Mendung menggantung di langit sore ketika serombongan muda-mudi memasuki sebuah gang. Suasana begitu kelabu, hujan tinggal menunggu waktu. Beberapa orang tampak mendongakkan kepala, sambil menadahkan telapak tangan ke langit, siaga menanti rintik. Namun, sebagian besar lainnya tampak tak hirau. Muda-mudi itu menyesaki sebuah gang nun di sudut kampung Gambiran, Kelurahan Pandean, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Kaki mereka melangkah pelan di antara rumah dan kandang ayam warga, menyusuri gang sempit yang hanya cukup dilewati sepeda motor. Beberapa di antara mereka saling berbisik. Ini makamnya di mana ya? Masih jauhkah? Sudah pernah ke sini sebelumnya?
Makam Rachmat Jati adalah tujuan mereka. Sore itu, Ahad 8 Desember 2024, sebuah pertunjukan teater bertajuk Merapal Piwulang Sampai Pulang akan digelar di kompleks pemakaman umum Gambiran. Pertunjukan yang disutradarai Amalia Rizqi Fitriani itu adalah pamungkas dari rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok yang diproduksi Komunitas Sakatoya. Sebelumnya, sejak 3 Desember, lima pertunjukan lain telah digelar berturut-turut di beberapa titik di Yogya. Semuanya berjangkar pada biografi Raden Mas Iskandar Soerjopranoto, sang Pahlawan Pergerakan Nasional yang jasadnya membumi di Makam Rachmat Jati. Saya sendiri ikut bermain sebagai aktor sehari sebelumnya, dalam pementasan teater realis Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia) garapan Shohifur Ridho’i. Rangkaian pertunjukan ini adalah bagian dari program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024, yang disponsori Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia pimpinan Fadli Zon. Bisa dikata, saya sudah ikut andil dalam proyek kebudayaan rezim baru, yang dicecar banyak orang itu. Tapi, soal rezim baru itu kita kesampingkan dulu. Ada beberapa hal yang jauh lebih penting.
Sejarah yang Meruang dan Menubuh
Pertama-tama, agaknya, tidak banyak generasi kiwari yang kenal Soerjopranoto. Sebagai Pahlawan Nasional, namanya seperti kena skip dari buku sejarah yang beredar di sekolah-sekolah. Buku pelajaran sejarah lebih sering mencatat nama adiknya, Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara sang Bapak Pendidikan Bangsa. Dalam perbincangan sejarah lokal Yogya pun, riwayat Soerjopranoto jarang disinggung. Saya sendiri baru mendengar nama blionya ketika terlibat dalam persiapan Vergadering Sarekat Islam. Rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok ini jadi penting karena menghidupkan kisah sang pahlawan yang terlupakan. Apalagi, kepahlawanan Soerjopranoto ada dalam spektrum yang jarang ditengok.
Sosok yang lahir pada 11 Januari 1871 ini adalah pahlawannya skena kelas pekerja, sosok sigmanya kaum proletar pribumi! Pada 1900, saat usianya masih 29, Soerjopranoto mendirikan koperasi rakyat Mardi Kaskaja. Koperasi gokil ini berusaha membebaskan rakyat kecil dari belenggu rentenir, suatu usaha yang bikin badmood pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada 1915, Soerjopranoto lagi-lagi bikin gebrakan doublekill dengan mendirikan Adhi Dharma, sebuah kolektif para pangeran Pakualaman yang mengusahakan kesejahteraan rakjat. Adhi Dharma mulanya bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Mereka menyelenggarakan kelas-kelas, memberikan sokongan moril dan materil pada para buruh yang dicampakkan industri kolonial.
Merasa usahanya tidak cukup kuat, Soerjopranoto bertindak lebih revolusioner. Ia melengkapi Adhi Dharma dengan brigade pendekar yang terdiri dari buruh-buruh seantero Jawa, namanya Prawiro Pandojo Ing Joedo. Anggota mereka tersebar sampai ke pelosok-pelosok, kayak anggota komunitas Honda CB atau RX King hari-hari ini. Pasukan ini berada di garda depan membela keselamatan para buruh yang diperlakukan sewenang-wenang oleh kolonialisma.
Beberapa tahun berselang, pasukan buruh itu berkembang jadi serikat pekerja Personeel Fabrieks Bond (PFB), yang anggotanya mencapai sepuluh ribu orang. Soerjopranoto juga memimpin Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB), semacam himpunan serikat buruh. Pada 1920, PPKB punya anggota sekitar 72.000 orang. Organisasi sigma ini!
Bersama PFB dan terutama PPKB, Soerjopranoto menyulut aksi pemogokan massal di seluruh Jawa. Buruh-buruh pabrik di beberapa kota mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah dan jaminan kesejahteraan sosial. Berkat strategi ciamik dan solidaritas antarpekerja yang mantab jiwa, pemogokan itu sukses gilang-gemilang. Aksi-aksi kolosal itu membuat pers kolonial menjuluki Soerjopranoto sebagai De Stakings Koning, Si Raja Mogok. Kalau kata anak-anak sekarang, Soerjopranoto ini badass parah, juara mewing Asia!
Apalagi, Soerjopranoto ini ningrat. Ia adalah cucu Sri Paduka Paku Alam III. Hidupnya bergelimang privilese, terutama di bidang pendidikan. Sekolahnya bagus, sampai punya dua ijazah sekaligus: sebagai ahli pertanaian dan guru ilmu pertanian. Masa depan kariernya pun cerah. Bayangkan, sebagai priayi resek yang bikin jengkel pemerintah, ia tetap diangkat jadi PNS di dinas pertanian kolonial, meski beberapa kali dimutasi karena sering cekcok dengan atasannya.
Puncak kariernya terjadi saat ia diangkat jadi kepala dinas pertanian di Dieng, Wonosobo. Tapi, justru di sanalah spirit antikemapanannya meledak. Pada 1914, seorang pegawai pribumi dipecat karena menjadi anggota Sarekat Islam. Mengetahui itu, Soerjopranoto muntab. Di hadapan residen Belanda, ia merobek-robek ijazahnya seraya bersumpah tak sudi lagi bekerja untuk pemerintah kolonial. Ketimbang jadi abdi penjajah, Soerjopranoto lebih memilih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Hidup tanpa gaji dan tunjangan tak masalah. Cah punk og!
Berbeda dari tokoh-tokoh pergera’an lain yang menempuh jalur politik intelektuil, Soerjopranoto menjadikan gera’an buruh sebagai fondasi perjuangannya. Fondasi itu menopang keterlibatannya dalam beberapa simpul pergera’an nasional, seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Di Sarekat Islam, ia memberi pengaruh besar pada Alimin, Darsono, Semaoen, dan Haji Misbach—nama-nama yang berperan penting pada sejarah berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Nama-nama itu juga menempuh jalan ninja Si Raja Mogok dalam skena pergerakan kaum buruh. Mereka terlibat dalam aksi-aksi pemogokan dan agitasi buruh yang bikin bete pemerintah kolonial.
Soerjopranoto juga mengedarkan pemikirannya lewat surat kabar PFB, Boeroeh Bergerak. Melalui gera’an buruh, Soerjopranoto menghantamkan tinjunya pada tiga kekuatan besar yang membelenggu Nusantara saat itu: kolonialisma, kapitalisma, dan feodalisma (tidakkah tiga kekuatan ini masih mencengkeram kehidupan kita di masa kini?). Meski dirinya sendiri ningrat, Soerjopranoto tak segan-segan menghantam para priayi komprador yang menindas kaum buruh.
Pada 30 November 1959, sebulan setelah Soerjopranoto wafat, Presiden Sukarno menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Soerjopranoto almarhum adalah nama ketiga di republik yang menyandang gelar itu. Namun, spektrum kepahlawanannya tentu sangat sulit bertahan melewati sensor sejarah rezim Orde Baru. Presiden Soeharto dan para aparatus ideologisnya sangat sensitif mengendus narasi pergerakan-perburuhan. Di masa Soeharto, membicarakan riwayat progresif Soerjopranoto, apalagi singgungannya dengan orang-orang Kiri di Sarekat Islam, adalah semacam alarm kebangkitan PKI yang berbahaya, subversif! Tapi, riwayat Si Raja Mogok kini dibicarakan secara bla’-bla’an saat mantan menantu Soeharto berkuasa sebagai presiden. Lho nggak bahaya ta? Tenang, semua itu terjadi dalam mode artistik pertunjukan teater.
Uraian panjang-lebar saya soal riwayat Soerjopranoto tadi barangkali terdengar membosankan, lain cerita kalau Anda mengalaminya lewat teater. Mengajak 6 sutradara, Komunitas Sakatoya merancang rangkaian pertunjukan 6 Tubuh Si Raja Mogok berbasis site-spesific. Artinya, tiap pertunjukan merespons ruang yang jadi lokus sejarah Soerjopranoto: mulai dari SMK Ibu Pawiyatan Taman Siswa, Pabrik Gula Madukismo, Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Islam Kotagede, Rumah Suryoputran, Aula Boedi Oetomo, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), hingga Makam Rachmat Jati. Nyaris di semua tempat itu, para aktor dan penonton pertunjukan mengalami sejarah yang meruang sekaligus menubuh—semacam napak tilas. Saya bilang “nyaris” karena Vergadering Sarekat Islam di TBY tidak benar-benar site-spesific, ia justru memindah jejak sejarah Kongres Sarekat Islam 1918 di Surabaya ke ruang pertunjukan yang memungkinkan di Yogyakarta.
Untuk mengalami sejarah yang meruang dan menubuh itu, Komunitas Sakatoya menyelenggarakan tur yang diikuti beberapa sekolah. Sebelum menonton teater, para pelajar itu terlebih dahulu berkeliling ke beberapa situs Soerjopranoto menggunakan bus. Komunitas Sakatoya juga membangkitkan ruh koperasi Soerjopranoto dalam bentuk Dapur Mardi Kaskaya. Dapur umum ini bisa diakses publik selama rangkaian pertunjukan berlangsung. Masakan Dapur Mardi Kaskaya adalah narasi sejarah yang meruang sekaligus merasuk ke dalam tubuh; menambah wawasan dan bikin kenyang!
Pengalaman sejarah yang meruang dan menubuh ini juga penting. Sebab, di hadapan sejarah tokoh yang terlupakan, situs-situs riwayat hidupnya serupa pusara dalam lintasan zaman. Tempat-tempat itu hanya jadi makam bagi kisah masa silam yang terkubur: angker, tidak menarik, dan lebih-lebih tidak relevan. Orang-orang selama ini lalu-lalang dan melihatnya sebagai sebuah tempat, mentok sebagai sebuah tempat yang konon katanya. Kalaupun pusara itu ‘digali’ dan kisahnya diangkat lagi ke permukaan, caranya seringkali—mohon maaf—bikin ngantuk. Di ruang-ruang seminar dan diskusi, sejarah terlalu sering dikhotbahkan sebagai masa silam yang kadung penting.
Mode pertunjukan, setidaknya, punya peluang tidak bikin ngantuk. Pada pertunjukan, ada gerak yang membuat kisah dalam pusara jadi hidup. Tubuh-tubuh para aktor dan penonton bergerak mendatangi pusara-pusara kisah Soerjopranoto. Apalagi, di situs-situs itu tubuh penonton juga bergerak secara partisipatoris bersama para aktor, mereka mementaskan kisah secara bersama-sama. Tubuh mereka mengalami langsung wujud ide-ide solidaritas kelas, kesetaraan, dan ghirah pengabdian Soerjopranoto pada keadilan sosial.
Mode pertunjukan membuat publik menggali sendiri pusara kisah Soerjopranoto melalui pengalaman tubuh mereka. Publik juga bisa membangun sendiri relevansi antara kisah masa silam dan kehidupan mereka hari ini. Ini membuat sejarah tidak hanya dibayangkan, tetapi juga dialami. Dan dalam pengalaman itu, sejarah jadi meluas serta punya kemungkinan-kemungkinan detail yang selama ini luput dibayangkan. Misalnya, dalam pertunjukan Merapal Piwulang Sampai Pulang, khalayak penonton jadi bisa membayangkan secara jelas betapa dekatnya Soerjopranoto dengan rakjat yang diperjuangkannya. Untuk mengakses Makam Rachmat Jati yang jadi lokasi pertunjukan, tubuh penonton lebih dulu mengalami situasi perkampungan warga. Tanpa pengalaman tubuh ini, saya bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa egaliternya sosok Si Raja Mogok.
Kuburan: Situs Pengetahuan yang Dekat
Seperti yang saya sebut barusan, pertunjukan Merapal Piwulang Sampai Pulang digelar di kompleks pemakaman. Coba bayangkan kata ‘teater’ disandingkan dengan ‘kuburan’, betapa ganjilnya. Belum lama ini, saya memang pernah menonton pertunjukan teater yang melibatkan imaji makam sebagai pendukung cerita. Tapi, pertunjukan itu berlangsung di ruang kedap black-box, bukan di ruang terbuka pemakaman yang penuh nisan, aroma melati, dan semilir kemenyan. Apa jadinya kalau kita mengalami teater langsung di kuburan? Apakah aktor atau penontonnya akan kesurupan?
Amalia Rizqi alias Amel Spora, sang sutradara lulusan Jurusan Teater ISI Yogyakarta, merancang pertunjukkan ini dalam dramaturgi ziarah. Set pertunjukkannya melibatkan panggung berterop, gelaran tikar pandan beratap langit terbuka, dan tentu saja pusara Soerjopranoto—di sinilah jasadnya rebah. Panggung dan tikar berada di luar pagar area makam, masih menyatu dengan pemukiman warga. Para penonton, muda-mudi yang tadi menyusuri gang, pada akhirnya duduk takzim di atas tikar. Saya duduk di bagian belakang, dekat gundukan kain cokelat yang entah apa.
Di panggung berterop, seorang juru kunci makam (diperankan Abdusshomad) berdiri menyambut para hadirin. Ia berkostum tradisional Jawa komplit: blangkon, kemeja lurik gelap, dan bawahan jarik berwarna senada. Di belakangnya, lima pemusik—tiga laki, dua perempuan—memainkan nomor Kinanthi yang terdengar magis di telinga. Dua orang lagi duduk bersila, kepala mereka menunduk khusyuk. Semuanya mengenakan kostum Jawa—dua pemusik perempuan menyampirkan kerudung di kepala.
Dengan nada yang terlampau kalem dan sangat perlahan, sang juru kunci menyebut tata tertib ziarah: menata niat yang suci, tidak menyekutukan Allah dengan ahli kubur, melepas alas kaki, serta tidak ribut atau misuh-misuh. Perempuan haid tidak diperkenankan masuk ke area makam. Para hadirin hening menyimak. Ziarah beneran ini, batin saya. Keberadaan para fotografer dan panitialah yang membuat peristiwa ini masih terasa sebagai ‘acara seni’. Mereka kadang lalu-lalang menghalau ayam-ayam umbaran milik warga.
Begitu rampung menyampaikan amanat, sang juru kunci meminta dua orang yang tadi bersila untuk maju. Dua sosok itu adalah M. Yaser Arafat dan Rendra Bagus Pamungkas. Keduanya memancarkan aura mas-mas Jawa keraton. Di bawah mendung yang makin gelap, Yaser Arafat memapar biografi Soerjopranoto kepada hadirin. Terutama, ia menukil riwayat-riyawat spirituil Sang Pahlawan Nasional di masa senjanya.
“Bagi Eyang Soerjopranoto, kematian adalah sowan marang Gusti Allah, bertamu kepada Allah,” terang Yaser diiringi gamelan yang mengalun tipis-tipis.
Menurut dosen UIN Sunan Kalijaga cum periset makam itu, dalam rangka sowan kepada Tuhannya, Soerjopranoto melakoni tapa mandita, suatu lelaku kearifan Jawa sebagai bekal menyongsong kematian. Dalam tapa mandita, selepas usia 50, Soerjopranoto menepi dari aktivitas duniawi dan khusyuk mendalami ilmu agama. “Eyang bahkan mengkliping khotbah-khotbah Jumat dari koran yang dibaca para tukang becak, Kedaulatan Rakyat,” tutur Yaser.
Di masa tuanya, Soerjopranoto juga menulis renungan-renungan hikmah berbahasa Jawa. Renungan itu terbit sebagai serat Sotya Rinonce. Satu nukilan serat itu lalu dilantunkan Rendra Bagus Pamungkas saat Yaser mengkhatamkan ceramahnya. Rendra melantunkannya dengan mode musikal, diiringi gesekan biola bernada pilu. Permainan suara tinggi-rendah aktor senior yang satu itu membuat saya merinding. Ia tampak mengulang beberapa kata. Sayangnya, telinga Madura saya kurang bisa memahami kata-kata berbahasa Jawa yang dilantunkannya. Yang jelas ada kata ‘Allah’ di situ, diulang-ulang dalam berbagai nada.
Tiba-tiba, gundukan kain cokelat di sebelah saya bergerak, bangkit perlahan. Ada setan, anjiiir! Kata-kata itu sudah sampai di kerongkongan tetapi suasana membuat mulut saya melafalkan, “Allahu akbar!” Orang-orang di sekitar saya juga kaget. Apalagi, tubuh berkain coklat itu punya kepala sedemikian besar dengan raut muka tua yang seram. Sosok serupa juga tiba-tiba muncul di depan panggung.
Ketika kekagetan mereda dan mata minus saya bisa menatap dengan awas, dua sosok itu saya kenali sebagai aktor berkostum boneka. Mereka adalah Cholis dan Yusuf dari Goni Puppet Theatre. Di poster, mereka disebut sebagai kolaborator pertunjukan. Dua sosok itu berjalan pelan dan bungkuk, sambil samar-samar merapalkan tahlil. Laa ilaa ha’illallaah… Laa ilaa ha’illallaah…. Suara serak mereka ditimpali tembang Jawa yang dilantunkan seorang perempuan. Nuansa pertunjukan mulai kental terasa.
Ketika dua sosok tua tadi sudah melewati panggung, Yaser dan Rendra lalu berdiri sambil mengumandangkan tahlil. Khalayak penonton di tikar pandan pun ikut bangkit. Dengan langkah pelan dan tanpa alas kaki, mereka beranjak menuju area makam. Karena ruangnya terbatas, peziarah dibagi dalam dua gelombang. Saya ikut dalam dua-duanya.
Area makam itu terdiri dari dua gerbang. Di gerbang pertama, yang berupa celah dari dua tembok, para peziarah mendapat bungkusan daun pisang berisi kembang setaman. Lurus dari gerbang pertama terdapat sebuah tembok besar bertuliskan “MAKAM PAHLAWAN NASIONAL RM. SOERYOPRANOTO”. Di samping tembok itu terdapat gerbang kedua, yang gapuranya berhiaskan relief batara kala. Melewati gerbang kedua ini, kita akan memasuki cungkup yang menaungi pusara Soerjopranoto beserta anak-istrinya. Cungkup itu dibuat agak lebih tinggi dari tanah di sekitarnya.
Yaser dan Rendra memandu peziarah gelombang pertama untuk berdoa di pusara Eyang Soerjopranoto. Di hadapan makam sang tokoh, semuanya duduk dan menunduk. Mata dipejamkan, tangan menengadah. Doa-doa dilantunkan. Aroma dupa memenuhi udara.
Setelah berdoa, para peziarah dipersilahkan menabur kembang. Tangan-tangan mereka membuka bugkusan daun pisang, wangi kematian segera menyebar dari hidung ke hidung. Secara bergiliran, tubuh para peziarah bergerak ke empat pusara yang ada di sana. Di tiap pusara, mereka menabur kembang secara takzim. Beberapa orang kadang terhenti agak lama. Mereka menatap dua relief Semar di hadapan pusara Soerjopranoto dan istrinya. Di badan Semar, terdapat piwulang (petuah) Ki Soerjopranoto yang ditulis dalam bahasa Jawa ngoko.
Di luar cungkup, hujan turun tanpa ampun. Panitia kalang kabut membagikan jas hujan plastik. Di bawah guyur hujan, semua orang merasakan pengalaman tubuh yang sama. Basah. Semua orang sama-sama cemas dan butuh perlindungan. Situasi insidentil ini justru membuat spirit egaliter Soerjopranoto kian terpatri dalam tubuh para peziarah.
Peziarah gelombang kedua memasuki cungkup dengan tubuh berbalut plastik basah. Tanpa ada yang mengantar, para peziarah kali ini hanya berdiri di hadapan pusara. Mereka tampak seperti mengheningkan cipta, beberapa malah mengeluarkan kamera ponsel. Setelah momen ‘berdoa’ yang kikuk itu dirasa cukup, mereka juga menabur kembang.
Di luar cungkup, panitia membagikan amplop-amplop cokelat seukuran folio. Saat sudah sampai di rumah, saya baru tau bahwa amplop cokelat itu berisi lembaran “Sertifikat” bertulisan nukilan Sotya Rinonce-nya Soerjopranoto. Jadi, lembar sertifikat ini adalah piwulang Si Raja Mogok dalam versi eceran. Piwulang yang saya terima berbunyi, “Dentaberi narimo sajroning ati.” Berusahalah ikhlas dalam hati. Lumayan, bisa saya jadikan status WhatsApp sebagai kata-kata hari ini.
Meski begitu sederhana dan tampak sepele, sertifikat piwulang itu sangat penting sebagai penanda pengetahuan. Ia adalah wujud kongkret khazanah pengetahuan yang dibawa pulang para peziarah dari kuburan. Dengan kata lain, sertifikat itu juga menandai repositioning kuburan: dari situs kematian ke situs pengetahuan. Toh dalam pertunjukan ini, ceramah Yaser Arafat juga memapar pengetahuan lain tentang sosok Soerjopranoto. Betapa pun heroiknya Si Raja Mogok, ia tetaplah manusia, yang fana di hadapan usia. Jika situs-situs sebelumnya jadi pusara bagi geliat kepahlawanan Soerjopranoto, kuburan di Gambiran ini adalah pusara atas sisi ke-manusia-annya. Menengok pusara Si Raja Mogok seperti mengakses pengetahuan tentang hidup seorang manusia yang sama seperti kita semua, sama-sama bisa menua dan tiada.
Soerjopranoto tahu bahwa ia tak bisa hidup selamanya, tak mungkin berjuang selamanya. Tinjunya tak bisa terus mengepal. Dan perjuangan rakyat adalah urusan semua orang. Karena itu, pilihannya melakukan tapa mandita adalah semacam konversi dan diseminasi peran. Tubuh Soerjopranoto, atau tubuh siapa pun yang kadung ditokohkan, bisa undur diri dari gelanggang. Tapi, pemikiran harus jalan terus, merasuk ke tubuh-tubuh lain dari masa ke masa. Menulis piwulang adalah siasat undur diri Soerjopranoto sekaligus metode pewarisan pikirannya ke generasi penerus.
Bahkan, kuburannya pun adalah piwulang yang nyata. Sekali lagi, para peziarah mengalami langsung kuburan sang priayi di tengah pemukiman dan pemakaman warga biasa. Padahal, orangtua Soerjopranoto dimakamkan di kompleks Pasarean Hastana Kitha Ageng Kotagede, makam raja-raja Mataram Islam. Jaraknya dari Rachmat Jati hanya selemparan pandang. Lewat kuburannya sendiri, Soerjopranoto mewariskan pesan gamblang soal egalitarianisma dan spirit antifeodalisma. Siapa pun bisa datang kapan pun untuk mengakses pesan itu. Dengan kata lain, kuburannya juga adalah situs pengetahuan yang dekat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kuburan sebenarnya berperan sebagai instalasi sosial. Satu kuburan bisa dibuat dan diaktivasi oleh banyak orang lewat ziarah. Kuburan tidak hanya menandai lokasi peristirahatan terakhir seseorang, tetapi juga menjadi medium rekognisi sosial. Orang-orang datang ke kuburan untuk mengakses riwayat leluhur mereka, termasuk juga untuk mengenal riwayat mereka sendiri. Siapakah moyangku? Siapakah aku? Siapakah kami?
Di Madura, aktivasi kuburan semacam itu biasanya berlangsung dalam mode bernama Haul. Saat Haul berlangsung, seluruh kerabat dalam satu trah akan berkumpul, berziarah ke makam leluhur, dan menyelenggarakan pengajian. Mereka mendatangi kuburan laiknya berkunjung ke museum. Selain menghaturkan doa-doa, dalam pengajian mereka juga menakwil kisah-kisah leluhur, menyesuaikannya dengan situasi kehidupan kontemporer. Haul dan aktivasi semacam ini jadi relevan bagi banyak orang karena takwilan kisah leluhur adalah modalitas pengetahuan yang penting untuk menyongsong masa depan. Dengan kata lain, ziarah adalah cara orang-orang biasa mendayagunakan sejarah!
Ziarah sebagai Koreografi Sosial
Bagian terpenting dari pertunjukan Merapal Piwulang Sampai Pulang adalah tawarannya untuk melihat ziarah sebagai peristiwa performatif. Dalam Merapal Piwulang Sampai Pulang, pertunjukan hadir sebagai lelaku keseharian yang relatif dekat. Siapa pun yang punya keluarga pasti melakukan ziarah, setidaknya sekali dalam hidupnya. Ziarah juga bisa dilakukan secara perseorangan maupun berkelompok; bisa dilakukan sembarang waktu atau secara musiman. Artinya, ziarah adalah pengalaman semua orang di setiap masa.
Dalam pengalaman itu, gerak tubuh terikat pada suatu struktur gagasan: ada relasi antara yang hidup dan yang mati. Dan dalam rangka mem-performance-kan gagasan itu, perlambang-perlambang kemudian bekerja melalui tindakan subjek. Pakaian, bunga, dupa, dan doa-doa bekerja dalam gerak tubuh yang sedemikian rupa. Di beberapa pusara, kita bisa melihat orang-orang berdiri dan menyanyi, sebagian lagi duduk dan melantunkan doa-doa serupa kidung. Di pusara lain, orang-orang duduk, merunduk, tenggelam dalam sunyi. Gestur, ekspresi, dan kata-kata juga bermain dalam pengalaman ini.
Andrew Hewitt, profesor University of California, menyebut pengalaman semacam itu sebagai koreografi sosial. Dalam bukunya, Social Choreography: Ideology as Performance in Dance and Everyday Movement (2005), Hewitt memapar gerakan keseharian sebagai tarian, sebagai koreografi atas tata tertib sosial atau bahkan ideologi. Gerak para peziarah dalam Merapal Piwulang Sampai Pulang sebenarnya tidak semata dikondisikan oleh sutradara. Tubuh para peziarah juga bergerak mengikuti koreografi tradisi yang telah menubuh secara sosial dalam diri mereka. Alih-alih gerak para aktor di panggung berterop, gerak tubuh para peziarahlah sebenarnya inti dari pertunjukan ini. Dalam koreografi sosial, pertunjukan tidak hanya ditonton, melainkan juga dialami—ini tawaran artistik yang penting.
Pertunjukan yang dialami ini membuat batas-batas jadi ambyar. Setidaknya, pertunjukan bisa menjebol batas waktu dan ruang; ia tidak lagi temporer dan terbelenggu tata panggung. Selama orang menyadari bobot artistik dan performatif suatu peristiwa, maka ia sedang mengalami pertunjukan—kapan pun dan di mana pun itu terjadi. Dalam peristiwa itu, orang bisa menonton sekaligus mem-performance-kan sesuatu sesuai latar koreografi yang mereka punya.
Lebih jauh lagi, tawaran artistik semacam ini membuat seni bisa tajali di mana-mana. Koreografi sosial sangat memungkinkan kita mengalami seni pertunjukan di kuburan. Jika Anda mau mendapat pengalaman performatif yang murah-meriah, kunjungilah pemakaman umum saat lebaran. Tapi, kalau Anda ingin pengalaman yang lebih grande, cobalah ikut tur ziarah Wali Songo.
***
Editor: Margareth Ratih Fernandez