Paradoks Monumen Publik: Hasrat Individual dan Upaya Merawat Memori Kolektif

Terinspirasi rasanya membaca tulisan Widha Karina, Menyiapkan Rumah untuk Keluarga Besar di edisi Ruang dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi bulan Maret 2023. Salah satu bagian dari catatan pengalamannya melancong di Vietnam Tengah itu merefleksikan tentang keberadaan fasilitas umum berukuran gigantis yang dibuat oleh pemerintah sosialis dan komunis. Seperti disebutkan oleh Widha, pertimbangan negara-negara terkait akomodasi budaya massal masyarakat komunal bisa jadi alasan yang masuk akal di balik pembangunan fasilitas umum. Pernyataan soal gigantisme itu mengingatkan pada salah satu bahan skripsi saya mengenai pemikiran Ayn Rand, seorang filsuf kelahiran Uni Soviet yang mengkritisi pemaknaan istilah “publik” pada negara-negara sosialis.

Kritik Ayn Rand yang paling fisikal dapat kita temukan dalam esai pendeknya yang berjudul The Monument Builders (ditulis sekitar tahun 1962). Dalam esai itu, Ayn Rand beropini mengenai pemaknaan frasa “kebutuhan masyarakat”, “fasilitas umum/bersama”, atau “ruang publik”? Siapakah yang dimaksud sebagai “masyarakat”, “umum”, “publik” itu? Bagaimana pula menilai efisiensi atau tercapainya sebuah tujuan bersama atau publik?

Ide individualisme yang diutarakan Ayn Rand saya rasa perlu dilengkapi dengan tesis lain yang mempertimbangkan kolektivisme. Saya mengambil pemikiran Maurice Halbwachs. Tesis utamanya adalah bahwa memori manusia hanya dapat berfungsi dalam konteks kolektif. Menurutnya, kelompok orang yang berbeda akan memiliki memori kolektif yang berbeda, yang pada gilirannya menimbulkan mode perilaku berbeda. Pertanyaan utamanya adalah: bagaimana kita menggunakan gambaran mental tentang masa kini untuk merekonstruksi masa lalu?

Tentu saja refleksi Ayn Rand dan Halbwachs hanya setitik dari banyak pembacaan mengenai tata kota dan arsitektur dalam kaitannya dengan peradaban dan kebijakan pembangunan suatu negara. Banyak problem yang bisa dielaborasi dari keberadaan  monumen-monumen publik. Di dalamnya terdapat identitas serta kesadaran sejarah, pendidikan dan pembelajaran, penghargaan terhadap nilai dan tradisi, penghormatan serta upaya rekonsiliasi. Ada banyak poin amatan yang saya catat dari riset-riset kecil mengenai keberadaan monumen publik. Ada beberapa poin yang hendak saya bahas dalam artikel ini, yakni:

  1. perlunya membaca ulang kritik filsuf Ayn Rand terhadap pemerintahan sosialisme Uni Soviet yang ditandai dengan monumen-monumen yang digadang-gadang sebagai representasi publik. Kemudian, menelusuri relevansi kritik tersebut di negara-negara demokrasi. Alasannya, keberadaan monumen-monumen publik di Indonesia sering memicu perdebatan atau konflik, terutama jika monumen dibangun oleh rezim, demi meneguhkan satu versi sejarah yang diakui dan hendak ditanamkan pada masyarakat sebagai kebenaran tunggal. Maka, penting untuk mempertimbangkan representasi yang inklusif dalam pembangunan dan pemeliharaan monumen publik, sehingga semua kelompok masyarakat merasa dihormati dan diwakili secara adil.
  2. membaca pemikiran Maurice Halbwachs mengenai ruang serta merefleksikan betapa pentingnya monumen dalam memelihara memori kolektif. Meski linimasa yang ditarik sangat jauh ke tahun 1950-an, tetapi keterkaitan ruang dengan masyarakat masih relevan dan berguna untuk dipikirkan dan dipertimbangkan. Hal tersebut jugalah yang membuat tulisan ini diberi judul menurut diksi Halbwachs. Menurutnya, “our physical surroundings bear our and others’ imprint.”

Dari dua pemikiran yang sama sekali berbeda, saya memahami bahwa dalam pembangunan dan penggunaan ruang-ruang di sekitarnya, manusia selalu bertanggungjawab–secara ideologis maupun praktis.

Pemikiran Ayn Rand dan Halbwachs sebaiknya dibaca dalam kerangka posisi politis dan filosofisnya masing-masing. Ayn Rand adalah seorang pelarian dari Uni Soviet yang datang ke Amerika pada 1926 untuk menghindari pemerintahan Tsar. Sejak muda, ia sudah mengalami berbagai pergolakan, di antaranya Revolusi Kerensky dan Revolusi Bolshevik. Dalam rangka menghindari kekacauan, keluarganya pergi ke Krimea. Tahun 1917, kemenangan Komunis membuat apotek milik ayahnya disita dan keluarganya mengalami kelaparan. Ketika diperkenalkan pada sejarah Amerika di sekolah, dia langsung menganggap bahwa Amerika adalah tempat ideal yang menjamin kebebasan individu. Tahun 1924, ketika Soviet mengadopsi konstitusi berdasarkan kediktatoran proletariat dan menetapkan kepemilikan publik atas tanah dan alat-alat produksi, ia menyaksikan langsung pengambilalihan universitas oleh komunisme.

Berkebalikan dengan Ayn Rand, pengalaman Halbwachs sebagai veteran perang Perang Dunia I memberinya pemahaman tentang kemampuan konstruktif sosial-politik dari memori kolektif. Halbwachs menyadari bahwa memori kolektif dapat dipolitisasi dan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan. Pengalamannya sebagai seorang Yahudi Perancis yang mengalami penganiayaan antisemitik, termasuk pada era Dreyfus Affair (1894-1906) juga mempengaruhi pandangannya tentang identitas bersama dan solidaritas kelompok. Kronologi pemikiran Halbwachs hampir-hampir harus dibaca mulai dari Emile Durkheim mengenai fakta sosial dan Henri Bergson mengenai memori sebagai proses dialektis antara tubuh manusia dan peristiwa yang dialaminya, atau hubungan antara pikiran dan materi.

Pemikiran dua tokoh yang berkebalikan itu sengaja dibawa ke dalam gelanggang dengan tujuan menjadi kerangka refleksi tentang efektivitas ruang-ruang publik historis di sekitar kita, serta kritisisme terhadap penggunaan monumen-monumen publik untuk membangun memori mengenai sejarah bangsa.

Mendirikan Monumen, Membangun Prestise

Pembahasan Ayn Rand mengenai monumen penting adanya karena bisa menjadi gambaran paling konkret tentang kritik Rand terhadap sosialisme. Dalam pandangannya, sosialisme bukanlah gerakan rakyat melainkan gerakan kaum intelektual, yang berasal dari, dipimpin, dan dikendalikan oleh kaum intelektual. Motif para intelektual itu tidak lain adalah nafsu kuasa yang merupakan manifestasi dari ketidakberdayaan, kebencian pada diri sendiri, dan hasrat terhadap hal-hal secara cuma-cuma. Mereka ingin memperoleh hal-hal tanpa ditukar dengan upaya kerja atau keterampilan tertentu, termasuk untuk memperoleh kejayaan.

Kejayaan  yang cuma-cuma adalah sebuah konsep yang sangat neurotik. Maka, untuk mencapainya, para parasit membutuhkan slogan-slogan altruisme dan kolektivisme. Bagi Rand, hal itu tentu irasional karena istilah “publik”, “kepentingan publik”, “pelayanan kepada publik” hanyalah sarana dan alat golongan yang haus kekuasaan itu. Bagi Ayn Rand, “publik” tak lain hanyalah sejumlah individu. Setiap konflik yang diklaim sebagai kepentingan publik sebetulnya berarti kepentingan segelintir orang yang harus dikorbankan berdasarkan kepentingan dan keinginan segelintir orang lainnya. Tergantung golongan mana yang sanggup menyatakan “ç’est moi”, “inilah aku” lebih dominan.

Menurut Ayn Rand, ada dua cara untuk menyatakan “ç’est moi”. Cara pertama dipraktikkan oleh golongan yang disebut para parasit material. Golongan ini menuntut bantuan dari pemerintah atas nama kebutuhan publik dan mengantongi hal yang tidak sepatutnya mereka peroleh. Cara kedua dipraktikkan oleh golongan lain yang disebut para parasit spiritual. Para parasit spiritual ini hidup dengan ilusi tentang kejayaan yang muncul dari pandangan mistik tentang dirinya sebagai perwujudan suara publik.

Satu-satunya cara agar para parasit spiritual mendapatkan prestise adalah dengan merancang dan membangun monumen-monumen publik. Ayn Rand memberi gambaran tentang kuil dan istana yang tertinggal dari peradaban umat manusia. Orang-orang zaman dahulu percaya bahwa prestise kelompok mereka akan memberi nilai lebih pada eksistensi mereka. Disebutkan pula bahwa monumen publik seperti piramida Mesir, Colosseum, istana Versailles, hingga jalanan bawah tanah Moskow yang dibangun atas nama prestise bersemangatkan publik. Padahal, nyata-nyatanya pembangunan-pembangunan itu telah mengorbankan banyak nyawa. Ada banyak penderitaan manusia, degradasi moral, perampasan, dan kengerian yang telah terjadi untuk membayar monumen-monumen yang merupakan bagian dari industrialisasi itu.

Ayn Rand berpendapat, di Amerika Serikat, di bawah naungan kapitalisme, monumen-monumen dibangun dengan tujuan yang murni, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pembangunan di Amerika digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan individu warga negara. Gedung-gedung dibangun dengan energi, inisiatif, dan kekayaan perorangan untuk keuntungan personal. Pembangunan yang seperti itu tidak mempermiskin melainkan menaikkan standar hidup rakyat.

Tentu kritik Ayn Rand terhadap pembangunan monumen publik itu harus dilihat dalam konteks kritiknya bahwa sosialisme menurutnya tak lain hanyalah monarki absolut demokratis, sebuah sistem yang berjalan bukan atas nama kebaikan umat manusia atau cita-cita luhur melainkan prestise segelintir golongan belaka. Kritik ini sebetulnya sangat bermanfaat bagi masyarakat dewasa ini. Penyalahgunaan nama publik tidak hanya rentan di negara sosialis, tetapi di mana pun termasuk di negara demokrasi.

Asas keterwakilan sangat berisiko. Wakil-wakil yang dipilih rakyat, yang memiliki tanggung jawab untuk bertanggung jawab kepada para pemilihnya harus bekerja untuk kepentingan publik dan berperilaku sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Termasuk soal pembangunan. Kalau tidak, tentu bisa panjang daftar dampaknya: keterputusan dan alienasi rakyat dari wakilnya sendiri, korupsi, kolusi, nepotisme, dominasi kelompok yang berkepentingan, polaritas dan politik identitas, atau problem representasi kelompok marjinal.

Di Indonesia, monumen-monumen lazimnya dibangun dengan dana dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Maka, pengelolaannya pun diserahkan pada pemerintah. Pada masa kepemimpinan Soekarno, misalnya, salah satu monumen yang dibangun adalah Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Monumen tersebut dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia pada 1962, setelah sebelumnya diklaim oleh Belanda.  Monumen tersebut dirancang oleh arsitek Friedrich Silaban, sementara pematungnya adalah Edhi Sunarso. Ide patung perunggu yang terdapat pada monumen diterjemahkan Henk Ngantung ke dalam bentuk sketsa dari pidato Soekarno tentang Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Pada masa kepemimpinan Soeharto, Monumen Pancasila Sakti dibangun dengan tujuan mengingat perjuangan tujuh pahlawan revolusi yang gugur dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S).  Selain mengangkat ketokohan Pahlawan Revolusi, monumen tersebut juga digunakan pemerintahan Orde Baru untuk menekankan ideologi Pancasila serta mengingatkan masyarakat akan keberadaan ideologi komunis yang dianggap mengancam.

Narasi di balik bangunan-bangunan fisik itu bagaikan menopang bangunan-bangunan ideologis. Lihat saja tegangan sosial dan politik yang muncul di sekitar keberadaannya. Pembangunan monumen publik selalu merupakan perkara representasi politis yang kompleks dan kontekstual. Akan selalu ada narasi terpinggirkan atau terlupakan dari setiap representasi. Maka, di samping korupsi materi (seperti kasus korupsi pembangunan Monumen Samudera Pasai di Aceh yang totalnya mencapai 44,7 Miliar Rupiah), akan selalu ada celah untuk melakukan korupsi ideologis, dengan sengaja menyingkirkan narasi tertentu, dengan tujuan mengangkat narasi lainnya.

Menghadapi hal ini, harus selalu ada pendekatan inklusif yang mempertimbangkan beragam perspektif dan pengalaman masyarakat, termasuk pelibatan kelompok minoritas, perempuan, dan kelompok-kelompok tradisi yang kurang diwakili dalam narasi sejarah. Secara konkrit, dapat diadakan dialog terbuka dan diskusi untuk mendengarkan pandangan dari berbagai kelompok tersebut. Monumen sering merujuk pada peristiwa detail dan spesifik, maka mengakui perspektif yang plural dan menawarkan ruang bagi narasi yang lebih luas adalah langkah penting dalam memastikan keadilan representatif. Tentu hal ini harus dibarengi dengan pemahaman yang baik soal sejarah. Penelitian sejarah yang cermat, beragam perspektif dan penelitian arkeologi dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan akurat tentang peristiwa sejarah dan tokoh-tokoh yang terlibat.

Kasus dekomunisasi di Polandia merupakan amatan menarik yang mengawali ketertarikan saya terhadap monumen dan problem memori ini. Dalam catatan sejarah, Polandia berada di bawah pemerintahan komunis Soviet dari tahun 1945 hingga 1989. Sekitar tahun 1841, didirikanlah sebuah monumen bernama Monument of Seven Generals di Warsawa. Monumen itu terletak di Lapangan Saxon hingga tahun 1894. Pada 1890-an monumen itu dipindahkan ke Placu Zielonym kemudian dihancurkan pada tahun 1917 melalui persetujuan otoritas pendudukan Jerman.

Monumen yang dipersembahkan kepada para “loyalis” Polandia selama pemberontakan November 1830 itu dibangun sepuluh tahun setelah peristiwa pemberontakan, dan didesain oleh seorang arsitek terkenal, Antonio Corazzi. Bukan main, monumen itu dibuat dengan obelisk besi setinggi lebih dari 30 meter dan dipasang di atas alas marmer. Di kaki monumennya terdapat delapan ekor singa besi dan empat elang tsar berkepala dua. Di bagian atas obelisk ada empat karangan bunga laurel berlapis emas. Ketika monumen itu masih berdiri, para penentang komunis Soviet—termasuk Marie-Curie muda—punya kebiasaan untuk meludahinya sebagai tanda pemberontakan terhadap pendudukan Soviet.

Penghancuran monumen-monumen di Polandia semakin masif pada tahun 2016 ketika pemerintah Hukum dan Keadilan (PiS) konservatif nasional mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan otoritas lokal melakukan dekomunisasi ruang publik. Objek dan nama yang menyebarkan komunisme atau sistem totaliter lain harus dihapuskan. Kemudian, invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari 2022 mendorong Institute of National Remembrance untuk memperbarui upayanya untuk menghilangkan objek yang dianggap menghormati masa lalu komunis. Total puluhan tugu peringatan era komunis untuk Tentara Merah Soviet dibongkar habis-habisan karena menyimbolkan pengkhianatan dan penderitaan rakyat Polandia.

Penanganan berbeda bisa dilihat di Timor-Leste. Saat ini, Centro Nacional Chega! justru sedang melakukan proyek penandaan situs-situs historis, terutama penjara, tempat-tempat penahanan tidak resmi, tempat-tempat pembantaian, serta markas militer selama masa pendudukan Indonesia tahun 1975-1999. Pasca kemerdekaan, monumen-monumen di Timor-Leste banyak yang masih dipertahankan dengan maksud membangun narasi sejarah yang berimbang dan menjadi penanda perjuangan kemerdekaan. Upaya mengarsipkan daftar situs-situs historis merupakan upaya membangun memori kolektif tentang pengalaman selama perjuangan pembebasan, termasuk menghargai rasa sakit dan trauma yang muncul.

Monumen adalah sebuah legitimasi populer yang sangat dekat dengan masyarakat. Maka keberadaannya mendukung narasi nasionalisme budaya yang konstitusional. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa narasi itu rentan terhadap ketegangan antargolongan. Merujuk pada pembacaan Michael Leach, keberhasilan perjuangan kemerdekaan Timor-Timur disebabkan oleh kombinasi perlawanan bersenjata Falintil yang didominasi oleh kaum nasionalis generasi pertama, perlawanan sipil bawah tanah yang didominasi oleh pemuda dan kelompok mahasiswa, dan front diplomatik serta jaringan solidaritas internasional. Monumen digunakan sebagai media kontestasi tiga kekuatan antargenerasi untuk memperoleh pengakuan tentang peranan masing-masing kelompok dalam perjuangan kemerdekaan. Hal ini menunjukkan anerkennungskampf atau struggle for recognition, sebuah teori yang merupakan bagian integral dari filsafat sosial dan hukum Friedrich Hegel.

Di dalam pembahasannya mengenai fenomenologi roh, Hegel menjelaskan tentang kesadaran diri yang paling rendah yaitu hasrat. Hasrat bersikap menguasai dan memuaskan kepentingan. Kesadaran diri yang primitif itu kemudian dibatasi oleh kehadiran kesadaran orang lain yang kelak menciptakan kesadaran sosial yang dicapai melalui beragam rintangan dan pertentangan. Mereka saling menghapus atau menegasi untuk mengukuhkan eksistensinya sendiri.

Dari dua penanganan yang berbeda terhadap monumen publik bersejarah itu, kita bisa melihat bahwa monumen publik rentan menjadi alat propaganda politik untuk menyusupkan narasi sejarah dan ketokohan perorangan/kelompok. Monumen publik juga sangat berpengaruh pada memori dan pemaknaan masyarakat terhadap sejarah. Ia dapat sangat mengguncang dan mengusik perjalanan suatu bangsa, sehingga penghancuran monumen publik juga bisa dianggap merupakan bentuk tanggungjawab manusia terhadap sejarah.

Kota dan Jejak Kolektivitas

Maurice Halbwachs adalah salah satu pemikir periode awal yang fokus pada isu memori kolektif manusia. Di dalam salah satu bukunya, ia membuat satu bagian khusus soal keterikatan manusia dengan kelompok dan ruangnya—relasi yang sejak Durkheim hingga kini masih terus diperbincangkan.

Baru-baru ini, sebuah penelitian ilmiah oleh National Trust membuktikan bahwa tempat dengan ikatan personal yang kuat dapat menyebabkan otak manusia menjadi lebih terpicu dan bersemangat daripada benda-benda. Respons pada area otak amygdala (area utama otak untuk memproses emosi), Medial Prefrontal Cortex (bagian yang bertanggung jawab mengaktifkan emosi dan memori positif), dan Parahippocampal Place Area (bagian otak yang terkait dengan perasaan diri) menunjukkan bahwa tempat-tempat favorit seseorang merangsang rasa memiliki, aman secara fisik dan emosional, dan daya tarik internal yang kuat.

Di dalam Space and The Collective Memory yang ditulisnya sekitar tahun 1950, Halbwachs berpendapat bahwa ruang bukanlah entitas yang terpisah dari interaksi sosial, tetapi sebuah konstruksi yang diberikan makna oleh individu dan kelompok. Ia mengamini Durkheim tentang keinginan manusia berada di ruang yang tidak berubah dan selalu bisa menemaninya dalam keadaan yang stabil. Menurut Halbwachs, sesungguhnya itu bukan cuma perkara kenyamanan atau estetika. Lingkungan fisik kita menanggung jejak kita dan orang lain. Rumah, sekolah, kantor, dengan segala furnitur dan penataan ruangannya selalu mengingatkan manusia tentang keluarga dan teman yang sering dilihat dalam kerangka ruang tersebut. Ketika seseorang memiliki selera tentang ruang dan memiliki ideal tentang bagaimana ia seharusnya ditata, selera tersebut merupakan benang merah yang mengikatnya pada kelompok. Individu selalu merupakan bagian dari masyarakat yang meruang.

Seluruh furnitur, ornamen, gambar, peralatan, dan pernak-pernik juga selalu berada dalam radar suatu kelompok. Hal-hal itu adalah topik evaluasi dan perbandingan yang memberi wawasan tentang arah mode dan selera, yang mengingatkan individu pada kebiasaan lama serta perbedaan sosial. Halbwachs memberi contoh, di sebuah toko barang antik, pembeli berbelanja dengan angan-angan tentang pemilik lama sebuah benda. Mungkin sofa, permadani, alat makan, dan sebagainya. Dari era mana dan dari kelas masyarakat yang seperti apa pemiliknya dahulu kala? Secara bersamaan, pembeli itu sembari berpikir tentang dunia yang dapat dikenalinya, seolah-olah mode, gaya furnitur, dan penataan adalah bahasa yang dapat ia tafsirkan. Relasi manusia dengan ruang bukanlah sekadar keselarasan fisik antara tempat dan manusia. Sebaliknya, setiap objek yang ditempatkan secara tepat, akan mengacu pada cara hidup tertentu. Objek-objek itu dapat menunjukkan pemikiran yang tersusun atas kontribusi banyak kelompok.

Objek-objek itu berada di sekitar manusia sebagai masyarakat. Mereka adalah saksi yang meskipun bisu, tetapi tetap dapat dipahami karena memiliki makna yang mudah ditafsirkan. Kelihatannya saja mereka tidak bergerak, padahal mereka bisa “bergerak” juga, seiring berubahnya preferensi sosial dan kebiasaan seseorang. Misalnya, ketika seseorang bosan dengan lemari buku atau ranjangnya di rumah, secara ajaib, objek-objek itu akan tampak usang.

Kelanggengan dan tampilan interior sebuah ruang memaksakan citra yang menyenangkan dari kesinambungannya sendiri pada sebuah kelompok. Rutinitas yang berlangsung selama bertahun-tahun telah terlaksana melalui kerangka kerja yang begitu seragam. Sebuah kelompok tidak hanya mengubah ruang tempat ia disisipkan, tetapi juga menghasilkan dan beradaptasi dengan lingkungan fisiknya. Ia menjadi tertutup dalam kerangka yang telah dibangunnya sendiri. Citra kelompok tentang lingkungan luarnya dan hubungan stabilnya dengan lingkungan ini menjadi yang terpenting dalam gagasan yang dibentuknya sendiri, menembus setiap elemen kesadarannya, memoderasi dan mengatur evolusinya. Individu sebagai anggota kelompok tunduk pada sifat material dan berbagi ketetapan dengannya.

Inilah alasan Halbwach menyatakan bahwa citra spasial memainkan peran yang sangat penting dalam memori kolektif. Ruang dan kelompok saling menerima jejak yang lain. Setiap fase kelompok dapat diterjemahkan ke dalam istilah ruang. Menetapnya suatu kelompok di suatu ruang merupakan titik temu dari kesalingterimaan itu. Tentu saja, peristiwa-peristiwa juga bisa cocok dalam kerangka spasial kelompok, karena kejadian-kejadian membuat kelompok tersebut memiliki kesadaran yang lebih kuat akan masa lalu dan masa kini. Ikatan yang melekatkan kelompok pada lokasi fisik mendapatkan kejelasan yang lebih besar justru pada saat kehancurannya.

Sama seperti di dalam rumah, pojok di sebuah kota juga memiliki lokasi atau penanda yang tetap seperti pohon, batu, bukit, atau ladang. Bagi kelompok urban, ruang tidak memiliki kesan perubahan selama penanda-penanda itu dijaga agar tetap sama dan stabil. Menurut Halbwachs, masyarakat memberikan perhatian yang tidak proporsional pada aspek material kota. Mayoritas orang lebih peka terhadap penghancuran penanda kota, daripada peristiwa nasional, politik, atau agama. Ia mengajukan Paris dan Roma sebagai contoh. Dua kota itu seakan-akan berhasil melewati abad-abad penuh peperangan, revolusi, dan krisis tanpa merusak kesinambungan kehidupan di dalamnya atau mengubah penampilan kota.

Mungkin inilah alasan ruinologi bisa sangat menarik dipelajari, berkembang, dan menemukan irisan dengan wacana politik representasi. Ruinologi adalah studi tentang rekonstruksi spekulatif reruntuhan, mencakup studi tentang mekanisme kehancuran serta upaya untuk merekayasa balik kehancuran itu dan merekonstruksi sisa-sisa arsitektur. Dalam rekonstruksi spekulatif, temporalitas monumen ditunjukkan. Semua reruntuhan pasti merupakan reruntuhan dari sesuatu; reruntuhan adalah bukti nyata dari sesuatu yang hilang. Meskipun objek dalam ruinologi tidak lengkap atau parsial, memori kolektif masyarakat menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan. Ruinologi memang tidak memiliki implikasi sosial-budaya secara langsung, tetapi lewat ruinologi, manusia dapat membaca bagaimana keputusan tentang pembentukan dan penggunaan ruang diambil; bagaimana pelibatan masyarakat dengan kebudayaannya masing-masing dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Halbwachs, cara terbaik untuk memahami pengaruh lingkungan fisik kota terhadap kelompok-kelompok yang lambat beradaptasi dengannya adalah dengan mengamati sudut-sudut tertentu dari kota metropolitan modern. Seperti Paris dan Roma, kita juga bisa melihatnya di sudut-sudut kota tua di Indonesia, di bagian-bagian yang relatif terisolasi.

Di Bandung, model ini dapat dilihat di beberapa titik Pecinan, jejak peninggalan kebijakan politik dan ekonomi kolonial Belanda. Pemukiman, sekolah, toko sembako, toko obat, jasa Sinshe, restoran, dan kebutuhan lain berada di radius yang berdekatan. Ketika berada di situ sekarang, orang akan merasa masuk ke dalam mesin waktu dan mundur ke masa ketika ruang itu terbentuk, lalu membayangkan laku masyarakat mengkonstruksi, mengisi, dan menghidupkan ruang itu.

Di tempat-tempat tersebut, kelompok perkotaan benar-benar merupakan tubuh sosial dengan subdivisi dan struktur yang mereproduksi konfigurasi fisik kota yang melingkupinya. Diferensiasi suatu kota muncul dari keragaman fungsi dan adat istiadatnya. Sementara kelompok terus berkembang, tampilan luar kota berubah dengan ritme yang lebih lambat. Kebiasaan yang terkait dengan pengaturan fisik tertentu melawan dominasi dari luar yang cenderung mengubahnya. Perlawanan itu kelak akan menunjukkan sejauh mana memori kolektif kelompok-kelompok didasarkan pada citra spasial.

Jika hubungan antara perkotaan dan kelompok yang menghuninya tidak sekuat itu, maka sangat mungkin orang akan mudah dan sering menghancurkan penanda atau mengganti bangunan lama menjadi bangunan baru. Namun, hubungan yang terjalin antara penanda dan kelompok manusia tidak mudah diubah. Kekuatan tradisi lokal muncul dari objek fisik yang menjadi imajinya. Misalnya, jika sebongkah dolmen atau menhir yang memiliki makna tertentu dipindahkan, kelompok yang terkait dengannya akan melakukan perlawanan. Perlawanan ini muncul dari hubungan intens ruang dan isinya dengan kelompok-kelompok. Perlawanan dan benturan ini terjadi karena ada sebuah konstruksi oleh satu kelompok yang dibatalkan oleh kelompok lain. Perubahan pada ruang fisik pasti akan mempengaruhi kebiasaan kelompok, membuat masyarakat mengalami malaise.

Ruang bagi masyarakat bagaikan semesta kecil yang memiliki banyak kenangan soal bagaimana mereka tumbuh dan berkembang. Manusia terus membangun, mempertahankan, atau menghancurkan penanda ruang yang merupakan milik/bukan miliknya. Itu adalah cara manusia memaknai dirinya—baik sebagai individu, maupun sebagai bagian dari sebuah kelompok.

 

Referensi

Halbwachs, Maurice. 1950. The Collective Memory. New York: Harper Colophon Books.

Historia Poszukaj, Osiemlwów, Czterech Ptaków Pilnuje Siedmiu Łajdaków, Pomnik Lokalistów Na Placu Sakim, https://historiaposzukaj.pl/wiedza,obiekty,211,obiekt_obelisk_warszawa.html

Jason Parry, Ruinology, Philosophy Today Volume 63, Issue 4, Fall 2019 New Concepts for Materialism, Pages 1081-1091. https://doi.org/10.5840/philtoday2020128312

Leach, Michael. 2009. “Difficult memories: The independence struggle as cultural heritage in East Timor” dalam Places of Pain and Shame: Dealing with ‘difficult heritage’. London: Routledge.

Notes from Poland, 20 Soviet memorials removed in Poland this year and 40 to go, says head of state history body, https://notesfrompoland.com/2022/09/28/20-soviet-memorials-removed-in-poland-this-year-40-to-go-head-of-state-history-body/

National Trust, Places that make us, research report.

Rand, Ayn. 1964. The Virtue of Selfishness. New York: New American Library.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Jangkar merupakan sebuah rubrik ulasan atau kritik atas karya, peristiwa/proyek seni, fenomena tertentu, aktivitas keseharian tertentu atau catatan riset-riset seni atau budaya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah popular. Dinamai demikian karena sifat tulisan yang diharapkan bersifat kuat, komprehensif, dan mendalam bak jangkar di dalamnya lautan. Jumlah kata: 2500-3500 kata. Contoh tulisan Jangkar: Paradoks Monumen Publik: Hasrat Individual dan Upaya Merawat Memori Kolektif […]

Kalender Postingan

Selasa, Desember 3rd