Perihal Rural, Perihal Lokal

 

Tahun 1992, tsunami berkekuatan 6,8 SR menghantam Flores, pulau tempat saya tinggal. 2080 orang tewas akibat bencana tersebut. Dari jumlah yang besar ini, Maumere, kota kelahiran saya mengalami kehancuran terparah. Sekitar 1490 jiwa meninggal. 28.118 rumah, 785 bangunan sekolah, 307 masjid dan gereja serta 403 ruko dan perkantoran luluh lantak. Jalanan-jalanan rusak parah. Listrik mati. Warga tinggal di barak-barak yang didirikan dengan tergesa-gesa. Selama lebih dari tiga bulan, Maumere seperti kota mati. Gelap dan mencekam. Pada tahun 1992, dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah dari saat ini, angka-angka tersebut di atas tergolong tinggi.

Tahun 2017, kami membuat sebuah proyek seni kecil untuk mengenang 25 tahun gempa dan tsunami Flores. Saat itu kami bertemu dengan warga Kampung Wuring, sebuah komunitas Bajo-Bugis yang hidup dan terbentuk sejak awal abad-17.

Wuring adalah sebuah kampung nelayan. Terletak di pesisir utara laut Flores. Ia telah tumbuh sebagai sebuah tempat transit pedagang-pedagang Bajo dan Bugis sebelum Portugis dan kemudian Belanda menduduki wilayah yang sama dan memberi nama bagi kota Maumere. Jauh sebelum Maumere menjadi kawasan urban baru seperti saat ini, warga Kampung Wuring mendirikan rumah-rumah mereka di atas permukaan air. Sebagian besar hidup sebagai nelayan dan pedagang sampai sekarang.

Sebenarnya, setelah tsunami 1992, kawasan tempat mereka bermukim telah ditetapkan sebagai zona merah, tempat terlarang untuk ditinggali. Berbagai penelitian dan teori menempatkan kawasan mereka sebagai tempat tak layak huni. Mereka dipaksa untuk pindah. Berbagai bantuan internasional dari aneka LSM dan NGO berusaha memfasilitasi mereka untuk memulai kehidupan yang baru: bermukim di tempat yang lebih tinggi, diberi rumah dan pekarangan untuk diolah sebagai ladang.

Namun, mereka menolak dan tetap kembali. Hidup di sana hingga saat ini, seturut cara hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

***

Bagi Sebagian besar warga Wuring, laut adalah ibu mereka. Samudera adalah nafas hidup mereka. Sampan adalah harta kekayaan mereka satu-satunya. Bagi mereka, tak ada ‘kampung halaman’ sebab seumur hidup mereka adalah perjalanan. Jika hari ini mereka tinggal dan menetap, itu hanyalah persinggahan.

Memindahkan warga wuring dari pesisir laut untuk tinggal dan menetap di darat ibarat menyuruh ikan terbang di udara. Memindahkan warga Wuring tak hanya sebatas memindahkan manusia-manusia. Memindahkan warga Wuring adalah memindahkan juga rujukan bagi sistem nilai, jalinan rasa merasa, sebentuk acuan untuk membentuk pola pikir dan tata laku sehari-hari, pemahaman akan diri sendiri, sesama, alam, dan wujud tertinggi dalam kosmos. Memindahkan warga wuring turut memindahkan cara mereka hidup, mengelola sumber daya alam, dan membangun peradaban serta kebudayaan mereka.

Dari kisah Wuring dan kisah-kisah teman-teman yang mempresentasikan performance mereka, kita belajar satu hal yang sama: manusia, tetumbuhan, gunung, tanah, air, udara, dan segala hal di alam semesta adalah batu-batu penjuru yang menopang satu sistem yang kita sebut sebagai ‘kehidupan’.

Di tenang danau Poso, ada kisah tentang para perempuan yang mengelola tradisi dan kehidupan. Ada perjuangan untuk melawan tidak hanya kerusakan ekologi tetapi juga sistem patriarki yang membatasi eksistensi perempuan untuk melakukan perubahan dan membuat kemajuan bagi dirinya dan masyarakatnya.

Lebih jauh dari harum aroma masakan Mama Fun, ada usaha untuk menjaga kehidupan, dari generasi ke generasi, yang kian rentan kehilangan sumber pangan dari lingkungan terdekatnya. Ada usaha untuk melawan sistem yang lebih besar dari pasar yang dengan berbagai cara membentuk dan mengubah pola konsumsi masyarakat. Masakan, dalam dirinya sendiri adalah sebuah ruang pertemuan yang inklusif, tempat berbagai entitas bertemu, membentuk satu harmoni.

Harmoni yang sama disuarakan oleh Yadi lewat suara kadedek. Meminta kita semua membayangkan satu hal: bagaimana nasib Indonesia dan dunia, jika Kalimantan, salah satu paru-paru dunia, kehilangan hutan-hutannya 2-6 kali lapangan sepak bola setiap tahunnya, karena okupasi investor transnasional yang mengubah hutan menjadi insdustri kelapa sawit hingga tambang emas yang tak henti-hentinya mengekstrasi dan mengeksploitasi? Apakah kita akan masih punya kesempatan mendengarkan harmoni lebah dan aneka serangga? Apakah kita masih punya waktu untuk merasakan embun di pagi hari? Apakah kita masih bisa menikmati jamur atau segar air kelapa? Apakah kita masih punya masa depan?

Bisa jadi benar, kebudayaan terus berada dalam tegangan antara memahami dan memaknai alam dan melampaui determinasinya hingga pada batas-batas yang tak bisa dibayangkan manusia.

***

Pada saat yang sama, saya yang berdiri saat ini di sini adalah bagian dari sekelompok kecil generasi muda di Flores yang merasa jauh dari tradisi sekaligus modernitas. Kami membentuk Temu Inisiatif Muda Flores, sebagai sebuah wadah untuk berbagi gagasan, modal, isu, dan potensi yang kami miliki untuk bisa dijadikan sumber kekayaan bersama guna mendukung kerja-kerja kami masing-masing.

Kolonialisme yang berlangsung berabad-abad di Flores, berganti tangan dari satu negara Eropa ke negara Eropa yang lain, hingga Jepang dan mungkin negara kami sendiri: Indonesia, jika kita punya sedikit kecurigaan bahwa nasionalisme seperti halnya modernisme adalah sisi gelap dari kolonialisme itu sendiri. Kolonialisme membuat generasi hari ini berada di persimpangan, atau ruang antara, atau masa yang bisa kami sebut sebagai ‘kami di sini, dan hari ini’.

Kolonialisme membumihanguskan rumah adat-rumah adat dan mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan aneka pengetahuan dan kecakapan. Kolonialisme menghancurkan puisi-puisi dan syair-syair lisan dari mulut leluhur dan mengantikannya dengan karya-karya sastra klasik Latin hingga Yunani. Kolonialisme menghancurkan altar-altar ritual tradisional dan menggantikannya dengan agama-agama asing. Kolonialisme menghentikan tubuh-tubuh menyanyikan serta menarikan tarian-tarian tradisi dan menggantikannya dengan orkestra dan aneka tarian modern.

Kami, generasi muda di Flores hari ini, hidup dalam tegangan untuk menggali kembali sejarah dan tradisi kami sendiri dari puing-puing perang dan pendudukan atas bumi dan budaya nenek moyang kami. Di saat yang sama, kami belajar aneka pengetahuan dan kecakapan modern, untuk menghubungkan kami dengan dunia yang lebih luas, menjalin komunikasi dengan sesama generasi muda di belahan dunia lain dengan isu-isu hari ini, yang kontekstual di daerah kami masing-masing. Identifikasi sebagai proses mengenal situasi yang kami hadapi dan negosiasi atas hal-hal yang tak sepenuhnya kami kenal, tak bisa dielak.

Usaha-usaha yang kami lakukan tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh teman-teman sekalian yang hadir dalam konferensi hari ini, yaitu mendokumentasikan, mengarsipkan, dan mengelola sumber-sumber daya lokal yang ada pada kami untuk dijadikan bekal pengetahuan, posisi kami berpijak, untuk kemudian berbicara dan berkomunikasi pada dunia. Kami menuliskan kembali puisi-puisi lama, mencari catatan-catatan sejarah melalui aneka arsip, menyanyikan dan menggubah lagu-lagu daerah, mencatat resep-resep lokal dan banyak hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, kami harus siap bernegosiasi dengan industrialisasi di berbagai sektor yang datang tanpa diundang, globalisasi media, lalu lalang informasi yang kian cepat, hingga turisme global yang amat konsumtif.

Jika kuasa erat kaitannya dengan pengetahuan, maka yang kami lakukan adalah menggalang basis pengetahuan kami sendiri untuk membangun daya tahan pada berbagai perubahan yang sedang terjadi. Yang kami lakukan adalah membangun basis data kami sendiri, untuk kami simpan dan kami pergunakan bagi pengembangan komunitas terdekat dan terkecil dalam lingkaran kami sendiri. Sebab, data dan pengetahuan lokal, bisa jadi adalah pertahanan terakhir kami, ketika penjajahan baru yang telah dimulai oleh sistem ekonomi kaplitalis, neoliberal telah menemukan artikulasinya yang lain pada okupasi data dan ekspansi produk-produk digital. Meski kami tak tahu, apa batasan bagi rentang waktu untuk bertahan dan beradaptasi? Bukan karena tak mampu, tapi mungkin tak punya kuasa dan modal yang cukup untuk mengorkestrasi hal-hal lain yang menggerakan dunia yang maha menarik untuk terus dikeruk dan dikuasai. Segala berubah. Yang tinggal hanyalah resistensi.

***

Pada layer yang lain, saya dan mungkin sebagian besar Anda yang berdiri di sini adalah seorang seniman, atau aktivis budaya, yang dengan berbagai medium yang kita pakai, tak hanya bisa selalu ‘menulis’ tentang diri sendiri, sekaligus tak bisa menghindari ‘menulis’ tentang yang lain, yang liyan. Presentasi dan representasi adalah dua sisi mata uang yang tidak selalu mudah dipercakapkan, atau memang tak bisa, atau tak perlu?

Apakah cukup hanya berbicara tentang apa-apa yang sudah kita lakukan? Apakah saya cukup punya kuasa berbicara tentang yang lain? Apakah justru dengan membicarakan yang lain, saya justru menguasainya untuk kepentingan saya? Apakah seluruh hal yang kita lakukan hari ini hanya punya satu alasan rasional untuk satu keuntungan: menjaga keberlangsungan hidup makhluk yang disebut manusia?

Sebab ada banyak ironi di sekitar ini: sementara kearifan lokal terus disanjung sebagai tradisi yang perlu dirawat dan diwariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur berantakan, komunikasi dan relasi intepersonalnya tak pernah dipikirkan. Rupanya bukan tradisi itu sendiri yang ingin dibela, melainkan citra tentang tradisi yang lebih mudah untuk dikemas dalam pertunjukan.

Berada di sini, dalam museum Fredericianum, melihat cerita-cerita tentang kerja-kerja dari berbagai lokal yang tidak semuanya saling kenal, dengan jarak dan kedala translasi, serta dipresentasikan secara performatif dengan karakter representasional yang ketat tak menghindarkan saya mempertanyakan perihal problem representasi, bias museum gaze, dan eksotisme tertentu yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan ini: apa yang sesungguhnya sedang kita bicarakan, bagikan, dan pertukarkan? Apakah kita benar-benar sedang berbicara? Kepada siapa kita berbicara dan untuk apa?

Jika politik identitas tak cukup mampu menunjang membicarakan ‘kita’, mungkin sudah saatnya bergerak melampauinya, berpikir soal sebentuk politik solidaritas, yang menjadikan penghargaan dan penghormatan atas koeksistensi, ekosistem, dan berbagi modal sebagai bagian dari prinsip-prinsipnya. Politik solidaritas itu mungkin bisa dimulai dari forum-forum semacam ini, yang bisa lebih serius mendorong usaha saling mengenal, praktik saling berbagi, mendengarkan, mempertemukan tidak hanya performance tetapi lebih dari pada itu obrolan intensif dengan kesadaran yang tinggi soal bias bahasa, konteks masyarakat serta budaya. Politik solidaritas model ini kiranya bisa menciptakan ruang bersama yangg melampaui luka-luka sejarah. Awas terhadap tantangan-tantangan masa depan. Berpijak pada hari ini, di tempat hidup kita masing-masing.

 

Tulisan ini pertama kali disampaikan dalam KTT New Rural Agenda, documenta fifteen, Kassel, 21 Juni 2022. Diterbitkan dengan sedikit penyesuaian.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th