Antarragam_Nia-00661

Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing: Saya Bingung, Maka Saya Ada

Oleh Elvan De Porres –

Pada tanggal 3 Desember 2019 lalu, sebuah pertunjukan bertajuk “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing” terhelat di Studio Teater Garasi/Garasi Performance Institute Yogyakarta. Pementasnya merupakan seniman-seniman dari berbagai daerah di Nusantara yang terlibat dalam program kesenian #AntarRagam inisiasi Garasi Performance Institute.

Mereka berasal dari Maumere (Flores), Singkawang (Kalimantan Barat), Mataram (NTB), dan Madura (Jawa Timur). Jumlahnya tujuh orang dan pertunjukan tersebut merupakan usaha untuk menerjemahkan isu yang dibawa dari daerah masing-masing. Ragam-ragam masalah lintang pukang. Persoalan-persoalan yang dibicarakan pun tidaklah sepele.

Pertunjukan ini dibuka dengan masuknya seorang perempuan muda (aktris Ticha Solapung) ke panggung studio yang ditata menyerupai sebuah ruang tamu. Dia masuk diringi dengan instrumen juga nyanyian berbahasa daerah Kalimantan yang dimainkan oleh seniman musik Wandy Murti.

Perempuan muda itu kemudian menyampaikan beberapa potongan narasi, semacam curhat atau keluh kesah tentang masalah-masalah keluarga. Dia omong soal suasana kebiasaan makan di meja yang perlahan-lahan hilang, hidup keluarganya yang berpindah-pindah dan yang paling membikin miris adalah hengkangnya sang bapak.

Antarragam_Nia-00661
Aktor Syamsul Pranata sedang duduk melinting tembakau sembari aktris Ticha Solapung berdiri di belakang panggung dan mengutarakan keluh kesahnya. Dok. Teater Garasi/Kurnia Yaumil Fajar.

Ketika Ticha menyampaikan narasi yang lumayan panjang itu, dua orang lain; aktor Syamsul Pranata dan aktris Mulya Putri, masuk ke dalam frame lantas meresponsnya. Mulya- sepertinya dia ibu dari si perempuan muda- duduk di bagian belakang panggung dan beraktivitas layaknya ibu rumah tangga. Sementara Syamsul- mungkin sebagai sosok ayah- duduk di kursi ruang tamu dan sesudahnya berjalan melakukan gerakan lewat pola tertentu.

Syamsul malas tahu; Mulya cengengesan bicara tentang jerih payah dia sebagai ibu juga istri; sementara Ticha konsisten dengan narasi-narasi terenyuhnya. Dia tak peduli dengan kehadiran dua orang itu. Dan beberapa lama kemudian, aktor Vikril Akbar ikut bergabung, lalu disusul Eka Putra Nggalu sambil bermain bola.

Pertunjukan diteruskan dengan pola narasi, alur dan penokohan yang berbeda-beda. Vikril menyanyikan beberapa lagu pop dengan suara ombeng dan Eka menceritakan pengalaman murung akibat tim kesayangannya AC Milan gagal menjuarai Liga Champions. Eka juga sampaikan,  tetangganya tak mengizinkan dia untuk bertamu menonton siaran langsung pertandingan. Sementara itu, dalam sirkulasi yang lain, panggung (ruang tamu) tersebut mereka ubah suasananya menjadi pasar ataupun perkampungan juga tempat untuk adegan catwalk. Adapun irama musik dan permainan lighting turut serta dalam sirkulasi-sirkulasi dimaksud.

Seperti yang telah dipantik di atas, isu-isu yang dibawa dalam pertunjukan ini menyoal krisis ruang publik akibat privatisasi dan industrialisasi, pekerja migran yang bernasib buruk, konflik lahan/tanah, dan persoalan lingkungan hidup. Tentu harus diakui, tidak mudah mengamodasikan persoalan-persoalan tersebut ke dalam satu ruang dan waktu pertunjukkan. Apalagi para senimannya datang dari latar belakang kultural dan disiplin kesenian-keaktoran berbeda-beda. Pada sisi tertentu mereka harus berproses bersama guna rumuskan gagasan dan mencari bentuk dalam rentang waktu dua minggu saja.

Barangkali karena itulah, “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing” berusaha untuk menempatkan semua isu dimaksud -untuk tidak mengatakan ‘memaksakan’- dan kemudian menyebabkan sajiannya terlihat dangkal. Bentuk pembicaraan isu hanya muncul di permukaan saja dan tidak punya karakter yang kuat.

Salah satu penanda yang menunjukkan ini, misalnya, tampak dalam narasi verbal para seniman yang terkesan mengambang begitu saja. Selain itu, perpindahan adegan-adegannya juga lari terlalu jauh tanpa pertimbangan konteks gagasan dan eksplorasi dimensi ruang dan waktu itu sendiri.

Namun, terlepas dari itu, menimbang pada proses perumusan gagasan pertunjukan dari para seniman, satu kalimat kunci yang dipakai untuk membingkai isu-isu itu adalah berhadap-hadapannya situasi warga negara di hadapan gerak laju industrialiasasi dan kapitalisme global. Bahwasanya dunia bergerak semakin cepat dan kehidupan sepertinya mendapat hegemonisasi serius oleh kepentingan penghisapan atas nama modal/keuntungan. Situasi ini merangsek masuk, bahkan hingga ke sendi-sendi terkecil kehidupan, entah disadari ataupun tidak. Imbasnya, ada keterpecahan di dalam diri warga negara, baik secara vertikal maupun horisontal.

Antarragam_Nia-00716
Para aktor dan aktris sedang melakukan pola gerakan tertentu sebelum menyusun tikar-tikar untuk dijadikan karpet dalam adegan catwalk. Dok. Teater Garasi/Kurnia Yaumil Fajar.

Problem ini, dalam skala yang lain, membuat orang semakin kesulitan mendeteksi dan menempatkan pranala mana yang menjadi masalah lokal ataupun global. Toh isu-isu yang yang dialami tempat tertentu sejatinya juga dirasakan oleh tempat yang lain.

Hampir di berbagai wilayah di Indonesia, warga mengalami tergusurnya ruang hidup mereka atas nama pembangunan atau industri, sementara itu di berbagai wilayah lainnya orang ramai-ramai bermigrasi memperdagangkan tenaga dan jasanya dengan bermacam-macam risiko. Situasi-situasi yang memang timbulkan friksi di mana-mana. Hidup menjadi semacam tuntutan, persaingan dan orang-orang semakin kehilangan landasan pijak.

Jika kesadaran demikian yang dibayangkan, maka “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing” memang merupakan friksi itu sendiri. Pertunjukan ini ingin menyampaikan situasi genting atau rawan atau konfliktual dengan tidak membuat karakter-karakter yang serupa tapi secara datar alias tanpa beban.

Para seniman barangkali hendak menyindir bahwa kita sedang hidup dalam cengkeraman-cengkeraman yang lebih besar dan seolah-olah menikmatinya. Seperti candu, seperti sesuatu yang menimbulkan banyak keruwetan tapi tak tahu ditangkali dengan cara macam apa.

Situasi cengkeraman tersebut juga membuat lahirnya tuan-tuan baru, penguasa-penguasa baru dengan pola relasi kuasa yang semakin bercabang dan sukar ditebak. Korbannya tentu saja warga negara yang tak berdaya dan kemudian mengalami kebingungan sebagaimana coba ditampilkan para seniman Nusantara tersebut. Ada penegasan bahwa masalah-masalah tempatan saat ini memang terjadi di mana-mana, meskipun tatapan atas itu punya variannya masing-masing.

Antarragam_Nia-00770
Para seniman dari berbagai daerah di Nusantara sedang berpose bersama usai mementaskan “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing”. Dok. Teater Garasi/Kurnia Yaumil Fajar.

Namun, menariknya, pertunjukan ini tidak serta merta membuat afirmasi atas kejomplangan termaksud, tapi pada titik tertentu suguhkan gagasan perlawanan dengan cara yang halus, bahkan satir. Sebagaimana tajuknya “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing”, perlawanan itu adalah narasi kecil sehari-hari yang dipertontonkan para aktor/aktrisnya alih-alih percik heroisme yang terkesan timbulkan daya juang.

Poin ini barangkali ingin lebih jujur menyampaikan lanskap realitas sosial bahwa ketika orang gelisah, mereka sebetulnya sedang membuat perlawanan itu sendiri. Terhadap struktur atau sistem apa saja yang menjadikan manusia menjadi tidak bebas hati nuraninya. Mulya, misalnya, berkeluh kesah tapi tetap beraktivitas, Eka menceritakan kisah penolakannya dengan mimik yang enteng, juga Fikril yang mencampuradukkan nyanyian-nyanyian baru dan lama dengan nada yang dia karang sendiri.

Selain itu, kolaborasi para seniman multidisiplin dan kultur ini juga menyajikan cara pandang lain mengenai melepaskan gaun identitas-identitas guna merumuskan atau katakanlah mencari titik temu atas kegelisahan bersama. Artinya, orang tidak lagi melihat bahwa ini masalahnya siapa, tetapi mencari kira-kira sangkar apa yang menyebabkan isu-isu itu bermunculan.

Adapun posisi musik dan lighting juga coba memberikan efek karakterisasi yang lain mengenai kegelisahan termaktub. Musik juga nyanyiannya seolah-olah dibunyikan tanpa beban -meskipun menggunakan irama daerah- dan coba bermain-main dengan ketegangan itu. Tentu bagi pendengar awam yang tak paham maknanya, tonjolan itu memang terdengar semacam kidung terenyuh, pola penegas yang menunjukkan bahwa hidup ini sedang tidak baik-baik saja.

Begitu pula dengan permainan lampu yang barangkali disengaja untuk tidak bervariasi banyak, dan lebih sering menampilkan estetika pencahayaan yang muram. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa metafora bukan saja terletak pada fenomena bahasa belaka, melainkan juga dimunculkan oleh sesuatu yang audio-visual, bahkan kultural.

Pada pranala lain, secara keseluruhan, pertunjukan “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing” dapat dibicarakan dalam kerangka paradigma antropolog Victor Turner soal liminalitas atau perkara ambang batas manusia sebagai “persona”. Turner katakan bahwa atribut liminalitas itu punya sifat ambigu karena orang-orang berada dalam kondisi yang menghindari ataupun menyelinap dalam jaringan-jaringan klarifikasi yang biasanya terbentuk dalam negara ataupun budaya.

Entitas liminal adalah entitas yang berada dalam kerak-kerak struktur besar dan berusaha mencari-merumuskan identitasnya sendiri. Para pelakon pertunjukan sepintas kilas kelihatan sedang “mengamini” situasi pedih yang menghantui mereka, tapi sesungguhnya sedang menantang-menentangnya. Atau mungkin juga, terdapat ketidakjelasan yang terjadi di dalam masyarakat dan masyarakat itu sendiri sedang berusaha mencari penjelasan atau jawaban-jawabannya sendiri.

Keterhubungan para seniman, entah sebagai proses maupun present, ikut menjelaskan bahwa seni adalah juga sistem kultural yang kemudian menimbulkan jaringan-jaringan pemaknaan tersendiri. Manusia, sebagaimana kata Clifford Geertz, hidup ibarat laba-laba yang tergantung dalam jejaring makna yang dirajutnya. “Rumah adalah Kesunyian Masing-Masing” merupakan hasil dari rajutan tersebut dengan usaha untuk melampaui batas-batas.

Batas-batas itu berupa latar belakang kultur dan identitas para senimannya sendiri, isu-isu yang dibicarakan juga strategi menghadapi pengaruh yang lebih luas, semisal industrialisasi dan hegemoni kapital seperti yang dirumuskan bersama. Pertunjukan ini sepintas kilas mungkin terlihat mentah, tapi sesungguhnya lebih jujur merefleksikan situasi sosial sebagaimana adanya. Toh bukankah kita memang sebetulnya sedang berada pada era kebingungan dan sedang menikmatinya?

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st