Maria: Di Wuring satu tahun teman-teman berproses sebelum akhirnya berpuncak pada Festival Wuring. Pesta Kampung juga sudah dipersiapkan Aden sejak tahun sebelumnya. Jadi, durasi waktu yang kurang lebih setahun , yang cukup lama, memang penting untuk benar-benar bisa menyerap perhatian warga yang besar. FWF tidak seperti itu. Untuk konteks FWF, waktu satu atau dua bulan itu tidak cukup untuk mengidentifikasi dan menyusun strategi supaya mereka memiliki kesadaran dan terlibat di acara kita. Kalaupun ada disiplin lain yang bisa kita pelajari strateginya seperti yang disampaikan Gero, saya juga tidak yakin bisa cocok dengan warga ketika kita hanya punya durasi kerja satu sampai tiga bulan. Misalnya, FWF mau dilakukan setahun sekali di tempat yang berbeda. Artinya dengan waktu kerja tidak sampai setahun, kita mesti identifikasi dan pikirkan strategi lalu selenggarakan FWF. Lalu, tahun berikut pindah ke kota lain sementara di kota sebelumnya belum sepenuhnya selesai dan berharap komunitas-komunitas tempatan bisa melanjutkan apa yang kita lakukan. Apa yang kira-kira bisa kita lakukan atau strategi apa yang bisa kita pakai untuk konteks seperti FWF ini?
Aden: Saya percaya soal intensitas dalam praktik kerja kita dengan warga. Saya kira tidak ada jalan lain untuk saling kenal dan menyayangi selain dengan tatap muka yang lebih intens dan intim dengan warga. Kadang-kadang kita kalah sama yang intens. Saya tidak tahu apakah merawat kepercayaan dan merawat apa yang sudah kita bangun bersama-sama dengan lebih intens bisa menjadi satu siasat juga.
Selain itu penggunaan apa yang saya sebut sebagai ‘mantra’ juga penting. Misalnya, Pesta Kampung ini cita-citanya menjadi festival orang biasa. Ini terwujud karena sejak pemilihan diksi atau kata yang kita pakai itu juga mesti dekat dengan pengetahuan yang ada di sekitar, dengan pengetahuan warga. Kalaupun penggunaan ‘mantra’ ini juga tidak ditangkap maksudnya, biarkan saja. Mereka mungkin butuh waktu. Jadi, ini juga siasat lain, yaitu memberi waktu untuk orang memahami. Barangkali memang bukan sekarang waktunya.
Ada situasi juga di mana kita merasa warga atau orang yang kita temui ternyata tidak sefrekuensi dengan kita. Saya kira kita perlu melihat irisan-irisan kepentingan atau praktik baik yang bisa membantu kita, ketimbang fokus pada perbedaan kita. Ini strategi yang lain juga. Tidak masalah kita berjanji saja dulu. Di Pesta Kampung itu, bentuk-bentuknya seperti apa kita belum tahu tapi kita sudah posting di sosial media, misalnya. Tidak apa. Janji itu bisa ditepati, tapi mungkin bukan sekarang karena banyak hal masih bisa berubah dalam perjalanan. Yang penting gagasan itu sudah kita munculkan.
Kadang juga kita berharap sesuatu yang yang datang justru bukan apa yang kita butuhkan saat itu. Karena itu, untuk publikasi kita sampaikan apa yang kita butuhkan di media sosial kita sambal juga melayani kebutuhan orang lain. Penggunaan mantra dan janji-janji ini paling tidak bisa membuka dialog, meskipun belum ada praktiknya. Jadi, jalan saja dulu. Kita mau bikin kegiatan yang bagus, tapi jelek saja belum. Sambil berjalan, kita pelan-pelan pelajari bagaimana kita mengukur kegiatan kita, kondisi yang kita harapkan di masa depan, dan bagaimana menyusunnya.
Gembul: Sejauh mana Aden bisa mengukur apa yang sedang teman-teman lakukan di Pesta Kampung membuka ruang-ruang baru atau memberikan manfaat bagi warga?
Aden: Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan pinjam jawaban dari orang lain karena penilaian itu sebaiknya datang dari publik. Menurut orang-orang dinas pariwisata, kami memberi warna baru di Labuan Bajo. Ini yang seperti tadi Eka katakan alternatif, tetapi bukan alternatif juga karena cuma ini yang kita punya. Terlepas dari itu, penilaian ini memunculkan kemungkinan lain, misalnya yang kami sebut sebagai ‘terpapar manfaat’. Ini yang kami rasa perlu dimasukkan dalam praktik produksi pengetahuan, termasuk proses kita yang kita umbar untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang muncul.
Dampak yang, paling tidak secara komunitas, kami rasakan adalah anggapan orang lain bahwa apa yang kami lakukan dianggap ‘segar’ di Labuan Bajo. Lalu di tingkat RT/RW kami mengundang Pak Lurah dan Ketua RT/RW. Ternyata forum itu berubah jadi tempat pengaduan karena Pak RT dan Lurah jarang bertemu secara intens. Di situlah irisan kepentingan itu ternyata tidak saja mempertemukan kepentingan kami sebagai penyelenggara kegiatan dengan Pak Lurah dan para ketua RT/RW, tetapi memunculkan kemungkinan lain, misalnya dalam forum itu kami justru hadir sebagai penengah di situ, yang kemudian membantu terciptanya ruang dialog di situ. Jadi, benturan-benturan kepentingan justru membuka ruang-ruang dialog baru yang tidak dimungkinkan sebelumnya.
Di samping itu, kami juga merekam dan mencatat temuan-temuan yang kami dapat dari misalnya, para stakeholder dan berusaha ‘berdamai’ dengan itu sambal kami juga mempelajari metode dan cara-cara mengukur kegiatan ini; bagaimana output-nya dan bagaimana kondisi yang kita inginkan di masa depan. Ini seperti kita berburu-meramu, baru dapat lalu diramu lagi dapat lagi yang baru, diramu lagi.
Eka: Bagaimana Gero melihat atau paling tidak memprediksi, mengukur sejauh mana apa yang dikerjakan itu membuka ruang-ruang pertemuan yang baru dan punya dampak serta manfaat bagi partisipasi dan representasi warga?
Gero: Saya setuju dengan yang Aden katakan bahwa penilaian itu memang baik kalau datang dari orang lain sebagai tolak ukur untuk lihat apa yang sedang kita kerjakan dengan warga. Tapi, yang penting juga adalah bagaimana membangun ruang dialog dan ruang perjumpaan yang intens, yang terus terjadi antara kita yang berkegiatan dan warga karena minimal apa yang kemudian terjadi di ruang-ruang perjumpaan yang intens itu bisa jadi acuan kita. Misalnya, setelah kegiatan kami selesai di Kampung Wuring 2021, pertemuan kami dengan warga Kampung Wuring terus berlanjut dan membuka kemungkinan untuk memikirkan apa yang bisa kita buat lagi.
Keinginan dan pertanyaan itu justru muncul dari warga sendiri, mereka yang mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana, kita bikin film lagi, kah? Kita bikin pertunjukan lagi, kah?” Ini muncul dari ruang perjumpaan yang intens yang terus kita bangun dan usahakan setelah program atau kegiatan kita selesai. Ruang dialog dan perjumpaan yang intens itu yang saya kira lebih penting dari program atau kegiatan yang kita buat.
Hal yang lain juga misalnya, ketika ada teman-teman dari komunitas atau intitusi lain yang mau ke Wuring untuk buat kegiatan atau penelitian mereka datang ke kami. Dan kami memposisikan diri kami sebagai penghubung saja. Kami selalu arahkan mereka untuk langsung berjumpa dengan warga untuk tahu lebih banyak karena pengetahuan tentang warga itu sumber utamanya warga itu sendiri. Kami tidak menempatkan diri sebagai perwakilan warga karena kami sadar akan adanya potensi bias yang timbul. Itu juga yang terlihat dalam relasi warga dengan kami dan akibatnya ruang pertemuan dan perjumpaan kami dengan warga itu masih berlangsung sampai hari ini.
Aden: Jangan-jangan seni itu adalah metode, cara kerja. Apa yang kita bikin itu menjadi seperti cermin tempat warga melihat dirinya sendiri dan dengan cara itu warga kemudian bergerak sendiri atau yang kita sebut partisipasi aktif tadi. Misalnya, ketika kami berencana membuat dokumenter dengan warga, muncul pertanyaan apakah kita bikin dokumenter tentang mereka atau biarkan warga ambil gambar sendiri dan menceritakan diri mereka sendiri. Ini memang hal yang lain, tetapi bagi saya tingkat partisipasi tertinggi adalah warga bisa bikin karyanya sendiri ketika kita membawa pendekatan media dokumentasi pada mereka dengan pengetahuan mereka sendiri.
Itulah mengapa kita masih membutuhkan workshop. Jangan-jangan seni itu sebagai cara kerja untuk membuat cerminan atas dirinya. Kita bisa berefleksi dari situ. Atau mungkin dia melampaui itu, kita mesti menciptakan kondisi lain atau justru itu menjadi jalan. Ini yang masih terus kami refleksikan.