Jalan Tikus Menuju Ruang-Ruang Perjumpaan di Flores

Eka: Kalau Aden yang bekerja dengan tetangga sendiri, ada tidak problem terkait komunikasi?

Aden: Tantangan itu pasti ada, terutama tantangan kontekstual itu pasti ada. Ada tantangan yang datang dari kita, untuk diri kita sendiri. Ada juga tantangan yang datang dari luar diri kita. Misalnya, bagaimana sebenarnya cara bikin sebuah kegiatan yang bisa dihadiri oleh warga. Pesta Kampung sendiri diuntungkan karena kami hidup bersama dengan mereka di kampung kami sendiri. Ketika mengajak mereka, kami seperti memanggil kakak atau bapak kami untuk duduk Bersama.

Namun, bersama dengan itu juga selalu muncul pertanyaan apakah ini benar-benar partisipasi aktif atau pertisipasi semu saja. Kita pasti akan berhadapan dengan banyak kepentingan atau kepentingan individu ketika kita ingin mewujudkan partisipasi. Ini yang saya maksud bagaimana praktik multimedia sebagai praktik multidisiplin dan multipihak juga. Tantangannya pada akhirnya bukan lagi bagaimana mengakomodir kepentingan banyak orang itu, tetapi justru merayakan kepentingan yang beragam itu. Konsekuensinya, kita butuh lagi pengetahuan lain: bagaimana yang multipihak, yang kepentingannya beragam itu dapat dirayakan bersama-sama sesuai kebutuhan atau kepentingan spesifik semua pihak yang terlibat. Jadi, semua pihak sama-sama menang.

Foto: Dokumentasi Videoge

Pesta Kampung itu sendiri rasanya seperti piala bergilir untuk merayakan kemenangan tapi tanpa kompetisi. Jadi, setelah dirayakan di satu kampung bisa dirayakan di kampung lain lagi untuk merayakan metode atau cara-cara kerja yang dekat dengan warga. Itu juga proses yang lain dimana kita belajar berhadapan dengan pemerintah yang kita tuduh ribet atau kita diribetkan, padahal mungkin sebenarnya kita tidak tahu caranya bagaimana. Ini yang saya maksud bagaimana irisan kepentingan itu bisa membuat kita untuk belajar pengetahuan-pengetahuan lain seperti mengurus surat-surat formal untuk melibatkan pemerintah. Itu adalah kepentingan mereka dan karena kita butuh mereka maka kita butuh untuk belajar itu. Misalnya, kalau dengan kampus kita harus buat MoU.

Maria: Yang Aden bilang “mungkin karena kita belum tahu” ini menarik. Bagaimana misalnya kalau kita sudah berusaha sebaik mungkin, melewati proses yang disarankan atau dinasehati oleh orang-orang yang paham tentang kepentingan ini atau paham alur kerjanya. Misalnya, kalau dengan kampus harus ada MoU. Oke, kita bikin MoU. Tapi, kemudian hasilnya tidak sesuai. Apa yang salah atau belum pas di sini? Ini pertanyaan bukan buat Aden saja, buat kita semua.

Dimas: Di tema bulan ini sebenarnya kita mau bicara soal bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kak Aden, Kak Mar, KAHE, kita semua yang ada di sini selain menjadi ruang-ruang yang sebelumnya tidak ada atau juga yang sudah ada tapi belum diaktivasi dengan baik, tetapi juga bagaimana kegiatan-kegiatan yang kita buat itu bisa jadi memunculkan ruang-ruang lain atau mewujudkan hal-hal lain yang kita tidak rencanakan sebelumnya. Tapi karena kita buat kegiatan itu, lalu kita jadi ketemu atau itu jadi muncul.

Misalnya, dari pengalaman di komunitas KAHE kemarin di Wuring. Yang mau diteliti atau yang mau dicari tahu di sana itu hal yang lain, tetapi di sana tiba-tiba bertemu dan akhirnya tahu bahwa ternyata ada kelompok waria, yang disebut PERWAKAS itu ternyata mulainya dari sana. Dan apa artinya itu? Ada ruang-ruang lain yang baru yang muncul dari apa yang kita kerjakan.

Kaitannya dengan pertanyaan Kak Mar, misalnya, kita sudah dekati dosennya, sudah buat MoU, tapi orang tetap tidak mau datang. Mungkin kita perlu melihat apakah orang-orang yang kita mau libatkan itu sungguh-sungguh merasa bahwa kegiatan itu bagian dari mereka. Misalnya di kalangan mahasiswa, kecenderungan untuk terlibat dalam suatu kegiatan itu biasanya karena motivasi untuk dapat sertifikat saja. Kalau orang tidak merasa kegiatan itu bagian penting dari hidup mereka atau identitas mereka, maka usaha kita untuk melibatkan mereka

Susah sekali untuk melibatkan orang kalau mereka tidak menganggap kegiatan-kegiatan itu penting, bagian dari mereka punya hidup bagian dari apa mereka punya identitas. Kalau hal-hal seperti ini sudah tidak dipedulikan lagi nanti ke depannya menjadi orang tetap tidak akan peduli. Kalaupun mereka mau terlibat itu dilakukan sebatas bekerja saja. Dalam arti, yang penting ada terlibat tanpa merasa merasa ini bagian dari kita, dari hidup-hidup kita. Nanti ini berlanjut di keberlanjutannya. Apa yang kita kerjakan tidak bisa bertahan lama, tidak bisa sustain ke depannya.

Eka: Gero coba ceritakan siasat-siasat apa saja yang pernah atau sering dipakai untuk bernegosiasi dengan sekian banyak kepentingan para partisipan yang terlibat dalam project.

Gero: Kerja-kerja kesenian itu adalah kerja-kerja strategis. Strategi itu penting. Strategi itu bukan sekadar apa yang jadi kita punya rencana atau apa yang kita harapkan dari apa yang kita sedang kerjakan, tetapi juga soal bagaimana melihat kepentingan-kepentingan yang saling beririsan di antara program-program yang kita sedang kita kerjakan dengan apa yang juga dikerjakan atau dimungkinan dari teman-teman yang akan kita libatkan.

Kita bekerja dengan perspektif ekosistem dan mengharapkan keterlibatan warga. Namun, selain apa yang kita kerjakan terus diimplementasikan terus-menerus, kita juga mesti melihat strategi kerja kita setiap hari karena apa yang terjadi setiap hari itu penting untuk dilihat. Maka strategi itu harus dipertimbangkan setiap minggu, setiap hari, bahkan setiap kali selesai bertemu dengan mereka yang ingin kita libatkan. Ini karena setiap orang yang kita temui untuk diajak terlibat itu memiliki motivasi dan kepentingan yang tidak saja personal tetapi juga menjadi representasi kelompok atau komunitasnya. Karena itu, kita juga perlu punya strategi sendiri berhadapan dengan setiap orang dengan macam-macam kepentingan yang mereka miliki, supaya apa yang kita rancang atau mau kita kerjakan mempertimbangkan juga hal-hal itu. Contohnya, dengan memahami pola-pola relasi di suatu tempat atau komunitas, kita kemudian bisa mendapatkan strategi pendekatan yang efektif untuk dilakukan di situ. Ini juga menjadi pengetahuan baru yang kita temukan selama proses berkegiatan itu.

Aden: Itu juga terjadi ketika kami bikin kegiatan semacam forum warga, temu rukun warga dan tetangga. Ternyata kita perlu memberi undangan resmi kepada warga supaya mereka mau datang. Padahal, kita menganggap mereka seperti kita punya bapak yang bisa kita panggil saja tanpa undangan formal. Ini tadi yang Gero bilang siasat. Memang siasat ini penting karena kita perlu bernegosiasi dengan cara mereka. Cara-cara, pendekatan-pendekatan yang kita pakai memang mesti disiasati supaya bisa dipahami dengan cara atau pengetahuan warga. Nah, rasanya saya sepakat ini yang disebut ini sebagai siasat yang memang kadang-kadang berguna, kadang-kadang tidak. Makanya harus terus periksa terus cara-cara atau siasat-siasat itu.

Maria: Dari apa yang disampaikan Gero berkaitan dengan siasat untuk memahami pola relasi ini terjadi juga di FWF. Jadi, siasat dan strategi itu akan berubah ketika kita ada di tempat baru dan bertemu dengan orang baru. Maka, itu harus dipikirkan setiap hari. Untuk konteks ‘dengan warga’ kita pasti punya banyak cara dan strategi untuk beradaptasi karena kita juga adalah warga. Namun, bagaimana dengan lembaga pendidikan atau pemerintah? Strategi apa yang kira-kira pernah Gero lakukan berhadapan dengan lembaga pendidikan dan pemerintah?

Foto: Dokumentasi Komunitas KAHE

Eka: Untuk konteks Maumere, apa yang diputuskan Bupati tidak serta-merta diikuti yang di bawahnya.

Gero: Kalau untuk konteks lembaga atau institusi pendidikan, apa yang diputuskan rektor, atau yang memiliki kuasa atas institusi tidak serta-merta diikuti mahasiswa, misalnya. Dengan setiap elemen di dalamnya seperti mahasiswa, BEM, kaprodi, kita mesti pakai strategi atau siasat yang berbeda-beda. Dengan Ledalero, misalnya, saya pakai pendekatan yang berbeda dengan UNIPA dan Muhammadiyah. Jadi, pahami dulu konteks institusinya, kemudian lihat pola-pola relasi antara yang punya kuasa dengan bawahannya, lalu konteks mahasiswa. Kadang-kadang, itu semua sudah beres, masalahnya muncul di karyawan. Ada karyawan yang merasa bahwa dia juga punya kuasa. Itu temuan yang menarik.

Ketika merancang program atau kegiatan, kita membayangkan bahwa pelibatan itu sebagai hal yang bagus, tetapi belum tentu orang lain yang mau kita libatkan juga berpikir demikian. Untuk konteks kita di Flores, kita ini yang memulai kerja-kerja dengan metode pendekatan kesenian. Makanya, usaha dan kerja kita harus beberapa kali lebih keras. Selain itu, penting juga kita belajar dari disiplin-disiplin pengetahuan lain yang sifatnya sangat strategis. Flores ini besar karena LSM-LSM dan lembaga pendidikan Gereja yang sangat kuat. Barangkali, kita mesti belajar juga dari metode dan pendekatan yang dipakai lembaga-lembaga ini.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st