Oleh Kartika Solapung –
“Sepuluh ribu, sepuluh ribu! Mari Bapa, Mama! Sepuluh ribu!”
Saya meniru teriakan bibi Sali sebagaimana kebiasaan dia menjual ikan. Namun, suara dan dialek saya yang agak berbeda membuat para pengunjung terkesan ragu; apakah benar saya yang menjual ikan-ikan itu. Mereka hanya sekejap melihat ikan-ikan di meja lantas menatap wajah saya dengan sedikit menaikkan alis mata. Saya kemudian menahan suara, seketika menyadari kalau saya begitu canggung, sebab ini pertama kalinya saya coba menjual ikan.
Sebetulnya saya tidak berniat menjual ikan milik bibi Sali. Awalnya saya dan kawan Theresia Nay ingin mengamati aktivitas di Pasar Wuring dan berkomunikasi dengan para penjual, tetapi hal ini spontan saya lakukan karena bibi Sali kedatangan tamu dan mereka berbincang agak lama. Saya pun mengambil alih. Pasar Wuring sendiri buka dari pukul tiga sore hingga pukul delapan malam dan selalu ramai dikunjungi pembeli.
Sebelum lebih jauh menceritakan pengalaman bertemu bibi Sali tadi, saya ingin menyampaikan dahulu kedatangan saya dan Nay ke Pasar Wuring. Kami datang menggunakan sepeda motor dan waktu tiba petugas parkir mengarahkan kami untuk memarkir kendaraan tersebut di lokasi parkir, tepatnya di depan lapak rombengan atau pakaian loak. Di samping lapak itu terdapat pula sebuah mobil pikap menjual perkakas rumah tangga dengan harga miring “lima ribu dua”, yang berarti dengan uang lima ribu rupiah pembeli bisa mendapatkan dua buah barang sesuai keinginannya. Saya perhatikan di lapak itu ibu-ibu banyak bergerombol.
Di seberangnya lagi terdapat kios yang menjual pakaian yang masih baru. Kami hanya melihat pakaian yang tergantung itu dari jauh, kami terus berjalan masuk melewati lapak sayuran, perkakas rumah tangga dan mainan anak-anak, dan kami kemudian berhenti sejenak di lapak jajanan dan kuliner. Bagi saya, rasanya kurang afdal kalau pergi ke Pasar Wuring tanpa membeli atau menikmati jajanan di situ. Jajanan/kuliner ini berupa bubur kacang hijau, kolak, penangan khas lainnya, dan yang paling saya sukai ialah pentol bakso ikan dicampur saos kacang. Sore itu, saya dan Nay masing-masing menghabiskan kurang lebih lima hingga sepuluh tusuk pentolan bakso ikan.
Dari situ kami lalu bergerak ke lapak lainnya dan aroma ikan kering (ikan asin) mulai merasuki hidung. Ikan kering halus tampak menumpuk-menggunung dan ikan kering (makar) tampak tersusun dengan rapih. Di sini teriakan para penjual ikan mulai terdengar, menandakan bahwa jejeran itu memang areanya mereka. Sepanjang jalan setapak berjejer meja-meja penjual ikan, tetapi di antara itu terdapat satu orang yang menjual daging ayam.
Di dekat situ, terutama di bawah atap bangunan program PNPM, duduklah para penjual sayur dan penjual kue lainnya. Mereka kebanyakan merupakan kaum perempuan; yang menjual ikan adalah bibi-bibi berhijab, sedangkan yang menjual sayuran adalah ibu-ibu dari luar Wuring. Bagi saya ini adalah suatu amatan yang menarik, saya sangat ingin tahu alasannya.
Namun, gerimis yang datang tiba-tiba membuat Nay dan saya harus berteduh di bawah atap sebuah kios pakaian sambil melihat-lihat siapakah yang bisa kami dekati. Karena melihat seorang penjual ikan yang asyik berjoget menikmati alunan musik dangdut dari rumah di belakang tempat jualannya, kami pun mendekatinya. Kami merasa suasananya mungkin sedang cair dan tepat untuk berbincang-bincang. Kami meminta izin untuk berteduh di rumah itu dan berkenalan dengan dua orang bibi penjual ikan.
Mereka adalah bibi Ani dan bibi Sali. Sambil menjual ikan tuna yang segar, bibi Ani menanggapi pertanyaan kami berdua. Dengan sedikit malu-malu, bibi Ani menceritakan aktivitasnya sehari-hari, mulai dari membeli ikan di pabrik ikan tuna lalu menjualnya kembali, dan menunggu hasil tangkapan suaminya untuk dijual pula. Lain halnya dengan bibi Sali, ia memiliki modal yang cukup untuk membeli ikan dari lempara yang biasa mereka ambil setiap pagi di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Maumere. Ikan-ikan tersebut ia jual di TPI pada pagi hari dan sore harinya dijual di pasar Wuring. Ada beberapa jenis ikan yang dijualnya, antara lain selar, layang, martasi, tongkol, dan teri halus.
Selain bercerita tentang menjual ikan, biaya-biaya operasional dan hasil penjualan yang pas-pasan, bibi Sali juga mengungkapkan kesulitan-kesulitannya menjalani hidup sehari-hari. Mulai dari biaya sekolah keempat anaknya, keadaan dapur, hingga iuran koperasi harian. Lantas dari bibi Ani saya mendapatkan sedikit jawaban dari rasa keingintahuan saya sebelumnya bahwasanya hampir semua penjual adalah perempuan karena suami-suami mereka sudah pergi melaut dan tugas menjual di pasar adalah para istri atau ibu yang tidak pergi melaut. Kami beruntung bisa bercerita lugas dengan bibi Ani dan bibi Sali.
Kemudian kami coba bertanya tentang persoalan yang mungkin serius, yakni rencana penutupan pasar Wuring. Tentang ini kami menanyakan juga pendapat dari bibi-bibi lainnya. Dengan mata berkaca-kaca mereka menjawab bahwa mereka sangat tidak ingin pasar Wuring ditutup sebab pasar adalah tempat mereka mencari nafkah. Apabila dipindahkan jauh dari kampung Wuring, mereka akan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk pergi berjualan dan juga akan berpengaruh pada aktivitas mereka. Hal ini memang sempat didiskusikan oleh pihak-pihak berwenang dari kampung Wuring bersama pemerintah daerah (belakangan kami kemudian tahu bahwa pasar Wuring tidak jadi ditutup, tetapi akan dilakukan pengelolaan yang lebih baik dari sebelumnya).
“Ikan halus sepuluh ribu, dua lima belas,” kembali saya berteriak. Kali ini suara saya lebih besar, sebab belum terdapat satu pun pembeli yang berhasil saya layani. Bibi Sali menertawakan saya dari belakang, “Sudah lakukah ikanmu?” Serentak kami pun tertawa dan akhirnya bibi Sali kembali mengatur jualannya. Saya perhatikan, ikan pun terjual cukup banyak. Ternyata saya tidak beruntung sore itu, lebih tepatnya saya kurang mampu menarik perhatian pembeli atau barangkali saya tidak ahli menjual ikan. Meskipun saya belum berhasil menjual ikan, bibi Sali sangat berterima kasih karena kami telah menjaga ikannya selama ia berbicara dengan tamunya. Saya sangat senang dan ingin melakukannya lagi. Ya, asal bibi tidak keberatan kalau ikannya pasti kelamaan laku.