Syamsul Arifin –
Saya diminta untuk berbagi proses berkesenian, terutama pengalaman residensi (bermukim) di Pesisir Pambusuang, Polewali, Mandar-Sulawesi Barat tahun 2019 lalu, oleh teman saya Eka Putra Nggalu. Saya sungguh senang. Permintaan ini secara otomatis memantik saya untuk mengingat kembali pengalaman-perjalanan observasi di lokasi tersebut. Berbagi pengalaman residensi bermukim tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik. Meski demikian, saya tidak ingin tulisan ini menjadi semacam percakapan kami berdua saja, saya dengan Eka. Entah tulisan ini bersifat sharing temuan atau pantulan, yang pasti, selain sebagai proses penelitian dan riset artistik, yang tidak kalah menarik dari residensi ini adalah kesempatan mengenal Indonesia (yang barangkali lebih dari sekadar kulit luarnya), mulai dari hal yang remeh temeh sampai pada yang serius. Begitulah saya memaknai perjalanan selama residensi ini di luar kepentingan estetika atau karya. Meski sementara ini saya berbagi melalui tulisan, karena jarak antara kami sangat jauh; saya di Madura, sementara teman saya itu di Maumere, semoga saja, momen kesenian mendatang memberi peluang dan membawa saya ke Maumere-Flores.
Dari Makassar ke Mandar
Saya mungkin akan memulai tulisan ini dengan pengalaman perjalanan dari Makassar ke Mandar, setelah keberangkatan saya dari Bandara Juanda, Surabaya.
Perjalanan ini adalah perjalanan jauh pertama saya dengan menempuh jalur udara. Untuk ke Mandar, saya harus transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar terlebih dahulu. Tiba di bandara, tepatnya di ruang tunggu, saya menanti Mbak Zizi, seorang yang akan menjemput saya. Mbak Zizi adalah salah satu kontak pertama saya, sebelum akhirnya saya bersama Aip dan Nerisa singgah di rumah sepupu mas Arham (seorang kurator Biennale Jogja 2019). Kami disusul oleh satu teman asal Mandar, Tajriani Thalib, lalu menunggu kedatangan Ipeh, yang akan tiba di Makassar jam 9 WITA, setelah melalui masa-masa delay.
Sebelumnya, saat menuju ruang tunggu penjemputan, seorang supir taksi, laki-laki setengah baya berseragam lengkap, menyapa saya dengan bahasa ibu meraka (untuk tidak menyebut itu bahasa Mandar atau Bugis dan atau Makassar). Posisi saya dengan bapak itu berjarak sekitar 10-15 meter. Jarak kami yang saling berseberangan, dipisahkan oleh jalan untuk kendaraan roda empat, dan corak noise knalpot mobil yang lalu lalang saat itu, membuat saya tidak begitu jelas melihat bentuk wajahnya dan mendengar perkataanya yang tampak asing di telinga saya. Adalah tepat jika saya bilang supir taksi itu berbicara dengan “bahasa ibunya”. Dengan begitu saya tidak terjebak dengan bayangan tentang lokasi di mana saya berada, sehingga lokasi/ruang tidak segera bertendensi dan mengidentifikasi suatu hal sebagai ‘identitas’ tertentu. Dalam konteks ini, seolah “bahasa Makassar” selalu paralel dengan Makassar sebagai sebuah ruang. Dalam persinggahan selama sebulan di Mandar, saya mendapat informasi bahwa ada sedikit perbedaan antara bahasa Mandar dan Makassar. Beruntunglah saya waktu itu, tidak sedang melakukan tebak-tebakan atau asal menebak bahasa si supir. Saat itu, saya tidak paham apa yang sedang ia katakan. Namun, saya langsung dapat menangkap dan mengindentifikasi bahwa ia sedang menawarkan tumpangan dan dengan gerak tubuhnya (tangan kanannya), ia menunjuk sebuah lokasi tujuan. Cara saya mengindentifikasi dialog bapak itu tidak lain adalah melalui kostum dan laku tubuhnya sendiri, sebagai bahasa. Peristiwa ini merupakan kali pertama saya melakukan kontak fisik yang nyata dengan orang yang ada di bandara dan juga dengan salah satu bahasa di tempat baru yang saya tuju.
Malam tiba. Kami berlima akhirnya berkumpul lalu melanjutkan perjalanan menuju Mandar. Mandar disepakati sebagai daerah tujuan residensi. Sebelumnya, saya tidak pernah tahu nama Mandar. Bahkan, mendengarnya pun belum pernah. Mandar tentu memiliki sejarahnya sendiri, di balik nama Makassar yang sudah familiar di benak banyak orang karena menjadi ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Perjalanan dari Makasar ke Mandar ditempuh melalui jalur darat, memakan durasi kurang lebih 7-8 jam perjalanan. Sebagian besar dari kami menuntaskan perjalanan tersebut dengan mata tertutup, tidur. Barangkali saya dan teman-teman yang lain merasakan lelah yang kurang lebih sama, setelah melalui perjalanan cukup panjang dari tempat tinggal kami masing-masing ke bandara dan menuju Makassar. Dalam perjalanan berjam-jam itu, mobil yang kami tumpangi hanya berhenti satu kali saja, untuk istirahat, makan atau sekedar ngopi.
Hari sudah subuh ketika kami tiba di perkampungan pesisir Pambusuang, Kecamatan Balanipa Polewali, Mandar. Di sana, kami menginap di sebuah perpustakaan milik mas Ridwan Alimuddin (seorang yang bergiat di dunia literasi dan penelitian kebudayaan maritim), selama sebulan. Nama perpustakaan itu, Nusa Pustaka, dengan konstruksi yang sederhana, dan hanya menggunakan material berupa kayu, tripleks, bambu dan bahan-bahan lokal lainnya. Beragam buku terkumpul sesuai kategori, mulai dari buku politik, sastra, sejarah dan yang tak kalah penting adalah buku-buku sejarah dan kebudayaan Mandar itu sendiri.