Perjuangan Penyintas KBGO Berhadapan dengan Hukum di Bali

Jika kamu penyintas KBGO, dokumentasikan dan arsipkan bukti!

*

“Dia pakai foto aku supaya aku nurut kemauan dia. Dan mulai cari data-data pribadi aku kayak akun sosial media, nomor induk kependudukan, dosen-dosen aku dicari, sempat juga menghubungi teman-teman organisasiku, dipakai untuk mengancam aku, supaya aku nurut maunya. Aku takut orang lihat foto aku, jadi aku takut banget. Apalagi kan dia ngancemnya bawa-bawa kampus aku segala, nanti bakal disamperin ke kampus. Jadi, aku di posisi, aku nggak mau nurut tapi aku takut,” tutur Marissa (bukan nama sebenarnya), saat ditemui di Denpasar pada Senin, 27 Mei 2024. 

Marissa mengalami cyberstalking berupa ancaman distribusi foto/video (malicious distribution) selama berbulan-bulan oleh orang yang ia kenal via MeChat. Cyberstalking merujuk pada tindakan penguntitan/pelacakan di mana pelaku kejahatan menggunakan internet untuk melakukan pelecehan dan pengancaman dengan tujuan seksual. 

Karena takut dan dihantui kekhawatiran, Marissa memblokir akun pelaku, namun justru ia di-chat dengan nomor-nomor yang berbeda entah di WA, SMS, maupun panggilan telepon. Tak berhenti pada kejahatan siber, pelaku kerap mendatangi tempat tinggal Marissa dan mengawasinya dari jarak dekat dengan sembunyi-sembunyi, serta memantau siapa saja yang berinteraksi secara langsung dengannya. Jika tamu yang datang ke tempat Marissa adalah laki-laki, pelaku secara agresif akan meneror via chat berulang kali dengan ancaman penyebaran foto. 

Akibat penguntitan dan pengancaman tersebut, ia kerap kali mengalami serangan panik. Tak kenal waktu, gangguan psikologis ini bisa menghampiri Marissa kapan saja, bahkan ketika ia di kampus. 

Jika sedang berkuliah dan mendengar pembahasan materi yang membangkitkan trauma, Marissa akan mengalami sesak nafas dan menangis secara tiba-tiba. Beruntung, teman-temannya dan para dosen memahami kondisi Marissa. Mereka memberikan perlakuan khusus dan dukungan agar ia bisa pulih. Hingga saat ini, Marissa secara berkala mendapat konseling serta pendampingan pemulihan mental baik dari psikolog maupun teman-teman terdekatnya. 

Ruang digital tidak lagi aman bagi Marissa. Agar tidak diganggu dan membatasi pesan ancaman, ia menghapus akun dan hiatus dari sosial media, nomor kontak WA-nya pun diganti. Jika pelaku meneror teman-temannya melalui komentar maupun pesan langsung, Marissa meminta agar pesan tersebut didokumentasikan melalui tangkapan layar sebagai arsip barang bukti dan memblokir akun pelaku. Tak hanya itu, Marissa juga memutuskan pindah tempat tinggal agar tidak dapat terlacak oleh pelaku.  

Buntunya kasus KBGO di tangan kepolisian karena kurangnya alat bukti

Cyberstalking termasuk dalam kategori kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) atau kekerasan gender berbasis online (KBGO). Jenis kejahatan ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang berbunyi:

“Setiap Orang yang tanpa hak: melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Berangkat dari kesadaran Marissa agar tidak boleh ada korban lain oleh pelaku yang sama, ia memutuskan untuk melaporkan kejahatan cyberstalking yang ia alami ke pihak kepolisian pada akhir tahun 2023. Bersama pendamping hukumnya, Marissa diarahkan ke Unit Siber Polda Bali. Laporan tersebut diterima, namun karena kurangnya alat bukti, kasus tersebut masih tertahan dan belum ada tindak lanjut hingga saat ini. 

“Sebagai korban, aku nggak merasa dilindungi, mereka (kepolisian) malah menyerang aku balik. Mereka bilang, kalimat ancaman [pelaku] nggak jelas. Padahal, aku merasa, kalimatnya itu mengancam aku, jadi, aku merasa nggak aman. Tapi mereka minta ancaman yang jelas, kayak aku mau bunuh kamu. Bukti sebagian terhapus, jadi hanya ada screenshot dan mereka bilang, ini (screenshot) kan bisa dimanipulasi. Aku sedih, juga kesal,” tutur Marissa sendu. 

Menurut Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Denpasar, Gusti Ayu Gusnati,  menyebut persoalan terkait alat bukti selalu menjadi kendala bagi penyintas kekerasan berbasis gender utamanya penyintas KBGO dalam menuntut pemenuhan haknya sebagai penyintas. 

“Banyak (kasus KBGO) tapi kadang-kadang di sana (kepolisian), kalau bukti tidak cukup, biasanya (pelaku) tidak bisa ditelusuri dan tidak bisa dikenakan undang-undang. Kalau terkendala soal bukti itu pasti dihentikan, tidak diterima oleh mereka (kepolisian),” kata Gusnati, saat ditemui di kantor UPTD PPA Denpasar, pada Selasa, 4 Juni 2024. 

Sementara itu, Direktur YLBHI-LBH Bali, Rezky Pratiwi, menilai bahwa kepolisian tidak boleh menolak laporan dari masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam Perkap nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. 

“Terkait penolakan laporan itu seringnya mereka (kepolisian) meminta bukti-bukti di SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) pas orang mau membuat laporan. Polisi itu enggak boleh menolak laporan. Setelah diterima, ada proses kajian atau pengujian yang dilakukan atas laporan pencari keadilan, apakah laporan ini benar tindak pidana atau bukan tindak pidana, melalui penyelidikan dengan memanggil saksi-saksi dan penyidikan dengan pencarian alat bukti,” jelas Rezky dalam wawancara tatap muka di kantor YLBHI-LBH Bali, pada Kamis, 30 Mei 2024.  

Menurutnya, saat tahap awal pelaporan, biasanya penyintas diminta untuk melengkapi berkas misalnya bukti visum. Padahal, yang mempunyai kewenangan untuk mengambil visum adalah polisi, bukan penyintas. Termasuk dalam hal ini, melakukan digital forensik.

Misalkan saja, penyintas hanya mempunyai barang bukti tangkap layar atau screenshot, kepolisian harus pro-aktif melakukan digital forensik dengan memanfaatkan sumber daya teknologi yang dimiliki. Dalam menelusuri alat bukti elektronik lain untuk menunjang pelaporan ini membutuhkan infrastruktur teknologi yang memadai. Sumber daya infrastruktur tersebut seharusnya sudah dimiliki oleh kepolisian, utamanya di tingkat Polda, sehingga dapat mempermudah pencarian barang bukti yang bermotif kekerasan seksual berbasis elektronik. Sehingga pembuktian digital forensik tidak dibebankan kepada penyintas yang notabene tidak memiliki sumber daya memadai.

AKP I Made Martadi Putra, Kasubdit Siber Polda Bali, membenarkan bahwa apabila syarat dua alat bukti tidak terpenuhi, maka kasus pidana tidak dapat ditindaklanjuti. 

“Jadi, mungkin yang ditolak (laporan penyintas) itu memang betul bukti-buktinya sudah dihapus oleh penyintas karena mereka ketakutan dan kepikiran, pasti enggak nyaman, saya hapus saja, saya blokir. Tapi sebenarnya itu yang kami butuhkan untuk penyelidikan awal untuk menentukan bahwa memang benar itu ada tindak pidana,” tutur Martadi saat ditemui. 

AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi, Kasubdit PPA Polda Bali, menyampaikan bahwa dalam beberapa kasus kekerasan berbasis gender, justru penyintas yang tidak kooperatif dalam upaya pemenuhan alat bukti, sehingga memandekkan proses penyelidikan maupun penyidikan oleh kepolisian. Dalam pemenuhan alat bukti, perlu peran bersama antara kepolisian dan penyintas. 

“Kami (kepolisian) mengalami kesulitan dalam pembuktian, terus menangkap orang. Kami harus memiliki dua alat bukti yang cukup. Kami menyadari penyintas memang benar-benar mengalami hal tersebut, kan kita juga berperspektif penyintas. Tetapi mohon kerjasamanya di dalam pengungkapan kasus, karena kita juga melalui proses baik itu penyelidikan penyidikan biar kasus ini bisa selesai P21. Kalau tanpa dukungan itu, tentunya nanti kita tidak cukup bukti dalam proses itu, ya enggak bisa kami lanjutkan. Nah, jadi kalau misalnya anda penyintas yang mau melapor, sebaiknya memang sudah ada bukti gitu ya,” jelas Kompiang saat ditemui di kantor PPA Polda Bali, pada Kamis, 30 Mei 2024. 

Namun, dalam pengamatan Rezky, justru adanya tuntutan agar penyintas harus melengkapi alat bukti secara komplit oleh kepolisian, seringkali menyulitkan penyintas untuk melapor atau menindaklanjuti kasusnya. 

“Bukan soal penyintas yang tidak kooperatif atau enggak. Sejak awal, penyintas ketika  memutuskan lapor polisi tentu dia siap dengan proses yang akan dilalui. Tetapi tidak bisa juga tanggung jawabnya polisi untuk mencari alat bukti dibebankan ke penyintas, dengan ketentuan yang mengharuskan mereka mengumpulkan semua bukti, itu sangat memberatkan. Apalagi orangnya sedang punya harapan untuk dapat keadilan dan dalam kondisi bingung di awal,” tekan Rezky. 

 

Laporan KBGO di tingkat Polda Bali lebih banyak ditangani oleh Unit Siber 

Berikut jumlah laporan kasus KBGO  yang ditangani oleh masing-masing unit Polda dan lembaga hukum lain sepanjang tahun 2023-2024 di Bali: 

  • Unit PPA Polda Bali : 3 kasus
  • Unit Siber Polda Bali : 8 kasus
  • UPTD PPA Kota Denpasar : 3 kasus
  • YLBHI-LBH Bali : 3 Kasus
  • LBH APIK Bali : 2 kasus

Data tersebut menunjukkan sebagian besar kasus KBGO yang dilaporkan ke Polda Bali ditangani oleh Unit Siber bukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. 

AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi, Kasubdit PPA Polda Bali, menyebut bahwa Unit PPA menangani kasus berdasarkan laporan masyarakat. Dalam penanganan kasus KBGO perlu dilihat spesifikasi kasus pidana dan sarana kejahatannya. Baru kemudian dapat diklasifikasi apakah akan ditangani oleh Unit Siber atau Unit PPA. 

“Kalau masuk UU ITE, itu masuk ke Unit Siber. Jadi kalau online itu biasanya Unit Siber yang menangani. Kami yang di Unit PPA berkaitan dengan UU TPKSnya. Dilihat dulu kasusnya seperti apa, ini pembuktian (ranah online) atau hanya menggunakan (media online). Kalau kasusnya ranah online full, misal berkenalan melalui Facebook, terus grooming, terus tukeran video. Tetapi kalau PPA-nya, misal yang bersangkutan disebarkan videonya di sekolah, bisa masuk ke TPKS,” jelas AKBP Ni Luh Kompiang.

AKP I Made Martadi Putra, Kasubdit Siber Polda Bali, menjelaskan kalau penanganan kasus KBGO oleh Unit Siber atau Unit PPA memengaruhi undang-undang mana yang akan diterapkan, apakah  UU ITE, UU Pornografi, atau UU TPKS. 

“Dalam hal kaitannya dengan KBGO, berarti jika peristiwa tindak pidana terjadi di ruang siber atau dunia maya, maka ranah kami [Unit Siber] untuk melakukan penyelidikan. Kalau Subdit PPA, berarti undang-undang yang digunakan adalah TPKS. Kalau di kami, menggunakan UU ITE, sesuai unsur pasal memang harus ada kegiatan mentransmisikan yang bermuatan melanggar kesusilaan. Misal, ada konten video ditransmisikan, dan bisa diketahui publik atau orang yang tidak dikenal, di-upload ke media sosial, di mana pelaku akunnya tidak di-private dan ada followersnya, jadi siapapun bisa melihat konten itu. Nah itu masuk ke ranah UU ITE. Atau di grup WA bisa, yang jumlah membernya banyak, dan tidak saling kenal,” jelas AKP I Made Martadi Putra.

Biasanya, Unit PPA juga akan bekerjasama dengan Unit Siber dalam hal pembuktian digital forensik. Unit Siber memberikan bantuan teknis yakni ketika ada barang bukti yang perlu diperiksa secara digital forensik. Maka Subdit PPA akan berkoordinasi kepada Unit Siber. Lalu, Unit Siber akan mengeluarkan berita acara pemeriksaan dan dikirim ke Subdit PPA. 

Rendahnya laporan kasus KBGO di Bali, tidak merepresentasikan ruang digital aman dari kejahatan siber bernuansa seksual

Tidak sedikit korban kekerasan seksual berbasis elektronik yang enggan melapor. Rendahnya angka pelaporan kasus berimplikasi pada minimnya pendokumentasian keragaman pengalaman kekerasan seksual yang dialami. Akibatnya, darurat KBGO/KSBE tidak menjadi perhatian khusus untuk dicegah maupun ditangani secara responsif oleh aparat penegak hukum. 

Rezky menyebut data KBGO dalam angka di atas tidak mewakili suara-suara korban di akar rumput yang tentu jauh lebih banyak dengan pengalaman kekerasan yang juga beragam.

“[Kasus KBGO] tidak banyak karena seperti yang kita pahami sama-sama untuk kekerasan berbasis gender apalagi kekerasan seksual itu sifatnya fenomena gunung es. Jadi apa yang terlaporkan baik itu di lembaga layanan atau lembaga para penegak hukum bukan angka yang sebenarnya dan tidak bisa representatif juga untuk bisa menggambarkan angka kekerasan,” jelas Rezky Pratiwi. 

Selain itu, menurut Ayu Gusnati, rendahnya laporan KBGO di Bali dipengaruhi oleh peran dan jangka waktu penanganan kasus oleh aparat penegak hukum. 

“Sedikitnya laporan kasus utamanya KBGO karena ada soal, pasti nggak bakal ditangani. Laporan diterima, cuma tidak bisa ditelusuri karena bukti-bukti yang kurang kuat. Ada penyintas udah berhenti, nggak mau sama sekali ngasih keterangan lagi. Saya disuruh menghubungi pun, enggak bisa juga penyintasnya. Orang tuanya enggak mau juga karena proses terlalu lama di bagian kepolisian,” kata Gusnati.

Wulandari adalah salah satu diantara banyaknya perempuan penyintas KSBE yang memutuskan untuk tidak melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Siswa asal Denpasar tersebut kerap menerima konten bermuatan seksual secara elektronik tanpa keinginan atau persetujuannya oleh pengguna Twitter yang berbeda. 

“Saya sempat memposting foto [di Twitter], yang bagi saya aman-aman saja, tidak terbuka. Selang beberapa hari, masuk request DM beberapa kali, mengirimkan foto tidak senonoh. ” kata Wulandari (bukan nama sebenarnya) via WhatsApp, pada Senin, 27 Mei 2024.

Dalam chat WA yang dikirim Wulandari, ia kaget saat menerima direct message (DM) yang berisi konten bernuansa seksual dari orang tak dikenal. Saat mengingat pesan-pesan itu, ingatan buruk yang ia kubur secara paksa, bangkit kembali dan memunculkan ketakutan. Jika berada dalam situasi tersebut, Wulandari kembali menangis. 

Ia mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh para pengguna Twitter ini adalah tindak kejahatan siber yang melanggar ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU TPKS. Walaupun demikian, Wulandari memutuskan untuk tidak melaporkan kejahatan itu ke aparat kepolisian. 

Negara perlu menjalankan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) untuk menjamin pemenuhan hak-hak atas penyintas KBG(O)

Dalam Pedoman Pemaknaan Pasal UU No.12 Tahun 2022 tentang UU TPKS, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKtP) adalah cara untuk melakukan koordinasi lintas institusi, yang menunjukkan keterikatan antar instansi berwenang dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan membuka akses pelayanan dalam setiap proses peradilan. 

Pelayanan satu pintu ini dimaksudkan agar penyintas lebih terlindungi dan aman saat bercerita terkait peristiwa kekerasan secara berulang dan berhadapan dengan berbagai pihak. Kemudian, kerjasama antar instansi lebih efektif sehingga dapat mempercepat proses penanganan kasus. Selain itu, koordinasi terpadu ini diharapkan dapat merespon cepat level kebutuhan penyintas.  

Lima kerangka sebagai landasan SPPT-PKKtP, yaitu 5P: yaitu Pencegahan, Perlindungan, Penyidikan dan Penuntutan, Pemidanaan dan Pemulihan. 

Adapun dalam penyelenggaraan SPPT-PKKtP, setiap aparatur penegak hukum dan petugas penyedia layanan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: pengakuan atas keberagaman kondisi perempuan penyintas kekerasan; penyesuaian berdasarkan kondisi wilayah; sinergi regulasi; berpusat pada perempuan penyintas kekerasan; dan akuntabilitas. 

Di Indonesia, SPPT-PKKtP telah diadopsi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui program prioritas nasional dengan nama Penguatan Sistem Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. 

Berkaca dari carut marutnya penanganan kasus kekerasan berbasis gender di Bali, maka model SPPT-PKKtP ini perlu diterapkan untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyintas yang lebih optimal.  Baik aparat penegak hukum dan petugas penyedia layanan di Bali dapat saling bekerjasama untuk membangun layanan satu pintu (bukan satu atap) bagi penyintas kekerasan seksual.

 

Hotline bantuan bagi penyintas KBGO di Bali

Berdasarkan pemantauan LBH Jakarta (2020), beberapa jenis KBGO diantaranya adalah:

  1. Peretasan (cyber hacking)
  2. Membuat, meniru, dan manipulasi akun palsu sosial media (impersonation)
  3. Cyber surveillance/stalking/tracking
  4. Pelecehan online (cyber harassment/spamming)
  5. Rekrutmen online (online recruitment)
  6. Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution) 
  7. Non-consensual dissemination of intimate image
  8. Sexting
  9. Morphing
  10. Scammer
  11. Pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming)
  12. Konten ilegal (illegal content)
  13. Penghinaan (online defemation)
  14. Pelanggaran privasi (infringement of privacy)

Berikut hotline pengaduan bagi korban KBGO di Bali yang membutuhkan layanan keamanan digital, konsultasi hukum, pendampingan psikologis, dan dukungan sebaya: 

  • Unit Siber Polda Bali : +62 813-5383-1200
  • UPTD PPA Kota Denpasar : +62 821-4434-7443
  • SAFEnet : +62 811-9223-375
  • YLBHI-LBH Bali : +62 822-3694-4930
  • LBH APIK Bali : +62 819-9998-2064
  • LBH Bali WCC : +62 821-4499-4170
  • Sanggar Puan : +62 813-2668-9447

Panduan sigap hadapi ancaman penyebaran konten intim: https://awaskbgo.id/ncii/

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Minggu, September 8th