Menyelami Kehadiran Sajian dalam Ritus Hidup dan Mati

 

Dalam tulisan ini, saya mencoba menguliti pelan-pelan kehadiran makanan–sajian dalam ritual yang berhubungan dengan kehidupan dan kematian, lalu membumbuinya dengan konsep gastronomi ala Indonesia, dan mencampurnya dengan kehadiran agama langit yang turut andil dalam menyeleksi yang bisa kita makan dan tidak. Terakhir, saya coba menarik seutas benang kusut mengenai kemungkinan keterhubungan leluhur kita satu sama lain. Di sini, saya akan memakai kata sajian dan makanan dalam definisi operasional yang sama sebagai hidangan–lauk pauk yang dikonsumsi dan dipersembahkan untuk manusia dan leluhur yang telah meninggal.

Dari Toraja sampai Korea

Di masyarakat di Sulawesi Selatan, makanan adalah bagian kunci aneka ritual.  Di Tana Toraja, wilayah yang terletak di pegunungan utara Selatan Sulawesi, orang-orang selalu memaknai daging identik dengan ritus. Sejak aluk ta’, agama bumi sebelum kristen dipercayai menjadi agama yang dianut di Toraja Sa’dan dan Mamasa hari ini, orang-orang melakukan pengorbanan kerbau, babi, ayam, dan anjing dalam jumlah puluhan dengan harga yang fantastis. Memasak dan membakarnya, dan menjadikan daging-daging itu persembahan  untuk mengikat dunia yang kelihatan dan tak kelihatan. Konon, kerbau dan babi yang disembelih itu adalah kendaraan–tiket masuk menuju dunia orang mati (Buijs, 2009). Di samping itu, salah satu darah binatang tadi juga menjadi unsur yang memperantarai seorang anak dikenali oleh dewa-dewa dalam kepercayaan orang Toraja.

Pada perjalanan saya ke Toraja akhir Oktober 2022, saya mengikuti upacara kematian dua perempuan yang dipestakan dalam waktu yang sama. Beberapa kilometer dari lokasi pesta, telah terparkir truk-truk berisi babi dan kerbau siap sembelih. Mereka dibawa oleh sanak keluarga dari segala penjuru Toraja untuk disumbangkan kepada keluarga yang menggelar hajatan. Satu per satu babi itu diturunkan dan diangkut ke lokasi pesta. Mereka disembelih,  dagingnya dipotong-potong, dan dibagi ke dalam jumlah yang sama untuk didistribusikan ke seluruh keluarga dan tetangga yang membantu selama pesta pemakaman.

Selain dibagikan secara rata, potongan babi mentah tadi dicampur dengan daun miana, beras, dan penyedap rasa, lalu dimasukkan ke dalam bambu. Sajian ini disebut pa’piong.  Sekilas mirip dengan nasi lemak, bedanya, pa’piong tidak menggunakan santan. Ada puluhan pa’piong yang tersusun di atas kayu yang dibawahnya berkobar api yang siap mematangkan mereka. Suara riuh bapak-bapak dan anak muda yang seluruhnya laki-laki bergantian dalam bahasa Toraja.

Foto Pa’piong yang dibakar (Dok. Wilda Yanti Salam)

Suasana semakin riuh oleh erangan babi yang akan segera jadi pa’poing juga. Saya berjalan memasuki area pesta dan melihat para perempuan sibuk di dapur umum untuk menyiapkan hidangan lain untuk penjamuan tamu.  Ketika masuk ke area pesta, saya menyaksikan para bangsawan dan pejabat pemerintah yang duduk di tongkonan (rumah adat) makan begitu lahap.

Keponakan salah satu mendiang menyapa saya dan rombongan.  Kami bersalaman dan  memberinya satu slop rokok sebagai sumbangan untuk keluarga. Ia mempersilakan kami  duduk. Sebagai suku yang memberlakukan kasta, tempat duduk para tamu diatur berdasarkan kelas sosialnya. Bangsawan dan pejabat sipil duduk di tongkonan, sedangkan saya, warga kelas bawah, bersama dengan turis-turis eropa yang datang bersama guide mereka, duduk di tenda dari bambu yang dibuat semi-permanen. Tidak lama setelah duduk, kepada kami disajikan teh, kopi, dan ballo/tuak nira juga kue-kue kecil.

Foto kue dan ballo (Dok. Wilda Yanti Salam)

Sesaat kemudian, datang lagi nampan-nampan berisi nasi pulen, sambal tempe kacang panjang, dan ikan teri dengan parutan kelapa bercita rasa pedas. Saya dan seluruh yang berada di ruangan yang sama makan bersama. Banyak di antara bapak-bapak yang duduk memegang bambu berisi ballo di tangan kirinya, dan menggunakan tangan kanannya untuk makan.

Saat kami masih lahap mengunyah, ritual memotong kerbau dimulai, seekor kerbau diketengahkan. Tidak sampai hitungan menit, dengan menggunakan parang khusus, lehernya ditebas dan darah bercucuran di mana-mana. Di sini, kerbau adalah binatang yang identik dengan ritual kematian. Setelah kerbau, datang lagi babi-babi yang disembelih dan acara terus berlangsung. Semua orang tampak begitu khusyuk berbincang dan makan dengan lahap.

Sehari kemudian, saya berkesempatan mengunjungi mayat seorang bangsawan yang telah mati delapan bulan. Ia disimpan di dalam peti, lalu disimpan di dalam tongkonan keluarga, sampai waktu upacara dan penguburan tiba. Menurut anak almarhum yang saat itu sedang shift jaga, orang Toraja menyebut orang mati yang belum dikuburkan sebagai to makula – orang sakit. Rohnya dipercaya masih berada di sekitar rumah, mengawasi tingkah laku sanak keluarga, juga melihat siapa saja kenalan semasa hidupnya yang datang mengunjungi mayatnya.

Di samping peti mati bangsawan tadi, ada sebuah perapian persegi empat berbahan kayu, yang di atasnya disimpan tiga batu lengkap dengan abu bekas memasaknya. Bagi orang Toraja, dapur adalah simbol kehidupan. Sehingga, dapur di sana disimbolkan sebagai wujud kesadaran bahwa si mayat arwahnya masih ada. Selain dapur, saya juga melihat sirih pinang dan makanan siap santap yang setiap hari dihidangkan untuk si arwah.

Menariknya, ketika arwah yang tubuhnya telah mati masih diberi makan, sanak keluarga terdekat menjalani mero’o–fase tidak boleh makan nasi. Sanak keluarga dianggap terjalin dengan anggota keluarganya yang mati, dan orang yang mati tidak bisa lagi makan nasi. Karena nasi yang berasal dari beras–padi  sumber makanan dari langit. Mereka yang mero’o baru bisa makan setelah ritual mengunjungi kuburan.

Saat mayat telah dikuburkan, di hari ketujuh saat keluarga mengunjungi makam, di sana disajikan campuran sirih pinang, kapur dan kayu dan rimpang lokal khas Toraja. Selain sirih pinang, saya juga menyaksikan kehadiran rokok. Sirih pinang, dikenal sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari orang Toraja. Mereka membawa sirih pinang ke dalam berbagai momen, sehingga tidak mengherankan jika sirih pinang pun tetap hadir di kuburan. Apalagi, sejak dulu sirih pinang juga merupakan simbol keramahtamahan di Asia Tenggara. Saat ini saya juga marak menjumpai sirih pinang disubstitusi kehadirannya dengan rokok.

Tidak jauh dari Toraja, keluarga saya yang hidup sebagai orang Bugis beragama islam yang juga punya tradisi yang terikat dengan makanan, yakni Ma’baca Doang. Ma’baca artinya membaca, doang artinya doa, singkatnya ma’baca doang adalah ritual merapalkan doa di hadapan hidangan makanan.

Ada tiga subjek yang dituju dalam ritual ini, di antaranya 1) bariala (bacaan doa untuk orang tua yang sudah meninggal). 2) baca doang salama’ (bacaan doa untuk keselamatan keluarga); dan 3) posi’ bola (bacaan keselamatan untuk rumah). Jika di Toraja mereka membedakan dan memasang batas yang tegas antara ritual untuk kematian dan kehidupan, di masyarakat Bugis, tradisi ma’baca doang bisa digelar untuk tujuan kehidupan dan kematian dalam satu waktu, dengan subjek doa yang berbeda.

Menurut Ibu dan beberapa tante, tidak ada pakem mengenai hidangan yang harus ada saat bariala dan ritus lainnya. Elemen umum dari paket hidangannya adalah nasi putih atau ketan dan pakkanreang (lauk pauk). Protein hewani yang paling sering keluarga saya pakai adalah ayam kampung dan ayam potong. Mereka diolah jadi ayam balado, ayam likku, dan ayam kari. Dua sajian inti ini biasanya dilengkapi dengan mie goreng yang di sana terdapat potongan-potongan ati ayam. Seluruh elemen ini disajikan ke dalam piring dan mangkok dengan komposisi yang sama. Lalu dibagi ke dalam kappara/baki sesuai subjek doa yang dituju.

Foto baca-baca Bapak Iwang (Dok. Wilda Yanti Salam)

Untuk standar di keluarga saya, biasanya ada tiga baki. Satu untuk baca doang salama’; posi bola’ dan bariala. Tapi, ada juga yang pakai satu baki yang ditujukan hanya ke satu leluhur. Jadi, ada beberapa baki dalam satu kali ma’baca doang. Biasanya, ada juga yang menyiapkan hidangan khusus yang disenangi mendiang leluhur saat masih hidup. Untuk leluhur pria, biasanya ditambahkan tembakau, dan untuk mendiang yang masih balita, disiapkan susu dan biskuit yang dulu sering dikonsumsi. Namun, pada dasarnya rupa hidangannya selalu bisa dikompromikan, tergantung kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Syaratnya cuma satu, dikomunikasikan dengan rinci kepada pabbaca doang-nya siapa subjek yang dituju dari masing-masing sajian itu.

Di keluarga saya, tersisa satu paman yang bisa mabbaca. Kami memanggilnya Bapak Iwang. Ia pernah jadi imam dusun, dan reputasinya sebagai pabbaca doang (nahkoda pembaca doa-doa) sudah melekat sejak dulu. Tante saya, istri Bapak Iwang kadangkala mengeluh pada hari raya Idul Fitri dan musim nikah, karena slot panggilan mabbaca doang-nya selalu penuh, dan lupa mabbaca doang di rumah sendiri. Bahkan, saking kredibelnya, beliau juga bisa mabbaca doang via telepon. Jadi, sanak saudara di wilayah lain bisa menghubunginya, lalu mendekatkan gawai ke sajian yang sudah tertata dan dirapalkan lah doa-doa oleh Bapak Iwang secara jarak jauh. Mirip pawang hujan online, bedanya ini untuk doa keselamatan dan perantara ke Tuhan YME.

Peneliti Bugis asal Prancis yang paling kondang, Christian Pelras dalam buku yang sama juga menyatakan bahwa dalam kepercayaan orang Bugis, makhluk gaib akan menyantap “bagian halus” atau esensi dari hidangan yang disajikan dalam ritual dan manusia akan mengonsumsi “bagian kasar” atau substansinya.  Konon, ada perbedaan rasa makanan yang dipakai untuk doa keselamatan, doa untuk rumah dan doa untuk sanak kerabat yang telah meninggal.

Jauh dari Bugis dan Toraja, tapi dekat karena melihatnya di layar kaca, saya selalu menyaksikan keluarga-keluarga di drama korea yang ketika acara melayat, sanak keluarga yang berduka menyambut seluruh yang datang dengan hidangan dan makan bersama di rumah duka. Saat memperingati hari kematian, mereka yang super sibuk dan individualis akan berkumpul di rumah, memakai pakaian hitam, dan membuat aneka hidangan yang akan disimpan di meja yang di atasnya diletakkan foto mendiang.

Apa yang saya lihat di drama ini lalu terkonfirmasi ketika seorang teman asal Korea datang ke Makassar dan menceritakan kebiasaan keluarganya yang akan berkumpul bersama, makan dan mendoakan leluhur. Katanya, anak sulung laki-laki dan istrinyalah yang akan menjadi penyelenggara utama dari ritus mendoakan mendiang ini. Ia menambahkan bahwa saat ini bahkan sudah tersedia jasa paket sajian untuk ritual mendoakan leluhur yang bisa dipreorder untuk menyiasati kesibukan anak-anak muda korea saat ini dan kesulitan untuk berkumpul dan memasak bersama.

Gastronomi yang Kosmis

Dari Toraja, Bugis dan Korea, ada satu benang merah yang sama yang memberikan kita gambaran bahwa makanan selalu hadir sebagai perantara dan kendaraan yang menghubungkan kita dengan leluhur dan sanak keluarga yang telah tiada. Sajian yang kita hidangkan, pilihan binatang yang kita pilih untuk disembelih, alam yang kita tinggali, mempengaruhi apa yang kita persembahkan kepada leluhur.

Dalam pertemuan dengan ritus-ritus melalui perantara makanan ini, saya tertarik meramunya dengan konsep gastronomi ala Indonesia yang dipaparkan dalam salam salah satu bab PRISMA edisi Ragam makanan Kita: Gastronomi dan Kuliner Nusatara.  Di situ dijelaskan bahwa gastronomi di Indonesia memiliki makna berbeda dengan gastronomi di Barat. Gastronomi barat berfokus pada penelusuran sejarah asal usul bahan baku makanan, bagaimana proses bahan itu dibudidayakan dan faktor fisik seperti jenis tanah/iklim apa yang menyebabkan makanan tersebut dikonsumsi oleh warga setempat.

Sementara itu, gastronomi kita melampaui gastronomi barat. Gastronomi Indonesia tidak hanya membicarakan bahan baku dan faktor fisiknya, tetapi juga melihat makanan sebagai simbol budaya, bagian integral dari ritual dan sistem hidup yang dianut oleh masing-masing kelompok masyarakat di seantero wilayah Indonesia. Makanan adalah bagian integral dari spiritualitas kosmis yang diamini masyarakat. Mungkin juga, kebiasaan makan lawar–daging mentah ini ketika orang-orang Eropa yang datang membawa benih-benih kolonialisme dengan konsep gastronomi baratnya membuat mereka menulis catatan bahwa yang mereka temui ketika mengecek lokasi jajahan adalah orang-orang ‘kanibal’ tanpa menelisik lebih jauh unsur tak kasat mata yang dimaknai masyarakat setempat dan kaitannya darah dan daging mentah dengan spiritualitas.

Agama Samawi dan Hidangan yang Dieliminasi

Menarik juga untuk menguliti perbedaan jenis sajian yang dihidangkan dalam kaitannya dengan agama yang dianut oleh orang Bugis dan orang Toraja dalam ritual dan kaitannya dengan konsumsi sehari-hari. Sebelum agama langit–islam & kristen datang ke jazirah selatan Sulawesi, masyarakat di wilayah ini selalu memakan mentah daging segera setelah disembelih. Catatan menarik yang dituliskan Pelras dalam Buku Manusia Bugis-nya menceritakan bahwa pada abad ke-16, saat Abdul Makmur, penyiar Islam asal Minangkabau tiba di untuk pertama kalinya, hal yang menghambatnya menyebarkan ajaran islam adalah kegemaran masyarakat makan hati rusa yang dicincang, dendeng babi dan disajikan dengan darah (lawa’ dara).

Sama-sama karena agama samawi, ada anekdot menarik mengenai babi dan penerimaan akan agama kristen di Sulawesi Selatan. Konon, “…agar mereka dapat makan hidangan dari babi, Suku Toraja memilih agama kristen…” (Bigalke 1981:435). Dan karena kristen dianggap bisa menerima dan mengkompromikan akar spiritual dan praktik aluk ta’. Ini menunjukkan bahwa bahkan setelah agama yang diimani berubah, masyarakat di Bugis dan Toraja masih terikat dengan akar leluhur mereka. Utamanya yang mencolok dari sajian dan ritual yang dikonsumsi dan dilanggengkan sampai hari ini.

Kisah malang berkaitan dengan babi justru dialami oleh Petta Pao. Ia adalah rekan dari anak La Patiware, raja pertama di jazirah Sulawesi yang memeluk islam. La Patiware mengajak serta keluarganya untuk memeluk islam. Dan anaknya mengajak pula Petta Pao untuk memeluk Islam. Namun, Petta Pao harus berakhir naas karena ia menolak masuk islam dan mengatakan bahwa di rumahnya ia masih punya dendeng babi yang belum ia makan.

Pernyataan menarik juga disampaikan sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, bahwa islamisasi sepanjang abad ke-15 juga momentum yang secara signifikan mengubah paradigma penganutnya memandang makanan. Agama Islam turut andil dalam menyeleksi apa yang bisa dimakan dan tidak dalam koridor konsep halal dan haram. Salah satunya dengan tidak makan babi dan tidak mengkonsumsi daging mentah. Mungkin itulah mengapa, sebagai manusia yang lahir sudah Islam, yang justru mengenali lawa dengan berbahan dasar udang, ikan sotong, cumi, rumput laut, dedaunan dan buah-buahan muda. Mereka dicampur dengan kelapa parut dan jeruk nipis. Sehingga cita rasanya cenderung asam.

 

Foto Lawa Kak Ulil (Dok. Wilda Yanti Salam)

Apa yang Bisa Kita Rentangkan Lebih Jauh

Darah, babi, sajian dalam ritual, menjadi benang merah yang menarik untuk dicermati sebagai pintu masuk untuk melacak pertautan praktik agama leluhur saya di Bugis dan saudara serumpunnya di Toraja. Bahkan, ketika saya bertanya kepada Bapak Iwang mengenai bariala, dia menjawabnya dengan tawa riang bahwa sanak-keluarga, utamanya kakek nenek kita roh-nya terus hidup di sekitar kita. Roh-roh itu yang perlu diberi makan sajian-sajian yang ketika masih hidup–jasadnya kasat mata menyukai makanan tertentu.

Sedangkan di Toraja, saking meriahnya pengorbanan yang ditampilkan saat ritus kematian. Dana Rappoport, etnomusikolog yang meneliti kor-kor dan suara dalam seluruh ritus Toraja memperluas istilah “ritus” di Toraja sebagai “pesta” melihat dari binatang, manusia dan seni suara yang ditampilkan selama acara kematian. Sajian yang dihidangkan kepada leluhur suku Toraja dimaknai Kees Buijs, misionaris dan antropolog Belanda sebagai kunci untuk memahami bahwa pesta–ritus dan sajian melimpah ini adalah upaya yang dilakukan oleh sanak keluarga untuk mendapatkan berkat dari si mati yang akan menjadi dewa. Si mati akan memberikan berkat bagi kehidupan di bumi terutama keluarganya.

Terakhir, keragaman sajian, tata cara, nama dan ritus ini bisa menjadi pintu masuk kita untuk menguliti jejak-jejak ritual, makna dan mungkin saja hubungan nenek moyang kita terdahulu satu sama lain. Makanan, juga bisa menjadi bukti negosiasi antara jejak agama leluhur dan agama langit yang saat ini saya dan mungkin kalian amini.

 

Bacaan lebih lanjut:

  1. PRISMA, Jurnal Pemikiran Sosial dan Ekonomi, Edisi Ragam Makanan Kita: Gastronomi dan Kuliner Nusantara. Volume 40, 2021.
  2. Manusia Bugis, Christian Pelras. Penerbit Ininnawa:Makassar. 2021
  3. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2016
  4. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Anthony Reid, Yayasan Pustaka Obor Indonesia:Jakarta 2020.
  5. Kuasa Berkat Dari Belantara dan Langit, Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat, Kees Buijs, Penerbit Ininnawa:2009
  6. Nyanyian Tana Diperciki Tiga Darah, Musik Ritual Toraja dari Pulau Sulawesi, Dana Rappoport, Yayasan Pustaka Obor Indonesia:Jakarta 2020.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st