25 Tahun Perwakas dan Gerakan Gender Akar Rumput di Maumere

Pada 2023, Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka) menginjak usia yang ke 25 tahun. Organisasi ini bermula dari gerakan organik sekelompok waria di Kampung Wuring, sebuah perkampungan nelayan suku Bajo dan Bugis di pesisir utara Maumere. Sejak berdiri secara formal di tahun 1998, Perwakas melakukan banyak kegiatan sosial kemanusiaan, membangun penerimaan atas kelompok waria, dan merangsang munculnya komunitas serta gerakan berbasis gender di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur. Nilai dan dampak dari gerakan Perwakas hari ini tak hanya berlangsung pada komunitas waria saja tetapi juga kepada masyarakat luas. Lewat penelusuran atas cerita para eksponen dan arsip Perwakas, tulisan yang merekam linimasa gerakan waria ini dihadirkan. 

Lis Merantau ke Surabaya

6 April 1957, Lis Andriani Alen lahir. Ia tumbuh dan menghabiskan masa remaja di Maumere. Putus sekolah saat SMP dan mulai bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah, pembantu rumah tangga, dan sesekali mengasuh anak, Lis terbiasa bekerja keras. 

Lis remaja bergabung dalam lingkaran pertemanan di kalangan waria pada masa-masa itu yang juga sepenanggungan: tidak nyaman di rumah, putus sekolah, dan hanya bisa mengakses pekerjaan domestik. Para waria waktu itu bergerak dalam kesenyapan. Berkumpul, berdandan dan bepergian dengan gaun hanya dilakukan di malam hari. Itu pun perlu hati-hati. Beberapa orang yang mereka jumpai di jalanan kadang kala mengganggu hingga melakukan kekerasan. 

“Dulu, waktu kita pertama kali waria di Maumere, tahun-tahun begitu tuh susah sekali. Sulit sekali kita mau keluar. Kita mau keluar tuh pasti mesti malam.” – Lis Andriani Alen

Bersama teman-teman sepergaulan, Lis punya aktivitas lain: mangkal di Sadang Bui (nama lokal untuk Pelabuhan Lorens Say kini). Sadang Bui menjadi titik pertemuan dengan waria-waria lain yang ada di kota Maumere. Di Sadang Bui pula, relasi dengan ‘orang kapal’ mulai terjalin. Akses untuk bepergian ke luar Flores pun kian terbuka lebar. 

Lis berfoto dengan latar tugu Surabaya. Dok. Pribadi Lis

Tahun 1976, setelah mengumpulkan sedikit uang dari berjualan es cendol, pisang goreng, dan panganan lainnya, Lis memantapkan diri merantau. Ia ikut salah satu kapal barang, berlayar ke Surabaya. Di Surabaya, Lis bekerja sebagai ART, kemudian bolak-balik bekerja di kapal sebagai juru masak. Ia kemudian memutuskan untuk kursus kecantikan di  Surabaya pada tahun 80-an. 

Lis juga bergabung dengan komunitas Perwakos (Persatuan Waria Kota Madya Surabaya) yang baru berdiri pada 13 November 1978. Waktu itu, Perwakos diketuai oleh Pangki Kentut. Tidak semua waria Maumere bisa menjadi anggota Perwakos. Salah satu syarat untuk bergabung menjadi anggota Perwakos adalah berdomisili di Surabaya atau sekitarnya. Setiap anggota Perwakos diberikan kartu anggota. 

Berbekal kartu anggota Perwakos, Lis turut mengakses ruang publik berupa Taman Remaja Surabaya. Taman Remaja merupakan ruang publik di Kota Surabaya yang berdiri sejak 20 Agustus 1971 (hingga 2018) dan didanai oleh pemerintah kotamadya Surabaya. Taman ini dilengkapi dengan  wahana bermain untuk anak hingga dewasa. 

Perwakos memiliki privilese untuk mengakses ruang publik itu secara bebas dan diberi ruang untuk tampil di panggung hiburan. Taman Remaja Surabaya memberikan kesempatan bagi para waria untuk bernyanyi, menari, atau bermusik. Sebut saja Misri Mutiara, sebuah grup orkes Melayu Perwakos, kerap tampil di panggung Taman Remaja setiap Kamis malam.  

Lambat laun, Lis dan teman-teman yang ada di Surabaya terkoneksi dengan teman-teman sesama waria dari Maumere yang juga melakukan perjalanan dan bermigrasi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Ada yang di Jakarta, Kalimantan, Makassar, Kupang, bahkan Maluku hingga Papua. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai juru masak kapal. Kala itu pelabuhan Tanjung Perak begitu ramai dan jadi salah satu pusat pelayaran di Indonesia. Dengan demikian, Surabaya selalu jadi perhentian kapal-kapal sekaligus titik simpul jalinan persaudaraan yang dibangun para waria.

Berbekal kursus kecantikan dan menekuni tata rias, awal tahun 80-an Lis akhirnya membuka salonnya sendiri di kos-kosannya di daerah Kalimas. Salonnya tak jauh dari Tanjung Perak. Dengan modal yang dikumpul dari hari ke hari, ia pelan-pelan melengkapi peralatan salonnya dan bekerja secara khusus untuk pelurusan rambut.

Jika kapal sedang  singgah di Surabaya, salon dan kamar kos Lis menjadi tempat transit bagi teman-teman waria dari Maumere yang berlayar. Lis berperan sebagai penghubung antara teman-teman dari Maumere dengan Perwakos. Jika selama masa singgah itu ada hari Kamis, para tamu wajib ikut nongkrong di Taman Remaja, berkenalan dengan waria-waria Perwakos, berdandan, dan mengalami hiburan yang lazim berlangsung di taman itu. 

Hampir 20 tahun Lis bertaruh nasib di Surabaya hingga suatu hari ia ditelepon untuk pulang. Ibunya sakit dan tak ada yang merawat. Tahun 1995 ia pulang ke Maumere. Semua perkakas salonnya dibawa serta. Sejak tahun itu pula ia membuka Lies Salon, salon kecantikan pertama di Maumere yang dikelola oleh waria.

Kampung Wuring, Cikal Bakal Gerakan Waria di Maumere

Di era 1970-1980an, penyakit diare acap kali berstatus KLB (Kejadian Luar Biasa) karena menimbulkan banyak kematian di Indonesia. Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) pada 1981 di seluruh puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan penderita, terutama pelayanan melalui posyandu. 

Baco Gaebo turut bergabung menjadi kader posyandu pada 1983. Waktu itu, ia baru saja menamatkan sekolah menengah atas di kota Ende dan kembali ke Wuring. 

“Ah, sebenarnya saya tidak ditawari jadi kader. Pada waktu itu tahun 83. Dulu terjadi bencana yang luar biasa. Setiap hari orang meninggal, 2-3. Itu karena kena penyakit diare, mencret. Akhirnya, ditawari; ‘Om Baco mau kah, jadi kader?’ Saya bilang, saya mau kalau hanya untuk membantu masyarakat toh, ha seperti itu.” – Baco Gaebo

Fin Woga, seorang tenaga kesehatan yang aktif di Puskesmas Kopeta masa itu mengajak para waria untuk terlibat sebagai kader posyandu di Kampung Wuring. Selain Baco, beberapa waria lain seperti Wahida Kamal, Lisa, dan Mona pun turut terlibat. Para waria kala itu bersekolah dan memiliki kemampuan baca tulis sehingga memudahkan pekerjaan pendataan lapangan. Baco lulus SMA, Mona dan Lisa mengecap pendidikan hingga bangku SMA dan Wahida hingga SMP. 

Wahida dan Mirna, dua waria yang mengelola Posyandu di Wuring. Dok. Pribadi Wahida
Mirna dan Wahida, dua waria yang mengelola Posyandu di Wuring. Dok. Pribadi Wahida

Ada tiga posyandu di wilayah Kampung Wuring. Setiap posyandu memiliki 2 kader posyandu waria. Saat aktivitas di posyandu dilakukan, kader-kader ini bekerja di meja registrasi, menimbang balita dan mensosialisasikan beberapa informasi penting tentang kesehatan (setelah diberikan pelatihan sebelumnya). Selain itu, kader posyandu juga bertugas untuk melakukan pendataan lapangan dari rumah ke rumah. Para kader ini juga kerap dibekali berbagai pelatihan tentang kesehatan. 

Saat gempa dan tsunami hebat melanda Flores pada 12 Desember 1992, Wuring menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kerusakan yang parah. Baco dan Wahida mengambil sisa bahan makanan dari dapur mereka seperti air minum dan beras yang masih bisa diselamatkan dari bencana. Bahan-bahan makanan itu mereka junjung ke tempat pengungsian warga dan mulai memasak. Mereka coba bertahan dengan makanan yang ada, hingga dapur umum didirikan dan mereka mendapat bantuan dari Yayasan Pelita Swadaya, sebuah yayasan yang dikelola oleh Frans Seda. 

Para waria yang tergabung sebagai kader posyandu terlibat untuk mengelola dapur umum. Ada yang memasak, membagi makanan, dan mencuci alat makan. Dapur umum ini kemudian berlanjut hingga Maret 1993. Selama 3 bulan, fokus dapur umum adalah memperbaiki gizi bayi dan balita. 

Saat menceritakan kembali, Wahida berkelakar dan menirukan cara ia bicara kepada warga ketika memasak dan membagikan makanan,

“kalian panggil banci Wuring, hari ini banci ini yang masak kasih kalian dan kalian punya anak-anak!”

Kini, beberapa waria masih bergerak di bidang kesehatan. Baco Gaebo masih konsisten menjadi kader posyandu dan menjadi kepala sekolah di sebuah PAUD di Kelurahan Wuring. Wahida menjadi kader penyuluhan HIV/AIDS bagi waria di Maumere. Beberapa waria muda seperti Yolanda dan Mayora menjadi penjangkau ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). 

Sejak 1983, para waria di Wuring yang sudah bergabung sebagai kader posyandu membentuk sebuah komunitas tidak formal bernama Melati Putih. Melati Putih adalah komunitas organik, sekaligus menjadi ruang aman bagi waria di Wuring. Melati Putih bukanlah sebuah komunitas yang formal dengan aturan yang ketat. Waria dari manapun bisa bergabung menjadi bagian dari komunitas tersebut. Banyak waria dari luar Kampung Wuring, dengan etnis dan agama yang beragam turut bergabung.

Baco Gaebo yang jago voli sejak SMP dan juga pernah mengikuti Training of Trainer khusus voli di Kupang mulai membagi pengetahuannya kepada sesama anggota Melati Putih. 

“Kebetulan saya dulu dilatih di provinsi. Training of Trainers itu, dilatih sebagai pelatih voli. Jadi saya bilang saya mau latihan latih karena banyak waria yang tidak tahu apa-apa. Kebetulan waria saya punya teman kan dari Wuring bisa dikatakan mereka punya sekolah kan, yah lumayan toh. Sekalipun hanya tamat SD-SMP. Tapi kan sudah bisa bergaul. Jadi saya latih mereka, teman-teman, bagaimana cara servis, passing bola bawah, passing bola atas. Akhirnya kita buat satu klub. Klub apa namanya, Melati Putih. Melati Putih itu dengan ciri-ciri ini ini ini. Melati ya warna putih kan berarti mewangi sepanjang masa. Menurut teman-teman, toh. Seperti itu.” – Baco Gaebo

Mereka rutin berlatih voli. Dari pengetahuan dasar kemudian berkembang menjadi keberanian untuk sparring dengan tim lain. 

Voli menjadi salah satu modus untuk berjumpa dengan kelompok lain di luar Wuring. Melati Putih dikenal sebagai grup voli yang kerap diundang untuk sparring dengan grup voli lainnya di Maumere. Beberapa instansi dengan aktivitas olahraga serupa turut mengundang Melati Putih. Beberapa diantaranya adalah kelompok ibu-ibu Bhayangkari dan ibu-ibu PKK (Perempuan Kepala Keluarga). Kadang tak hanya ibu-ibu tetapi juga laki-laki, seperti para tentara atau polisi. Belakangan, voli menjadi agenda wajib saat melakukan kunjungan ke berbagai wilayah di NTT hingga Makassar. 

Perwakas bertanding melawan karangtaruna Nangahure. Dok. Komunitas KAHE. Foto: Sidhiv

Selain voli, Melati Putih juga sering tampil sebagai grup kasidah. Grup ini kerap diundang dalam acara-acara penting seperti halal-bihalal, acara kantoran, atau natal bersama. Grup ini tidak hanya tampil di wilayah Wuring dan Nangahure, tetapi  juga untuk tampil di wilayah Maumere. 

Selain Melati Putih, ada juga sebuah band dangdut di Wuring bernama Goce, alias Goyang Cewe. Band ini memiliki 3 biduan yang semuanya waria: Lisa, Lastri, dan Sheila. Goce sering tampil di acara pernikahan baik yang berlangsung di Wuring, Maumere, hingga Ende. 

Sementara pada tahun 70-an hingga awal 90-an, diskriminasi dan persekusi masih terus terjadi, Wuring menjadi ruang paling aman bagi waria. Beberapa waria dari Maumere juga mulai mengunjungi komunitas di Wuring dan saling mengenal. 

Tahun 90-an awal, banyak waria yang kembali dari tanah rantau. Sebagaimana Lis, banyak waria lain yang merantau turut pulang ke Maumere karena berbagai alasan. Mona tak pernah berlayar lagi. Diana juga memutuskan untuk kembali. Dengan bekal modal dan keterampilan yang mereka peroleh di tanah rantau, mereka membuka berbagai macam usaha untuk hidup mereka dan keluarga. 

Perwakas Dibentuk

Inisiatif mendirikan sebuah organisasi yang lebih serius di kalangan para waria datang dari Lambertus Dore Purek. Ia adalah mantan mahasiswa STFK Ledalero yang kemudian mendirikan Yayasan Cinta Kehidupan (YCK). Yayasan Cinta Kehidupan didanai oleh AusAid dan berfokus pada pencegahan infeksi menular seksual, HIV, dan AIDS.

Saat itu, Lambertus Purek dan stafnya tengah melakukan assessment di lapangan dan berjumpa dengan para waria. Waria yang ia jumpai adalah Dewi, Lis, Mona, Lastri, dan beberapa waria senior lainnya. Sejak mengerjakan skripsi sarjana, Lambertus sudah punya ketertarikan yang besar dan studi yang dalam tentang waria di Maumere. Ia punya keprihatinan terhadap situasi diskriminasi yang berlangsung. Kali ini, motivasinya ditambah dengan program yang sedang dijalankan. Waria jadi salah satu sasaran kunci program-program YCK. Ia makin punya alasan untuk mengorganisasi teman-teman waria. 

Dewi dan Lis, menurut Lambertus Purek, merupakan aktor-aktor penggerak yang bisa mempengaruhi  waria lain untuk membentuk satu organisasi. Ia ingin organisasi ini bisa jadi payung bagi gerakan waria, untuk kampanye-kampanye baik tentang identitas dan ekspresi gender mereka. Lebih jauh, ia ingin dengan potensi dan modal yang mereka miliki, teman-teman waria bisa berdaya dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Pada 23-24 Desember 1998, Lambert Purek dan para waria berkumpul untuk membahas soal pendirian organisasi. Pembahasan yang berlangsung selama 2 hari ini bertempat di Gedung L3KI St. Thomas Morus, Maumere. 

Penentuan nama organisasi dilakukan. Beberapa nama muncul. Lis mengusulkan untuk memberi nama Perwakas, akronim dari Persatuan Waria Kabupaten Sikka. Nama ini terinspirasi dari perjumpaan Lis dan kawan-kawan dengan Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya). Semua setuju. Nama itulah yang dipilih. 

Agenda selanjutnya adalah memilih ketua Perwakas. Ada tiga calon yang dicalonkan dan mencalonkan diri. Masing-masing calon ketua memaparkan visi dan misi mereka. 

Lambertus Purek mengingat dengan baik visi dan misi Mona, salah satu calon ketua Perwakas hari itu. 

“Visi dan misi saya, saya ingin membahagiakan teman-teman.” 

Pemilihan ketua dilakukan dengan pemungutan suara. Mona menang voting dan menjadi ketua pertama Perwakas. 

Menurut cerita Lambertus Purek, pada hari kedua, anggota Perwakas kembali berkumpul di Gedung LK3I. Hari itu mereka akan bertemu dengan Ibu Bupati Sikka, Gerardiana Moa, di rumah jabatan bupati Sikka (sekarang rumah jabatan wakil bupati Sikka). Maksud dan tujuan pertemuan itu adalah untuk mendeklarasikan organisasi Perwakas yang baru berumur 1 hari, serta membicarakan kemungkinan kerjasama yang bisa dilangsungkan antara PKK (Perempuan Kepala Keluarga) dengan Perwakas. 

“Saya harapkan kita merangkul mereka. Jangan isolasikan mereka. Ajak mereka bergabung dalam kelompok PKK atau organisasi sosial dan kemasyarakatan lainnya. Sudah saatnya kita mengubah sikap dan pandangan. Tidak ada hal yang perlu ditakuti dari para waria,…..Saya berjanji memberi pelatihan dalam bidang keterampilan memasak dan menjahit. Dan PKK Kabupaten siap bekerja sama dengan waria. Dengan bekerja sama, kita siap membagi pengetahuan dan keterampilan.” – Gerardiana Moa, kutipan Koran Dian, Februari 1999.

Bersama Yayasan Cinta Kehidupan, individu-individu Perwakas mulai belajar tentang pengembangan kapasitas, berbagai hal tentang manajemen diri dan organisasi serta menjadi fasilitator dalam sosialisasi kondom dan HIV/AIDS. Seperti biasa, aktivitas mereka selalu berangkat dari keterampilan yang mereka punya. Sosialisasi HIV/AIDS mereka kemas dalam konser musik dangdut, malam kesenian, lomba kreasi kondom, hingga sparring voli dari kecamatan ke kecamatan. Seluruh hidup mereka adalah kampanye itu sendiri. 

Para Waria berfoto bersama Bupati Sikka, Drs. Sosismus Mitang, S.Sos pada salah satu kontes Ratu Waria. Dok. Perwakas

Aktivisme Perwakas tak hanya berlangsung di konteks Maumere. Mona mewakili Perwakas mengikuti Male Health Workshop di Cisarua, Jawa Barat pada 19-21 April 2001. Baco Gaebo terlibat dalam Pertemuan Nasional Waria I pada 18-23 Januari 2009 di Jawa Barat dan mewakili Nusa Tenggara Timur. Wahida Kamal pernah terlibat dalam Pertemuan Nasional HIV ke IV se-Indonesia yang digelar di Yogyakarta pada tahun 2011.  Pernas ini diwarnai dengan aksi demo segenap aktivis LSM dan relawan HIV/AIDS. Mereka menolak dualisme kepemimpinan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Kemenkes. Pernas ini melahirkan rekomendasi pembentukan KPA sebagai lembaga nonstruktural dan independen. 

Setiap kegiatan Perwakas mulai mendapat dukungan dari pemerintah. Sebut saja, Festival Ratu Waria Sikka yang diselenggarakan oleh Perwakas pada tahun 2000 turut dihadiri oleh Bupati Paulus Moa. Festival selanjutnya dilakukan dalam cakupan wilayah yang lebih luas yaitu Festival Ratu Waria se-Flores Lembata pada 2013 yang disponsori oleh Andinda Lebu Raya, istri Gubernur Frans Lebu Raya. 

Sepanjang 1998 hingga 2023, pemilihan ketua Perwakas dilakukan sebanyak 5 kali. Setiap ketua membawa warna yang tersendiri bagi komunitas. Mona, Baco, dan Wahida banyak menginisiasi gerakan-gerakan sosial dan kesehatan. Olga Sabrina banyak membuat festival voli dan kunjungan rutin ke lapas (lembaga pemasyarakatan). Vera Krus menggelar kontes kecantikan atau ratu waria. 

Setelah Pesta Perak Perwakas

Gerakan waria di Maumere yang berangkat dari tahun 1970-an hingga kini berdampak bagi komunitas dan masyarakat yang lebih inklusif. Gerakan itu bermula dari ruang yang sangat domestik: salon, dapur umum, dan posyandu, lalu beralih dengan cakupan yang lebih luas. 

Hari ini, waria di Maumere punya status sosial dan mandiri secara ekonomi. Mereka menjadi penggerak ekonomi  dengan salon kecantikan yang menopang hidup serta keluarga mereka. Beberapa waria menjadi penjangkau ODHA dan aktif merawat komunitas ODHA yang ada di Maumere. Baco Gaebo yang dulunya adalah kader posyandu dan pelatih tim voli Melati Putih kini memimpin PAUD Sayang Anak, Nangahure, yang ia inisiasi.  Virgin menggelar perhelatan voli yang melibatkan banyak masa. Inang Novi yang pernah bekerja di Seminari St. Petrus, Ritapiret sebagai tukang masak kini berkarya sebagai penyuluh pertanian sekaligus koster di gereja. Bunda Mayora, menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa Habi, waria pejabat publik pertama di Indonesia.  

Pada 2019, waria mendapat tempat istimewa pada perayaan 50 tahun STFK Ledalero, di Kabupaten Sikka. Tema soal gender dibahas secara khusus di simposium filsafat dan teologi yang mereka buat. Para waria dilibatkan sebagai pembicara. Mereka juga membawakan beberapa acara, mulai dari fashion show hingga teater. Kehadiran waria di STFK Ledalero adalah peristiwa simbolik, bagaimana Ledalero sebagai institusi pendidikan calon imam Katolik yang punya pengaruh di Asia bisa membuka diri terhadap diskursus gender yang kritis dan progresif. Keterbukaan Ledalero diharapkan jadi simbol keterbukaan umat Katolik. Khanis Suvianita yang meriset tentang waria di Maumere untuk disertasi doktoralnya punya tesis: kalau Gereja Katolik bisa secara jujur menerima keragaman gender dan seksualitas, sudah pasti umat akan menerima hal serupa.

Mayora mendirikan Fajar Sikka pada 2018. Komunitas ini bergerak sangat pesat, merambah banyak bidang. Mereka tidak hanya aktif melayani aspirasi dan kepentingan kelompok waria tetapi mulai bekerja secara interseksonal dengan kelompok dan bidang kerja yang lain. Mereka bekerja dengan mama-mama lansia, perempuan, dan anak-anak. Mereka bicara soal krisis iklim, masyarakat adat, kelompok disabilitas dan ketenagakerjaan.

Para peserta sosialisasi dan diskusi Rancangan Perda Kota Ramah HAM yang diinisiasi oleh Fajar Sikka berpose bersama setelah acara. Dok. Komunitas KAHE

Fajar Sikka bekerja dengan banyak mitra. Mereka membuat latihan kepemimpinan untuk teman-teman queer Indonesia Timur, bekerja sama dengan GaYa Nusantara. Bersama dengan TRUK, Fajar Sikka merintis perancangan Perda Ramah HAM yang berupaya memperjuangkan aksesibilitas kelompok-kelompok marjinal dan rentan pada fasilitas serta kebijakan publik. 

Haji Mona dan Wahida berjalan ke beberapa kabupaten, berbagi kisah tentang Perwakas dan pentingnya kaum waria mengorganisasi diri. Beberapa komunitas waria terbentuk di Ende. Di Larantuka, waria-waria yang berjumpa dengan Perwakas membentuk IKWAL (Ikatan Waria Larantuka). Di Manggarai, IWAMA (Ikatan Waria Manggarai) dibentuk sebagai wadah berkumpul dan membangun gerakan. IWAMA dirintis oleh beberapa eksponen Perwakas yang pindah ke Ruteng untuk mencari peruntungan hidup.

Setelah 25 tahun Perwakas, rasa-rasanya ideal tentang masyarakat Flores yang inklusif setidaknya bisa dibayangkan.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Karmadina dalam rubrik Cerita-cerita Keberagaman dari Maumere membagikan perjalanan “25 Tahun Perwakas dan Gerakan Gender Akar Rumput di Maumere“. Sejarah Perwakas adalah kisah tubuh-subjek waria yang mengalami dan membangun dunianya. […]

trackback

[…] dari penelitian bersama Perwakas dan Komunitas KAHE tentang sejarah solidaritas transpuan di Maumere, saya menelusuri kembali arsip media massa di […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th