Silvy Chipy sesekali menggerakan tubuhnya ke kiri atau ke kanan. Kadang ia menekuk lututnya agar tubuhnya jadi lebih rendah, atau sesekali berjingkat agar bagian bawah tubuhnya terlihat jelas dari pantulan kaca. Ia berusaha senyaman mungkin melihat pantulan dirinya pada satu dari sekian deretan kaca jendela di Aula Rumah Jabatan (Rujab) Bupati Sikka. Ia tidak hanya fokus pada wajahnya, sebagaimana orang-orang umumnya memberi porsi yang besar pada wajah ketika berkaca.
Tubuh Silvy dicat hampir sepenuhnya hitam. Beberapa sapuan kuas dengan teks dan tanda, motif sarung Maumere Timur, memberi aksen yang menarik. Dengan postur tubuh yang cukup ideal dan bentuk potongan rambut kriwil, Silvy tentu saja menarik banyak perhatian orang-orang. Apalagi, kali ini, di punggungnya, ia gunakan sayap yang dirancang dari kardus bekas, bergambar pelangi. Ia menyerupai seorang malaikat yang turun sehabis hujan, seperti seorang dewi yang tak pernah ada dalam mitologi.
Hari itu, 19 Agustus 2023 adalah perayaan karnaval di kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Sebelum ditetapkan secara pasti tanggal berlangsungnya event ini, warga sempat bingung. Ada simpang siur informasi. Gosip beredar, pemerintah daerah Kabupaten Sikka tidak punya dana untuk mengelola event tahunan ini. Satire muncul ke obrolan di kalangan warga, menilai kinerja buruk pemerintah.
“Kas keuangan daerah kosong. Seperti perusahaan, pemerintah bangkrut, nyaris gulung tikar.”
Baru beberapa hari menjelang event ini berlangsung, sebuah surat undangan tersebar ke institusi-institusi, komunitas-komunitas, dan berbagai kelompok seni. Isinya, karnaval tetap diadakan sebagaimana beberapa kategori gerak jalan.
Pemberitahuan tentang karnaval tahun ini pun dipublikasikan di media sosial, grup Facebook Forum Peduli Rakyat Sikka (FPRS). Media sosial ini jadi tempat orang-orang menyampaikan ide apa pun, bercampur gosip dan informasi yang kadang serba acak, kabur, atau bahkan absurd. Sebagian besar anggota forum menggunakan akun palsu. Dari potongan-potongan informasi yang berseliweran, ada lagak bahwa pemerintah tidak punya sistem dan mekanisme yang dipersiapkan dengan baik untuk menjalankan karnaval tahun ini (juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya).
Manajemen kerja yang buruk sepertinya sudah jadi ciri pemerintah. Acara berulang tapi sistem tak pernah terbentuk. Jadwal event tahunan selalu tak pasti. Tak ada syarat dan ketentuan yang jadi acuan, hiruk pikuk. Tidak heran jika warga lebih suka bergosip tentang kinerja pemerintah yang buruk. Sementara, pemerintah terus saja berkilah dan memilih bersikap masa bodoh ketika tak mampu berargumen.
Setelah bersiap-siap di Rujab, Silvy dan rombongan Komunitas KAHE bergerak ke titik kumpul, di seputaran lapangan Kota Baru Maumere, di depan dan di sisi kanan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sikka. Sepanjang jalan menuju titik kumpul, kendaraan padat. Huru-hara terjadi di beberapa titik. Mobil, motor, dan warga yang berjalan kaki berebut untuk saling mendahului, bersiasat menemukan ruang bebas supaya bisa bergerak maju. Badan jalan dan trotoar-trotoar dipadati warga yang menonton, menunggu barisan karnaval yang belum bergerak dari titik kumpul hingga pukul 16.00. Sesekali, terlihat beberapa polisi pamong praja (Pol PP) dan polisi mengamankan keramaian yang semakin padat.
Rombongan Perwakas dan KAHE sempat terjebak macet. Untuk memecah keramaian dan bisa lolos ke titik kumpul, dari depan mobil, sebuah megafon diarahkan ke kendaraan yang berdesak-desakkan: “minggir, minggir, rombongan Perwakas mau lewat!” Pelan-pelan, kerumunan terbelah, memberi jalan.
Ketika rombongan dari Rujab tiba, sebagian personil Perwakas sudah berkumpul di halaman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sikka. Mami Vera, ketua Perwakas saat itu, tampak sibuk mengontak dan mengkoordinasi anggota-anggotanya.
“Yang lain belum datang. Sedikit lagi.”
Sesekali ia menyempatkan memberi informasi sambil terus berpindah dari satu titik ke titik lainnya, mengkoordinasi teman-teman Perwakas.
Di antara riuh para peserta yang menanti berlangsungnya karnaval, berjejer rombongan anak sekolah menengah atas, komunitas-komunitas seni, komunitas motor, komunitas sound system, dan beragam kelompok anak muda lainnya. Berbaris juga perwakilan dinas dari pemerintah daerah dengan beragam busana daerah se-Indonesia. Meski tampak begitu beragam, bukan cerita baru kalau Perwakas menjadi peserta yang paling dinantikan kehadirannya oleh warga kabupaten Sikka. Siang yang kering itu, karena karnaval tak kunjung mulai, butir-butir keringat pecah meleleh. Beberapa peserta mulai mengeluh karena make up mereka mulai luntur. Untuk menolak kejenuhan, beberapa warga saling memamerkan giginya saat berpapasan satu dengan lainnya. Yang lain enggan memberi reaksi.
Panas terik siang itu dengan mudah menerbangkan debu saat angin datang. Kemarau panjang tahun 2023 ini memudahkan tubuh-tubuh yang berjejer, berdesak, dan berjejal menanti tanda memulai karnaval menebarkan aroma apek yang menusuk indra penciuman. Sesekali, Leis Plang, kelompok musik kampung dari Maumere timur menghibur rombongan yang menanti terlalu lama. Beberapa mobil yang memuat peralatan sound memutar lagu-lagu yang belakang ini akrab di tenda-tenda pesta. Mungkin karena bosan, beberapa warga lebih suka menggoyang-goyangkan tubuh mereka, menari dengan berbagai bentuk saat mendengar musik-musik didendangkan. Tumpukan warna dan suara, seperti sampah yang bertebaran di antara pandangan dan langit di hadapan massa. Keriuhan di titik kumpul ini seperti menunggu tetas.
Di karnaval kali ini, rombongan Perwakas hanya menggunakan satu mobil pick up kecil, sebagai kepala (utama). Di dalam mobil ini disimpan satu mixer dan dua active speaker yang dipasang berdiri menghadap ke belakang, ke arah rombongan Perwakas yang pawai membuntuti bak mobil. Di dalam bak mobil, pada kursi plastik, duduk dua waria senior, Mami Heni dan Mami Linda. Mereka menggunakan pakaian adat Sikka, lengkap dengan labu gete dan legen. Keduanya tampak begitu menonjol.
Sebenarnya, alasannya cukup teknis. Usia yang tak lagi muda buat keduanya tak sanggup jauh berjalan kaki. Mami Vera memutuskan agar kedua waria senior ini naik ke mobil, memimpin barisan Perwakas dari posisi yang agak menonjol. Sementara itu, di belakang rombongan Perwakas berjejer mobil jeep. Mobil jeep ini awalnya didesain sebagai tumpangan bagi para waria. Namun, dalam perjalanan, jalan kaki merespons warga yang berbaris menyaksikan karnaval lebih jadi pilihan. Euforia mengubah rancangan awal dan itu bukan masalah.
Setelah cukup lama berjemur di bawah terik siang, rombongan akhirnya keluar dari titik pertama. Hampir pukul 16.00 WITA. Melihat jumlah peserta yang banyak, serta rute yang panjang: jalan Ahmad Yani, jalan Gajah Mada, jalan Wairklau, jalan El Tari, Kota Uneng, jalan Soegiyopranoto (depan Katedral Maumere), Pertokoan, Beru, dan kembali ke jalan Ahmad Yani, sudah bisa diduga, pawai karnaval kali ini akan berakhir malam hari. Lebih dari sekedar alasan waktu, jika dicek mekanisme dan sistem yang dirancang oleh Pemda yang tak jelas, alasan keamanan dan kenyamananlah yang justru jadi kekhawatiran.
Saat rombongan Perwakas keluar dari garis start, barisan ini sudah disambut tepuk tangan dan riuh suara warga. Silvy memimpin rombongan, memegang mic dan mengucapkan beberapa kata. Di beberapa titik awal warga berkumpul, sesekali Silvy menyampaikan tema inklusivitas yang beberapa tahun terakhir jadi isu penting yang dibicarakan teman-teman waria. Ia tidak hanya menyampaikan pesan-pesan inklusi, tetapi juga sesekali perform, berjalan lincah di antara deretan warga yang sesekali memberi selamat atau genit menggoda. Silvy tidak diam. Jika merasa tak nyaman, ia tegur di tempat.
Di belakang Silvy, beberapa anggota Perwakas berjalan, sesekali merespons warga yang memberi tepuk tangan riuh merayu, mengucapkan semangat, selamat dan beberapa gurauan.
“Terima kasih warga kabupaten Sikka. Terima kasih karena sudah menjadi ruang aman bagi teman-teman waria.”
Ucapan Silvy sesekali disambut aplaus dari warga.
Dari rute awal, jalan Ahmad Yani, ada dua titik kumpul yang jadi fokus. Pertama, di lampu merah, perempatan Roxy, Patung Teka Iku, Alfamart dan jalan menuju gereja Thomas Morus. Di titik ini, warga berdesak mengerumuni rombongan Perwakas. Di titik kedua, di depan Polres Maumere. Warga yang datang dari jalur pertokoan mengerumuni jalan di depan Polres. Meski sepanjang jalan ini berdiri polisi, warga tak ambil pusing. Mereka menerobos untuk mengambil gambar bersama Perwakas.
Karnaval menjadi momen yang tak sekadar unjuk kemampuan. Beberapa anggota Perwakas menyisip pesan sosial, berupa ajakan secara langsung melalui mic atau lewat desain kostum yang mereka rancang sendiri.
Dalam pawai itu, Cece tampil dengan kostum yang dibuat dari sampah. Ia mendesain kostumnya dari sampah-sampah harian rumah tangga. Bungkus minuman kemasan, deterjen, botol air mineral, plastik kresek dan beragam sampah rumah tangga lainnya ia jahit menjadi gaun. Gaun sampah barangkali tampak biasa saat kita saksikan di siaran TV atau internet. Namun, gaun sampah Cece, yang materinya diambil dari sampah rumah tangga di sekitaran Maumere dan dipresentasikan kembali kepada warga kota yang tentu familiar dengan konteks materi-materi itu, memberi efek yang berbeda.
Sesekali, untuk menegaskan rancangan kostumnya, Cece mengambil mic atau sesekali berganti megafon, mengajak warga yang menonton untuk menjaga kebersihan lingkungan di kota Maumere dan tempat tinggal masing-masing.
“Mari kita jaga lingkungan kita dari sampah. Buang sampah pada tempatnya.”
Meski ucapan lantang itu ia gaungkan, agaknya warga lebih terserap dan terhipnotis dengan penampilannya. Untuk menambah kesan performatif, sesekali ia menggerak-gerakan tubuhnya sehingga menghasilkan bunyi-bunyian dari sampah botol mineral yang ia rancang menjuntai menyentuh permukaan aspal. Bunyi-bunyi sampah itu barangkali tidak bisa menaklukkan bunyi yang dihasilkan oleh pengeras suara yang keluar dari pengeras elektronik. Namun, intensitas kehadirannya ketika melekat di tubuh waria sungguh memantik perhatian.
Aini begitu kontras. Ia tampil dengan kostum Maleficent, tokoh yang tak asing bagi para penggemar game online Mobile Legend. Di atas kepalanya ada tanduk. Tanduk itu hampir menyerupai nimbus. Perpaduan dua simbol yang kabur itu itu seolah menegaskan batas kabur antara orang kudus dan setan. Dengan kostum serba hitam, kadang-kadang, penampilan Aini menakutkan anak-anak. Di momen yang lain, beberapa anak datang merespons kostumnya sambil menari. Beberapa anak lari saat ia hampiri dan menggetarkan tongkat ajaibnya kepada mereka. Ibu-ibu dan beberapa wanita dewasa menghampirinya dan meminta foto.
Meski kostumnya terkesan menakutkan, Aini tetap berhasil menghibur warga. Kadang-kadang, ia tampak ingin terlihat misterius dan menakutkan. Meski begitu, ia tak selalu bisa menyembunyikan pesonanya sebagai waria. Sesekali, ia terbawa suasana dan ikut tertawa dalam keramaian.
Andini tampil dengan kostum Nyi Roro Kidul. Penguasa laut pantai selatan ini ingin memberi kesan horor. Ia tajamkan matanya saat menatap deretan warga yang menonton aksinya. Matanya yang tajam dan dalam itu ia tunjukan hampir di keseluruhan pawai. Kadang-kadang, ia lepas kendali saat beberapa lelaki datang menggoda. Maumere terletak di pesisir utara sehingga kehadiran Nyi Roro Kidul seakan jadi mitos baru. Ia bisa menguasai laut di mana saja. Ia bisa jadi ratu yang siap menghabisi warga yang tidak menjaga dan melindungi pesisir.
Tampil anggun dan meneror, sosok Andini justru jadi rebutan warga untuk mengambil gambar untuk berswafoto. Ia hanya bisa menghindari, menyusup di antara anggota Perwakas lainnya jika penonton menerobos masuk terlalu jauh ke area pawai.
Mami Olga dan beberapa waria lainnya tampil dengan busana lebih terbuka, seakan-akan berada di tepi pantai Hawai yang begitu bebas, lepas dan tak peduli batas nilai-norma yang mengekang. Dengan potongan baju pendek dan rok terurai di atas lutut, disertai goyangan tubuh dengan ragam variatif merespons list lagu yang diputar dari atas mobil pick up, Mami Olga dan teman-temannya menghibur warga. Sesekali, dengan baju depannya yang begitu pendek, ia goyang dan getarkan dadanya mengikuti irama musik. Pinggulnya berturut-turut mengikuti.
Goyangan Mami Olga memantik reaksi warga. Banyak yang bersorak, banyak yang tertawa, sebagian minta diulang. Nama-nama mereka dipanggil satu per satu, yang lainnya tertawa lepas sambil mengikuti irama musik yang diputar dan tubuh-tubuh yang digoyangkan.
Beberapa anggota Perwakas lainnya, yang menggunakan busana adat tampak anggun berjalan, begitu intens tak menghiraukan suara riuh yang berada di sekitar mereka. Banyak yang menghentikan laju mereka, mengambil gambar dan meneriakkan nama-nama mereka. Seperti Mami Heni dan Mami Linda, mereka tidak banyak merespons, hanya menatap tenang tetapi tajam ke suara-suara yang mengarah kepada mereka. Sesekali, para ibu dari depan teras rumah, meneriakkan nama-nama samaran mereka. Beberapa lelaki menggoda menyebut nama baptis Katolik mereka.
***
Setelah membaca sejarah pergerakan Perwakas, tanpa perlu melodrama atau sedang berusaha keras memaksa-masakan maknanya, rasanya tidak adil membicarakan inklusivitas di kota Maumere hari ini tanpa peran Perwakas. Di hampir setiap karnaval, kehadiran waria dan Perwakas telah memberi suatu hiburan lewat pertunjukan-pertunjukan yang menarik kepada publik penonton, warga yang berbaris-baris di sepanjang jalan. Kehadiran Perwakas, melalui pentas seni dan beragam pertunjukan membelah sekat yang tegas antara warga dan kelompok masyarakat di Maumere yang punya kesadaran akan isu gender dan seksualitas. Kita bisa mengukurnya dengan beragam komentar dan reaksi para penonton saat rombongan para waria berjalan melintasi jalan-jalan, tempat karnaval berlangsung.
“Tidak ada waria, tidak ramai.” Selain ungkapan yang dilontarkan oleh para penonton saat pertunjukan berlangsung, kita juga bisa membaca komentar-komentar yang kurang lebih sama di berbagai media sosial yang bertebaran di platform digital kita.
Bagi para waria, kesenian bukanlah medan baru untuk tampil menunjukkan kebolehan mereka kepada publik luas. Perwakas punya sejarah pergerakan yang panjang, yang membuktikan bahwa aktivisme kultural bisa jadi alat untuk menyampaikan ide, gagasan, atau keberpihakan mereka pada isu-isu sosial, politik dan budaya yang ada di masyarakat. Medan pergerakan melalui pendekatan seni budaya ini bukan tanpa capaian. Hari ini, waria diterima hampir oleh semua kalangan di Maumere. (Baca tulisan di edisi Lau Ne sebelumnya: 25 Tahun Perwakas, dan Gerakan Akar Rumput di Maumere. Atau “Menolak Tunduk!” Ragam Kunjungan Komunitas Transpuan sebagai Bentuk Protes dan Solidaritas.” )
Melati Putih bisa disebut sebagai cikal bakal penggunaan anasir sosial budaya oleh waria sebagai media untuk bernegosiasi dan bersosialisasi dengan warga sekitarnya. Mulai tumbuh dari Kampung Wuring, Melati Putih memecah forum-forum formal pemerintahan, ruang-ruang pertemuan semi formal di kalangan warga, dan mengkoreografi panggung hiburan hingga momen-momen perjumpaan antarwarga. Model gerakan ini lalu menyebar dari Kampung Wuring ke tempat-tempat waria bertemu dan bersosialisasi.
Intervensi lewat ruang-ruang seni dan budaya seringkali lepas dari cara kebanyakan orang yang cenderung fokus pada narasi-narasi besar. Hari ini, jika lebih kritis, ruang seni dan budaya memainkan peran besar dalam berbagai kampanye sosial. Maumere yang digadang-gadang media jadi salah satu barometer tumbuhnya masyarakat yang inklusif, bukan saja soal gender, tapi juga soal kultur dan agama, turut dibentuk oleh geliat aktivitas kreatif warganya. Pertemuan antara warga pesisir yang beragama muslim dan penduduk daratan yang beragama Katolik dicairkan dalam bentuk interaksi budaya seperti kesenian, olah raga, konten-konten digital, dan acara-acara sosial yang diinisiasi warga. Perwakas ada dalam sejarah gerakan yang melahirkan masyarakat yang inklusif ini, terlibat membangun ruang-ruang perjumpaan tanpa adanya sekat.
Itu juga yang tentu saja terjadi dalam pawai karnaval yang mempertemukan warga yang hari-hari ini tersekat-sekat oleh semakin beragam alasan. Lintas jalan Ahmad Yani, jalan Gajah Mada, jalan Wairklau, jalan El Tari, Kota Uneng, jalan Soegiyopranoto (depan Katedral Maumere), Pertokoan, Beru, dan kembali ke jalan Ahmad Yani adalah lintasan yang (tidak hanya) hari-hari tegang dengan posisi batas lingkungannya masing-masing. Masing-masing wilayah itu kian dipertegas identitasnya karena pembangunan dan dinamika sosial masyarakat yang kian cepat bergerak.
Sebagaimana umumnya kota, klaster-klaster terbentuk, segregasi diperlebar dan keberagaman semakin tajam. Kita saksikan konflik-konflik sederhana yang memicu amarah hingga konflik yang berimbas pada penghilangan nyawa. Di momen berbeda, saat karnaval, cara pandang kita jadi lebih terbuka. Batas dari ruang-ruang yang disekat itu jadi lebih lentur dan mudah bercampur.
***
Sore itu, di momen karnaval tahun 2023 yang lalu, ada yang menarik. Sejak pawai dimulai, ditemani anggota Komunitas KAHE yang ikut berjalan beriringan dengan rombongan Perwakas, hadir seorang perempuan anggota Pol PP. Ia bermaksud meng-aman-kan rombongan kami. Gerak tubuhnya tak banyak. Ia juga tidak banyak berbicara.
Di beberapa titik awal, saat rombongan berhenti dan perform, meski tampak terkendali, ia terlihat was-was menjaga agar warga tidak lolos ke dalam barisan pawai, menggoda atau menyentuh anggota Perwakas. Sambil memegang sebuah kayu kecil, sesekali ia mengamankan warga yang tarik menarik, menerobos, ingin memotret anggota Perwakas. Berdiri mendampingi rombongan Perwakas menggunakan seragam Pol PP membuat perempuan ini tampak kontras mencolok. Meski berseragam dan tengah bertugas, ia tidak dapat menyembunyikan rautnya. Sesekali, ia tersenyum sambil menutup mulut. Sayangnya, di tikungan kedua, saat rombongan akan mencapai jalan El Tari atas, saat langit tak lagi sepenuhnya merah, perempuan itu menghilang. Ia tak lagi tampak.
Rasa-rasanya, hari-hari ini, di antara dunia yang tampak bertumbuh ke arah yang makin tak tertebak, kita mesti bertanya, bagaimana cara seni bekerja? Barangkali, seperti romantika tentang senja dan seragam yang digadang-gadang jadi alat meng-aman-kan, di ufuk timur, saat langit tak lagi merah, seni bisa saja lenyap dalam kerumunan. Lalu sepi.
Seni tak lagi jadi apa-apa. Ia tak jadi para malaikat yang turun sehabis hujan. Tak pula jadi iblis yang meneror. Keriuhan karnaval hilang di ujung senja. Hanya lampu-lampu rumah yang mulai menyala. Mungkin lampu-lampu itu hanya pantulan, tempat bintang-bintang berkaca, menerangi seorang malaikat: di punggungnya bergantung sayap pelangi. Mungkinkah ia telah terangkat ke surga?