Beberapa tahun terakhir, di NTT, khususnya di Flores muncul sejumlah inisiatif yang dengan cara mereka masing-masing menjadi ruang perjumpaan dan diskusi sebagai sebuah tawaran lain untuk melihat dan merespon fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Aden dari Kolektif Videoge Labuan Bajo, Maria dari Klub Buku Petra Ruteng, dan Rio Nuwa (Gero) dari Komunitas KAHE Maumere membagikan pengalaman, evaluasi, serta harapan mereka mengenai kerja-kerja yang saat ini sedang mereka giatkan di komunitas mereka masing-masing.
Eka: Malam hari ini kita akan bicara soal ruang-ruang yang sering disebut alternatif, walaupun di konteks kita tidak alternatif karena yang kita punya cuma ini.
Kami melihat bahwa gagasan-gagasan seperti Festival Kampung Wuring, Flores Writers Festival, atau juga yang sedang dikerjakan Aden dan teman teman, Pesta Kampung, menjadi contoh bagaimana ruang ekspresi politik itu diciptakan, tetapi pada saat yang bersamaan juga punya banyak negosiasi dalam mewujudkannya.
Ini yang ingin kita gali, yaitu bagaimana kesenian bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada yang ada di masyarakat sekitar, tetapi pada saat yang bersamaan dia juga membuka ruang bagi: apakah itu partisipasi politik, partisipasi aktif warga, atau partisipasi aktif teman-teman di komunitas. Yang pasti bahwa dia punya bayangan untuk kehidupan bersama dalam skala yang paling kecil maupun skala yang paling luas.
Gero bisa berkomentar tentang FWF, FWF bisa berkomentar tentang KAHE, KAHE bisa berkomentar tentang Videoge. Kita akan mulai dengan apa yang sedang Om Aden kerjakan sekarang di Labuan Bajo.
Aden: Terima kasih, Om Eka. Pesta Kampung sebenarnya masih berjalan. Jadi, apa yang akan saya sebutkan, terutama bentuk-bentuknya itu ada beberapa yang belum dikerjakan, tetapi apa yang menjadi semacam harapan atau imajinasinya itu sudah ada. Sekaligus juga sebenarnya dia jadi kesempatan belajar untuk mencari bentuk-bentuk yang barangkali cocok.
Sebelum sampai di sana, belakangan ini kita memeriksa kembali kita punya komunitas ini. Ini apa sebenarnya? Karena sebelumnya, Kolektif Videoge ini awalnya hanyalah cita-cita untuk membuat kanal Youtube. Kami rasa itu dibutuhkan saat itu untuk dokumentasi kegiatan-kegiatan teman-teman di mana waktu itu kami berada di kondisi semua kuliah dan ada kesempatan pulang kampung nyaris setiap tahun. Jadi, awalnya kami hanya mau didokumentasikan saja tanpa ada bayangan mau jadi apa ini nanti. Belakangan kami mendapatkan kesempatan pulang kampung, benar-benar pulang kampung, karena sudah selesai kuliah di tempat perantauan.
Yang disebut Videoge itu juga tercermin di kegiatan yang dibikin seperti yang kita sebut Pesta Kampung ini. Ide dan harapan untuk bikin apa yang disebut festival itu sudah ada sebenarnya. Bentuk-bentuknya belakangan dipengaruhi dengan pertanyaan kita atas komunitas kita sendiri. Misalnya, Videoge itu apa sebenarnya? Setelah dia terus bergerak kita lalu menyadari ada unsur yang kurang, yaitu bagaimana teks mempengaruhi kerja-kerja multimedia. Itu yang bahasa beratnya kita sebut sekarang sebagai riset, yaitu bagaimana pencatatan, pendokumentasian dengan teks.
Kita juga lalu menemukan kecenderungan pada apa yang mungkin juga sudah dikerjakan KAHE cukup lama, yaitu soal seni kewargaan. Tapi apa itu seni kewargaan sebenarnya? Sekitar tahun 2016, kami punya pertanyaan “komunitas ini apa dampaknya bagi masyarakat?” Itu pertanyaan yang selalu menggoda dan menarik sekali. Tapi saat itu, kami menyadari bahwa kewargaan yang dimaksud adalah kita sendiri.
Jangan-jangan warga yang dimaksud adalah kita sendiri dan kebetulan kita melakukan sesuatu yang warga lain mungkin belum sempat dibikin. Di konteks Labuan Bajo, apakah memang hanya karena di masa pertumbuhan kota ini kemudian banyak hal yang menjadi baru, meskipun di tempat tempat lain itu mungkin sudah pernah terjadi? Jadi, apa yang kami lakukan kemudian dilihat sebagai sesuatu yang belum dibuat sebelumnya. Tapi saya pribadi menghindari ungkapan “yang pertama bikin” hanya karena belum ada yang bikin hal itu. Hanya karena kami butuh, kami bikin dan belum ada yang bikin, lantas dibilang jadi pertama?
Jadi, seni kewargaan yang dimaksud itu didorong oleh kami sendiri sebagai warga yang memang butuh itu. Dan ternyata, teman-teman yang lain di sekitar kita yang dimaksud dengan “warga sekitar” itu juga membutuhkannya. Akhirnya kolaborasi terjadi. Kami kan banyak didorong oleh hobi di musik, misalnya. Ketertarikan pada hal yang sama itulah yang memungkinkan kerja-kerja kami saat ini. Lalu, bagaimana praktik-praktik pengorganisasian, kemudian manajemen produksi pengetahuannya belakangan baru kita pelajari.
Kami juga melihat bahwa dalam konteks Labuan Bajo, kalau kita kerja tanpa ada visi misi kemudian menjadi kering kerontang. Karena itu, kita buat unit usaha yang masih dalam percobaan dan masih terus bergerak. Ini menjadi kesadaran yang kita sematkan atau apa yang meresap dalam kerja-kerja seperti Pesta Kampung itu. Sambil terus bergerak saat ini dan mempelajari metode-metodenya, pada saat yang sama kami juga dibayangi kekhawatiran apakah yang kita kerjakan ini bisa jalan atau tidak.
Eka: Pesta Kampung sendiri isu spesifiknya apa, bagaimana kalian mengerjakannya, dan presentasinya dibayangkan seperti apa?
Aden: Pesta Kampung banyak mendapat pengaruh dari kerja-kerja kolaborasi Kampung Katong yang mempertemukan kami dengan SimpaSio Institute Larantuka, Lakoat Kujawas di Timor, dan RMI di Bogor. Dari situ, cita-cita kami yang barangkali sudah mengendap, muncul kembali dan memungkinkan kita bikin Pesta Kampung dengan pendekatan eventual tapi semangatnya adalah bagaimana bentuk-bentuk kegiatan itu didorong oleh konteks tempatan.
Jika ditanya Pesta Kampung itu apa, barangkali dia bisa disebut sebagai festival yang rutin, yang terus bertumbuh dengan pengetahuan tempatan dan digerakan dengan riset partisipatif, pendokumentasian dan pengarsipan, dan yang paling penting ada produk kreatifnya. Daya tarik atas kerja kerja eventual yang bentuknya dilihat itu juga jadi cukup menarik.
Jadi, Pesta Kampung itu sebenarnya untuk memperingati dan merayakan apa yang terjadi dalam proses. Cita-citanya adalah Pesta Kampung menjadi momen kita memperingati dan mendokumentasikan apa yang kita kerjakan. Namun, ada kemungkinan lain yang muncul, seperti bagaimana membuat kegiatan ini tidak eksklusif dan akrab dengan warga. Ini yang menjadi pertimbangan juga dalam pengemasan kegiatan ini, misalnya, bagaimana supaya anak-anak dan ibu-ibu tidak malu-malu datang ke Pesta Kampung seperti mereka duduk nongkrong sehari-hari. Jadi, ini menjadi eksprimen yang lain soal bagaimana kita melihat dan merekam pengetahuan lokal juga mesti tercermin bentuk-bentuk kegiatannya.
Eka: Jadi sejak awal Pesta Kampung itu bertolak dari kebutuhan untuk bercakap-cakap dengan warga untuk meriset, mendokumentasikan pengetahuan warga, lalu Pesta Kampung menjadi platform untuk merayakan dan mempertemukan apa yang kalian kerjakan dengan warga sebagai pemilik pengetahuan itu dan menyerahkan semua itu kembali ke warga dan dirangkai dalam satu festival.
Menarik bahwa Aden memunculkan seni kewargaan di mana yang dimaksud dengan warga itu sebagai mereka sendiri yang hidup bersama dengan orang lain di suatu tempat tertentu dengan konteks pengetahuan tertentu. Mungkin Mar bisa ceritakan bagaimana inisiatif Flores Writers Festival bermula dan sejauh mana itu berhubungan dengan warga dan apa cita-citanya.
Maria: Kalau bicara Flores Writers Festival, sebenarnya kita tidak bisa lepas-pisahkan dari Klub Buku Petra, karena sebelum Flores Writers Festival diselenggarakan, terlebih dahulu ada Klub Buku Petra di mana orang-orang yang bergelut di dalamnya itu punya semacam fokus tertentu terhadap literasi, dalam hal ini sebagai pembaca sebelum ke penulis kemudian.
Ketika mengembangkan Buku Petra di 2019, kita memikirkan apa yang bisa dilakukan atau bisa diupayakan bersama melalui platform ini, selain perpustakaan yang bisa diakses publik. Kemudian, ada bincang buku yang sebenarnya sudah dimulai sejak 2013. Juga ada https://www.bacapetra.co/ sebagai platform online untuk mengundang siapa saja menulis di sana.
Ide tentang festival ini bermula ketika kita membayangkan ada rumah selain apa yang terjadi di Ruteng karena kita melihat ekosistem literasi di NTT semenjak sepuluh tahun belakangan ini cukup pesat. Begitu banyak taman baca berkembang di banyak tempat. Kemudian festival-festival sastra seperti yang pertama kali diselenggarakan dari teman teman Dusun Flobamora tahun 2015.
Menurut saya, Festival Santarang itu menjadi titik balik sebenarnya untuk komunitas-komunitas yang ada di NTT mengambil langkah pertamanya untuk memulai. Sejak itu, semua seperti punya semangat baru, punya api baru yang menyala dan kita bisa bikin apa di tempat kita itu. Dan setelah itu kemudian ada Temu Sastrawan NTT di Ende.
Tahun 2018, ketika saya bertemu dengan teman-teman di Ruteng, semua kemudian berpikir kenapa ruang-ruang ini kemudian menghilang setelah 2015. KAHE mungkin tetap terus jalan, tapi lebih ke pertunjukan dan teater. Sastra menjadi gerakan individu saja. Hanya orang-orang tertentu saja yang memang passion dia di situ yang terus melakukan itu. Misalnya, Felix Nessi dan Mario Lawi. Mereka dikenal bukan karena bergerak di komunitas mana atau dengan siapa, tapi mereka sendiri. Ketika kita membayangkan bahwa komunitas-komunitas sudah ada, teman-teman di masing-masing daerah yang bergerak, kita berpikir kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk ekosistem yang sudah ada ini? Lalu, muncul ide tentang festival. Tapi, festival apa yang sebenarnya kita ingin kembangkan dan apa yang ingin kita capai melalui festival ini?
Di 2020 kita membicarakan itu lagi. Tapi saat itu masih abu-abu. Kita membayangkan festival-festival lain seperti MIWF dan UWRF. Namun, ketika itu dibawa ke Flores misalnya, atau ke Ruteng misalnya, model festival seperti itu bukan gaya kita sekali. Apakah warga akan melihat itu sebagai sesuatu yang menarik dan mereka mau datang begitu? Itu juga sempat menjadi bahan pertimbangan. Tapi kemudian ketika ada tawaran datang, dalam hal ini ‘orang yang mau mendukung kegiatan ini secara penuh’, kita kemudian merasa bahwa kalau tidak sekarang kita mulai, kita mau menunggu sampai kapan.
Tema atau topik apa yang hendak kita bicarakan seringkali muncul di obrolan-obrolan terpisah. Tapi, bagaimana kalau ini kita bikin secara lebih tematik, lebih terarah dalam satu event yang memang khusus membincangkan tentang literasi, tentang budaya membaca, tentang minat membaca, tentang tradisi tentang kita sendiri, tentang apa yang selama ini menjadi kegelisahan kita juga.
Dalam ruang-ruang ngobrol atau saat kita nongkrong, ada banyak hal yang kita bicarakan, tapi setelah selesai ngobrol, apa yang dibicarakan itu selesai, hilang terhembus angin. Kita membayangkan festival ini mewadahi apa yang sering dibahas di ruang-ruang obrolan atau ruang nongkrong itu. Kita pindahkan dia ke dalam satu bentuk festival di mana kita bisa ngobrol lebih serius dan bisa melibatkan lebih banyak orang dalam hal ini termasuk pemerintah, praktisi-praktisi budaya, aktivis, dan juga masyarakat itu sendiri atau yang kita sebut warga yang ikut berpartisipasi aktif.
Jadi, inisiatif FWF berangkat dari situ dan sampai dengan sekarang kita terus menjadikan FWF sebagai ruang untuk belajar, jadi tempat untuk kita mengujicoba apa saja yang kita rasa mungkin untuk bisa terus dikembangkan ke depannya, khususnya dalam hal ini betul-betul fokus dalam hal literasi budaya. Kemudian juga mungkin ke depannya literasi-literasi yang lain.