok harimau (maung) gaib.

Gustaman, dalam artikelnya “Antara Mitos dan Realitas: Historisitas Maung di Tatar Sunda”, menuliskan bahwa maung adalah binatang mitologis yang amat dihayati oleh masyarakat Sunda. Di beberapa tempat, maung dipercaya sebagai jelmaan raja terbesar Kerajaan Padjajaran, Prabu Siliwangi. Selanjutnya, Wessing, dalam artikelnya yang berjudul “A Change in the Forest: Myth and History in West Java” menjelaskan tentang penjelmaan maung yang tidak lepas dari perseteruan Prabu Siliwangi dengan anaknya, Prabu Kean Santang. Kean Santang mengejarnya sebagai upaya untuk mengislamkan Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya. Pengejaran ini berakhir di Hutan Sancang, Garut Selatan. Di tempat tersebut, Prabu Siliwangi diyakini berubah menjadi seekor harimau putih dan pengikutnya menjadi harimau Sancang.

Sebagian masyarakat Sunda kota Cijulang percaya bahwa leluhur mereka pun bereinkarnasi menjadi maung gaib. Makhluk gaib ini berperan sebagai penjaga atau dhanyang bagi keturunan-keturunannya. Daryanti mengatakan bahwa kakeknya menjelma maung gaib dan dapat dipanggil dengan mantra Maung Kuru.

Kepercayaan terhadap harimau gaib menjadikan mantra ini harus mendapat perlakuan khusus oleh pewarisnya. Manusia dan makhluk gaib ini memiliki hubungan transaksional yang harus dipelihara dengan ritus tertentu. Mantra ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai mantra perlindungan dan pemanggilan. Fungsi mantra sebagai perlindungan bertujuan melemahkan nyali lawan. Ada kalanya lawan tidak perlu bertarung fisik karena tiba-tiba luluh hatinya atau ada suatu peristiwa ajaib yang mengakibatkan hal buruk tersebut urung terjadi.

Fungsi mantra sebagai media pemanggilan adalah mengundang kekuatan magis yang bersumber dari harimau gaib. Jika dipanggil, harimau gaib ini akan merasuk ke tubuh si pemanggil dan memberinya kekuatan untuk menghancurkan lawan. Kalimat “maung datang sideku” dan “gajah galak datang depa” merupakan cerminan harapan bagi perapalnya agar sekuat apapun lawan di hadapannya dapat bertekuk lutut dengan mudah. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat sugestif bahwa sang perapal memiliki “sima maung” yang berkolaborasi dengan “sima manusia” sebagai simbol kedigdayaannya.

Sudut Pandang Pemangku Tradisi Pasif (passive bearer of tradition)

Dari sudut pandang pemangku tradisi pasif mantra pertahanan diri, ada sosok Arini (bukan nama sebenarnya). Pemangku tradisi pasif merupakan pewaris yang tidak mempraktikkan tradisi yang diwarisinya. Dengan kata lain, tradisi tersebut berhenti padanya dan tidak ditransmisikan. Arini mengaku bahwa dirinya mengetahui sang ibu memakai mantra perisai diri dan mewariskannya. Ia pun sempat memakainya selama remaja. Namun, perempuan yang kini berusia 33 tahun itu memilih tidak melanjutkan memakai mantra tersebut karena merasa bertentangan dengan ajaran Islam yang dianutnya. Ia yakin bahwa dzikir maupun doa-doa yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui Al Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah sebaik-baik perisai diri.

Arini percaya, bahwa dalam Islam pemakaian mantra dikategorikan sebagai perbuatan musyrik. Di samping itu, ia meyakini kemusyrikan merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Adapun mantra-mantra yang telah bercampur dengan ajaran Islam baginya merupakan misleading dalam berbudaya. Tidak semua warisan nenek moyang harus dilanggengkan jika bertentangan dengan ajaran agama. 

Ia mencontohkan misleading berbudaya itu pada mantra Maung Kuru dan Sagara Geni. Mantra Sagara Geni menurut beberapa pemakainya, dianggap sama kekuatannya dengan surat Al Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi) yang merupakan ayat paling agung dalam Al Quran. Ayat Kursi memiliki banyak keutamaan, yang di antaranya adalah: Rasulullah bersabda, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (pada malam hari) maka bacalah Ayat Kursi. Niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa menjagamu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi.”

Ayat Al Quran dan keutamaannya sangat jelas serta tidak ada bagian yang ditutup-tutupi. Sedangkan pada mantra Sagara Geni, ada kalimat-kalimat yang berpotensi multitafsir dan menyesatkan karena tidak jelas maknanya menurut Arini. Misalnya, Allahumma puji giling bagusti, yang sulit diterjemahkan. Sedangkan pada mantra Maung Kuru, persekutuan dengan kekuatan selain Tuhan sangat tersirat karena adanya ritus pemujaan terhadap roh nenek moyang berwujud harimau gaib. 

Arini mengakui bahwa magi hitam itu ada dan mengancam. Oleh karena itu, ia berusaha untuk berpegang teguh pada Islam yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kepada seluruh umatnya. Adapun langkah perlindungan diri yang dilakukannya adalah sebagai berikut: 

1.   Menunaikan salat wajib tepat waktu dan melengkapinya dengan salat sunnah;

2.   Berdzikir setelah salat wajib dan berbagai aktivitas sehari-hari;

3.   Merutinkan membaca Al Quran;

4.   Membiasakan membaca dzikir khusus pagi dan petang. Dzikir ini salah satu manfaatnya adalah sebagai perisai yang sangat kuat terhadap kejahatan makhluk-Nya seperti gangguan setan maupun kejahatan manusia;

5.   Selalu dalam keadaan suci (menjaga wudhu);

6.   Memperhatikan adab tidur (berwudhu sebelum tidur dan membaca doa);

7.   Membaca doa untuk setiap aktivitas. Islam agama yang lengkap dan setiap sendi kehidupan ada doa khususnya; 

8.   Melakukan rukyah mandiri jika merasa terjadi hal buruk dalam dirinya sebagai upaya pencegahan maupun pengobatan terhadap ‘ain (penyakit akibat mata jahat atau kedengkian orang) dan gangguan magi hitam;

9.   Membaca audzubillahi kalimati tammati min syarri maa khalaq (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan ciptaan-Nya). Doa ini dapat dibaca di setiap situasi dan memberikan perlindungan dari segala perkara jahat.

Menurutnya, berdoa kepada Tuhan sesuai ajaran agama itu bersifat universal, yaitu tidak mengingat ruang dan waktu. Pergi ke manapun dan kapanpun di alam semesta, doa akan selalu sama. Sementara mantra dan ritus pengiringnya hanya bersifat regional karena lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.

Menilik dari sudut pandang Daryanti dan Arini sebagai pemangku tradisi aktif dan pasif, perempuan Sunda di Kota Cijulang sama-sama melakukan berbagai cara untuk berlindung dari ancaman marabahaya. Ancaman yang bersumber dari sisi gelap hubungan sesama manusia serta alam dan mungkin lahir dari segala ketimpangan sosial yang ada.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] pendekatan antropologi, Yeni Yulia Andriani coba menilik pewarisan mantra pertahanan diri yang sering digunakan oleh para perempuan di Cijulang. Ia juga merekam alasan para perempuan […]

Kalender Postingan

Jumat, Desember 27th