Sekujur tulisan ini menggunakan subjek orang pertama tunggal (saya) dan jamak (kami). Kategori subjek orang pertama dibedakan karena pengisahan tentang “kami” tak sepenuhnya bisa diwakili oleh narator “saya”. Demikian pula narator “saya” hanya muncul untuk pikiran yang mewakili seorang saja dan bukan “kami”. Singkatnya, esai ini ialah cerita mengenai “kami” yang ditulis oleh “saya”. Semoga identifikasi sederhana ini tidak menyulitkan Anda, handai tolan dan pembaca yang budiman.
***
Mukadimah
Saya ingin bercerita, tidak (terlalu) panjang, seperti usia kami yang belum matang.
Seperti banyak kisah yang kita dengar perihal obrolan ringan tanpa topik tapi kemudian menukik menjadi percakapan serius, demikian pula yang terjadi dengan percakapan kami —Fikril Akbar, Syamsul Arifin, dan saya— di suatu malam 2021 melalui sambungan panggilan video. Obrolan untuk melayani kebosanan menunggu pandemi reda itu tiba-tiba merambat menjadi percakapan serius untuk melayani impian bersama, semacam membuat ruang belajar —yang tidak seperti sekolah— di antara teman sepermainan. Sesederhana itulah ihwal Lembana Artgroecosystem, sebuah inisiatif seni yang berada di kampung Perigi, desa Gadu Barat, kecamatan Ganding, Sumenep, Madura.
Saya tak yakin benar yang akan kami lakukan ini benar-benar terjadi. Kami bahkan tak memiliki alasan konkret untuk harus membuat inisiatif ini. Kami berpikir bahwa tidak ada salahnya kami berjalan dulu, mengajak lebih banyak teman muda lain untuk terlibat. Barangkali alasan-alasan konkret dan spesifik bisa ditemukan di sepanjang perjalanan.
Dalam rangka menemukan alasan itulah yang mendorong kami membuat Babad Lembana, sebuah proyek rintisan dari komunitas yang sedang dirintis pula. Pada suatu malam bakda isya’, 7 Desember 2021, akhirnya kami membuka sebuah repertoar Babad Lembana, wujud dari percakapan santai sekitar tiga bulan sebelumnya.
Siasat Ruang, Koreografi Warga
Kawan-kawan di kampung memiliki beberapa forum pertemuan rutin pada hari-hari tertentu setiap minggunya. Kesenian hidup dalam larik-larik shalawat yang dinyanyikan bersama musik banjari. Ada juga seni mamaca (macapat) dan samman (sebuah pertunjukan yang berakar pada Tarekat Samaniyah). Yang disebut pertama bertumpu pada pembacaan teks mengenai kisah-kisah keteladanan dalam bahasa Jawa dan Madura, yang disebut kedua bergerak antara irama puji-pujian dan gerakan/tarian. Keduanya merupakan jenis seni yang bertali temali dengan nilai-nilai keagamaan.
Kami ‘menyelundupkan’ Lembana Artgroecosystem sebagai variabel baru yang menempatkan kesenian sebagai alat untuk menjalin kontak dengan orang-orang baru, pengetahuan baru, nilai-nilai baru di luar semesta keagamaan (kata ‘baru’ sesungguhnya kurang tepat karena mengindikasikan orang-orang Lembana seolah terkurung dalam dunianya sendiri. Yang saya maksudkan ialah Babad Lembana menawarkan ‘pengalaman lain’ melalui platform pertemuan dengan orang lain, konteks lain, nilai lain, dan seterusnya).
Lambat laun, Babad Lembana yang mulanya diinisiasi oleh tiga orang ini berubah menjadi kesibukan sekumpulan pemuda kampung dan turut menyeret ibu-ibu terlibat karena mungkin merasa iba melihat kami sempoyongan menyiapkan acara tapi sama sekali tak sempat menyiapkan kebutuhan dasar di dapur.
Tak dinyana, rupanya teman-teman kami senang berendam dalam kesibukan baru dan sekaligus asing ini. Sekumpulan orang-orang ini, yang sebagian besar waktu kerjanya dihabiskan untuk bertani, menjadi kuli bangunan, mengajar di sekolah, bekerja di kantor desa, dan lain-lain, kini menambah kesibukan baru yang aneh dan asing.
Kami menempati salah satu rumah teman kami untuk dijadikan studio sekaligus kantor. Selama tujuh hari kami menyulap rumah itu menjadi galeri seni white cube (ruang yang teramat asing, tapi masih tertolong karena fasad bangunan tersebut masih dikenali sebagai rumah). Halaman rumah yang lumayan lapang kami paksakan menjadi arena panggung teater dan bioskop terbuka.
Kami juga menggunakan masjid—berada di samping rumah/studio—sebagai tempat penyelenggaraan diskusi. Masjid mengkoreografi waktu sebagian besar warga dan sekaligus pusat aktivitas pertemuan keagamaan. Babad Lembana memperlebar fungsi masjid sebagai studio produksi karya dan sekaligus ruang distribusi pengetahuan di luar topik-topik keagamaan. Secara berkelakar, kami acap menyebut masjid sebagai “taman budaya” versi kami yang dibangun dengan dana umat dan digunakan untuk kepentingan umat. Demikianlah masjid kami proyeksikan sebagai situs budaya yang produktif.
Babad Lembana berjalan melampaui bayangan kami sebelumnya. Sesuatu yang diniatkan sederhana menjadi tak sederhana lagi.
Sebagaimana disebut di muka (meski agak tercium sebagai ‘mencari-cari alasan’), kami ingin berjalan dulu meski sedikit sempoyongan. Kami sedang mempersiapkan ekosistem di lingkungan kami sendiri dahulu, lalu menatap kemungkinan ke arah yang lebih tertata dan programatik. Kami tak tahu kapan persisnya hal itu akan terjadi.
Kami memikirkan, salah satunya, keberlanjutan. Sementara itu, keberlanjutan nyaris tak mungkin selalu dilakukan secara sporadis. Persis di situlah masalah kami.
Interaksi, Eksperimentasi
Pada penyelenggaraan edisi pertama, Desember 2021, kami mengajak pulang Tohjaya Tono, seniman kelahiran Bangkalan yang telah berpuluh tahun menempuh hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, untuk mempresentasikan karyanya di ‘rumah’ yang lama ia tinggalkan, Madura. Kepulangan sementara Tono ini menjadi penanda kami tentang gagasan mengenai relasi dan interaksi manusia Madura dengan sejarahnya (tentu saja ‘Madura’ bukanlah identifikasi tunggal yang merujuk pada melulu identitas, tapi juga sebagai komunitas sosial dengan pikiran yang tak selalu seragam).
Kami juga mengajak seniman Hidayat Raharja dan beberapa seniman muda Madura untuk terlibat. Seniman-seniman Madura yang tinggal di Madura ini kami ajak untuk menghadirkan sudut pandang ‘dari dalam’ guna menjajari perspektif seniman diaspora Madura macam Tono. Pada penjajaran dua perspektif inilah kami hendak membentang spektrum dan mencari titik di level apa ia terhubung dan di level apa pula ia tak terhubung.
Babad Lembana edisi pertama ini menggoda kami menelusuri hal tersebut. Dan godaan tersebut bukanlah dorongan untuk segera menemukan jawabannya (biarlah ia tetap mengambang dulu sembari kami pikirkan sambil lalu), melainkan dorongan untuk melanjutkan eksperimen Babad Lembana edisi kedua (2022) sebagai perbandingan, sekaligus memproduksi lebih banyak lagi pertanyaan.
Apabila pada Babad Lembana 2021 beroperasi di sekitar hubungan antarorang Madura, maka pada edisi 2022 kami merasa perlu menambah variabel lain untuk mengartikulasikan kualitas ‘interaksi’ tersebut, sejauh yang kami bisa. Kemudian, yang berlangsung ialah pertemuan yang lebih meluas, yakni interaksi antara manusia Madura dengan manusia Jawa, Sunda, Dayak, dan lainnya. Kami mengajak setidaknya 24 seniman dan kelompok seni dari berbagai disiplin, daerah, dan generasi (jumlah tersebut belum termasuk karya dengan pendekatan kuratorial seperti pada proyek Eka Wahyuni yang melibatkan 22 nama seniman lain).
Ide ini sesungguhnya untuk menguji kami sendiri, orang-orang Madura di Lembana: seberapa lebar kedua tangan kami terbuka menerima nilai-nilai (konteks dan pengetahuan) lain untuk dipercakapkan, termasuk nilai yang dibawa oleh karya seni yang hampir seluruhnya dinisbatkan sebagai karya kontemporer? Sebaliknya, seberapa mungkin karya-karya itu bisa beradaptasi dan diintervensi oleh lingkungan yang tidak tumbuh dan belum terpapar wacana seni dengan segala term serta distingsi ideologis yang dibawa masing-masing karya ke tengah-tengah warga desa?
Pertanyaan tersebut—meski tidak secara langsung dapat dianggap sebagai jawaban—dapat Anda simak dalam teks kuratorial Babad Lembana 2022, Sintas: Atane, Atana‘.
Pertanyaan-pertanyaan itu, seperti halnya dorongan yang memunculkannya, bergerak sebagai eksperimentasi ketimbang navigasi untuk mencapai jawaban final. Eksperimentasi yang kami lakukan ialah mengidentifikasi semua yang ada dan hadir di Lembana sebagai subjek: ruang, tempat, seniman, karya, penonton, warga, cuaca, dan lain-lain, dengan kesadaran bahwa semua entitas itu punya potensi untuk saling terkoneksi, saling mempengaruhi satu sama lain.
Kami menggunakan hampir seluruh ruang yang ada di Lembana: rumah warga, masjid, mushola, kuburan, warung, pohon, sawah, gardu, dan lain-lain sebagai situs pameran dan peristiwa. Bahkan, warga yang tak menonton (misalnya ketika sedang melintas di sekitar karya) kami timbang sebagai bagian dari peristiwa yang organik. Dengan menempatkan semua entitas tersebut sebagai subjek, maka potensi untuk saling berdialog atau bahkan saling menggamit dan tumbuh bersama adalah niscaya.
Dramaturgi Hajatan Kampung dan Anonimitas
Model penyelenggaraan Babad Lembana sesungguhnya mengadopsi dramaturgi hajatan kampung. Kita mengenal istilah sinoman sebagai satu sistem kerja kolektif dalam mengorganisasi acara. Tidak ada seorang pun dari kami memiliki uraian tugas kepanitian yang tegas. Setiap orang bisa terkoneksi dengan berbagai macam tugas.
Jika ada yang secara spesifik berfokus pada satu hal, maka itu adalah ibu-ibu Lembana yang sangat tertib, gesit, dan disiplin mengorganisasi dirinya di dapur. Mereka mengerahkan inisiatif dan jaringannya dengan pedagang kelontong untuk kebutuhan mendadak melalui mekanisme bon. Hal itulah yang membuat kesejahteraan pangan sepanjang tujuh hari (ditambah pra dan pasca acara) tidak perlu dikhawatirkan. Ibu-ibu adalah dinding pertahanan terakhir Babad Lembana. Repertoar bisa lumpuh tak berdaya tanpa mereka.
Apabila makanan yang setiap hari kami santap ialah karya seni, maka itu satu-satunya karya yang paling aktif dan partisipatif.
Implikasi dari sistem hajatan kampung ialah mengidentifikasi semua orang (benar, semua orang) sebagai handai tolan dari jauh yang mesti kami jamu. Dengan demikian, Babad Lembana tidak membedakan seniman terundang dengan penonton. Semua orang mengakses makanan yang sama, juga tempat tidur yang sama, sebab kita adalah kerabat.
Satu hal yang buat saya penting dari sistem hajatan kampung adalah implikasi yang dimunculkannya ‘mengganggu’ tatanan perihal isu kepemilikan (ownership/authorship) sebuah karya.
Saya ingin menyebut nama-nama praktisi, seniman, dan kelompok seni yang kami ajak pada Babad Lembana edisi 2022: Arsita Iswardhani (Yogyakarta), Asief Abdi (Pamekasan), Bethara Lendir (Nganjuk), Candrani Yulis (Probolinggo/Yogyakarta), Eka Wahyuni (Kalimantan Timur, Yogyakarta), Fakhita Madury (Sumenep, Surabaya), Forum Film Dokumenter (Yogyakarta), Ika Arista (Sumenep), Ipeh Nur (Yogyakarta), Jompet Kuswidananto (Yogyakarta), Kecoak Timur (Surabaya), Kelompok Mamaca Perigi (Sumenep), Lamijan (Nganjuk), Muhammad Azmil Ramadhan (Sumenep/Jember), Perempuan Expresif (Bangkalan), Prasetya Yudha (Yogyakarta), Samman Se Komancer, Sri Cicik Handayani (Sumenep), Suvi Wahyudianto (Bangkalan), Timoteus Anggawan Kusno (Yogyakarta), Toyol Dolanan Nuklir (Sidoarjo), Widi Asari (Bandung), Wimo Ambala Bayang (Yogyakarta), Yosep Arizal (Lumajang, Yogyakarta).
Sebagian nama-nama ini akrab di telinga, sebagian lain asing. Mereka memiliki reputasi yang beragam, mulai dari tingkat kecamatan sampai internasional. Namun, bagi warga Lembana, nama-nama ini tak ada beda. Karya-karya mereka anonim.
Anonimitas karya berasal dari sini: beberapa hari sebelum acara dibuka, yakni ketika kami sedang memasang karya-karya di sejumlah tempat, beberapa warga mulai berkunjung dan melihat karya-karya yang telah selesai dipajang. Kami terharu dan sekaligus terinspirasi ketika warga dengan santai berkomentar dan memaknai karya-karya.
Kami kemudian bersepakat untuk tidak menyertakan nama seniman dan keterangan karya, membiarkan karya hadir sebagai dirinya sendiri. Intervensi teks terhadap produksi makna tak dimungkinkan lagi karena karya dibaca dari banyak arah dan acap tak terduga, bahkan sama sekali berbeda dengan gagasan yang dimaksudkan sang seniman.
Kami bersyukur karena tidak ada seniman yang protes atas pilihan ini. Namun, anonimitas karya hanya berlaku bagi warga di Lembana. Sementara ada jenis penonton lain dari kalangan praktisi seni, mahasiswa, dan lain-lain, yang sebagian besar berasal dari kabupaten sebelah dan Jawa. Penonton-penonton ini ialah publik seni yang biasa melihat kehadiran karya sepaket dengan nama seniman dan keterangan karya. Maka, untuk melayani penonton ‘terdidik’ tersebut kami menggelar tur karya. Informasi mengenai karya kami sampaikan seperti ‘berziarah’, terutama dengan konteks karya dan cara ia ditempatkan di konteks Lembana.
Demikianlah dramaturgi kepenontonan di Babad Lembana lumayan beragam, dan kami mesti melayani masing-masing watak kepenonton tersebut sebagaimana yang baru saja dijelaskan (ini belum termasuk isu kepenontonan yang disarankan masing-masing seperti pertunjukan karya Samma Se Komancer ketika batas penonton dan bukan penonton sangat tipis dan menyarankan keterlibatan secara corporeal untuk semua orang).
Repertoar, Sebuah Spektrum
Kami menyebut Babad Lembana sebagai repertoar ketimbang festival. Atau, Babad Lembana ialah repertoar yang meminjam festival sebagai bentuknya. Penyebutan istilah repertoar ini baru kami pakai pada penyelenggaraan kedua. Sementara pada penyelenggaraan pertama kami belum menemukan term yang tepat kecuali bahwa Babad Lembana ialah peristiwa kolektif yang dikerjakan secara bersama. Term repertoar kami lihat sebagai temuan berharga dari edisi pertama dan eksperimen-eksperimen yang berlangsung selanjutnya.
Kami menemukan satu hal bahwa nilai dari gelaran ini bukan hanya pada karya seni yang ditampilkan, melainkan juga pada partisipasi warga dalam mewujudkan sebuah ruang pertemuan.
Dengan demikian, dalam skala yang luas, kami melihat upaya tersebut sebagai repertoar. Batas antardisiplin seni, antara seniman dan bukan seniman, bukanlah identifikasi pertama, tetapi yang utama adalah inisiatif dan cara masing-masing subjek (seniman, warga Lembana, dan lain-lain) mendistribusikan modalnya (terutama modal sosial dan budaya) untuk dikelola dan digerakkan bersama-sama.
Tentu, repertoar belum menjadi paradigma yang stabil. Cara kami memahami dan mengguji term tersebut adalah lewat percobaan demi percobaan. Sebagaimana kami sedang mencari relevansi keberadaan Lembana Artgroecosystem untuk konteks masyarakat di Sumenep, kami juga sedang mencari formulasi yang kuat dan pas untuk mengartikulasikan kualitas repertoar ke dalam bentuk-bentuk penyelenggaraan aktivitas, program, peristiwa atau lainnya. Artinya, kami perlu membuat edisi lanjutan Babad Lembana. Namun, setidaknya, pikiran mengenai repertoar, identifikasi atasnya yang kami lakukan selama proses dua tahun ini dapat kami artikulasikan sebagai berikut.
Paradigma repertoar memungkinkan kami mengorganisasi festival sebagai pertunjukan. Dengan demikian, logika dramaturgi dioperasikan dengan menimbang aspek-aspek yang saling kait-mengait: seniman (subjek partisipan), ruang (juga nilai yang beroperasi di dalamnya), warga Lembana (subjek partisipan), dan kenyataan produksi dari sumber-sumber yang ada. Boleh dibilang, Babad Lembana ialah pertunjukan imersif, tempat semua hal yang kami identifikasi sebagai subjek saling terhubung satu sama lain, serta tak menutup kemungkinan pula untuk saling mempengaruhi dan mengintervensi.
Oleh karena itu, kami bisa leluasa melakukan eksperimentasi baik di level gagasan maupun bentuk sehingga format pada setiap penyelenggaraan bisa berubah-ubah: menggeser metodologi, mencoba cara kerja baru, mengubah bentuk, atau lainnya, yang relevan bagi kami.
Kami sengaja menghindari istilah festival sebagai predikat Babad Lembana karena kata tersebut telah demikian ‘mengeras’. Salah satu sebabnya adalah produksi festival yang berlangsung (terutama) di kota-kota kecil (atau di desa-desa) kerap dikerjakan sebagai presentasi komodifikasi atas potensi sumber daya tertentu tentang suatu daerah sebagaimana kita kenal dalam logika ekonomi pariwisata. Sementara, kami tidak ingin berjalan ke arah sana. Tepatnya, Babad Lembana tidak dibuat untuk kepentingan semacam itu.
Kami berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, terutama untuk teman-teman kami yang berada di kampung halaman. Selain itu, festival acap diidentifikasi sebagai perayaan (sebuah upacara selepas melakukan capaian tertentu atau seperti hajatan kampung yang dilakukan secara reguler). Babad Lembana diproyeksikan sebaliknya, yakni artikulasi ‘menanam’, suatu proses yang masih dan sedang berlangsung.
Ilustrasi yang bisa dibayangkan barangkali seperti ini: apabila di tempat-tempat dengan infrastruktur dan ekosistem yang baik seniman bisa langsung membuat karya tanpa perlu memikirkan elemen lain selain membuat karya, di Lembana kami membuat karya, program, tapi sekaligus juga mempersiapkan penontonnya, infrastruktur pengetahuannya, dan seterusnya. Kami mengerjakan hulu-hilir dari seluruh komponen dalam proses dan presentasi seni. Hampir tidak mungkin mengabaikan salah satunya.
Seturut alasan di muka, festival sebagai bentuk kami pinjam karena ia merupakan arsiran dari sejumlah peristiwa yang luas sehingga kami bisa mengidentifikasi bagian mana saja yang signifikan dan relevan dengan konteks Lembana. Oleh karena itu, Babad Lembana merangkul banyak bentuk presentasi seperti pameran, pertunjukan, pemutaran film, lokakarya, ceramah budaya, diskusi, tur, dan lain-lain. Penyebutan bentuk-bentuk presentasi ini bukanlah kategori yang keras, misalnya pameran dibedakan secara tegas dengan pertunjukan meskipun keduanya memiliki watak dan menyarankan kepenontonan yang berlainan.
Festival sebagai bentuk memungkinkan kami melihat skala keluasan dan dengan demikian kami dapat memetakan relevansi satu bentuk seturut wataknya, termasuk juga dramaturgi penyelenggaraannya. Boleh jadi kelak kami akan memilih salah satu bentuk atau bisa jadi juga tak memilih bentuk seperti yang disebut sebelumnya. Kami belum tahu.
Sejauh ini, Babad Lembana ialah repertoar yang melihat skala keluasan sebagai pendekatannya karena kami pun tidak dibentuk dari spesifikasi-spesifikasi disiplin tertentu. Tidak satu pun dari kami merupakan lulusan pendidikan seni formal. Bahkan, sebagian besar tak mengalami dan menempuh pendidikan tinggi di universitas.
Khatimah
Mesti kami akui bahwa Babad Lembana merupakan akumulasi pengetahuan dari pertemuan kami dengan banyak orang, lembaga, platform yang berada di banyak tempat. Sebagian dari kami telah terhubung dalam interaksi semacam ini sebelumnya. Kami sadar bahwa siasat-siasat yang kami berlangsungkan tidak serta merta hadir begitu saja secara natural.
Ada teman-teman kami di Lembana yang mewakili tatapan dan pengalaman dari dalam. Sementara saya ‘tampak’ mewakili tatapan ulang-alik ‘dari dalam’ sekaligus ‘dari luar’ (sebagian besar waktu dan aktivitas saya berlangsung di Jawa). Dukungan juga mengalir dari banyak teman dan lembaga-lembaga seni atau non-seni dengan caranya masing-masing. Mereka semua seperti ‘sedang berinvestasi’ untuk Lembana dan kami mengambil tanggung jawab atas kepercayaan itu.
Handai tolan dan pembaca yang budiman, saya kira, kisah-kisah semacam ini tak terlalu asing dan Anda barangkali telah melakukannya, atau setidaknya pernah mendengar yang serupa. Apa yang berbeda barangkali adalah cara kerja yang tentu bersiasat dengan konteks-konteks lokal yang beragam ini. Tidakkah kesenian di Indonesia merupakan bunga rampai siasat-siasat, apatah lagi seni yang diberlangsungkan di tempat dengan sumber-sumber terbatas? Tidakkah kita mahir dan memahami struktur dramaturginya?
Kini giliran Anda yang bercerita!
[…] dengan apa yang terjadi Flores, Ridho dalam Repertoar dari Lembana menunjukkan proses kreatif dan analisis atas rutinitas warga kampung Perigi yang diterjemahkan […]