Politik dan Kontestasi Ruang

Henri Lefebvre, seorang sosiolog asal Prancis, melakukan analisis pada fenomena-fenomena yang terjadi di perkotaan khususnya Paris pasca Perang Dunia. Lefebvre berupaya menggali bagaimana masyarakat sipil beresistensi dengan hegemoni negara dan kapitalisme untuk kemudian mengelola ruang-ruang perkotaan. 

Dalam bukunya berjudul The Production of Space, Lefebvre mengartikan ruang sebagai produk sosial. Pembentukan ruang selalu mengisyaratkan interelasi dari berbagai macam agen dalam bidang: ekonomi, politik, sosial budaya. Masing-masing agen memiliki kepentingannya sendiri dan selalu berupaya untuk mewujudkan kepentingannya. Lefebvre berpendapat bahwa identitas sebuah wilayah terutama ditentukan oleh interelasi antar aktivitas yang terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Dalam modus historis inilah produksi ruang berjalan dari waktu ke waktu. Kota tidak hanya merujuk pada wujud fisik atau ikatan sosial yang terjadi di dalamnya, tetapi keseluruhan interseksi dari setiap aspek yang ada. 

Ada tiga hal penting yang dapat ditilik dari konsep ruang Lefebvre: produksi ruang di kota, kontestasi konflik ruang, dan partisipasi warga atas hak atas kota. 

Menurut Lefebvre, ada dua model ruang yang dibentuk oleh interaksi antara agensi-agensi dari bidang-bidang dalam kehidupan sosial, yaitu ruang abstrak (abstract space) dan ruang sosial (social space). Keduanya terpisah satu sama lain secara signifikan sekaligus saling berkontestasi. 

Ruang sosial (social space) merupakan wilayah di mana individu-individu yang ada dalam masyarakat menggunakan ruang yang ada di lingkungannya sebagai tempat untuk tinggal, hidup, dan beraktivitas secara konkret. Mereka menggunakan wilayah perkotaan dengan bebas dan hampir tanpa tendensi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life).

Sementara ruang abstrak (abstract space) merupakan ruang yang dikonsepsikan oleh  para pemilik modal atau bisnis, serta pemerintah melalui pertimbangan-pertimbangan yang abstrak, seperti ukuran, luas, lokasi, serta yang paling penting adalah keuntungan yang didapat dari proses objektivikasi ruang. 

Ruang yang dikonsepkan secara abstrak untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya akan berlawanan dengan ruang yang digunakan secara nyata sebagai tempat beraktivitas. Konflik ruang berlangsung antara mereka yang memiliki kuasa dan kontrol dengan mereka yang tersisihkan. Konflik ruang seringkali kita jumpai dari bagaimana suatu kota dibangun dengan menuruti logika kapitalis pasar dan mengabaikan kepentingan warga kota itu sendiri termasuk abai terhadap hak asasi manusia.

Kontestasi ruang digambarkan oleh Lefebvre dalam model teorema triad. Pertama, praktik spasial (spatial practice) yaitu wilayah masyarakat yang memiliki relasi-relasi tertentu yang disepakati bersama dan konsisten atas pemaknaan serta penggunaan ruang bersama. Kedua, representasi ruang (representations of space), merupakan ruang yang diidentifikasi oleh mereka yang memiliki kemampuan, kuasa, dan otoritas untuk mengelola dan menentukan bagaimana ruang dibentuk. Ketiga, ruang representasi (spaces of representations), adalah ruang pertemuan antara praktik spasial dengan representasi ruang. Di dalam ruang representasi inilah praktik spasial yang dijalankan oleh masyarakat bisa saja tidak sejalan dengan representasi ruang yang diharapkan oleh pengelola kota. Bagi Lefebvre suatu kota dibentuk oleh dialektika terus-menerus antara ketiga ruang ini dari waktu ke waktu.

Lefebvre tidak hanya melihat wilayah perkotaan sebagai ruang konflik yang melibatkan aspek yang membentuknya tetapi juga menarik refleksinya yang lain ke arah bagaimana konflik mesti diselesaikan dan perjuangan atas keadilan kota harus dilakukan. Pertama, mengakomodasi right to the city atau “hak atas kota”. Kedua, partisipasi warga untuk mengelola ruang. Right to the city bisa berupa hak mendapatkan informasi, hak mendapatkan pendidikan, hak mengemukakan pendapat secara bebas yang dalam titik tertentu terkait dengan bagaimana kota itu dikelola. Lefebvre menyebut partisipasi masyarakat ini sebagai the work of art. Partisipasi ini dimaknai sebagai sebuah seni untuk terlibat aktif mengelola ruang di mana mereka hidup dan tinggal. 

Pada Sesi III – Edisi 1, 2024, kita dapat menjumpai dinamika produksi ruang, kontestasi ruang,  dan partisipasi warga dalam membentuk ruang hidup bersama.

Politik dan kontestasi ruang dapat kita lihat dalam  tulisan berjudul Mengurai Kegelisahan di balik Pameran StArt Exhibition: The City of Stones pada rubrik Layar. Domi Djaga mengurai gagasan pameran StART Exhibition: The City of Stones yang berangkat dari upaya membaca kembali peristiwa sejarah geopolitik Lembata dalam Statement 7 Maret 1954, yang dalam pertarungan politik kerap dijadikan isu kampanye dan menjadi sangat eksklusif bagi elit kekuasaan. Sementara ingatan kolektif warga dihapuskan dengan mengganti Tugu Tani dengan patung Brigjen Pol. (Purn) Drs. Antonius Stephanus Enga Tifaona, seorang perwira asal Lembata. Ruang simbolik ini pun secara nyata diperebutkan antara warga dan penguasa. 

Domi menulis “bicara tentang ingatan, tentunya juga bicara soal sejarah. Dalam sejarah, kita akan menemukan berbagai versi, dominasi, juga gerak yang mendorong atau membentuk perubahan. Perjalanan sejarah adalah juga perjalanan tarik-ulurnya berbagai wacana. Ada dominasi kisah heroik, ada yang hilang dan tak ingin diingatkan kembali. Bicara soal sejarah pun tak lepas dari kepentingan. Melihatnya hanya sebagai rangkaian peristiwa akan mengaburkan fungsi sejarah sebagai referensi dan refleksi terhadap identitas kolektif masyarakat.”

Pada rubrik Jangkar, tulisan Sarita Rahel Diang Kamelu berjudul Deutscher Verein dan Jejak Nazisme di Surabaya menjelaskan Balai Sahabat Surabaya itu dulunya merupakan gedung yang digunakan oleh diaspora Jerman yang ada di Surabaya yang datang di akhir abad ke-19. “Migrasi orang-orang Jerman ke Hindia Belanda dapat dilihat sebagai bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas. Jerman ingin membangun tidak hanya klik komersial, tetapi juga relasi budaya dan politik di kawasan di mana mereka dapat memproyeksikan pengaruh tanpa perlu melakukan penjajahan langsung”. 

Mohamad Ichsanudin Adnan dalam tulisannya berjudul Karangdunyo: Varietas Liyan Teater Kampus pada rubrik Jala, menjelaskan terbentuknya Karangdunyo sebagai sebuah varietas lain dari teater kampus yang berbeda dengan ‘dua kutub resmi teater kampus’. Ada tarik menarik antara sikap politik dan keinginan untuk mengejar capaian estetika sebagai bahasa media teater.

Ketika Karangdunyo memilih sikap politis untuk bergerak di wilayah kampus, serta menghimpun subjek-subjek yang berada di kampus, kiranya perlu diketahui bahwa subjek-subjek tersebut adalah hasil dari konversi estetika yang dibentuk oleh rahim teater resmi. Maka sulit kiranya membayangkan tubuh-tubuh mereka yang telah berbulan-bulan dibentuk oleh kurikulum tubuh, olah vokal, olah rasa, tata kelola terpusat dan instruktif, rapat rutin dan evaluasi, musyawarah besar, serta intervensi alumni yang berbusa-busa, terbiasa dengan metode dan kerangka estetika ‘post-’.” 

Di rubrik Nahkoda, berjudul Penjaga Gawang Street Art Bangkalan, Isbat bercakap-cakap dengan para pelaku Street Art di Bangkalan: Anas Hope dan Juplex dari Mata Pena serta Kumbang. Konflik ruang pun acap kali terjadi. Anas bersama kawan-kawan pernah dicegat oleh tentara karena dianggap melakukan vandalisme di ruang publik. Sedangkan Juplex, dengan karakter-karakter pada mural yang ia kembangkan ikut merespon situasi politik yang terjadi di Bangkalan.

Sebagai warga kota yang berhak atas ruang, partisipasi pada dinamika pengelolaan kota merupakan cara politis untuk mempertahankan hak atas kota. Partisipasi ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ruang, menentukan batas intervensi kepemilikan sumber daya dan ruang, serta siasat untuk mengupayakan alternatif produksi dari ruang kapitalis. Partisipasi warga atas pengelolaan kota idealnya bermuara pada terciptanya ruang sosialis yang mengakomodasi kebutuhan sosial warga seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya yang tentu saja mengedepankan kepentingan warga kota. 

Partisipasi mesti juga bisa dilakukan secara terus-menerus melalui interaksi antarwarga, aktivisme kultural dalam berbagai bentuk pameran, konser,  festival kota, serta kerja-kerja kesenian-kebudayaan lainnya yang inklusif dan berproyeksi menciptakan ruang-ruang kritis-demokratis di tengah-tengah masyarakat. 

Selamat membaca!

Daftar Pustaka: 

  1. Lefebvre, Henri: The Production of Space: 1991, Basil Blackwell Ltd
  2. https://jurnal.unpad.ac.id/sosioglobal/article/view/36309/pdf
  3. https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Vinsensius Gloria
Vinsensius Gloria
20 days ago

Apakah Taman Sunami kab. Sikka sudah memenuhi nilai-nila tataruang???

Kalender Postingan

Kamis, November 21st