Perempatan Toko Langgeng di sebelah Barat Daya Alun-alun Kota Bangkalan bisa dibilang galeri utamanya teman-teman pelaku Street Art Bangkalan. Perempatan itu juga menjadi semacam jejak catuspatha yang menentukan keseluruhan tatanan jalan utama penghubung kota dengan wilayah di luarnya, membentuk Titik Node atau kawasan simpul di mana arah dan berbagai aktivitas saling bertemu. Di situlah karya-karya mural dan graffiti tumbuh, menyeruak bersanding dengan laju manusianya yang terus bergerak.
Untuk menguak siapa dan apa yang tersirat di balik karya-karya tersebut, saya menemui Anas Hope dan Juplex, yang menurut saya adalah sosok penting di balik Mata Pena dan Kumbang sebagai “Penjaga Gawang” Street Art Bangkalan. Mata Pena adalah kolektif seni yang menaungi seniman-seniman muda Bangkalan dalam upaya untuk belajar bersama tentang seni visual dan meresponnya dalam bentuk gerakan-gerakan kesenian, mengeksplor fenomena sosial-humaniora yang sedang terjadi. Kumbang (Komunitas Mural Bangkalan) lahir menjadi bagian dari gerakan itu, mempresentasikannya dalam bentuk seni jalanan.
Pertama, saya “mencegat” Anas Hope di Dam Tunjung, sebelum dia melanjutkan perjalanannya bertolak ke Solo untuk kembali kuliah. Anas Hope adalah seorang pelaku seni visual yang karya muralnya banyak menghiasi tembok-tembok Kota Bangkalan. Di gardu sebuah galeri batik tempat ia biasa nongkrong, kami berbincang barang sebentar.
Isbat: Nas, kamu ikut menggambar mural “All Eyes on Rafah” dan “ Free Palestine” juga?
Anas Hope: Nggak, Mas. Pas itu aku masih di Solo, masuk kuliah. Yang gambar itu, Juplex, Duro, dan Owik.
Isbat: Bagaimana awal mula gerakan Street Art Bangkalan, seingatmu?
Anas Hope: Kalau kelompokku sendiri kan dimulai sejak 2017, tapi sebelum-sebelumnya dari 2005-2007 ternyata sudah ada gerakan street art di sini. Kami sebut mereka ‘abang-abangan’ ya, karena berkelompok, sulit mendeteksi nama perseorangan. Mereka mainnya stensil, draw art, dan tagging. Contohnya mural itu ada dari kelompoknya Ebo’ t-shirt, tapi lebih ke gambar tokoh-tokoh musisi seperti Iwan Fals, Slank, Ungu, dan lainnya. Mereka juga nyablon kaos. Kemudian tahun 2007 dan seterusnya, sepertinya mulai vakum. Penyebabnya mungkin karena kesibukan masing-masing.
Baru sekitar 2015 aku nyoba mural sendirian, sebelum bikin Mata Pena lalu Kumbang. Saat itu responnya masih sepi. Tembok-tembok masih dijejali oleh poster-poster iklan.
Isbat: Nah, pada saat itu inget nggak apa yang kamu gambar?
Anas Hope: Ingat lah, gambarnya masih ada kayaknya. Lebih ke karakter cowok pakai helm. Lokasinya di perempatan Toko Langgeng. Itu awal mula aku pakai nama Hope karena ingin menyampaikan pesan harapan-harapan dan uneg-uneg pribadi. Karakter cowok ceria pakai helm, biar aman dan gak kena tilang, ekplorasinya lebih ke having fun.
Terus tahun 2017 ada kompetisi mural dan graffiti di salah satu café, ketemu teman-teman, kemudian bikin kelompok Mata Pena, persisnya di bulan Agustus. Awalnya ada tiga atau empat orang: Juplex, aku, dan Owik, kemudian Dikor juga. Terus tahun 2018 ada Fandy, Sifan, Duro, Ferry, dan Mas Wen. Mas Wen ini orang lama, dia dulunya sudah main street art sejak zaman ‘abang-abang’ itu, sekitar 2005-2007 itu. Lalu kami ketemu di event kompetisi tadi, terus gabung sama kita. Tahun 2019 baru ada Alif Strooper bergabung.
Sebenarnya Mata Pena lebih ke kolektif visual art sih, inisiatifnya Juplex, tidak secara spesifik fokus ke graffiti dan mural. Baru sebulan kemudian di tahun yang sama, dengan anggota yang hampir sama, aku menginisiasi Kumbang (Komunitas Mural Bangkalan) untuk mewadahi teman-teman yang tertarik pada seni graffiti dan mural, jamming bareng di jalanan. Bisa dibilang Mata Pena itu lebih ke manajemennya, maksudnya yang menaungi Kumbang, tapi ya kita jalan bareng gitu. Beda nama komunitas tapi anggotanya orang-orang yang sama. Sesuatu yang sudah biasa terjadi di sini.
Isbat: Setiap nyetrit itu kan yang direspon tembok rumah atau tokonya orang ya, kalian izin terlebih dulu atau main sikat aja? Tahu kan yang sering dicap vandal?
Anas Hope: Seringnya kita ngelakuin itu memang tanpa izin karena kan ada pepatah “Lebih baik minta maaf dari pada minta izin”. Kalau di seni jalanan kan itu sudah jadi mantranya anak-anak, jadi semangatnya begitu. Hahaha.
Sejak punya kelompok itu kita sering keluar bareng, biasanya mulai pukul sembilan malam. Saat pintu dan jendela rumah ditutup, saat rolling door ditarik, saat itulah kita beraksi. Ya, risikonya juga banyak, misalnya ketemu orang, dikiranya kita memang disuruh ngecat sama yang punya toko.
Jadi memang ada beberapa cerita lucu sih, Mas, selama menggambar. Sebelum pandemi, pernah kita keluar bareng menggambar, tapi tidak full team, kadang berdua, bertiga, intinya gambar bareng. Terus kita ketangkep.
Isbat: Lokasinya di mana?
Anas Hope: Jadi waktu itu bareng Wen, sebenarnya ada Juplex juga, tapi dia lagi gak mood menggambar, cuma ikut nemenin saja. Lokasinya di salah satu tembok toko di Pasar Senggol, toko helm. Malam itu pukul sebelasan kita mulai menggambar, sudah 90% hampir jadi, tinggal outline doang, kita kegeb, ketangkep. Kegeb tapal kuda, ke kanan ke kiri tidak bisa lari. Apesnya kita tidak sadar kalau ada CCTV yang mengawasi. Risikonya ya disuruh menghapus, ngecat ulang seperti semula. Itu tahun 2019 sebelum pandemi.
Isbat: Ketangkep sama yang punya toko?
Anas Hope: Bukan, jadi ternyata semua toko-toko yang ada di Pasar Senggol itu masuk wilayah pengawasannya Kodim. Makanya dilarang untuk dicorat-coret, steril dari bentuk vandalisme apa pun. Jadi bapak tentara yang nangkep kami, terus kami disuruh menghapus gambar dan push up 10 kali, termasuk si Juplex yang cuma ikut nemenin itu. Kami diberi pilihan “Mau ditembak atau hapus gambar?”
Isbat: Waktu itu kamu dan Wen menggambar apa?
Anas Hope: Aku menggambar Hitah, gadis ceria pakek poni, karakter baruku itu. Kalau Mas Wen gambar karakter tulisannya saja “Wen”.
Isbat: Nah, Hitah sendiri kan sebenarnya karakter ya, bisa dibilang caramu untuk menyampaikan gagasan dan ekpresimu. Gagasan apa, tentang siapa? Kenapa kamu pilih bentuk itu?
Anas Hope: Hitah, mulanya pingin aku jadiin karakter utama dari karakterku yang sebelumnya dan cowok seharusnya. Namun, karena berangkat dari kisah seorang cewek korban bulliying, perundungan, jadi gendernya diubah.
Isbat: Oh inspirasinya dari kisah nyata?
Anas Hope: Betul, itu teman kampus di Surabaya. Pada gambar itu kan matanya agak sipit ya, terus rambut sebahu dan ponian. Pemilihan komposisi warnanya juga warna-warna cerah dan ceria, karena memang dia keturunan Cina-Madura yang aslinya dari Situbondo-Mojokerto. SD sampai SMP dia tinggal di Situbondo. SMA dia pindah ke Mojokerto, terus kuliah di Surabaya. Dia sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, dipanggil ciro, cino-meduro. Hitah itu upayaku untuk menyuarakan stop bullying, stop kekerasan pada perempuan apapun bentuknya, lebih-lebih yang menyinggung ke ranah rasial dan agama.
Isbat: Berarti terlepas dia tidak tinggal di Bangkalan, tapi mau tidak mau kita mengakui bentuk rasisme seperti itu ada di mana-mana, termasuk di sini?
Anas Hope: Benar. Kita aja yang enggan mengakuinya. Mungkin karena kita juga biasa menjadi korban rasisme kan. Hitah adalah hero-ku untuk menyuarakan persoalan itu.
Isbat: Mungkin tanpa disadari, seniman street art adalah mereka-mereka yang melakukan pengamatan akan ruang kota ya, sudut-sudut kota, serta pergeseran fungsi ruang sosial yang ada di Kota Bangkalan ini. Lantas untuk pemilihan lokasi itu ada kriterianya gak? Mana yang pantas dan mana yang tidak?
Anas Hope: Tentu saja kita punya kategori. Di dalam kota, kita menghindari gerobak PKL, tembok tempat ibadah, dan bangunan cagar budaya. Di dekat pecinan itu kan ada benteng peninggalan VOC ya, benteng Erfprins. Temboknya cukup lapang itu, dibangun abad 18-an, jadi semacam monumen pengukuhan pendudukan VOC atas Bangkalan, Madura Barat. Sebenarnya sangat pas untuk digambar dan lokasinya juga strategis, sayang tidak terpelihara. Di situ juga banyak gerobak PKL, jadi kami menghindarinya. Pokoknya dari perempatan Toko Langgeng, sepanjang pecinan, pertigaan Dang Tenggih sebelum Klenteng Eng An Bio, hampir rata sudah digambar sama anak-anak, tapi favoritku tetep perempatan Toko Langgeng.
Isbat: Kota Bangkalan itu didesain menjadi kota santri kan ya, dibanding dengan kota-kota lainnya di Madura. Jumlah pesantren yang ada di kota, paling banyak ada di Bangkalan. Dalam kekaryaanmu ada tidak bentuk atau gagasan yang merespon atau malah terinspirasi dari pandangan tadi?
Anas Hope: Sejauh ini belum, Mas. Seharusnya bikin kaligrafi gitu ya? Ayat-ayat gitu ya? Tapi kalau diminta menggambar di ponpes, pernah, di Pondok Kepang dulu, di ruangan sekolahnya.
Isbat: Tapi ada gak upaya untuk mengangkat isu-isu lokal dalam karyamu atau karya teman-teman di sini? Yang merespon peristiwa sehari-sehari atau permasalahan sosial yang dekat dengan tempat tinggal?
Anas Hope: Kalau di karyaku lebih ke eksplorasi karakter saja sih, Mas. Kalau yang spesifik menyuarakan isu atau konflik sih belum terlalu kuat, tapi ada. Sejauh ini ya Hitah itu, masalah rasisme tadi, kasusnya cukup dekat denganku karena penyintasnya teman sendiri. Kalau karya teman-teman lainnya, ya menurutku sama. Juplex dengan burung ababilnya itu, Duro dengan graffitinya, si Owik kucing oren, Dikor dengan kaligrafitinya, terus ada Alif Strooper dengan mural lingkaran ruwetnya itu, obat nyamuk. Namun terlepas itu, kita juga ikut serta bila mana ada isu penting yang sedang hype, misalnya ikut bikin gerakan street art melawan, respon penolakan terhadap penetapan Omnibus Law, UU Cipta Kerja. Kita protes dengan coret-coret tembok.
Isbat: Apa kalian juga terkoneksi dengan komunitas di luar sana? Notice ngga mereka ke gerakan kalian di Bangkalan?
Anas Hope: Tentu mereka notice, mas. Di Surabaya itu ada Bunuhdiri Studio, Mas X-GO, dia pernah bikin acara bareng kita, support kita. Kalau di Madura kita juga terhubung dengan teman-teman Titik Hitam Familia dan Artvengers di Sumenep. Terus ada Artzheimer di Pamekasan.
Isbat: Terima kasih, Nas, sudah bersedia menyisihkan waktu untuk obrolan singkat ini. Untuk menambah informasi lainnya, aku akan menghubungi Juplex untuk bertemu. Semoga masih ada bus untuk melanjutkan perjalananmu.
Anas Hope: Sama-sama, Mas. Aman. Menurutku tepat menghubungi Juplex, karena memang bersama dia, kami dulu memulai untuk menghidupkan lagi skena street art di sini. Dia juga lebih punya waktu luang dan stand by di Bangkalan.
***
Ketimbang pindah ke kota lain, Juplex seperti halnya Anas Hope, memilih meramaikan dinamika seni visual, khususnya street art di Bangkalan. Pada lain waktu dan tempat, saya menemuinya untuk ngobrol di tengah kesibukannya bekerja: menggambar tembok di sebuah café.
Isbat: Bisa dibilang kamu salah satu yang menginisiasi lahirnya Mata Pena. Bagaimana pendapatmu soal ruang? Bisa jelaskan bagaimana Mata Pena sebagai ruang bersama?
Juplex: Sebenarnya kalau saya ingat-ingat, Mata Pena sebagai ruang bersama, lebih kepada perkara di Bangkalan dulu belum adanya wadah yang menyediakan literasi tentang Visual Art. Apa saja yang bersinggungan dengan Visual Art.
Idenya dulu ingin bikin Pena Hitam cabang Bangkalan, karena secara personal saya sudah terhubung dengan mereka. Namun, karena banyak dukungan dari teman-teman di sini, dan ada satu pernyataan mereka, seingat saya dari Mas Hendra personil band punk Patek Cellenk, yang membuat saya mantap milih Mata Pena saja. Dia bilang begini; “Dari pada membawa nama komunitas orang, kenapa gak bikin komunitas sendiri saja, ngajak teman-teman di sini.” Itu jadi semacam pemantik awal untuk menciptakan ruang bersama. Ternyata responnya bagus.
Banyak teman-teman yang ternyata punya kegelisahan yang sama dan butuh ruang ketemu untuk bikin sesuatu. Setelah itu kami langsung bikin acara Mata Pena Gathering: drawing dan sharing bersama Ella Trimurti, Anas Hope, dan Juplex. Mbak Ella, dia seorang disainer grafis, lebih ke fashion, Anas kita sudah tahu dia siapa. Intinya kita gas aja dulu bikin event kumpul-kumpul melakukan sesuatu bersama. Alhamdulillah responnya di luar perkiraan saya karena yang ikut banyak, lebih dari 20-an peserta. Artinya animo terhadap seni visual di kota ini bagus dan bermacam-macam alirannya.
Setelah event tadi, Anas punya inisiatif bikin Kumbang, sebagai kompor saja biar makin panas untuk mereklaim ruang-ruang kota dengan mural dan graffiti. Intinya Mata Pena dan Kumbang itu ibarat saudara kembar, kembar sial tapi, isinya orang-orang sialan semua. Hahaha. Dari pertemuan tadi akhirnya kita bikin beberapa acara pameran bareng dan workshop, antara lain: Gambreng, Toron, Rupa-rupa Warnanya, Visual Senja, Starting (street art jamming) dan lain-lain.
Jadi keberadaan ruang bersama itu sangat penting. Selama kita berkegiatan baik, ya terus jalan aja. Sekarang kan bukan zamannya lagi saling menjatuhkan. Sekarang era kolaborasi. Apalagi kesenian yang kita geluti ini seni underground, kalau malah tidak berjejaring, anti-sosial, dan tidak mau terkoneksi, ujung-ujungnya tidak ada yang menghidupi dan tidak ada yang melanjutkan.
Jadi harapan dari adanya Mata Pena, tidak hanya jadi wadahnya teman-teman bikin acara, terlebih sekarang sudah ada Mata Pena Art Space, kita jadi punya semacam divisi masing-masing. Ada Kumbang yang fokusnya ke street art, ada MTPN Merch fokusnya ke penjualan karya teman-teman. Yang terbaru sekarang kami punya divisi musik, menggandeng teman KRST, musik elektronik gitu. Jadi, disiplinnya sekarang bertambah. Ke depannya saya ingin bikin management artist untuk para pelaku seni di Bangkalan.
Bangkalan punya banyak seniman, terutama yang muda-muda, mereka lebih memilih berkesenian di luar. Ketika saya ngobrol dengan mereka, curhatnya saat mereka pulang ke Bangkalan, mereka jadi posang (bingung mau ke mana dan mau ngapain). Maka dari itu saya putuskan biar Mata Pena dan Kumbang, terutama saya saja, yang “jaga gawang” street art di Bangkalan. Biar teman-teman yang sudah berkarier di luaran itu nggak menjadi gelandangan. Sehingga ketika mereka pulang bisa bawa teman, koneksi, dan relasinya ke Bangkalan, juga ide-ide baru. Mereka tidak perlu bingung lagi cari wadah.
Isbat: Sekarang aku ingin loncat ke karyamu. Momentum apa yang bikin seorang Juplex, pada akhirnya menemukan bentuk burung ababil berkepala garuda?
Juplex: Pada akhirnya, pertemuan ke pertemuan sebenarnya yang membentuk itu. Maksud saya setiap bertemu teman-teman sesama seniman mural dan graffiti, kita seperti “dipaksa” memiliki karakter, warna, dan bentuk sendiri, sehingga ujungnya jadi identitas. Lantas saya teringat pelajaran di sekolah madrasah dulu. Bab tentang kisah burung ababil, datang berkelompok untuk menghancurkan pasukan gajah yang ingin merobohkan Ka’bah. Kisah itu melekat di kepala saya. Itulah sebabnya saya pilih karakter burung, terus kepala garuda datang dari lambang Pancasila, tapi karena saya juga punya band beraliran punk, jadinya burung ababil tadi saya bentuk menjadi agak rebel. Di balik keanehan-keanehan bentuk tersebut, saya ingin menunjukkan sisi nasioanalismeku.
Isbat: Bukan sisi Pemuda Pancasila-mu?
Juplex: Hahaha bukan, Boi!
Isbat: Pada gambarmu ada penguat teks juga, kan?
Juplex: Ya, saya tambahkan teks untuk mempertegas apa yang ingin saya sampaikan. Biar semakin mudah ditangkap juga oleh siapa saja yang melihat atau membacanya.
Isbat: Figur burung ababil berkepala garuda dan datang dari segala penjuru, itu, sebenarnya ingin menyampaikan apa?
Juplex: Intinya di mana gambar burung ini ada, berarti di situ sedang tidak baik-baik saja! Jadi ada sesuatu yang harus disuarakan.
Pernah waktu itu kalau tidak salah tahun 2020, masa Pilkada Bangkalan, saya menggambar burung ini di daerah Demangan, di tembok di depan sebuah pondok pesantren. Sebenarnya saat itu kolaborasi sama Anas dan Owik juga, tapi karakterku lebih dominan: burung pakai jas hitam, rapi, berkopiah hitam, ya ala-ala pejabat gitulah. Terus saya kasih teks berbunyi “Partai Ngaco!”. Kenapa ada di lokasi itu karena jadi pusat kota dan kekuasaan politik. Dan gambar itu hanya bertahan dua atau tiga hari saja. Ada yang menghapus. Kita gambar itu malam Minggu. Hari Minggu masih ada, Senin itu masih aman, nah esok harinya sudah tidak ada.
Ada lagi karyaku yang merespon pembangunan gedung DPRD baru. Itu kan hasil dari tukar guling lahan antardinas apa gitu. Saya meresponnya dengan menggambar karakter burung ababil berbadan manusia, berpakaian mirip-mirip mafia, pakai kaca mata hitam, memegang koper duit. Terus saya pertegas dengan kata-kata “Mafia Dana APBD.” Lokasinya itu di daerah pecinan. Yang ini tidak ada yang menghapus.
Isbat: Ada tidak potongan lirik dalam lagu-lagumu yang kamu jadikan kata-kata pendukung pada gambarmu? Si burung tadi?
Juplex: Belum ke situ, tapi saya ada keinginan untuk bikin proyek itu. Tentunya proyek pribadi.
Isbat: Saya ingin menyinggung estetika, etika, dan tanggung jawab kekaryaan. Menurutku, ini pendapatku, kamu menggambar di jalanan itu tidak asal-asalan, hasilnya bagus dan menarik, sehingga jadi semacam portofolio. Pernah gak ada orang ngajak projekan setelah melihat gambarmu itu?
Juplex: Ya, benar. Saya sebut itu sebagai gift ya. Apa yang ditabur, itu yang akan kita tuai. Entah awalnya mungkin karena movement-ku, yang gambar di jalan itu atau postingan ilustrasi di medsos, kemudian ada pihak nawarin projekan menggambar, kayak menggambar ruang sekolahan, café, dan desain grafis juga. Gambar burung ababil itu pernah beberapa kali ada yang meniru. Dan itu jadi sebuah kebanggan bagi saya.
Isbat: Ada di mana saja gambar burung ababil itu?
Juplex: Paling sering itu di daerah pecinan, ada. Terus perempatan Toko Langgeng, Perempatan Hona, Pertigaan Naga Sakti, kawasan PKPN. Intinya pusat kota, tapi saya menghindari bangunan bersejarah dan fasilitas umum, kecuali fasilitas itu dibangun terus sia-sia, contohnya pos di Taman Paseban dan juga halte bus yang tidak pernah ada busnya itu.
Isbat: Lebih seru mana, menggambar di jalanan atau menggambar di dalam ruangan?
Juplex: Tentu ada keseruan masing-masing sih. Menggambar di jalan itu kan sebenarnya esensi street art ya, bombing saja, vandal. Alhasil kita berpacu dengan waktu, mesti cepat, gambarnya harus selesai pada malam itu juga. Ketika gambar itu jadi, secara tidak langsung, sebenarnya kita sudah pameran di situ. Spektakelnya pun lebih banyak, sehingga pembacaan wacananya pun lebih bermacam. Jadi bisa reclaim ruang publik itu lebih seru, bagiku.
Isbat: Dari pertemuan dengan banyak komunitas dan seniman dari tempat lain, ada tidak semacam ide-ide karya atau event ke depan?
Juplex: Rupa-rupa Warnanya tahun depan akan saya usahakan terlaksana lagi.
Isbat: Dokumentasi karya, menurutmu seberapa penting? Kamu melakukan itu tidak?
Juplex: Dokumentasi karya itu dilakukan perorangan biasanya. Setiap seniman mendokumentasikan karya mereka masing-masing. Saya juga melakukan itu. Dulu sempat saya foto, terus saya cetak, tapi saya lupa cetakan itu saya simpan di mana. Yang jelas di medsos saya banyak. Justru yang saya sesali itu yang saya simpan di komputer, dan komputernya rusak. Tapi ke depannya yang masih belum kesampaian, saya ingin mendokumentasikan karyaku dan karya teman-teman dalam bentuk Zine.
Isbat: Menjadi seniman di Bangkalan menurutmu bagaimana? Bisakah bertahan hidup? Karena tinggal di kota kabupaten itu mencekik secara emosional, kreativitas, dan spiritual. Cukup inspiratifkah kota ini?
Juplex: Pertanyaan sulit. Jawabannya sulit. Ya jelas sulitlah. Tapi bisa disiasati. Mau tak mau selain kita menunggu, tetap bikin karya di sini, kita juga harus menjemput bola. Saya juga harus main ke luar, mendatangi tempat teman-teman street art di daerah lain, supaya terus ada komunikasi dan terkoneksi. Ya ke Surabaya, ke Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang, Jogja, Jakarta, juga Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Isbat: Gawangnya ditinggal kosong, dong?
Juplex: Mata Pena dan Kumbang tidak sepele, kan masih ada teman-teman lainnya. Lagian cuma jemput bola. Saya juga mengerjakan projek lain seperti mendesain. Jadi masih bisa hiduplah. Intinya sampai sekarang saya masih menikmati berkesenian di sini. Ketika kesulitan dan beban semakin besar, mental dan daya tahan ikut terbangun juga kan. Makanya temen-temen seperti Fandy, Alif, dan sekarang Akil, kalau ada undangan pembicara dari Mata Pena, mereka-mereka ini yang saya suruh maju, biar berani bicara, biar tidak hanya nama-nama itu saja yang dikenal.
Isbat: 10 tahun dari sekarang masihkah kamu akan di sini dan tetap menjadi seniman?
Juplex: Insyaallah masih, tapi minggu depan saya mau ke Jakarta sepertinya. Mau jemput bola!