Langit sore sedang bagus-bagusnya waktu itu. Perpaduan biru, jingga, dan putih yang tidak saling meniadakan atau menonjolkan yang lain, kombinasi di mana setiap warna pas. Saya sedang bercengkrama bersama teman-teman di Sekret Himala (Himpunan Mahasiswa Lamaholot). Kami berbagi cerita tentang banyak hal, terutama berkaitan dengan rencana untuk menyelenggarakan sebuah pementasan teater. Beberapa dari kami mengenyam pendidikan di Seminari Hokeng. Pengalaman ditempa di almamater yang sama itu memunculkan gagasan mengenai pementasan yang kemudian terbengkalai karena kesibukan kami masing-masing.
Di tengah perbincangan kami, ada pesan masuk dari Pius, salah seorang teman saya di kampus. Pius menyampaikan perihal tawaran dari Kak Eka, (atau juga yang biasa disapa Kak Gembul) untuk menjadi bagian dari tim pementasan yang akan diselenggarakan oleh Komunitas KAHE. Di antara perasaan senang, gugup, dan ragu, saya mengiyakan tawaran tersebut.
24 Juni 2023, jam 5 sore bertempat di ruangan pertemuan Komunitas KAHE, tim pementasan bertemu untuk pertama kali. Sebagian besar wajah tidak asing bagi saya, beberapa baru saya temui hari itu. Mereka berasal dari latar belakang dan keahlian yang berbeda. Hal pertama yang dibahas dalam pertemuan ini adalah pembagian divisi produksi. Ada dua divisi utama: divisi penyutradaraan dan divisi artistik. Saya dipercaya untuk menjadi asisten sutradara. Saat itu, saya bingung sekaligus penasaran.
Saya penasaran bagaimana konsep dasar yang akan menjadi fondasi dari pementasan ini. Saya datang dari tradisi teater di seminari dengan corak teater surealis, dominasi obor dan api, serta kekuatan tubuh aktor yang bergerak akrobatik menjadi semacam dogma kesenian yang membentuk identitas teater di seminari. Dogma kesenian ini kemudian memunculkan kriteria atau standar terkait teater, yakni bentuk-bentuk yang di luar pakem teater seminari dinilai sebagai bukan teater. Hal itu bertahun-tahun saya terima sebagai pengetahuan kesenian yang mempengaruhi tidak saja cara berpikir, tetapi juga cara kerja saya dalam berteater. Tawaran ini membuat saya bertanya-tanya, apakah Komunitas KAHE memiliki suatu pakem atau formula untuk meracik sebuah pementasan teater? Adakah kriteria tertentu yang menjadi semacam dogma bagi pementasan teater di Komunitas KAHE?
Saya juga bingung dengan jumlah aktor yang terbatas dalam pementasan teater ini. Ada tiga aktor dari Komunitas KAHE ditambah Pius. Empat orang untuk sebuah pertunjukkan adalah hal yang sulit untuk saya bayangkan. Selain monolog, saya belum pernah bekerja dengan pementasan teater yang melibatkan empat aktor. Bagaimana setting, cerita, dan peristiwa yang akan diciptakan di atas panggung? Dengan pengalaman berteater di seminari yang biasanya melibatkan lebih dari sepuluh aktor dengan gerakan yang banyak secara massal di setiap adegan, rencana pementasan teater dengan 4 orang aktor ini menempatkan saya pada rasa bingung yang menggairahkan. Kira-kira, seperti apa nantinya pertunjukkan ini?
Semua rasa penasaran dan bingung itu perlahan-lahan terjawab dalam proses menuju pementasan. Proses ini tidak hanya menjawab pertanyaan yang ada di kepala saya, tetapi juga juga memperluas spektrum pengetahuan emosional dan pengetahuan kesenian saya. Proses ini dimulai dengan penggarapan naskah oleh tim penyusun naskah. Saya tergabung di dalam tim ini.
Cerpen “Seribu kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam menjadi bacaan yang dipakai sebagai pemantik dan referensi untuk naskah yang akan dikerjakan Kak Eka, kak Rio, Kak Carlin, Kak Julia, Pius dan saya. Di ruangan kerja Komunitas KAHE, kami membagikan hasil pembacaan kami berkaitan dengan perasaan, kemampuan kepenulisan, percakapan di dalam cerpen itu, serta bagaimana ruang kamar menjadi medan pergulatan ideologi, keyakinan, juga prinsip.
Pertunjukan “Tujuh Baris Terakhir Terakhir Percakapan Kita” mengadopsi dramaturgi cerpen ini. Ini menjadi proses alih wahana, yakni bagaimana mengubah teks cerpen menjadi sebuah pertunjukkan teater. Dengan mengacu pada teks cerpen, pertunjukkan ini akan menggunakan set yang minimalis, lakon yang diperankan oleh dua tokoh, percakapan dan adegan yang intens, satu peristiwa di dalam adegan, serta tema cinta. Cinta yang membosankan, yang hambar, tetapi dipaksa untuk dipertahankan.
Pertunjukkan kemudian dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama tidak saja memperlihatkan suasana ceria yang dibangun kedua aktor sebagai sepasang kekasih, tetapi juga memberikan sinyal bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari salah satu tokoh. Babak kedua merupakan percakapan emosional setelah kedua tokoh bercinta. Satu per satu janji, rencana, dan pandangan masing-masing tokoh mengenai rumah, keluarga, dan masa depan dimunculkan. Namun, semua patah ketika ada orang ketiga di dalam perjalanan cinta mereka. Apa yang mengikat lebih kuat daripada hal yang memisahkan? Ternyata cinta saja tidak cukup untuk menyatukan sepasang manusia. Batas sosial yang membentangkan perangkat (bisa juga perangkap) norma, keyakinan, budaya, serta prinsip masing-masing. Apakah ini seperti Romeo dan Juliet berabad-abad yang lalu? Mungkin ini versi yang lebih modern.
Setelah bangunan konsep pementasan itu dibentuk, kami masuk pada tahap pembentukan konsep cerita. Gambaran tokoh dan karakter ditentukan. Tokoh A digambarkan sebagai kalangan kelas menengah (aktivis), usia 30-an, beragama Katolik, punya bayangan ideal soal keluarga yang konvensional. Tokoh B dibuat kontras, seperti antitesis dari tokoh A. Tokoh B dibayangkan berasal dari kelompok menengah terdidik, awal 30-an, seseorang yang masih ingin bersenang-senang, serta mempunyai pandangan yang lebih liberal soal keluarga.
Premis cerita kemudian ditetapkan. Seseorang datang menemui kekasihnya, di tempat sang kekasih, dan menemukan bahwa sang kekasih ternyata berhubungan dengan orang lain. Perselingkuhan adalah titik kulminasi. Konflik itu sebetulnya sudah terlihat melalui kontras dari kedua tokoh sejak awal.
Setelah semua persiapan konseptual selesai, saatnya menuangkan semua konsep ke dalam naskah. Kami melakukan jamming naskah. Ini adalah proses yang baru bagi saya. Layaknya bermain catur, dua orang berhadapan sambil menggunakan laptop masing-masing, dengan bantuan aplikasi Arc Studio yang membuat satu teks bisa dikerjakan oleh beberapa orang. Kami saling menantang, menunggu, masing-masing dalam takut dan ragu. Ragu melanjutkan percakapan, takut yang lampau atau yang dirahasiakan tertuang di dalam teks. Kak Carlin, Kak Eka, Kak Rio, dan saya akhirnya bermain-main dengan metode ini.
Pada giliran pertama, saya berpasangan dengan Kak Eka. Saya terlalu lama berpikir dan terlalu ragu. Karena ingin memuaskan Kak Eka, percakapan menjadi tidak seimbang dan tidak emosional. Begitulah hasil koreksi dari teman-teman. Di tahap improvisasi ini, intuisi, emosi, dan rasa ikut dibangun. Pikiran dan gagasan dipakai di awal ketika berusaha membangun ide pertunjukannya. Begitulah kira-kira saran Kak Eka.
Pada jamming naskah sesi kedua, kami bertukar pasangan. Saya berpasangan dengan Kak Rio. “Apakah kau yakin jika cinta dapat menyatukan dua samudera?” Kak Rio membuka percakapan. “Biarkan perasaan mengalir, jangan terlalu menggunakan rasionalitas.” Di tahap ini, tidak ada lagi ketakutan untuk salah dan semuanya menjadi lebih mengalir dan terasa seru.
Jamming naskah selesai, semuanya puas. Naskah ini juga akan bermain-main dengan gender. Tidak hanya pasangan heteroseksual yang akan ditampilkan, tetapi juga pasangan homoseksual. Itulah yang direncanakan. Cukup berani dan menantang, menurut saya. Bagaimana dengan respon penonton? Itulah yang sebenarnya lebih saya nantikan di dalam pertunjukkan ini.
Tugas selanjutnya adalah mempresentasikan naskah ke atas panggung melalui lakon para aktor. Lima aktor dipilih, satu mengundurkan diri. Kak Rio, Kak Megs, Kak Tika, dan Pius. Kak Rio akan berpasangan dengan Kak Tika, Pius berpasangan dengan Kak Megs. Kami memiliki waktu dua minggu untuk menyelesaikan semua persiapan. Para aktor diberi waktu satu minggu secara intens untuk melatih tubuh sebelum masuk ke dalam lakon. Kata kunci dari latihan ini adalah “sensibilitas”, bagaimana membangun kepekaan aktor terhadap ruang, kekuatan tubuh aktor, serta respon aktor terhadap situasi di sekitarnya. Ini adalah hal yang sama sekali baru bagi saya.
Dalam pengalaman saya di seminari, kekuatan tubuh memang dibutuhkan di dalam pertunjukkan, bahkan menempati prioritas yang utama. Namun selama ini, tubuh yang kami hayati terbatas pada kemampuan aktor bergerak secara akrobatik, misalnya untuk memainkan obor atau merespon musik yang diputar sebagai pemicu emosi bagi para aktor. Tubuh adalah kekuatan, tubuh adalah gerak. Saya mendapatkan pandangan yang lebih luas soal tubuh melalui proses persiapan kami. Tubuh adalah bahasa, tubuh adalah ekspresi, tubuh adalah bunyi, tubuh adalah bentuk, tubuh adalah sensasi.
Dengan menggunakan metode latihanview point, para aktor berlatih berjalan selama satu jam (latihan sebelum General Reading ditetapkan 4 jam sehari. Memasuki tahap General Reading, latihan dinaikkan menjadi 7-8 jam sehari) dengan berbagai tempo, bentuk, dan ucapan. Para aktor membentuk pose sesuai emosi, sesuai keadaan, dan sesuai perasaan. Misalnya, membentuk pose dalam ekspresi ketika bersedih, marah, ceria, atau pose ketika sedang mengendarai motor, menyapa kawan, yang dilakukan sambil berjalan atau tenang di tempat, tetapi setiap perubahan pose ditandai dengan tempo yang ditentukan oleh sutradara. Tempo bisa cepat, bisa lambat. Perubahan pose juga bisa terjadi ketika aktor sedang bergerak.
Para aktor juga berlatih bagaimana mengeksplorasi suara mereka. Dimulai dari latihan pernapasan awal, para aktor berusaha mengeksplorasi intonasi, nada bicara, juga kekuatan di setiap ungkapan. Kalimat sederhana seperti “terima kasih, Pak”, bisa diucapkan berkali-kali, dalam emosi, nada, dan kekuatan yang berbeda. Semua teknik latihan ini untuk memperkuat kepekaan, dan mempertajam emosi para aktor, juga menguji kemampuan fisik para aktor. Hal ini juga sebagai tahap transisi bagi seorang aktor untuk menjadi tokoh yang akan diperankan. Di atas panggung, tidak ada lagi Rio, Tika, Pius, atau Megs. Mereka sudah menjadi orang lain, menjadi karakter yang berbeda dari diri mereka sehari-hari.
Tidak hanya para aktor, tim artistik juga bekerja untuk mempersiapkan kebutuhan pementasan. Kak Aldo mengepalai tim artistik. Ada Bandid, Paskal, Om Jupe, Johnson, dan teman-teman lain yang menyusun rancangan panggung. Kerja persiapan dimulai dengan membuat partisi untuk membangun setting sebuah kamar tidur di apartemen. Pintu, jendela, meja, tempat tidur, lemari, semuanya dibuat untuk menciptakan tampilan panggung yang realis. Kebutuhan-kebutuhan untuk menampilkan kesan kamar, dari hal yang paling umum sampai detail yang paling kecil menjadi elemen yang sangat diperhatikan selama persiapan sebelum pertunjukkan. Selain bermain-main dengan gender, pementasan kali ini juga ingin diperkuat dengan penggunaan perangkat digital sebagai eksperimen dan juga sebagai langkah progresif untuk meningkatkan ekosistem pertunjukkan di Maumere. Tidak mudah, memang. Apalagi karena ini juga hal yang baru di Maumere.
Tim visual juga mempersiapkan berbagai kebutuhan untuk keperluan pementasan. Video yang akan ditampilkan, slide yang akan dimunculkan, sound yang akan dipakai, juga peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Selain potongan slide yang menampilkan puisi juga percakapan melalui Whatsapp antara tokoh A dan B, scene 2 dibuat seintens mungkin. Lakon terjadi di atas tempat tidur. Agar penonton dapat merasakan sensasi emosional, adegan ini dibantu dengan kamera untuk merekam dan kemudian ditampilkan melalui proyektor ke atas panggung. Tim lighting juga mencoba memahami naskah untuk melihat mood dan warna yang mendukung lakon.
Hari pertunjukkan semakin dekat. Semua tim bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Terkadang harus begadang. Beberapa bahkan harus menyelesaikan persiapan sampai pagi.
Pementasan dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 Juli 2023. Dalam perencanaan, dua hari pementasan ini akan menampilkan pasangan lakon yang berbeda. Pasangan heteroseksual pada hari pertama dan pasangan homoseksual terjadi pada hari kedua. Namun, rencana tersebut tidak bisa terwujud. Hal ini tidak bisa dikatakan musibah, tetapi lebih merupakan sebuah keputusan profesional dengan berbagai pertimbangan.
Satu hari sebelum pementasan, rencana untuk menampilkan pasangan homoseksual dibatalkan. Selain karena kesehatan, ini juga soal mental dan pengalaman keaktoran. Alam bawah sadar memberontak. Masih ada penolakkan secara spontan ketika tubuh para aktor harus intens menampilkan kemesraan pasangan homoseksual. Tubuh surealis untuk menggambarkan adegan sepasang kekasih yang bercinta dan chemistry kedua aktor yang belum menunjukkan sisi emosional yang kuat juga menjadi alasan pembatalan. Ditambah lagi, pengaturan blocking di setiap adegan dengan tanda melalui bunyi, lampu, juga gerak aktor sendiri sebagai sinyal untuk bergerak atau berpindah tempat. Ini bukan perkara gampang. Dua minggu ternyata belum cukup untuk mempersiapkan semua itu.
Semua ini adalah proses untuk membangun infrastruktur juga ekosistem kesenian itu sendiri di Maumere. Itulah yang selalu diungkapkan oleh Kak Rio. Ini adalah perjalanan belajar yang panjang untuk mencapai standar profesional yang diimpikan, seperti utopia, juga harapan untuk selalu bergerak ke depan. Ruang produksi pertunjukkan “Tujuh Baris Terakhir Percakapan Kita” bukan hanya sebagai ruang ekspresi para seniman, tetapi juga ruang apresiasi. Setidaknya ada terdengar celetuk, “kemampuan atau bakat saya ternyata berguna” di tengah kebingungan atau juga ketakutan untuk menggantungkan hidup pada kesenian. Teman-teman aktor, teman-teman tim artistik, teman-teman desain grafis, teman-teman lighting, sutradara, penulis naskah, juga penata visual dan audio, penata kostum, teman-teman produksi, semuanya belajar bersama-sama dalam satu tim untuk pertunjukkan ini.
Cerita pertunjukkan selalu punya sisi personal dan hal yang personal selalu dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Seperti yang ditulis oleh Pater Felix Baghi, SVD dalam tulisannya “Teater dan Polis”, “secara konkret, kalau kita bertolak dari kenyataan bahwa setiap orang beraktivitas, maka setiap aktivitas mengandung makna.” Aktivitas itu yang digali, yang rasional, emosional, untuk melihat sejauh mana bias sosial, agama, juga budaya mempengaruhi keputusan seseorang, bahkan untuk mencintai. Lewat pementasan ini, para aktor menunjukkan irisan antara berbagai aktivitas terjadi dan norma-norma yang menjadi biang dari kebosanan, serta ketakutan untuk mengambil keputusan tentang cinta.
Tokoh A dan B berpisah, tokoh B pergi dengan mengatakan “Aku mencintaimu.” Tokoh A sempat mencegah dengan mengatakan “Aku tidak bilang aku tidak mencintaimu, kau tahu itu.” Tetapi semuanya sudah tidak bisa dipertahankan. Adegan selesai, semua anggota tim pertunjukkan naik ke atas panggung dan mengucapkan terima kasih kepada penonton. Beberapa penonton terharu, tidak puas, tetapi masing-masing penonton punya kesan sendiri dengan pertunjukan. Cerita dalam pertunjukkan selesai, tetapi seperti kata beberapa penonton, “ini seperti saya punya kisah,” atau “kenalan saya juga punya cerita yang sama”, masih terus terdengar.
[…] gender: aktor perempuan memainkan peran laki-laki, dan sebaliknya. Dalam catatan prosesnya, Di Balik Layar Tujuh Baris Terakhir Percakapan Kita, Rinto menulis, “tubuh adalah bahasa, tubuh adalah ekspresi, tubuh adalah bunyi, tubuh adalah […]
shelf life of liquid tadalafil
shelf life of liquid tadalafil
how to stop taking duloxetine 30 mg
how to stop taking duloxetine 30 mg
what is the difference between lexapro and zoloft
what is the difference between lexapro and zoloft
flagyl pouchitis
flagyl pouchitis
cephalexin in pregnancy
cephalexin in pregnancy
does cymbalta cause high blood pressure
does cymbalta cause high blood pressure
gabapentin composizione
gabapentin composizione
citalopram and fluoxetine
citalopram and fluoxetine
does lexapro cause weight gain
does lexapro cause weight gain
online viagra india
online viagra india
will keflex cure a sinus infection
will keflex cure a sinus infection
cephalexin 250
cephalexin 250
ciprofloxacin 250mg dosage for uti
ciprofloxacin 250mg dosage for uti
para que sirve el bactrim
para que sirve el bactrim
bactrim vs cipro
bactrim vs cipro
neurontin and lyrica are a death sentence snopes
neurontin and lyrica are a death sentence snopes
can you take benadryl with amoxicillin
can you take benadryl with amoxicillin
diltiazem cd 180 mg
diltiazem cd 180 mg
contrave binge eating disorder
contrave binge eating disorder
what are the side effects of augmentin
what are the side effects of augmentin
lithium vs depakote
lithium vs depakote
how long does effexor take to work
how long does effexor take to work
atorvastatin ezetimibe precio
atorvastatin ezetimibe precio
how long does it take for flexeril to work
how long does it take for flexeril to work
is citalopram an maoi
is citalopram an maoi
desmopressin ddavp stimate
desmopressin ddavp stimate
cozaar 50
cozaar 50
diclofenac sod dr 75 mg
diclofenac sod dr 75 mg
how much aspirin can i give my dog
how much aspirin can i give my dog
can allopurinol get you high
can allopurinol get you high
can you take amitriptyline with gabapentin
can you take amitriptyline with gabapentin
aripiprazole 10 mg price
aripiprazole 10 mg price
generic celebrex name
generic celebrex name
bupropion pregnancy category
bupropion pregnancy category
baclofen 20 mg street value
baclofen 20 mg street value
celecoxib coupon
celecoxib coupon
what is ashwagandha root
what is ashwagandha root
can you take celexa while pregnant
can you take celexa while pregnant
what is the generic name for robaxin
what is the generic name for robaxin
propranolol lactose-free
propranolol lactose-free
acarbose manipulado
acarbose manipulado
long term use of protonix
long term use of protonix
levocarnitine and semaglutide
levocarnitine and semaglutide
remeron for appetite stimulant
remeron for appetite stimulant
abilify side effects first week
abilify side effects first week
novonorm repaglinide
novonorm repaglinide
stromectol 6 mg dosage
stromectol 6 mg dosage
synthroid endometriosis
synthroid endometriosis
dipeptidyl peptidase-4 inhibitor des-fluoro-sitagliptin
dipeptidyl peptidase-4 inhibitor des-fluoro-sitagliptin