Ari Dwianto atau yang akrab disapa Mas Inyong adalah seorang performer/aktor teater yang berbasis di Yogyakarta. Dengan keaktoran, ia turut menjelajahi ragam disiplin seni seperti tari, film, dan seni rupa serta tema-tema sosial politik. Ari Dwianto juga kerap menjadi koreografer pantomim, sutradara, dan dramaturg.
Ari Dwianto aktif di teater kampus Sanata Dharma sebelum bergabung dalam workshop keaktoran Teater Garasi dan terlibat dalam beberapa proyek pertunjukan seperti empat seri Waktu Batu (2001-2023), Goyang Penasaran (2011), Je.ja.l.an (2015), Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi, (2015). Ia adalah salah satu pendiri Bengkel Mime Theatre (2001), sebuah kelompok yang menggunakan pantomim sebagai moda eksplorasi ketubuhan dan gagasan kreatif. Selain aktif bersama kelompok, Ari Dwianto juga menciptakan karya pertunjukan personal, yang bermain-main dengan lintasan disiplin tari-teater. Salah satu karya yang sudah dan sedang dieksplorasi tersebut diberi judul Sejarah Singkat Joget/A Brief History of Dance.
Wawancara ini ingin merekam perjalanan keaktoran Ari Dwianto dan bermuara pada A Brief History of Dance, karya mutakhirnya yang menggali trauma personal dan situasi Orde Baru. Karya ini dianggap melebarkan batas-batas antara disiplin tari dan teater monolog.
Eka: Bagaimana Mas Inyong memulai disiplin keaktoran?
Ari Dwianto: Kalau keaktoran, saya tidak bisa lepas dari proses Waktu Batu (2001). Itu adalah awal dari proses panjang penempaan tubuh. Latihannya intens. Segala metode dicoba: view point, olah tubuh, eksplorasi Bangau Putih (aliran pencak silat), tari Jawa. Semua dijelajahi di Waktu Batu.
Dari sana saya menyadari bahwa tubuh saya lebih bisa berbicara, lebih vokal. Lebih bunyi, kalau istilah dulu. Saya juga memang tertarik dengan pengolahan tubuh. Waktu Batu yang membuka pikiran saya untuk menjelajahi tradisi training (training culture), keaktoran sebagai disiplin, dan bagaimana tubuh ditempa sebagai performer.
Eka: Apakah ada peristiwa khusus, yang menarik dan buat Mas Inyong yakin bahwa keaktoran memang jalan dan disiplin yang mau ditempuh?
Ari Dwianto: Di awal-awal proses Waktu Batu itu, saya bingung harus ngapain? Saya lihat aktor-aktor yang sudah senior seperti Mas Jamal (Jamaludin Latif), Mba U’ung Sri Qadariatin), Mba Ery (Erythrina Baskoro). Waktu itu kami latihan di lumpur, eksplorasi gerak. Saya melihat mereka dan berpikir, kok bisa mereka seperti itu? Saya bisa gak yah? Saya harus ngapain? Mau ikut masuk tetapi sepertinya tidak bisa. Malah mikir.
Kemudian ada satu momen, wah udah masuk, nyemplung aja! Setelah itu, malah banyak bentuk dan gerak yang muncul dari tubuh saya. Barangkali itu momen yang memantik tubuh saya sehingga lebih bisa berbicara.
Di pikiran saya waktu itu: saya harus ngapain? Benar gak atau jangan-jangan salah? Ketika memutuskan ikut lebur ke dalam seluruh prosesnya, malah gerakan-gerakan muncul sendiri.
Eka: Jadi, proses tiga edisi awal Waktu Batu sepanjang hampir empat tahunan itu buat Mas Inyong punya kesadaran tentang keaktoran sebagai disiplin dan pentingnya buat tradisi training? Setelah Waktu Batu, Mas Inyong mendirikan Bengkel Mime, bukan?
Ari Dwianto: Hampir berbarengan dengan proses di Waktu Batu, saya mendirikan Bengkel Mime. Dua orang teman, saya ajak: Andi Sri Wahyudi dan Ashita. Apa yang saya dapat di Waktu Batu, saya gunakan untuk latihan pantomim. Pantomimnya bukan pantomim klasik yang pada umumnya banyak orang ketahui tetapi latihannya lebih ke olah tubuh. Teater, olah tubuh. Bentuk pantomimnya juga memang berbeda. Secara keseluruhan, sangat teater. Bukan fragmen-fragmen pendek. Tidak terbatas pada teknik pantomim semata, lebih kepada pengolahan tubuh. Teater, hanya tidak ngomong.
Saya aktif di pantomim sebelum bertemu dengan Teater Garasi. Segala hal tentang pengolahan tubuh, saya suka. Jadi, apa yang saya dapat di Waktu Batu saya teruskan, tidak hanya untuk pentas tapi pengembangan diri. Tari dan martial art juga saya kembangkan. Selepas Bangau Putih, lama saya tidak ikut bela diri. Baru pada tahun 2012 saya ketemu Sistema.
Eka: Setelah Waktu Batu, aktif di Bengkel Mime. Ketika Itu tidak terlibat di produksi Teater Garasi yang lain?
Ari Dwianto: Tidak. Baru terlibat lagi di tahun 2012, jadi Salimah. Goyang Penasaran.
Eka: Apa yang kuat, yang jadi catatan Mas Inyong di proyek ini?
Di sini, saya double cast. Satu perempuan, satu bencong. Dua subjek yang berbeda. Kalau bencong itu tubuh laki-laki dengan ekspresi perempuan, sementara perempuan yah perempuan, tapi tubuh saya kan laki-laki.
Kalau menurut saya, perasaan atau emosi, hampir semua orang barangkali sama, yah. Marah, lucu, gelisah, dan sebagainya. Laki-laki maupun perempuan, bisa jadi hampir sama. Jadi lagi-lagi, saya masuknya lewat tubuh. Saya mengembangkan karakter saya lewat gesture: bagaimana saya duduk, bagaimana saya melengos, bagaimana saya melirik, bagaimana saya membuka bahu saya, bagaimana saya merokok. Itu saya olah dari melihat tingkah laku orang lain kemudian mengeksplorasi pengalaman emosional saya.
Eka: Jadi observasinya pertama-tama lewat tubuh?
Ari Dwianto: Iya.
Eka: Apakah ada riset tertentu yang Mas Inyong lakukan?
Ari Dwianto: Saya pernah ke Pura Wisata, sekarang sudah tidak ada. Itu tempat penyanyi dangdut. Terus saya mencari model, hampir semua cewek-cewek. Saya perhatikan cara duduk, pose-posenya gitu. Saya lihat gambar. Masuknya juga lewat gambar, film. Lalu latihan, cari-cari cara jalan mana yang cocok. Misalnya, ketika saya lihat Elvi Sukaesih. Saya jadi sadar. Kalau jalannya seperti ini, saya harus membuka bahu saya. Oh lirikannya seperti itu. Justru yang saya tiru itu cewek-cewek, bukan bencong. Yang tidak bisa saya tutupi adalah lengan dan suara saya hahahaha…
Mungkin tidak terlalu sempurna ketika saya memerankan perempuan atau bencong tetapi cara pendekatannya begitu. Selalu melalui tubuh.
Yang menarik, di pertunjukan ini, pelakunya laki-laki semua. Sutradara dan penulisnya perempuan. Eksplorasi tubuh dan gendernya luar biasa luas. Agak terganggu harus jatuh cinta dengan Pak Haji. Tapi justru menariknya di sana. Sama satu yang paling susah, baca Al Quran. Hahahah…
Eka: Mas Inyong juga terlibat dalam proyek internasional dengan Suzuki (2016). Bisa ceritakan sejauh mana pengalaman ini membentuk keaktoran Mas Inyong?
Ari Dwianto: Bayangan saya waktu itu, saya akan terlibat langsung, masuk ke naskah. Ternyata tidak. Kami harus latihan metode Suzuki dahulu. Baru setelah itu saya menyadari, kalau mau memasuki teaternya Suzuki, memang harus melalui metodenya dahulu. Kalau tidak melalui pendekatan itu, tidak akan bisa. Tidak akan sampai ke standar naskah atau patronnya, Suzuki.
Suzuki menekankan kekuatan, power. Saya jadi tahu, power itu bisa dilihat, bisa ditunjukkan. Metodenya, saling mengamati secara bergantian. Jadi, ada yang menonton, ada yang melakukannya. Di awal, power-nya seperti tidak kelihatan. Di hari kesekian baru mulai kelihatan.
Di sana, rutin latihan. Hitungannya, delapan jam kerja. Latihan metode dua jam dari pagi pukul 10 sampai siang pukul 12. Lalu istirahat, masuk rehearsal. Rehearsal diawali dengan metode Suzuki, ditambah dengan teksnya. Malam harinya rehearsal lagi, tetap dengan metode Suzuki. Begitu. Yang paling berkesan bagi saya, tuntutan bahwa power itu bisa diperlihatkan. Di latihan-latihan teater sebelumnya, power tidak terlalu diperhatikan. Namun, dengan Suzuki, justru itu yang difokuskan.
Eka: Disiplin latihannya tinggi sekali berarti? Itu mungkin yang dibutuhkan untuk bangun training culture?
Ari Dwianto: Latihan awal memang basic. Nanti ketika di panggung, di Toga, Suzuki sesekali melihat latihan kami, terutama waktu menerapkan metodenya. Kalau perlu ditambah lagi, ditambah metode berikutnya. Saya kira dengan cara itu, Suzuki melihat tingkat power kami. Apakah power-nya sudah di tempatnya belum? Semua aktornya sudah bisa dikasih metode yang lain atau belum?
Selain belajar metode, saya juga sesekali jadi asisten Suzuki. Suzuki sudah menggarap metode ini berkali-kali, puluhan atau ratusan kali. Sudah seperti template. Kamu harus bergerak begini, berapa langkah, setelah ini kamu belok ke arah mana.
Saya sempat stres sekali. Partner saya aktor dari Cina. Dia sudah empat tahun ikut dan mempelajari metode Suzuki, jadi sudah banyak tahu. Ketika tek-tokan dengan saya, saya seperti menghantam dinding. Wah, ini kok gak masuk-masuk? Seperti dia main sendiri dan saya terus coba masuk. Susah interaksinya. Sudah saklek ukurannya.
Suatu hari, saya coba beranikan diri untuk beda. Malah diteriaki Suzuki, “Jangan akting!,” hahahahah okay…
Besoknya, saya coba lagi tetapi sebisa mungkin tidak kentara. Ternyata Suzuki tidak komentar apa-apa. Di situ saya mengerti, oh berarti Suzuki sebenarnya memberikan ruang kebebasan di luar geraknya harus begini, begitu. Walau kecil, ada ruang yang ia bebaskan untuk aktor mengeksplorasi karakter.
Jadi, yang saya lakukan selanjutnya kalau main teaternya Suzuki, ya seperti saya sedang main teater atau menjadi aktor di teater yang lain. Kalau karakter, saya bisa mengembangkannya dengan cara teater yang lain.
Makanya, selanjutnya saya cari model. Saya hanya butuh model untuk mnegembangkan karakter. Peran saya dalam teaternya Suzuki (Dyonisius), jadi pendeta, juga dimainkan oleh aktor paling senior. Susah banget perbandingannya. Tapi ya, saya jadikan dia model.
Menurut saya, Suzuki sebenarnya memberi ruang untuk aktor bereksplorasi. Yang penting adalah tenagamu. Powermu! Ngomong itu, tenaga harus keluar. Kalau bergerak itu harus satu sistem. Kalau saat latihan ada Suzuki, saya biasanya coba-coba. Berdirinya ikut Suzuki, tapi cara toleh, cara lirik, senyum, itu yang saya kembangkan.
Eka: Ketika pentas, apakah ada perasaan atau semacam kepuasan tertentu dari Mas Inyong?
Ari Dwianto: Setiap kali main, indikasinya, setelah pentas saya merasa segar atau tidak? Kalau segar, energi memberi dan menerimanya setara. Sama aktor Cina itu, sulit sekali tembusnya. Mungkin juga karena ego, yah. Dia aktor Cina, empat tahun sudah ikut Suzuki. Aku sopo e? Tarung aku!
Setelah main bareng Suzuki, rasanya segar. Sulitnya itu banyak pose yang ‘stillness’ dan harus intens. Proses keseluruhannya lumayan panjang, 2016-2018. Dipentaskan di Singapura dan beberapa tempat. Tapi yang utama di Prambanan dan Toga.
Eka: Mas Inyong baru bergabung lagi dengan Teater Garasi di proyek Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi?
Ari Dwianto: Sebelumnya saya terlibat di Je.ja.l.an Australia. Kali ini, saya meniru gerakannya Theo (salah satu aktor). Temuan saya: metode imitasi. Menirukan. Mimesis. Setelah itu, gerakannya jadi milikmu. Kamu bisa tambahkan, kembangkan. Ini tidak melalui proses penciptaan yang panjang karena karyanya sudah ada. Memasukinya lagi-lagi melalui tubuh. Melihat, memperhatikan gerakannya seperti apa setelah itu motivasinya dicari sendiri.
Sama kan, Suzuki juga, mimesis sebenarnya tetapi ada celah untuk eksplorasi. Di pertunjukan Suzuki, ada yang bilang karakter pendetanya lebih seram ketika saya yang perankan. Suzuki itu masuknya lewat tubuh, proyeksinya lewat emosi dan imajinasi. Dia bilang ke aktornya: ‘kamu seperti sedang lagi bicara ke seribu orang.’ Itu supaya aktornya bisa membayangkan seberapa ukurannya.
Eka: Di Yang Fana, Mas Inyong kembangkan satu monolog?
Ari Dwianto: Prosesnya memang modular. Jadi masing-masing aktor mencari temanya sendiri kemudian dipresentasikan. Waktu itu saya mencari dengan tiga kata kunci: memori, tubuh, trauma. Awalnya saya bingung harus mulai dari mana. Saya mencari dengan referensi gambar dan video. Ketika dipresentasikan malah tidak masuk. Akhirnya saya mulai dari cerita personal. Jadi, saya mulai menulis cerita personal dalam bentuk fragmen-fragmen.
Yang dipentaskan di Yang Fana itu cuma sepenggal. Misalnya, lebih kepada cerita masa kecil waktu saya TK. Bapak banting piring. Saya disuruh menyanyi di depan kelas. Dihukum jalan berlutut di kelas. Pokoknya kejadian-kejadian di masa kecil yang menurut saya traumatis. Pilihan cerita itu secara tidak langsung berkaitan dengan yang dibahas di Yang Fana. Tentang aturan, pendisiplinan, otoritas.
Setelah Yang Fana, saya kembangkan lagi, saya menulis fragmen yang lain tapi masih berjalin dengan fragmen-fragmen sebelumnya. Ketika saya menulis itu, saya sadar saya sedang bicara tentang rumah, tentang kampung dan tentang negara. Sesuatu yang lebih besar dari diri saya. Itu temuan yang tidak disengaja.
Eka: Bagaimana cerita-cerita personal itu berpengaruh ke tubuh Mas Inyong dan kemudian ditampilkan sebagai karya? Ada kaitannya tidak dengan kesulitan bicara verbal?
Ari Dwianto: Waktu itu, saya seperti sedang mencari: gerak saya, tubuh saya, sikap saya saat bergerak, itu dari mana sih? Mencarinya dari mana? Mencarinya ya dari cerita personal saya. Ternyata cerita-cerita itu yang menyusun diriku sekarang ini. Nah, barangkali apa yang membentuk saya saat ini juga tidak disadari atau tidak disengaja demikian dari awal. Karena itu kesadaran-kesadaran tentang pengaruh rumah, kampung, keluarga atas diri saya, saya alami sebagai temuan.
Susunan ceritanya tentu tidak runut. Saya sedang bercerita tentang apa, tetapi tiba-tiba muncul kejadian lain yang menarik untuk diceritakan, lalu kembali lagi ke cerita awal. Ketika disusun kembali, kok bisa begini yah? Mungkin itu trauma yang berpengaruh pada verbal. Tidak runut begitu, jadi crashing saja ngomongya. Dari bicara satu hal, tiba-tiba belok tanpa aba-aba bicara hal lain, lalu balik lagi. Bicaranya juga tidak serta-merta lancar tetapi gagap di sana-sini.
Eka: Jadi ketika menyusun cerita, Mas Inyong menemukan bahwa prosesnya tidak linear. Itu sering memang dialami ketika kita berhadapan dengan cerita-cerita lisan.
Kalau secara ketubuhan, kira-kira bagaimana Mas Inyong menerjemahkan itu? A Brief History of Dance sebagai garapan lanjutan atas fragmen-fragmen tadi tampil dalam beberapa format presentasi. Bagaimana soal eksplorasi bentuk dan tubuh?
Ari Dwianto: Kalau tubuh sebenarnya tidak ada yang terlalu pakem. Ada beberapa bentuk yang memang saya ambill dari cerita. Misalnya, di akhir yang cuma gerak berapa menit itu. Ada gerak Michael Jackson, lalu tunjuk jari itu. Selebihnya adalah emosi saya pada waktu itu. Pada waktu peristiwa trauma itu terjadi juga saat presentasi. Setelah ngomong, emosi saya, perasaan saya seperti apa.
Sebelumnya, karya itu berjudul Potret Diri, dipentaskan di PBSK dengan format teater. Ada musik, ada aktor lain. Ketika saya memutuskan untuk mementaskannya sendiri, tidak mungkin sama. Tidak serta-merta saya temukan pose ‘cuma berdiri’. Tidak bergerak seperti yang di PSBK. Saya coba bergerak sedikit seperti di PBSK tetapi kok seperti gak sreg gitu. Akhirnya saya kembali ke teks awal.
Saya mau coba monolog dengan gerak tetapi tidak enak. Sepertinya bentuknya sudah tidak butuh banyak gerak. Ini soal sreg dan tidak sreg saja. Intuisi saja begitu. Perkara intuisi: ‘sepertinya tidak begini deh.’ Ya sudah saya coba saja untuk tidak bergerak tetapi bicara.
Jadi pentasnya, saya diam dulu. Diam saja. Lalu saya cerita: ‘sebelum saya joget, saya akan menceritakan dari mana asal joget saya’. Pose saya cuma diam di satu titik. Diam saya seperti apa? Nah, diam saya, saya ambil dari trauma saya disuruh berdiri di depan kelas, disetrap gitu. Jadi saya punya alasan kenapa saya diam. Saat saya presentasi pun, saya seperti bicara di depan kelas. Ragu-ragu. Tersendat-sendat. Agak gagu.
Eka: Mas Inyong mau tidak mau secara personal menguatkan yang verbal dalam presentasinya. Yang sebenarnya buat Mas Inyong itu bukan kekuatanmu. Tapi kamu tetap bicara.
Ari Dwianto: Iya. Semakin lama semakin ragu-ragu. Secara verbal, secara dialog juga dibikin terbata-bata. Menggambarkan trauma. ‘Saya Ari Dwianto’. Awalnya lancar, lalu makin diulang makin terbata-bata.
Eka: Lalu yang dance di bagian akhir dibikin dari gesture-gesture traumatik juga? Bagaimana sampai muncul ide itu?
Ari Dwianto: Sekali lagi, dari pernyataan awal. Sebelum saya joget, saya akan menceritakan…. Lalu saya cerita. Kemudian saya joget. Gerakannya dari trauma-trauma dan pengalaman yang dipunyai tubuh saya sekarang.
Eka: Judulnya A Brief History of Dance karena itu gestur tari yang berasal dari pengalaman ketubuhan yang terinternalisasi dari pengalaman traumatik di masa kecil. Pengalaman-pengalaman itu kamu refleksikan lagi. Gerakannya kamu kembangkan dari pengalaman-pengalaman tadi. Cerita verbal kamu kembangkan. Tarinya terbata-bata sebagaimana trauma yang membentuk tubuhmu. Waktu presentasi di Indonesia Dance Festival (IDF), ada insight tertentu yang kamu dapat?
Ari Dwianto: Yang banyak dipertanyakan itu justru kuratornya. Kenapa ini masuk tari? Wacananya lebih ke tari atau bukan tari. Tari kok ngomong? Tari atau bukan? Kenapa ini bisa masuk IDF? Pertanyaan-pertanyaan itu lebih ditujukan ke kuratornya. Sementara buat saya sendiri, itu tari! Ya kalau udah di IDF, jenengannya tari.
Sayangnya, di IDF tidak dilanjutkan percakapan-percakapan tentang isu bukan tari dan tari. Bahkan waktu itu tidak sempat ada diskusi. Biasanya habis pementasan ada diskusi. Setelah saya pentas, langsung dilanjutkan presentasi penari Meksiko. Selanjutnya, saya tidak tahu obrolannya bergulir seperti apa.
Eka: Bagaimana positioning atau perasaanmu? Rileks saja?
Ari Dwianto: Rileks saja saya. Mindset saya, ini pertunjukanku. Tari bukan tari, itu urusan kemudian. Yang jelas judulnya A Brief History of Dance. Hahaa.
Eka: A Brief History of Dance kemudian coba Mas Inyong kembangkan dengan aktor lain. Itu bagaimana? Metodologinya yang dikembangkan?
Ini memang hasil ngobrol sama Ugoran Prasad sebagai dramaturg. Mau diapakan lagi A Brief History of Dance? Bagaimana itu bisa jadi The Brief History of Dance? Metodenya kalau dibagi ke orang lain atau ke cerita personal lain bisa tidak? Bagaimana cara membagikannya?
Kemudian yang saya temukan, caranya adalah dengan bikin pertanyaan dari teks yang sudah saya buat: siapa artis idolamu? Siapa atlet favoritmu? Siapa presiden yang kamu kenal?
Eka: Jadi teks/ceritamu itu diekstraksi menjadi pertanyaan-pertanyaan. Apakah partisipasipan yang terlibat juga bisa memunculkan pertanyaan-pertanyaannya sendiri?
Ari Dwianto: Uji coba pertama, mencoba menjawab pertanyaan yang saya ajukan dulu. Memang ada batasnya. Kalau cerita saya dari TK-SMP. Batasnya memang hanya di masa itu. Partisipan juga diminta mengeksplorasi masa-masa itu. Kalau tidak punya pengalaman yang serupa, bagaimana cara menjawabnya? ‘Saya tidak pernah makan di meja makan,’ misalnya. Sementara di cerita saya ada adegan meja makan. Partisipan diminta menemukan sendiri relevansi dari menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Ada lima partisipan. Yang sulit adalah mengkomposisikannya. Satu pertanyaan, dijawab satu per satu, jadi ada lima cerita untuk tiap pertanyaan. Bagaimana cara mengkomposisikannya? Berurutan, barengan, atau kanon? Itu baru ditemukan di latihan. Juga, seperti gesture, komposisi orangnya, itu baru ditemukan saat latihan. Waktu itu saya memang mencari gerak dari cerita yang kuat.
Eka: Jadi masing-masing partisipan berimprovisasi.
Ari Dwianto: Sepertinya luput di situ deh. Bukan luput, tetapi bisa dicoba setelah ini. Mereka, partisipan yang lebih capek karena harus mendengarkan lima orang bercerita, terus tidak boleh bergerak. Mungkin di titik itu, kamu bergerak, tubuhmu saat itu, sikapmu tidak harus dikoreografi. Saat itu, di ruangan tertentu, dengan situasi emosimu. Itu cukup kompleks.
Eka: Bagaimana dinamika prosesnya? Sejauh mana mereka merespons gagasan ini menurut Mas Inyong?
Ari Dwianto: Yang paling penting adalah mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan. Mencari, mengingat, mengembalikan memori mereka melalui pertanyaan-pertanyaan itu. Ada banyak daftar dan mereka memilih memori mana yang ingin mereka ceritakan. Misalnya, satu yang menarik, Megs. Saya kasih pertanyaan: ada tidak peristiwa besar di Maumere yang kamu ingat dan diingat sebagian besar orang? Itu koneksinya seperti yang tadi saya bilang, yang personal, dari kampung, lalu terus dijelajah sebagai peristiwa besar bersama. Megs cerita, ada kapal laut kecelakaan di lautan, terbalik, tangki minyaknya bocor, kapal meledak. Banyak korban meninggal di laut. Lalu semua penduduk kota Maumere mendadak tidak makan ikan selama beberapa minggu karena beredar cerita ditemukannya potongan jari di perut ikan. Megs memunculkan cerita itu saat saya memberi pertanyaan tadi. Seperti pas saja gitu!
Eka: Ada rencana untuk menggarap ini lagi?
Ari Dwianto: Ada obrolan, setelah ini bagaimana? Mereka bisa mementaskan sendiri atau bagaimana? Tetapi kalau untuk dilanjutkan, sebenarnya saya ingin mencobakan lagi metode ini dengan komunitas yang berbeda, dengan orang-orang yang juga berbeda.
Kalau A Brief History of Dance sebelumnya banyak beda generasi, yah. Paling tua itu Mbak Ery. Lalu ada Megs yang hampir sama usianya dengan beberapa partisipan lain, tapi dia dari Maumere, jadi beda latar belakang pengalaman juga konteksnya. Pilihan-pilihan generasi yang beragam, konteks yang luas tentu bikin perspektif yang didapat penonton jadi lebih beragam.
Eka: Kalau dari dramaturgi bentuk, ada bayangan untuk menggali lebih jauh?
Ari Dwianto: Sama, pertanyaannya, sebenarnya. Harus menggali pertanyaan lagi. Melihat lagi ceritanya. Penggalian ceritanya jadi amat penting. Jadi, mungkin yang paling menyesuaikan itu pertanyaan-pertanyaannya. Juga mungkin sejauh mana mereka memberi pertanyaan untuk diri mereka sendiri? Apakah itu bisa membuka keluasan mereka untuk bercerita? Bagaimana itu mempengaruhi struktur cerita yang baru.
Eka: Dari semua ceritamu, apakah itu mempengaruhi caramu melihat trauma?
Ari Dwianto: Ketika melalui A Brief History of Dance ini, saya lebih tahu, lebih menerima, juga lebih berdamai dengan trauma saya. Terutama: apa sih pengaruh orde baru bagi kehidupan saya? Sepertinya saya fine-fine saja. Tetapi ketika mengerjakan A Brief History of Dance, ternyata saya sadar, pengaruh rezim ada dan besar sekali melalui keluarga, sekolah, dan kampung. Saya menyadari, ternyata yang mempengaruhi saya ini sangat sistematik. Ini kalau bicara dalam konteks yang besar.
Kalau trauma personal, saya sudah bisa berdamai. Sudah bisa menertawakan diri sendiri. Satu paket sama keberanian untuk bicara. Membicarakannya pun tidak berlarat-larat, tidak yang sedih, tidak dramatis.
Eka: Jadi konteks 65 dan Orde Baru yang dibahas di Yang Fana juga menjadi tema penting sekaligus titik pijak Mas Inyong untuk kemudian menyadari bahwa apa yang kamu alami secara personal bersumber pada hal yang lebih besar dan sistemik?
Bagaimana keluarga memperlakukan kita, kampung, sekolah, ada kaitannya dengan sistem yang lebih besar. Kampung, kalau di saya, jadi penunjuk adanya perubahan: televisi, sekolah, swalayan, gedung-gedung, dan lain-lain. Itu wujud perubahan. Tapi untuk saya, rumah dan sekolah jadi situs yang paling traumatik.
Eka: Refleksi paling kuat dari trauma Mas Inyong?
Ari Dwianto: Saya takut bapak. Sampai semua bapak saya takut. Bapaknya teman saya, Bapak Guru, semua saya takut. Saya sampai pernah takut Mas Yudi (Yudi Ahmad Tajudin) karena dia mengingatkan saya pada sosok bapak.
Eka: Semua yang punya otoritas. Siapa saja yang merepresentasikan bapak, jadi trauma bagi Mas Inyong?
Ari Dwianto: Bahkan presiden Soeharto pun kita panggil Bapak, kan?
[…] Wawancara dengan Ari Dwianto menegaskan soal operasi teks dan wacana oleh kekuasaan sebagai alat opresi dan kontrol sosial dalam ruang-ruang publik dan domestik turut berpengaruh pada pemahaman serta pemaknaan diri seseorang. Sebagai performer, Ari Dwianto membangun disiplin keaktorannya lewat tiga kata kunci personal-biografis: tubuh, memori, dan trauma. Ketiganya dilatari oleh konteks ia dibesarkan: zaman Orde Baru. Kisahnya bisa dibaca dalam artikel berjudul “Saya Takut Bapak!”: Tubuh, Memori, dan Trauma dalam Perjalanan Keaktoran Ari Dwianto. […]