Jalan Tikus Menuju Ruang-Ruang Perjumpaan di Flores

Eka: Kita punya model festival yang beragam. Ada Pesta Kampung yang lokasi dan produksi pengetahuannya sangat dekat dengan warga, ada juga Flores Writers Festival yang secara khusus berfokus pada penulis sambil tetap juga menjaga ekosistem baca tulis dengan melibatkan pemerintah dan NGO. Bagaimana Gero melihat hal ini terutama dalam kaitannya dengan praktik KAHE di Wuring?

Gero: Apa yang KAHE lakukan bersama dengan warga Kampung Wuring di 2022-2021 itu lebih spesifik soal aktivasi ruang dan warga. Pertanyaan penting bagi kami di KAHE itu adalah sejauh mana kita mau berkenalan dan ingin tahu lebih banyak soal teman-teman di Kampung Wuring, karena secara umum warga Maumere kenal Wuring itu sebagai tempat singgah atau untuk pergi beli ikan saja. Namun, secara pertemanan dan budaya, sepertinya Wuring menurut kami tidak sebatas penyedia ikan bagi warga Maumere. Karena itu, kami ingin ke sana dan mencari tahu lebih jauh.

Sepanjang tahun 2020-2021 kami berkegiatan di sana bersama dengan warga Kampung Wuring dan saya secara pribadi menemukan ternyata ada banyak hal yang mematahkan sekian banyak perspektif yang sangat umum yang misalnya didapat dari kampus atau dalam obrolan dengan teman lain. Misalnya soal budaya Bajo, Bugis, ibu-ibu di sana, teman-teman waria, anak muda Wuring. Banyak hal menarik kami temukan justru setelah berkegiatan di sana. Mengenai pertanyaan Kak Aden tadi soal apakah kehadiran komunitas untuk warga itu penting atau tidak, saya kira pertanyaan itu jadi tajam dan penting saat kita terlibat bersama dengan warga itu sendiri.

Eka: Apakah sejak awal akan bikin project seni Komunitas KAHE sudah jelas mengenai pelibatan warga selain anggota Komunitas KAHE?

Gero: Pertanyaan soal pelibatan warga sejak awal itu memang cukup tricky. Kalau kita tempatkan di konteks Kampung Wuring, temuan-temuan soal pola hidup dan aktivitas warga itu justru menghancurkan konsep atau gagasn awal serta rencana yang sudah dibuat untuk kegiatan bersama warga di sana. Misalnya, beberapa teman yang kami ajak ke Kampung Wuring sering heran bagaimana warga Kampung Wuring bisa hidup di situ dengan keadaan yang demikian.

Foto: Dokumentasi Komunitas KAHE.

Eka: Kalau teman-teman Videoge sendiri bagaimana bayangannya soal warga atau tetangga sejak awal?

Aden:  Apa yang disampaikan Gero menarik, terutama berkaitan dengan bagaimana pertemuan dengan warga semakin mempertajam. Iya, itu memang benar karena kami tumbuh secara organik untuk melayani kebutuhan anggota komunitas. Lalu, kemudian kita merasa perlu melihat dengan intens apakah hal ini juga dibutuhkan oleh orang lain selain komunitas. Jawabannya belakangan baru muncul. Kemudian apa yang kami buat itu melampaui apa yang dipikiran sebelumnya dan ada kemungkinan untuk diperlebar. Lalu, muncul pertanyaan ‘apa kemungkinan yang sebenarnya kita cari?’

Kami kemudian menyadari bahwa jawaban atas pertanyaan ini berkaitan dengan lokasi di mana komunitas ini bergerak, yakni Labuan Bajo. Kemungkinan yang dimaksud misalnya, bagaimana membawa cara kerja kami lalu bertemu dengan pihak-pihak atau komunitas-komunitas lain yang punya kebutuhan yang beririsan. Saya melihat jangan-jangan apa yang kita kerjakan saat ini adalah bagaimana menjadikan apa yang terjadi di masa lalu bisa dimanfaatkan untuk membaca kecenderungan yang terjadi saat ini. Lalu, itu direspon dengan cara kerja yang kita butuhkan hari ini. Itu yang mungkin dalam bahasanya Gero tadi ‘disesuaikan’.

Labuan Bajo rasanya sedang ada dalam masa pengalihan cara bekerja atau cara kita menghadapi hidup hari ini di Labuan Bajo. Misalnya, kalau di konteks kampung pesisir, nelayan sekarang melayani wisata. Contohnya, bagaimana pengaturan pengetahuan-pengetahuan kenelayanan tetap terpakai hari ini tetapi orientasinya berubah. Pengetahuan itu terpakai sebagai nahkoda kapal perahu wisata, misalnya. Itu yang saya maksud sebagai pengalihan cara bekerja atau menghadapi hidup di Labuan Bajo.

Ketika ada di kondisi seperti itu, apa yang kami kerjakan itu kemudian dianggap sebagai yang pertama, yang merintis. Padahal, apa yang kita kerjakan itu memang muncul sebagai bentuk adaptasi dengan kondisi di Labuan Bajo saat ini. Ini kemudian berhubungan dengan kemungkinan mengenai apa yang memang sedang dibutuhkan di Labuan Bajo.

Saya rasa Pesta Kampung juga ada karena dorongan itu, yakni berusaha untuk menjadi adaptif dengan kondisi itu. Jika dikaitkan dengan politik ruang, sebenarnya kita tidak perlu khawatir dengan ‘premium’ di Labuan Bajo. Jangan-jangan apa yang kita bikin ini itulah yang premium. Itu dikatakan Pak Chris (Chrispin Mesima, red.), seorang senior dalam kepariwisataan di Labuan Bajo. Misalnya, kami yang dari keturunan nelayan selama empat generasi kemudian berhadapan dengan kenyataan saat ini di Labuan Bajo akhirnya beradaptasi dengan keadaan itu lalu memunculkan apa yang kami kerjakan melalui pendokumentasian pengetahuan dengan pendekatan seni. Jadi, ini sebenarnya juga berangkat dari kebutuhan kami sendiri atas pengalaman masa lalu orangtua kami dan bagaimana situasi di mana kami hidup saat ini.

Foto: Dokumentasi Videoge.

Eka: Mata pencarian yang berubah memang juga mempengaruhi peradaban masyarakat. Bisa saja suatu saat Labuan bajo menjadi metropolis dengan karakter kenelayanan yang berbeda. Di FWF, kesadaran pelibatan warga itu menggunakan persepktif ekosistem yang kuat dengan pelibatan akademisi, pemerintah, komunitas, dan lembaga pendidikan. Bagaimana membangun dialog dengan elemen-elemen yang ingin kita libatkan? Sejauh mana itu berhasil di FWF?

Maria: Awalnya yang memang ingin kita prioritaskan untuk terlibat adalah teman-teman yang memang secara reguler datang pada bincang buku Klub Buku Petra setiap bulan. Harapan pada awalnya memang teman-teman ini bisa jadi penulis baru dari Flores. Namun, di tengah proses itu kami menyadari bahwa harapan itu terlalu muluk. Kami merasa adanya kebutuhan untuk melihat apakah cara kita membaca itu sudah tepat atau belum, bukan sekadar baik, tetapi lebih ke ‘tepat’ sesuai kebutuhan pembaca itu sendiri. Di sini baca untuk apa? Itu yang selalu ditekankan di lingkungan klub buku Petra. Hal ini yang kemudian dibawa ke Flores Writers Festival dengan harapan bahwa orang yang kita ajak terlibat juga bisa ikut memiliki visi dan kesadaran yang sama.

Namun, itu tidak mudah. Pemerintah, misalnya. Mereka mungkin punya banyak sekali program yang terkait dengan literasi. Tapi, sepertinya cuma di atas kertas atau hanya supaya ada program apa selama setahun. Ketika kita ajak bertemu dan berdialog itu susah sekali. Kalaupun terlibat, mereka paling cuma memberi sambutan. Pada akhirnya, kami memang tidak terlalu berekspektasi dengan pemerintah. Lebih baik mengajak komunitas-komunitas yang satu frekuensi dengan kita, yang punya cita-cita yang kurang lebih mirip, tapi mungkin dilakukan dengan cara yang berbeda.

Jadi kalau dengan komunitas itu jauh lebih jauh lebih soft, begitu ya prosesnya. Karena mungkin kita ada di satu frekuensi yang sama, atau kita punya semacam cita-cita yang kurang lebih mirip. Makanya di perhelatan FWF yang kemarin diselenggarakan di Ende kita bisa berkolaborasi dengan teman-teman komunitas yang ada di pulau Flores.

Sementara pihak lain seperti misalnya lembaga pendidikan di Ende belum melihat bahwa festival itu sebagai ruang yang sebenarnya bisa dicapai dan bisa diupayakan bersama dan menjadi sudut pandang atau perspektif lain dari apa yang sering mereka temui di kampus atau di sekolah. Itu karena di dalam ruang alternatif seperti festival ini, sebenarnya ada banyak hal yang jauh lebih realistis yang kita tidak temukan di ruang-ruang kampus atau sekolah.

Eka: Coba sebutkan contoh kasus.

Foto: Dokumentasi Flores Writers Festival

Maria: Contoh kasus misalnya yang terjadi di Ende kemarin. Kalau di Ruteng tidak ada masalah karena orang-orang FWF adalah mereka yang memiliki privilese karena mereka adalah tokoh publik, akademisi di universitas setempat, dan juga mereka memang memiliki perhatian khusus di bidang literasi ini, sehingga FWF dilihat sebagai ruang yang memang penting untuk melibatan masyarakat. Namun, ketika di Ende hal ini tidak terjadi.

Ketika di Ende itu kami bertemu dengan perwakilan dari tiga Lembaga pendidikan tinggi yang menurut kami punya potensi besar untuk berkolaborasi, terutama melalui pelibatan dosen dan mahasiswa. Namun, kami justru dipersulit dalam prosesnya. Yang lebih lucu, mereka manandatangani MoU, tetapi implementasinya tidak terjadi. Ketika kamu konfirmasi, mereka memberikan alasan-alasan klise yang sebenarnya bisa diantasipasi sebelumnya. Kami akhirnya bertanya-tanya, apa masalahnya di sini? Tapi memang menurutnya ini adalah sebuah jalan panjang bagaimana membangun kesadaran bahwa apa yang terjadi di FWF itu adalah kita membicarakan diri kita sendiri dan mendiskusikan apa yang kita alami di lingkungan atau konteks sosial kita. Sama seperti kita bergosip, hanya topiknya lebih tematik dan terarah.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Minggu, September 8th