Oambele, oanara…. Nara mbele oa le, o le…
Begitulah suara nyanyian terdengar dari kebun warga di belakang rumah, dengan tempo bervariasi yang diatur oleh suara pukulan korak (tempurung kelapa) dan sebilah kayu. Hentakan kaki yang seragam dengan efek-efek bunyi cangkul menyentuh tanah dan bebatuan membuat kebun yang biasanya sunyi menjadi ramai dan hidup.
Peristiwa itu terjadi sekitar bulan September sampai Oktober. Warga bersama kelompok taninya mulai membersihkan kebun (buka lahan) dengan menebang pohon dan membakar rumput atau dalam bahasa setempat biasa disebut dengan opi roi ro’a tu’an. Setelah kebun bersih, para petani mulai mencangkul mempersiapkan lahan, sehingga ketika musim hujan tiba, lahan sudah siap untuk ditanami bibit.
Kelompok tani yang mencangkul kebun sambil menyanyikan “Oambele” biasa disebut dengan kelompok sako seng, secara umum diartikan sebagai kegiatan mencangkul bersama-sama atau gotong royong. Nyanyian tersebut bertujuan untuk menyemangati para pekerja dalam mencangkul lahan. Suara yang dihasilkan dari nyanyian dan gerakan para pekerja serasa menonton sebuah pertunjukan.
Sebagian besar daerah di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, memiliki tradisi ini. Hal yang membedakannya hanya pada ritme, syair lagu, istilah-istilah yang dipakai dan beberapa urutan tata caranya, namun saat ini sudah jarang ditemukan karena banyak petani mulai menggarap kebun dengan menggunakan traktor atau karena masalah sulit membayar pekerja.
Saya mencoba bertanya kepada tante. Doi Ros kami menyapanya. Beliau lahir pada tahun 1957 tepatnya pada tanggal 15 November. Ia mulai berkebun sejak remaja, saat Almarhum Opa masih ada. Setelah itu Ina (nenek), Doi Ro (tante) dan Ina Pu Indah (tante) melanjutkan kerja-kerja yang diwarisi Almarhum Opa. Kebun Ina cukup luas.
Menutur Doi Ro, sekarang cukup rumit jika harus mempersiapkan kebun dengan mencangkul seperti dahulu, bagi mereka menggunakan traktor adalah pilihan paling bijak untuk menghemat anggaran, waktu, dan tenaga.
“Sekarang ini rumit, Adik, kalau harus pakai cangkul, sewa orang kerja satu hari Rp 50.000. Tidak tahu orang masih mau atau tidak? Belum lagi makan minum dan lain-lain. Kalau dengan traktor dua sampai tiga jam saja sudah selesai, kita tinggal siap makanan,” begitu katanya.
Bapak Fransiskus Saverius, ketua kelompok tani Bintang Laut Desa Habi, menceritakan bahwa sejak 10 tahun ia berpindah dari Desa Tanah Ai dan menetap di Desa Habi, petani sudah mulai menggunakan traktor. Bayaran traktor sesuai dengan volume lahan dan kesepakatan antara pemilik kebun dan para pekerja. Kegiatan membajak atau menggunakan traktor biasanya dilakukan satu sampai dua minggu sebelum tanam, dengan tujuan agar rumput-rumput yang hijau dapat hancur dan menjadi pupuk. Sebab, jika kita membajak satu hari sebelum tanam maka akan menghambat proses pertumbuhan bibit karena rumput yang masih hijau jika terkena hujan dan lembab bisa menghasilkan gas yang dapat merusak benih.
Ada hal menarik dari persoalan cangkul dan traktor, bagi Doi Virgina yang sempat saya ajak bercerita tentang bagaimana pengalamannya berkebun. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin mereka menggunakan traktor untuk persiapan lahan.
“Mana ada traktor mau naik ke tempat kami di gunung yang penuh batu? Baik kalau traktor bisa mendaki.” Menurutnya, untuk mereka di gunung (Wololuma) sampai saat ini mencangkul tetap menjadi pilihan satu-satunya, entah mencangkul sendiri sesuai kekuatan anggotanya atau menyewa pekerja dengan upah Rp 50.000 perhari dan jika dihitung dengan sistem borong, maka tiga teras dapat dibayar dengan harga Rp 200.000.
Mereka menyadari kekuatan untuk mencangkul tidak bisa dipaksakan seperti dahulu ketika masih banyak orang bisa gotong royong bekerja dari satu kebun ke kebun kerabat lainya untuk bersama-sama menggarap tanpa bayaran (baik bayaran uang maupun hasil panen). Mereka hanya saling membantu meringankan kerja kebun mereka secara bergantian.
Proses persiapan tanam bukan hanya soal mempersiapkan lahan, namun bibit dan juga beberapa ritual menjadi hal penting untuk disiapkan dan dilakukan. Bibit tanaman biasanya dari hasil panen tahun sebelumnya yang sudah disimpan khusus sebagai bibit. Tentang bibit, Doi Virgina dan Bapak Fransiskus Saverius menceritakan bahwa sekarang bibit juga bisa mereka dapatkan dari kantor desa melalui kelompok tani.
Caranya, ketika mereka mempunyai kelompok tani yang mereka bentuk, kemudian mereka mendaftarkan nama kelompoknya ke kantor desa. Kelompok tani Bintang Laut yang diketuai Bapak Fransiskus Saverius beranggotakan 15 orang.
Desa akan membagikan bantuan pertanian kepada mereka seperti bibit (dibagikan 5 kg per orang) tanaman hortikultura. Sayangnya, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak bergabung dalam kelompok tani. Mereka yang berkebun secara mandiri tidak akan mendapatkan bibit atau pun pupuk dari pemerintah. Untuk tanaman jagung, selain jagung lokal dan hibrida juga ada jagung lamuru dan pioneer (benih jagung hibrida) yang dibagikan oleh pemerintah, juga pupuk. Wilayah Desa Habi tidak mendapatkan pupuk. Hanya daerah-daerah persawahan saja yang diberi pupuk.
Bapak Fransiskus mengingatkan satu hal yang penting, “pupuk terbaik dan yang paling baik adalah pendekatan kita dengan tanaman yang kita tanam. Setiap hari kita selalu datang bercerita dengan mereka (tanaman) walaupun kita terlihat seperti kita orang gila saja.”
Menurut Bapak Fransiskus yang telah menjadi ketua kelompok tani selama kurang lebih 5 tahun, tujuan pemerintah dengan adanya kelompok tani yang diakomodasi oleh desa adalah semacam motivasi bagi para petani, “dari yang tidak bisa, menjadi bisa, dari yang tidak mampu akan menjadi mampu, karena kerja sendiri mungkin tidak bisa, tetapi kerja bersama kita akan menjadi bisa”.
Tujuan kedua melalui kelompok tani pemberian bantuan dan lain sebagainya akan lebih mudah untuk diatur melalui kelompok dari pada perorangan. Tujuan akhirnya adalah agar semuanya bisa mendapatkan hasil panen yang baik untuk kelangsungan hidup bersama.
Tanaman pertama yang biasa ditanam saat hujan tiba adalah jagung. Mulai dari jagung pulut (berwarna putih), jagung hibrida, jagung lokal (berwarna kuning), jagung yang dibagi oleh pemerintah, hinggga jagung bunga. Kebun Ina di Wolombue saat ini tidak lagi ditanami jagung bunga karena tidak ada lagi bibit yang disimpan. Semuanya sudah habis untuk dikonsumsi.
Secara tradisional, bibit jagung yang akan ditanam biasanya diberi campuran ramuan bawang merah, dan daun damar untuk menjaga bibit tetap aman dari hama ulat dan kerusakan sehingga bisa tumbuh dengan baik. Bibit jagung yang telah diberi ramuan ini kemudian diletakkan di tengah kebun. Orang menyebutnya dengan damar du’e atau tanah puan, di atas batu yang sama digunakan untuk memberikan sesajian atau piong. Hal itu dilakukan juga oleh Doi Virgina di kebun yang letaknya lebih ke pegunungan.
Malam sebelum waktu tanam, mereka akan memberikan sesajian kepada leluhur, dalam bahasa setempat disebut tung piong atau piong. Piong pada malam hari sebelum menanam biasanya dilakukan di sudut rumah. Kemudian keesokan paginya sebelum mulai menanam, mereka melakukan piong lagi di tengah kebun, di atas batu di mana sesajian diletakkan. Ekor ikan, beras, tembakau, sirih dan pinang adalah sesajian utama yang akan diberikan kepada leluhur.
Untuk piong di tengah kebun, ada yang menyertakan dengan tuak/moke dan air putih, namun ada pula yang tidak. Seperti yang biasa dilakukan Nenek di Wolombue, tuak/moke hanya dipakai pada piong yang dilakukan di dalam rumah. Sedangkan di gunung biasanya menyertakan dengan moke dan air putih. Begitu pun halnya dengan tembakau. Menurut Bapak Fransiskus Saverius, di daerah asalnya Tanah Ai, tembakau tidak diberikan dalam sajian piong.
Mereka percaya restu dan doa dari leluhur akan melancarkan dan memberi hasil yang baik pada hasil tanam mereka sembari tetap berdoa kepada Tuhan yang mereka percaya. Orang yang melakukan piong biasanya orang yang paling tua di dalam rumah atau yang dianggap mampu untuk lakukan ritual tersebut.
Untuk membuat tanaman menjadi rapi dan menjaga pertumbuhannya menjadi baik, mereka menggunakan tali dengan jarak tanam 125 cm dari baris ke baris. Bapak Fransiskus Saverius bersama kelompok taninya biasanya menggunakan tali supaya lurus dengan ukuran jarak 80:20 cm. Lebar 20 cm dari jarak antara tanaman dan 80 cm antara baris.
Selama aktivitas menanam, masyarakat cukup patuh terhadap aturan-aturan yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Misalnya, selama proses menanam mereka tidak boleh berbicara dengan orang lain di luar kebun, tidak boleh saling sapa-menyapa dengan orang yang lewat hingga selesai menanam. Mereka percaya bahwa ketika kita melanggarnya, maka tanaman kita akan gagal, entah mati atau tumbuh tetapi tidak berisi. Kebiasaan ini masih dijalankan sampai saat ini, dalam bahasa setempat disebut pire (haram/pemali).
Waktu untuk mulai menanam pada umumnya sekitar bulan November dan Desember. Patokan mereka adalah pada curah hujan. Jika hujan turun mulai deras, saat itulah mereka mulai menanam. Namun ada yang berbeda soal waktu menanam ini. Bagi Doi Virgina yang berkebun di daerah pegunungan, menanam jagung di bulan November dan Desember kurang efektif karena pada saat jagung mulai tumbuh sekitar Januari dan Februari, musim angin barat datang. Musim angin barat akan membuat jagung mereka patah dan tidak memberikan hasil yang baik. Sementara di gunung, masyarakat memilih menanam pada bulan Maret sampai April dan dipanen sekitar bulan Juni sampai dengan Juli. Masyarakat setempat menyebutnya lele dara yang secara sederhananya berarti jagung musim panas.
Letak geografis dan pengetahuan membaca alam ternyata sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil tanaman. Alam secara tidak langsung membantu masyarakat untuk tetap mempunyai persediaan pangan dalam berbagai musim, selain dengan cara menyimpan hasil panen di lumbung sebagai bekal. Masyarakat yang berada di dataran rendah, yang panen bulan Januari hingga Februari, masih bisa menikmati jagung di musim kemarau dari masyarakat di pegunungan, yang panen bulan Juni dan Juli. Kemampuan masyarakat membaca alam tanpa disadari dapat membantu mereka dalam manajemen pangan.
Setelah jagung mulai tumbuh, beberapa petani biasanya menanam kacang-kacangan. Mulai dari kacang hijau, kacang tanah, kacang panjang, kacang kayu, dan kacang polong. Doi Ro saat ini tidak lagi menanam kacang kayu, salah satu faktornya adalah kurangnya tenaga untuk membantu mengelola kebun. Sedangkan Doi Virgina dan Bapak Fransiskus bersama kelompok taninya masih menanam kacang kayu. Menurut Doi Virgina, yang sekarang sudah jarang ditanam itu adalah kenikir. Kalau pun ada, biasanya jenis kenikir yang jenis ukuran bijinya lebih besar.
Pemilihan lahan untuk menanam kacang-kacangan tergantung pemilik lahan. Ada yang menanam kacang dan jagung di lahan yang sama, tetapi ada pula yang menanam pada lahan berbeda yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Kacang tanah bisa ditanam bersamaan dengan waktu menanan jagung dengan jarak yang telah diatur, sedangkan kacang hijau biasanya ditanam pada bulan Januari hingga Februari. Bibit kacang dan bibit tanaman lainnya diambil dari hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan sebagai bibit.
Para petani mempunyai metode sendiri untuk menjaga bibit kacang (semua jenis kacang dicampur menjadi satu) agar bisa bertahan dan tidak rusak dimakan kutu kacang. Petani mencampurkan ramuan kelapa (santan), daun nimba (dulu menggunakan daun rita) dan lombok kemudian dijemur sampai kering dan dimasukan ke dalam tempat yang aman (dahulu menggunakan kulit buah yang dikeringkan). Saat akan ditanam, bibit kacang yang beragam itu kemudian dipilah-pilah untuk ditanam.
Di sekeliling kebun jagung dan kacang juga biasanya ditanami labu besi, tanaman sayur yang menjalar. Daun dan buahnya dimasak menjadi sayur, kolak, atau bubur. Bijinya biasanya dikeringkan untuk menjadi bibit tahun berikutnya (dari buah besi yang benar-benar matang). Sedangkan jenis umbi-umbian biasanya juga bermacam-macam. Mulai dari yang paling umum adalah ubi kayu, ubi jalar, ubi roset, ubi rati.
Ubi kayu selalu ada di berbagai tempat, namun jenis umbian lain biasanya tergantung lahan dan daerah. Seperti di Desa Habi, masyarakat pada umunya menanam ubi kayu.
“Kami di Desa Habi, kalau untuk ubi biasanya hanya ubi kayu yang kami tanam,” kata Bapak Fransiskus Saverius. Begitu juga di Wolombue. Sedangkan di gunung, Doi Virgina dan warga lainya masih menanam ubi jalar, ubi roset, dan ubi rati. Menurut Doi Virgina, yang lahir tahun 1962 menceritakan, sekitar tahun 1977 atau 1978 ubi adalah makanan yang paling mudah diolah saat beras masih belum banyak dikonsumsi.
Ada satu olahan yang paling favorit di masa mereka yaitu segor (campuran ubi-ubian). Dalam segor, semua jenis ubi diolah (rebus) menjadi satu, kemudian setelah matang, diangkat dan dihancurkan dengan sendok nasi atau ditumbuk, lalu dimakan dengan kuah santan atau ikan asin hasil tukar di pasar Geliting (sekarang pindah menjadi pasar Wairkoja) dengan orang dari Pulau (biasanya mereka menukar ikan dan hasil laut lainya dengan ubi, jagung, nangka dan hasil kebun lainnya).
Bagi mereka, ubi adalah tanaman yang tidak susah untuk tumbuh, ubi bisa tumbuh di musim apa saja selama umbinya masih ada di dalam tanah. Ubi juga dapat ditaman dengan batang sehingga setiap panen ubi kayu mereka bisa langsung kembali menanam batang ubi tersebut untuk hasil berikutnya.
Memasuki musim panen, seperti biasa mereka akan melakukan ritual terlebih dahulu. Kurang lebih hampir sama dengan ritual saat mulai menanam. Berhasil atau gagal piong adalah bagian penting dari ucapan syukur mereka kepada lelulur atas hasil panen mereka di tahun tersebut sambil tetap memanjatkan doa kepada Tuhan Sang Pencipta. Jika hasil panen melimpah terkadang mereka memotong hewan seperti babi atau ayam, jika tidak, mereka biasa memberikan sesajian ekor ikan kering atau telur ayam, beras, tembakau, sirih, pingan juga tuak/moke (disesuaikan dengan tradisi masing-masing).
Ritual ini dilakukan pada malam hari sebelum keesokan harinya mereka panen. Saat hari panen, Doi Ro mengisahkan bahwa mereka akan mencabut satu pohon jagung utuh beserta akarnya kemudian diletakkan di tengah kebun di mana semua hasil panen akan dikumpulkan sebelum diangkut ke lumbung. Lumbung biasanya berada di rumah, bukan di tengah kebun. Untuk masyarakat Desa Habi, menurut Bapak Fransiskus Saverius, hasil panen biasanya diletakkan di atas bubungan rumah, atau atap dapur. Mereka tidak menggunakan lumbung tersendiri.
Para petani menyimpan hasil panen dengan berbagai cara agar tidak rusak dan dapat dikonsumsi setiap musim, sebagai stok makanan. Jagung yang telah dipanen, dikupas kulitnya, dijemur hingga benar-benar kering, dan dimasukan ke dalam karung, kemudian disimpan di dalam lumbung. Ada juga yang dijemur sampai benar-benar kering, diikat dan disusun di atas bubungan atau atap rumah dan atap dapur. Asap api dari dapur bisa membantu jagung mereka tetap awet dan terhindar dari kutu jagung. Sebagian hasil panen digiling untuk dimakan. Mereka menapis hingga menghasilkan lima jenis ukuran jagung. Mulai dari yang paling besar hingga paling halus, tepung atau dedak jagung dapat mereka jadikan makanan untuk hewan peliharaan mereka seperti babi dan ayam. Sedangkan kulit dan batangnya bisa dibakar atau dijadikan pemancing api.
Doi Virgina bercerita, sebelum mereka mengenal beras, ubi dan jagung menjadi makanan utama mereka. Jagung yang telah ditapis menjadi lima macam kemudian dimasak dengan proses yang bertahap. Jagung dengan ukuran lebih besar akan dimasak lebih dahulu. Setelah setengah matang kemudian jagung dengan ukuran yang lebih sedang hingga kecil. Begitulah seterusnya sampai jagung benar-benar matang sempurna dan dimakan dengan lauk pauk dari hasil kebun mereka seperti pucuk labu, daun ubi lawar (daun singkong dicampur kelapa parut dan bawang putih) atau dibuat kuah santan, juga ikan. Di zaman sekarang, jagung bisa dimasak langsung dengan beras menjadi nasi jagung, bisa dilihat pada foto di bawah, atau dicampur dengan kacang-kacangan, labu besi, daun marungge dan santan kemudian diolah menjadi bubur atau biasa disebut dengan lebon.
Hasil panen ubi kayu, selain dimakan ada juga disimpan. Ubi kayu untuk disimpan, biasanya dikupas kulitnya, dicuci, kemudian dijemur selama dua hari. Ubi yang telah dijemur, diisi bersama daun turi atau lirik, dibungkus dengan daun pisang, lalu dimasukkan ke dalam kata (anyaman daun kelapa menyerupai tas) atau sekarang biasanya dimasukkan ke dalam karung.
Setelah dua sampai tiga hari, ubi akan berwarna hitam, membuat tekstur ubi akan menjadi seperti karet setelah dimasak, itulah yang paling disukai. Olahan lain bisa dijemur sampai kering lalu ditumbuk, atau diparut kemudian dikukus dengan kelapa parut, bisa juga dikukus langsung, atau digoreng dan dimakan dengan lauk pauk.
Mendengar cerita tentang musim tanam dan semua prosesnya, mengingatkan saya pada saat proses menggarap naskah tentang tradisi berkebun yang dikenal dengan sako jung atau sako seng. Pengalaman ini kemudian membantu saya mencoba mencari desa-desa yang masih mempunyai kelompok sako seng. Kami kemudian menemukan satu lokasi yaitu di Desa Wairkoja, Kecamatan Kewapante.
Di sana kami bertemu dengan Bapak Frumen (Pamong Desa saat itu) untuk menggali informasi-informasi tentang tradisi sako jung di Desa Wairkoja. Beliau kemudian mempertemukan kami dengan beberapa Ina dan bapak-bapak yang sejak masa muda terlibat aktif dalam aktivitas sako jung atau sako seng. Kedatangan kami disambut baik.
Proses penggalian informasi dan wawancara bersama warga pada akhirnya membantu membuka memori dan rekaman masa lalu mereka. Memori itu berisi kisah dan syair-syair sako jung yang mereka praktikkan dalam aktivitas berkebunnya. Dari percakapan yang cukup panjang itu, saya kemudian mengingat beliau mengatakan tanaman yang pertama ditanam pada masa itu adalah kacang hijau dan tembakau, tetapi saat itu saya belum sempat bertanya kembali tentang tanaman tembakau.
Kebetulan sekali dalam obrolan bersama Doi Virgina, saya mencoba bertanya apakah beliau menyimpan ingatan tentang tanaman tembakau, walaupun desa mereka berbeda. Doi Virgina kemudian menjelaskan kepada saya apa yang terekam olehnya tentang tanaman tembakau.
“Iya, zaman nenek mereka dulu, nenek masih tanam tembakau di kebun, tetapi sekarang sudah tidak tanam lagi,” begitu kata Doi Virgina, dan pernyataan yang sama dikatakan oleh Doi Ro bahwa dahulu Ina menanam tembakau di kebunnya, namun Doi Ro tidak tahu kisah tentang tanaman tembakau.
Saya bertanya-tanya mengapa tembakau menjadi salah satu tanaman yang penting pada masa itu. Secara sederhana, Doi Virgina menjelaskan kepada saya bahwa segala aktivitas selalu dibuka dengan tembakau. Kalau ada tamu berkunjung, yang diminta pertama kali adalah “mai meti bako…” yang berarti “mari bawa tembakau (rokok)”. Tembakau, sirih dan pinang adalah suguhan pertama bagi tamu sebelum bercakap-cakap (ungkapan penerimaan dan sapaan) seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Sama halnya juga dalam tahapan-tahapan adat lainya di mana tembakau, sirih dan pinang sebagai pembuka pembicaraan (menyampaikan maksud dan tujuan) dan juga bahan sesajian atau piong juga menggunakan tembakau dan sirih pinang. Tembakau saat itu harganya cukup mahal. Sedangkan menurut Doi Virgina harga tembakau di pasar saat ini sekitar Rp 60.000, walaupun harganya naik-turun.
Tembakau bisa menjadi modal untuk hidup dari hasil jualan selain dikonsumsi sebagai rokok atau bako. Tembakau ditanam di kebun tersendiri, karena tembakau harus dirawat dengan serius, selalu dibersihkan agar hama tidak merusak daun tembakau tersebut. Tembakau ditanam dengan biji dari tanaman sebelumnya yang dikeringkan dan disimpan, biasanya ditanam setelah jagung dipanen.
Saat musim hujan, biji tembakau akan disemaikan di tanah yang lembab seperti di bawah pohon asam. Setelah muncul tunas baru, anakan tembakau kemudian dipindahkan ke lahan yang sudah disiapkan. Banyak juga orang yang mencari anakan tembakau untuk dibeli dan ditanam.
Zaman dahulu tembakau ditanam di kebun yang terpisah, selain untuk kebersihan yang harus terus dijaga dan untuk hasil yang banyak, ada juga larangan atau pemali yang mereka yakini sejak turun temurun bahwa, selama proses menanam tidak boleh ada ibu hamil yang melewati kebun tembakau. Jika terjadi maka tanaman tembakau mereka akan rusak atau mati.
Rasa dan kualitas tembakau dapat diatur sejak proses pertumbuhannya. Tembakau dapat diolah menjadi dua varian rasa. Biasanya saat tanaman tembakau mulai tumbuh dan daunnya sudah mulai tubuh sampai 5 helai, para petani akan berjalan dan mematahkan satu persatu pucuk tembakau tersebut sehingga daunya tidak bertambah jumlahnya. Tujuannya adalah untuk menghasilkan tembakau yang rasanya keras atau dalam bahasa setempat disebut sebagai bako gahu atau bako (rokok) panas. Sedangkan untuk tembakau yang berdaun 7-8 helai ke atas, akan menghasilkan bako yang rasanya manis atau biasa disebut dengan bako min.
Ketika daun paling bawah sudah mulai menguning atau tua, saatnya untuk panen. Daun paling bawah akan dipetik terlebih dahulu, disimpan dua malam kemudian diiris. Waktu mengiris tembakau biasanya mereka akan memanggil kerabat untuk bersama-sama membantu mengiris tembakau, namuan ada yang tanpa dipanggil pun akan ikut dalam kegiatan itu karena mereka tahu akan merokok bersama-sama (waktu untuk mereka berkumpul bersama).
Teknik mengiris tembakau pun masih tradisional, menggunakan bilah kayu atau bambu sebagai papan iris dan biasanya mereka punya cara sendiri untuk melindungi jari mereka agar tidak terpotong, dengan memasukan jari mereka dengan bambu kecil pada saat mengiris tembakau. Tembakau yang telah diiris, kemudian dijemur dengan tikar yang dianyam dari daun kelapa selama beberapa hari dan kemudian dilipat. Kadang mereka disimpan dan dijual pada musim hujan dengan harga yang tinggi. Harga tembakau ini berbeda antara bako gahu dan bako min. Rasa bako gahu dan bako min tidak dapat dilihat secara fisik, kecuali dicoba atau tanyakan langsung kepada penjualnya. Tembakau adalah salah satu tanaman yang cukup menjanjikan bagi mereka.
Mendengar cerita mereka yang memiliki pengalaman langsung dalam bidang pertanian, selain untuk bertahan hidup, juga menjalankan tradisi dari orang tua atau nenek moyang sampai pada lumbung dan pengolahan makanan seperti Doi Ro, maupun yang memiliki pengalaman dalam mengorganisasikan kelompok tani seperti Bapak Fransiskus Saverius bersama Kelompok Tani Bintang Laut Desa habi, juga Doi Virgina yang selain bertani, mengolah pangan, serta memiliki banyak pengalaman di pasar sebagai penjual, saya memperoleh pesan bahwa pangan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat.
Pengetahuan tentang mengolah dan menyimpan pangan dan kebun diwariskan turun temurun, dengan baik mereka jaga. Kemampuan membaca alam dan cara mengatasi gagal panen menjadi strategi spontanitas mereka. Beras bukan menjadi satu-satunya makanan pokok untuk bisa bertahan hidup. Pupuk yang baik adalah silaturahmi dengan tanaman dan gotong royong adalah kekuatan yang tidak pernah pudar meski cangkul berganti traktor.
Semoga keberlangsungan hidup dengan cara-cara yang sederhana dan bermakna ini dapat terus dijalankan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Perjuangan para petani di desa-desa juga harus terus diperhatikan dan didukung selalu oleh pemerintah, mengingat sebetulnya pemerintah bisa saja memberikan kebijakan lain bagi para petani yang bekerja secara individual. Sebab dengan bibit lokal dan bibit yang dibagikan oleh pemerintah pastinya memberikan dampak yang sedikit berbeda, entah dalam pertumbuhan, ketahanan maupun hasil panennya.
Perkembangan zaman dan teknologi bukanlah menjadi hambatan bagi para petani untuk tetap berupaya mengisi persediaan lumbung sebagai bekal untuk hari-hari selanjutnya. Restu leluhur dan berkah Tuhan senantiasa menyertai setiap proses hidup selama kita selalu menghargai alam, leluhur dan Tuhan yang kita percaya.
Catatan sejarah mungkin tidak semuanya bisa dituangkan dalam tulisan, tetapi setidaknya kisah-kisah yang masih terekam dapat menjadi pedoman untuk terus dilanjutkan. Setiap tanaman yang kita tanam selalu berpengaruh dan memiliki peran penting baik secara filosofi maupun sejarah dalam kehidupan kita setiap hari.