Tubuh Perempuan dan Persoalan Kesepian

Silfana Nasri adalah kandidat PhD di University of Surrey, United Kingdom yang berasal dari Banda Aceh. Risetnya mengenai loneliness and social connectedness membahas mengenai kesepian para perempuan Indonesia yang bermigrasi ke UK. Selain mengerjakan risetnya, kini ia juga bekerja di sebuah LSM yang berpusat di Kota London.

Aura: Percakapan kali ini akan dipandu oleh saya, Aura, ditemani oleh Dimas. Bersama kami, ada Kak Silfana Nasri. Boleh perkenalkan diri dan ceritakan aktivitas saat ini serta ketertarikan Kak Silfana di bidang apa.

Silfana: Terima kasih sudah mengundangku di Podcast Lau Ne edisi ini. Namaku Silfana. Aku orang Indonesia, dari Aceh, tapi aku lahir di Lampung. Sepanjang hidup, aku tinggal berpindah-pindah, dari Lampung, Ambon, balik ke Aceh, lalu setelah tsunami, tahun 2005 keluargaku pindah ke Manado lalu kembali ke Aceh. Di Aceh aku kemudian berkuliah di jurusan psikologi universitas Syiah Kuala. Tahun 2018, aku mendapat beasiswa Chevening untuk melanjutkan studi S2 di Inggris, mengambil jurusan gender studies. Setelah itu, aku kembali ke Indonesia dan kerja beberapa tahun di NGO di Jakarta. Lalu, tahun 2022, aku dapat beasiswa untuk kembali melanjutkan kuliah S3 di Inggris mengambil jurusan sosiologi di University of Surrey.

Topik risetku tentang loneliness and social connectedness. Fokus risetku adalah melihat pengalaman perempuan Indonesia yang migrasi ke UK. Sebagai orang Indonesia, kita memiliki banyak praktik budaya kolektif seperti musyawarah, gotong-royong, dan arisan yang tidak dimiliki oleh orang-orang di sini. Selain itu, UK saat ini juga punya masalah yang kompleks mengenai isu kesepian. Bahkan, ada yang bilang di UK “loneliness is an epidemic” karena banyak sekali masalah kesepian terutama dengan kondisi ekonomi dan politik yang lagi kurang bagus saat ini. Jadi, aku ingin melihat apakah budaya kolektif Indonesia ini membuat orang merasa kesepian ketika migrasi ke UK yang tidak punya praktik-praktik budaya kolektif seperti itu.

Saat ini, aku baru selesai tahun pertama PhD dan masuk tahun kedua. Risetnya belum jalan karena masih dalam proses aplikasi ethical clearance. Aku juga saat ini bekerja di sebuah NGO yang pusatnya di London. Fokus kita ke komunitas East dan Southeast Asia. Jadi, aku banyak mendengar cerita-cerita para imigran dari Asia Timur dan Asia Tenggara yang berada di UK. Kira-kira begitu garis besarnya.

Aura: Kemarin itu aku baca postingan Kak Silfana tentang perubahan drastis ketika pindah ke Aceh, terutama yang berkaitan dengan otonomi khusus Aceh di mana ada kebijakan-kebijakan yang masuk ke ranah privat. Dalam kaitannya dengan tubuh, bagaimana Kak Silfana memaknai tubuh perempuan dan apa yang istimewa dari tubuh perempuan itu?

Silfana: Aku tinggal di Aceh dua kali dan aku mengalami masa transisi itu. Aku pindah pertama ke Aceh di tahun 1999, pasca konflik Ambon 1998. Saat itu, Aceh tidak semengerikan sekarang. Di Aceh, perempuan-perempuan tidak semua memakai jilbab, paling pakai selendang aja. Di Aceh juga dulu ada banyak konser band-band metal dan band-band lain. Sekarang sudah beda banget. Kalau sekarang, konser dianggap mendatangkan bencana, maksiat, nanti Tuhan marah. Ini terjadi karena orang-orang melakukan cocoklogi. Misalnya, setelah konser salah satu band dari Jakarta, terjadi banjir. Akhirnya orang melihat ini sebagai sebuah pola sebab akibat. Padahal, banjir terjadi karena saat ini di Aceh memang sedang terjadi deforestasi besar-besaran, bukan karena kita nonton konser. Perubahan ini terasa sekali di Aceh.

Aku ingat di tahun 1999 atau 2000, ibuku tidak berjilbab. Ibuku rambutnya pendek, bajunya sama seperti orang-orang di luar Aceh. Lalu, ada satu masa ketika ibu-ibu kompleks di tempat kami yang sebelumnya pakai selendang saja mulai belajar pakai jilbab. Ternyata, pada waktu itu ada kejadian di mana ada perempuan-perempuan yang rambutnya tiba-tiba dipotong oleh orang tak dikenal saat mereka di pasar. Cerita ini menyebar dari mulut ke mulut dan menimbulkan teror bagi perempuan-perempuan di Banda Aceh. Ngeri, kan? Kita tidak melakukan apa-apa, tapi tiba-tiba rambut kita dipotong. Lama-kelamaan, hal ini diteruskan. Yang awalnya cuma pakai selendang kemudian menjadi jilbab yang menutupi leher dan rambut, lalu sekarang standarnya makin panjang. Yang dianggap ideal sekarang harus sampai menutupi tangan.

Waktu aku masih SD, teman-teman sudah mulai pakai jilbab. Terus gurunya mengingatkanku, “teman-temanmu udah pakai jilbab, baju kurung. Kamu, kapan?” Bagi aku yang masih SD, ini menjadi tekanan. Akhirnya, kita seperti diseragamkan gitu. Meskipun sudah dimulai sejak lama, tapi ini masih biasa saja. Lalu, setelah tsunami yang Maha Dahsyat itu, orang-orang mulai berubah, terutama mereka yang selamat dari tsunami. Mereka melihat ini sebagai kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuk mereka. Ada semacam kesadaran bahwa ini adalah kesempatan dari Tuhan untuk berubah. Akhirnya, orang-orang yang selamat ini mulai belajar dan lebih mendalami agama yang lebih kaffah, lebih menyeluruh.

Pasca tsunami, Aceh juga sangat terbuka dengan berbagai bantuan dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Timur Tengah. Selain bantuan finansial, mereka juga memberikan bantuan dalam bentuk trauma healing melalui agama dan juga beasiswa-beasiswa untuk anak-anak Aceh belajar di sana. Konteks serta cara hidup dan beragama di negara-negara tersebut yang tentu saja berbeda dan jauh lebih ketat kemudian mempengaruhi anak-anak Aceh yang belajar di sana.

Setelah kembali ke Aceh, anak-anak ini kemudian membawa nilai-nilai dari luar itu dan diajarkan di pesantren yang mereka dirikan. Orang-orang yang punya power ini entah sebagai kiai atau sebagai ketua pesantren berusaha menerapkan nilai-nilai dan kebiasan-kebiasaan yang mereka bawa dari luar negeri untuk diterapkan di Aceh. Begitulah Aceh pelan-pelan berubah seperti saat ini.

Aura: Bagaimana respons perempuan di sekeliling Kak Silfana menghadapi perubahan itu?

Silfana: Ada yang senang, ada yang tidak senang. Misalnya, untuk konteks Aceh, ada perempuan yang setuju dengan penerapan syariat Islam yang ada sekarang karena mereka merasa bahwa memang perempuan-perempuan sekarang perlu didisiplinkan. Tapi ada juga yang tidak senang, misalnya, kenapa sih kalau bicara moral itu selalu membahas perempuan? Kalau bicara moral selalu membahas baju perempuan atau cara perempuan bersikap, misalnya. Bahkan, banyak sekali aturan-aturan yang tidak masuk akal. 

Misalnya, larangan duduk mengangkang waktu naik motor. Padahal, kalau perempuan memakai rok panjang duduk menyamping justru tidak aman karena ujung roknya bisa masuk ke dalam roda motor. Sudah banyak kasus, bahkan, sampai ada yang patah tulang karena hal ini. 

Ada juga aturan lain di salah satu daerah yang ibu-ibunya sebagian besar adalah petani. Perempuan yang sedang menanam padi tidak diperbolehkan memakai celana, mesti memakai sarung atau rok panjang. Alasannya karena saat menanam padi, perempuan mesti menunduk dan posisinya agak nungging. Letak sawah yang ada di pinggir jalan sering dilewati oleh laki-laki. Jadi, banyak laki-laki yang merasa resah melihat bokong perempuan yang agak nungging saat menanam padi. 

Ada ibu-ibu yang merasa justru kalau pakai sarung saat menanam padi, malah tidak nyaman dan susah bergerak di tanah lumpur. Tapi, aturan itu dibuat dengan kacamata laki-laki yang sangat bias. Ibu-ibu di sana merasa resah dengan hal ini karena orang-orang yang membuat aturan itu adalah orang-orang yang punya power di masyarakat. Ini  kan sebenarnya aturan-aturan yang merugikan perempuan sendiri. 

Namun, ibu-ibu di sana sulit juga untuk bersuara karena memang tidak ada ruang untuk suara mereka. Ruang untuk perempuan hanya di acara-acara PKK. Sementara untuk rapat desa, perempuan tidak dilibatkan. Rapat-rapat itu biasanya dilakukan setelah shalat isya. Jadi, setelah para lelaki shalat mereka tidak pulang ke rumah dan langsung lanjut rapat. 

Perempuan tidak bisa ikut di rapat ini karena biasanya rapat ini dilakukan sampai tengah malam dan tidak baik bagi perempuan kalau mereka ada di ruang milik laki-laki dan sampai tengah malam pula. Jadi, perempuan memang tidak masuk dalam ruang-ruang pengambilan keputusan itu, padahal keputusan itu soal perempuan dan tubuhnya.

Aura: Sejauh mana menurutmu tubuh perempuan itu bisa diatur? Atau sebenarnya, aturan-aturan itu memang tidak seharusnya menjadi sebuah kebijakan? 

Silfana: Mestinya jangan dijadikan kebijakan karena dasar untuk aturan-aturan itu juga sebetulnya beragam. Misalnya, aturan yang mengatasnamakan agama. Ajaran agama itu punya banyak interpretasi. Bahkan, satu bagian dari ajaran agama bisa dilihat dari berbagai perspektif bukan hanya di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga di antara para ulama. 

Persoalan di Aceh adalah upaya untuk uniformitas, tidak boleh ada ragam lain, harus satu saja. Ini yang menyulitkan ketika kita punya perspektif yang berbeda terhadap satu aturan. Apalagi, kalau aturan-aturan ini dilembagakan menjadi seperti undang-undang dan pelaksanaannya diawasi oleh polisi syariat, misalnya. Menurutku, itu tidak bagus karena urusan agama sebaiknya menjadi urusan personal. Cara tiap orang beragama berbeda-beda. Di Aceh, malah orang harus masuk dalam satu pakem. Untuk perempuan, aturan-aturan ini membuat tidak nyaman. 

Aku juga memperhatikan bahwa setiap menjelang tahun politik, isu moral dan perempuan selalu dijadikan bahan untuk mendulang simpati publik. Misalnya, menjelang masa pemilu DPRD, ada aja yang bikin heboh, seperti ada perempuan yang ditangkap. Lalu, ada sosok yang tidak pernah kelihatan tiba-tiba muncul dan viral di sosial media dengan memberikan klarifikasi seolah-olah dia sosok yang sangat peduli dan memegang teguh prinsip syariat. Padahal, sebenarnya cuma mau kampanye murah.

Dulu, Banda Aceh pernah punya walikota perempuan. Sebagai seorang perempuan, idealnya ibu ini mesti memiliki perspektif yang membela perempuan. Tapi, justru menurutku ibu ini tidak membela perempuan dan malah menggunakan isu syariat yang tidak berpihak pada perempuan juga. Pada suatu masa ketika ibu ini mau naik jadi wali kota, orang-orang yang tidak suka sama dia datang dengan membawa ayat-ayat yang menyatakan bahwa kalau satu perempuan memimpin, nanti akan rusak wilayah itu. 

Hal itu selalu dibawa-bawa ketika ada perempuan yang muncul di ruang publik sebagai pemimpin, mulai dari level kampung, desa, sampai level yang lebih tinggi. Mereka akan diserang dengan ayat-ayat yang sama itu. Penggunaan ayat-ayat ini tidak saja berimplikasi pada satu perempuan yang ingin menjadi pemimpin, tetapi juga perempuan-perempuan lain yang punya keinginan untuk memimpin di daerahnya, misalnya menjadi kepala desa. Narasi ini terus disebarluaskan sehingga perempuan mengalami kesulitan untuk punya punya power di tengah masyarakat.

Di Aceh, para politisi sering memanfaatkan isu moral dan isu perempuan ini untuk mendapatkan simpati publik. Misalnya, mereka mulai memunculkan isu soal perempuan yang pakai celana jeans ketat, tidak berjilbab, dan sebagainya. Banyak juga masyarakat yang senang akan hal itu karena menurut mereka politisi tersebut peduli untuk menegakkan agama yang kaffah. Ini yang jadi ancaman bagi perempuan karena yang selalu disasar itu tubuh perempuan dan cara perempuan bersikap. 

Aura: Bagaimana pendapat kak Silfana soal kampanye atau aktivisme terkait dengan tubuh perempuan, misalnya kampanye “Tubuhku, Otoritasku” yang marak belakangan ini? 

Silfana: Ada hal yang bagus, misalnya, sekarang orang sudah mulai terbuka soal isu pelecehan seksual. Dulu hal itu dianggap sangat tabu. Sekarang sudah ada gerakan untuk membuat orang sadar bahwa itu hal yang salah, misalnya, “Tubuhku, Otoritasku” itu membuat orang sadar bahwa dia punya hak atas tubuhnya, bahwa dia punya hak untuk melakukan apapun atas tubuhnya. Atau misalnya, yang belakangan viral, soal childfree.

Orang menyalahkan feminis yang membuat perempuan tidak mau punya anak. Padahal, yang sebetulnya memotivasi childfree itu biaya punya anak dan mengurus anak yang sangat besar, membutuhkan ruang yang lebih besar, yang berarti mencari rumah yang lebih besar sementara pendapatan mereka tidak cukup untuk itu. Jadi, bukan feminis yang bikin orang tidak mau punya anak. Yang harus disalahkan justru sistem kapitalisnya, bukan feminisnya.

Aura: Berarti, bisa dibilang kalau kita mau mengenal tubuh kita sendiri, kita mesti banyak belajar, dalam arti ketika membuat keputusan tentang tubuh kita seperti pilihan untuk childfree, kita sudah melihat implikasi ke hal-hal yang lebih luas seperti soal pemanasan global atau harga properti yang sangat berpengaruh ke pemikiran soal tubuh.

Silfana: Saya juga melihat adanya pengaruh kesadaran soal mental health, setidaknya di generasi kita. Beberapa teman saya yang memutuskan untuk childfree alasannya karena mental health. Mereka tidak mau jadi orang tua yang masalah mentalnya belum selesai, lalu hal itu diturunkan ke anaknya, lalu anaknya harus melalui siklus yang sama lagi dengan orang tuanya. Mereka sadar bahwa mereka punya isu dan mereka tidak mau bawa isu itu dalam kehidupan anak mereka, sehingga nantinya anak mereka tidak perlu mengalami hal tidak menyenangkan yang dulu dialami orangtuanya sebagai anak. Ini alasan yang bagus karena banyak orangtua yang tidak memiliki kesadaran itu. Padahal sebagai orangtua, setidaknya kita mesti yakin kalau secara mental kita stabil sebelum memiliki anak. Ada orangtua yang bahkan sebelum punya anak belum menangani masalah-masalah mental health mereka. Akibatnya, anak mereka justru harus mengalami akibat dari kondisi orangtua mereka yang tidak stabil itu.

Dimas: Dari tadi kita sudah banyak membahas yang terjadi di lingkungan di mana Kak Silfana tumbuh. Saya ingin tahu ketika Kak Silfana berpindah ke UK yang secara budaya, bahasa, lingkungannya juga sangat berbeda dengan Indonesia, bagaimana coping mechanism Kak Silfana terhadap perbedaan-perbedaan antara UK dan Indonesia terutama berkaitan dengan perilaku atau kebiasaan sebelum ke UK, lalu apa yang terjadi kemudian ketika tiba di UK?

Silfana: Waktu pertama kali tinggal di UK aku tidak kenal siapa-siapa. Aku tinggal di salah satu rumah milik pasangan dari Inggris yang informasinya aku dapatkan melalui rekomendasi dari grup orang Indonesia yang tinggal di UK. 

Hal pertama yang berbeda banget adalah kita sendiri, tidak punya support system, seperti dicemplungin ke dalam satu kolam dan kita harus belajar berenang sendiri dan cari ikan sendiri. Kita tidak punya resource di situ. Kita harus bisa survive dan bisa adaptasi. Misalnya, bahasa. Meskipun kita bisa berbahasa Inggris, belum tentu bisa berkomunikasi dengan baik, apalagi bahasa Inggris itu ternyata ada banyak logat yang bisa jadi kendala saat berkomunikasi. Atau juga soal musim dingin, di mana tubuh kita juga mesti segera beradaptasi dan mempersiapkan kedatangan musim dingin.

Selain itu, kebiasan masyarakat di sini juga sangat berbeda. Misalnya, saat lagi kumpul-kumpul dengan sesama mahasiswa, kita tidak bisa seenaknya mengambil foto mereka lalu diposting di sosial media. Kita mesti minta izin dulu sebelum foto dan sebelum dipost di sosial media kita. Orang UK memang kurang nyaman kalau tidak ada consent untuk mengambil foto mereka. Ini jelas berbeda ketika misalnya, aku kumpul-kumpul sama teman-teman dari negara-negara Asia atau Afrika. Mereka lebih luwes terhadap hal ini. 

Orang UK juga tidak suka mengobrol dengan orang asing. Misalnya, ketika lagi di stasiun mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan jarang ada yang mengajak orang lain mengobrol. Sebagai mahasiswa, perasaan kesepian itu sesuatu yang umum, terutama di kampus-kampus yang mahasiswa Indonesianya tidak banyak. 

Ada hal-hal terkait tubuh, terutama bagi perempuan-perempuan yang berjilbab, terasa kurang nyaman terutama di daerah-daerah yang kurang beragam. Di kota-kota besar seperti London, Birmingham, Manchester, keadaan jauh lebih nyaman karena populasinya beragam. Tapi, kalau di daerah-daerah pedesaan, sangat terasa bahwa orang-orangnya cukup rasis. Ada temanku yang pernah cari rumah di daerah pedesaan dan diberitahu bahwa di daerah situ aman, tidak ada maling atau rampok dan alasannya karena “we don’t have a black person.” Itu kan sangat rasis. 

Penampilan dan identitas kita sebagai orang Asia juga sangat mempengaruhi bagaimana kita mengalami UK. Dibandingkan dengan cerita teman-temanku yang di Jerman dan Perancis, UK memang tidak seekstrim di sana. Namun, hal-hal seperti diskriminasi karena identitas kita juga terjadi di UK. Misalnya, saat melamar pekerjaan di UK, gampang sekali untuk diterima, tetapi progress karir kita akan lebih lambat dari orang UK meskipun kita memiliki skill, pengalaman, dan masa kerja yang lebih sesuai untuk promosi. Ini terjadi karena ada anggapan bahwa orang non kulit putih, Asia, kurang kompeten karena secara culture dan kebiasaan di tempat kerja kurang cocok dengan budaya dan kebiasaan di UK.

Dari segi diversity, seperti misalnya di London, hal-hal lebih terbuka. Kita bisa pakai apa saja, penampilan seperti apapun di tempat kerja, kita tidak boleh diskriminasi. Sementara dari cerita temanku yang di Perancis, hal itu kurang diterima karena Perancis secara pemikiran, orang-orangnya masih lebih konservatif terkait hal-hal seperti ini. Penampilan kamu akan mempengaruhi penilaian orang tentang kamu. 

Begitu juga halnya dengan penerimaan terhadap teman-teman trans. London jauh lebih terbuka dibanding Perancis atau Jerman, meskipun masih ada juga isu-isu diskriminasi. Ada juga temanku yang beberapa kali tidak bisa menyewa tempat tinggal karena begitu pemiliknya melihat bahwa temanku berjilbab, si pemilik rumah langsung bilang bahwa rumahnya sudah laku. Dan itu terjadi beberapa kali. Ketika tinggal di London, temanku ini tidak mengalami hal itu. Dia merasa sangat diterima di London. 

Dulu sebelum ke UK, aku beranggapan kalau negara-negara di Eropa barat seperti UK, Jerman, Perancis itu jauh lebih open minded, tapi justru dalam beberapa hal ternyata ini tidak seperti yang aku pikirkan. 

Aura: Saya tertarik dengan pengalaman kesepian yang Kak Silfana sebutkan tadi. Kita sering dengar kata “kesepian” ini tetapi mungkin diremehkan karena dianggap sesuatu yang romantis dan personal. Tapi, apakah memang kesepian itu sangat personal atau situasi sosial seperti budaya dan tradisi juga turut berkontribusi terhadap kondisi kesepian?

Silfana: Di satu sisi, kesepian memang personal karena yang hal itu dirasakan oleh orang yang mengalami kesepian. Misalnya, ada orang yang kita lihat pergaulannya bagus, punya banyak teman, tetapi jauh di dalam dirinya dia merasakan kesepian. Selain itu, kesepian sangat personal karena perasaan kesepian muncul ketika kita mengevaluasi diri kita. Kita punya harapan terkait interaksi sosial. Kita ingin punya hubungan seperti ini, relasi yang begini, tapi ternyata ada ketidaksesuaian antara harapan kita dengan kenyataan yang terjadi dengan interaksi sosial yang terjadi.

Di sisi lain, budaya juga mempengaruhi perasaan kesepian. Ada perbedaan antara orang yang tumbuh dalam budaya individual dan kolektif. Ada riset yang menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tumbuh di masyarakat kolektif, kesepian lebih merupakan hal-hal yang sifatnya komunal seperti dia merasa tidak bisa menjadi bagian dari suatu kelompok masyarakat atau merasa tidak punya banyak teman. 

Namun, pada orang-orang yang tumbuh di masyarakat individual, kesepian itu berkaitan dengan hubungan romantis seperti sulit mendapatkan pacar, teman kencan, atau menjalin hubungan romantis. Jadi, budaya memang sangat mempengaruhi bagaimana kita memaknai pengalaman kesepian. Di konteks UK, hubungan pertemanan atau kekeluargaan itu kecil lingkupnya. Ini jelas berbeda dengan hubungan kekeluargaan di Indonesia. Di UK, misalnya, yang dianggap keluarga adalah orang tua dan saudara kandung. Bahkan, yang masih sepupu saja mereka tidak terlalu saling kenal.

Kesepian yang terjadi di UK juga adalah produk kebijakan politik, sosial, dan ekonomi. Tahun 2008, UK mengalami krisis ekonomi yang parah. Banyak bank yang tutup karena bangkrut. Untuk tetap bertahan, pemerintah berusaha menyelamatkan bank karena dengan menjaga bank, situasi ekonomi akan kembali stabil. Untuk menyelamatkan bank, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memangkas anggaran untuk public service seperti mental health, public library, dan taman-taman untuk ruang publik. 

Ketika anggaran untuk layanan-layanan ini dipangkas, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah karena mereka tidak bisa mengakses free library atau asuransi kesehatan yang mencakup layanan mental health. Krisis ekonomi ini membuat orang kesulitan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, misalnya, sesederhana menemui teman kita. Kita pasti akan memikirkan biaya transportasi dan apa yang harus dibawa ke tempat teman kita. Hal-hal ini menyebabkan orang-orang sulit untuk terhubung dengan yang lain karena keterhubungan itu membutuhkan biaya yang besar. 

Akhirnya, orang memutuskan untuk tidak bertemu atau berkunjung ke rumah teman atau keluarga karena biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu sendiri bukan karena mereka mau sendiri, tetapi karena kebijakan ekonomi dan politik membuat interaksi sosial jadi mahal. Ini yang jadi isu di UK sekarang.

Di UK ada satu lembaga yang namanya Kementerian Kesepian (Ministry of Loneliness). Namun, kebijakan kementerian ini tidak jelas. Mereka cuma menyediakan dana untuk dikelola NGO, lalu terserah NGO-nya mau bikin program yang seperti apa. 

Di awal-awal lembaga ini berdiri, pemerintah UK punya program kerja sama dengan kurir-kurir yang biasa mengantar paket ke rumah-rumah penduduk. Selain mengantarkan paket, kurir ini juga bertugas untuk mengecek keadaan, bertanya kabar, dan mengobrol dengan orang yang dikunjungi. Program ini kurang efektif untuk mengatasi persoalan kesepian karena, pertama, kurir-kurir tersebut punya banyak sekali paket untuk diantarkan, sehingga tidak ada waktu untuk mengobrol lama dengan penerima paket. Kedua, upaya ini dinilai tidak membangun relasi yang berarti. Padahal, orang merasa kesepian karena dia tidak mempunyai hubungan-hubungan yang memiliki makna penting dalam hidupnya, misalnya dengan keluarga, sahabat, pacar. Maka, mengobrol dengan orang yang tidak kita kenal tidak akan membuat kebutuhan akan hubungan yang bermakna terpenuhi. Itu salah satu contoh program kerja Ministry of Loneliness

Namun, karena banyak kritik, program ini tidak jelas pelaksanaannya. Meskipun demikian, Ministry of Loneliness tetap menyediakan dana bagi NGO yang fokus pada isu-isu kesehatan mental, kesepian, dan yang bekerja di komunitas-komunitas.

Dimas: Fenomena kesepian ini memang tidak saja personal-romantis, tetapi juga politis terutama berkaitan dengan kebijakan publik. Bagaimana kaitannya dengan gender? Misalnya, kalau ada perempuan yang tidak menikah, kita memiliki istilah untuk merujuknya, “perawan tua.” Namun, untuk laki-laki yang tidak menikah istilah seperti ini tidak ada. Apakah pengalaman kesepian lebih rentan atau resikonya lebih tinggi pada kelompok gender tertentu?

Silfana: Secara gender, perbedaan itu memang ada. Misalnya, di berbagai budaya, perempuan lebih “dibolehkan” untuk mengungkapkan perasaannya. Sementara kalau laki-laki yang mengungkapkan perasaannya, dia dianggap lemah. Karena itu, laki-laki lebih banyak sebenarnya yang merasakan kesepian karena ada semacam penghalang bagi mereka untuk bilang bahwa “saya kesepian, tolong bantu saya!” Jadi, ketika laki-laki merasa kesepian mereka akan mencari sendiri cara untuk tidak kesepian lagi, misalnya melakukan hobi, hal yang mereka sukai, atau bahkan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. 

Sementara pada perempuan, selain bisa lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaan dan mendapatkan dukungan yang lebih gampang, di sisi lain, secara kultural perempuan punya banyak tanggung jawab seperti mengurus keluarga yang sedang sakit atau mengurus anak. Tanggung jawab seperti ini juga dapat membuat perempuan ini merasa kesepian karena tidak punya waktu untuk diri sendiri atau tidak punya waktu untuk terhubung dengan orang lain. 

Hal ini banyak terjadi dengan teman-temanku yang menjadi ibu rumah tangga. Ketika menjadi ibu dan mengurus anak, mereka tidak punya waktu lagi untuk kumpul-kumpul dengan teman-teman kuliah dulu, misalnya. Mengurus anak dan rumah tangga merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa mereka tinggalkan. Teman-temanku ini akhirnya merasa sangat kesepian, terutama yang ikut suaminya pindah dan harus berada jauh dari keluarganya. Ada interaksi-interaksi yang tidak mereka dapatkan ketika menjadi seorang ibu, apalagi ibu rumah tangga. Itu yang muncul pada perempuan.

Pada kelompok queer, perasaan kesepian itu muncul karena merasa tidak diterima atau merasa tidak terhubung dengan komunitasnya, tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat, ada diskriminasi karena ekspresi atau orientasi mereka. Ini menunjukkan keragaman kesepian. Ada berbagai bentuk kesepian yang muncul pada kelompok-kelompok gender tertentu.

Aura:  Adakah sesuatu yang Kak Silfana peroleh dari berpindah dari satu situasi ke situasi lain? Apakah kita perlu mencari titik tengah antara situasi-situasi yang berbeda itu? Apakah situasi yang ideal memang harus ada pakemnya, khususnya untuk perempuan dan bagaimana dia memaknai tubuhnya?

Silfana: Beberapa waktu lalu, aku ngobrol dengan orang Indonesia yang ingin pindah ke sini. Ternyata, hidup di sini tidak seindah yang orang-orang pamerkan di Youtube. Beberapa waktu lalu, ada orang Indonesia yang ingin pindah ke sini dan dia mau cari kerja apa saja, bahkan dengan cara-cara ilegal di UK. Padahal, hidup di sini sangat susah buat pekerja-pekerja yang undocumented ini. 

Di kantorku, kami banyak menerima laporan soal diskriminasi dan eksploitasi. Di sini kasusnya sangat menyeramkan. Karena tidak punya dokumen untuk bekerja secara legal, gaji para pekerja ilegal ini dibayarkan sangat rendah dan jauh sekali dari yang seharusnya dibayarkan. Belum lagi mereka harus bayar biaya untuk agen yang mencarikan mereka pekerjaan. 

Selain kesulitan ini, adaptasi dan kendala bahasa juga membuat kita merasa rentan karena kita tidak punya siapa-siapa, punya berbagai kendala, secara sosio-ekonomi juga bukan kelompok menengah ke atas. Pada perempuan, ini akan menjadi isu tersendiri, terutama berkaitan dengan ekspresi sebagai perempuan yang bukan berasal dari sini, misalnya rentan mengalami diskriminasi atau ketika mengalami pelecehan, akan sulit bagi kita untuk mencari bantuan. Juga bagi perempuan-perempuan yang berhijab, tinggal di negara-negara islamophobia juga akan jadi kendala.

Soal yang ideal, bagiku yang ideal adalah yang membuat kamu nyaman. Jadi, mestinya perempuan punya kebebasan untuk berekspresi seperti yang dia mau, misalnya, berpakaian. Yang ideal adalah ketika dia memutuskan dengan sadar setelah berpikir dan menganalisa kemudian memutuskan tanpa paksaan. Banyak temanku yang awalnya berjilbab kemudian memutuskan tidak berjilbab lagi atau sebaliknya. Idealnya, keputusan ini dibuat dengan sadar dan melalui pertimbangan yang tidak dipaksakan. Itulah yang ideal menurutku. 

Aura: Itu tadi pertanyaan terakhir dari aku. Terima kasih banyak, Kak Silfana. 

Silfana:  Terima kasih juga, Aura dan Dimas.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] konteks kultural (dan personal?) yang lebih luas, di rubrik Nahkoda Silfana dalam “Tubuh Perempuan dan Persoalan Kesepian” membagikan pengalaman migrasinya ke UK dan  bagaimana dia melihat tempat asalnya Aceh dari […]

Kalender Postingan

Selasa, Desember 3rd