Berdasarkan diskusi dengan penulis, kami menerbitkan dua versi tulisan pengantar sutradara pertunjukan Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah), yang diproduksi oleh Teater Garasi pada 2003. Kedua versi ini adalah versi tulisan awal sutradara (halaman 1) dan versi yang telah diedit dan dicetak pada booklet pertunjukan (halaman 2). Tulisan ini bisa juga jadi pijakan untuk melihat bagaimana perjalanan proyek panjang Waktu Batu bergerak dan hadir secara berbeda pada tiap masa, termasuk dua tahun (2022-2023) belakangan ini: Waktu Batu: Rumah yang Terbakar.
***
Sesungguhnya adakah seseorang yang mengetahui dengan pasti apa yang menggerakkan dirinya? Pastinya, saya tidak tahu. Tetapi, sepertinya, pertanyaan(-pertanyaan)lah yang jadi biang keladi. It is the question that matters, entah siapa yang pernah menggumamkan itu. Paling tidak, demikianlah yang terjadi pada (pergerakan) saya dalam memasuki proses panjang “Waktu Batu. Kisah-Kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu”. Dan barangkali pertanyaan-pertanyaan jugalah yang akan Anda dapatkan dalam pertunjukan malam ini. Karena pementasan teater yang akan Anda saksikan sekarang ini, buat saya “hanya”lah selarik dokumentasi dari sebuah proses panjang kerja teater (paling tidak, kami bersepakat akan meneruskan proses yang dimulai sejak tahun 2001 ini sampai tahun depan, 2003), yang mencoba menjadi jalan pencarian jawaban, yang entah sampai kapan bisa ditemukan, atas pertanyaan-pertanyaan yang mengawali dan menghantui ini semua.
Sejak hari-hari terakhir di almanak bulan akhir tahun 2000, sekian pertanyaan bersidesak menghantam-hantam kepala saya. Tak tertanggungkan, pertanyaan-pertanyaan itu lalu meledak menjelma percakapan-percakapan, sendirian ataupun bersama, yang banyak di antaranya tak mengantarkan saya pada apapun selain pertanyaan yang lain, kegelisahan yang lain. Saya tidak tahu persis apa yang memicu pertanyaan-pertanyaan yang menyerap itu. Tetapi bisa jadi mereka lahir dari kegelisahan yang menyergap saya pada tahun-tahun terakhir ini. Persisnya tiga empat tahun ini; saya selalu merasa ada yang tengah berubah di sekitar saya. Ada transisi yang samar arah-tujunya. Dengan kerawanan dan kegentingannya yang tajam mengancam. Bergeser di bawah permukaan, sesekali, seringkali, meriak menjelma ombak yang keras menampar-nampar wajah, tapi, anehnya, seperti sulit sekali membuat orang-orang terjaga. Sesekali tamparan-tamparan itu membuka mata, lalu terkejut dan ribut membicarakannya, lalu lupa. Begitu seterusnya. Amnesia! Amnesia!
Di bulan-bulan awal 2001, saat-saat awal saya berada dalam pusaran kegelisahan dan mulai melangkahkan kaki saya masuk ke dalam ruang itu, ruang yang kemudian kami sebut Waktu Batu, saya bertemu dengan konsep sukerta dan ruwat dalam kosmologi Jawa. Dan dalam tafsir saya, sukerta adalah situasi (state of) disorientasi ruang-waktu, dan ruwat adalah sebuah upacara, sebuah ritus, sebuah upaya, untuk mengembalikan orientasi ruang-waktu seseorang atau sekomunitas tertentu, sehingga dia/mereka bisa menentukan koordinat posisi mereka/dia di dalam kehidupan dan mampu menentukan arah yang akan dituju. Tidak berapa lama, sekitar bulan Maret tahun yang sama, saya bertemu dan mendapatkan sebuah percakapan yang hangat dan inspiratif dengan Ki Slamet Gundono perihal kedua tersebut di atas (karenanya terima kasih harus tetap saya sampaikan pada aktor dan dalang kontemporer yang power ekspresinya mengagumkan itu). Dan setelah menggumulinya berbulan-bulan, pikiran dan kegelisahan-kegelisan itu lalu mengkristal ke dalam tiga pertanyaan besar di kepala saya: waktu, transisi (beserta kegentingan yang menyertainya) dan identitas (nama-nama yang tertera di seluruh diriku, darimanakah mereka? Atas alasan dan kehendak macam apakah ia dilekatkan pada setiap sebut yang mengarah padaku? Dan kenapa aku musti berada di sana, di dalam dan di antara nama-nama itu?). Dan setalah melalui sekian percakapan dengan teman-teman di Teater Garasi, kami lalu bersepakat untuk nututi, menelusuri, ketiga pertanyaan tersebut lewat dan di dalam kerja teater. Dan dari diskusi saya dengan Gunawan Maryanto perihal Jawa dan mitologi-mitologinya, kami lalu memutuskan untuk menjadikan mitologi Watugunung sebagai titik tolak keberangkatan jelajah tematik bagi kerja teater yang telah disepakati tersebut. Pilihan untuk memasuki teks Watugunung karena mitologi yang diyakini (sebagian) penduduk Jawa dan Bali ini bercerita perihal kelahiran sistem kalendar. Persisnya nama-nama dan sistem minggu-an dalam kalendar mereka. Dengan sedikit variasi, pada versi Bali, yang masih pekat diyakini oleh penduduknya dibanding Jawa, Watugunung adalah juga cerita perihal terbit dan pentingnya pengetahuan dalam tatanan hidup bersama.
Demikianlah, kami bersepakat untuk memasuki ruang ambang itu. Secara bersama-sama, pada bulan Agustus 2001, kami lalu berangkat. Di samping membaca teks mitologi Watugunung kami juga mengunjungi situs-situs Hindu dan Budha yang ada di Jawa tengah: Sukuh, Kalasan, Prambanan, Boko… Dan dari jelajah tekstual serta kunjungan situs yang kami lakukan itu, teks-teks lain, mitologi-mitologi lain lalu seperti memaksa kami untuk juga membacanya. Kami pun lalu menjelajahi Murwakala, Sudamala, dan beberapa buku sejarah yang memaparkan situasi kerajaan Majapahit pada akhir kejayaannya dalam rentang abad XIV-XVI Masehi.
Demikianlah, proses ini mengantar kami pada perjalanan-perjalanan yang mempertemukan kami dengan banyak hal, banyak benda, banyak imaji. Kami megunjungi candi-candi lain di Jawa tengah. Kami juga mendaki bukit Penanggungan (yang sempat membuat kami hampir putus asa lalu teringat komentar guyon seorang teman perupa yang sudah kaya dan sering kurang kerjaan: “kalian itu kelompok teater atau pecinta alam toh?”) untuk melihat serak candi-candi kecil di lereng-lerengnya yang terjal. Sebelumnya kami juga pergi ke Banyuwangi untuk bertemu dan melacak tonalitas pesisiran lewat seni tradisi Gandrung. Dan dalam setiap perjalanan itu ide-ide lahir, berkembang, lalu dirasa tidak relevan dan diputuskan untuk ditinggalkan, lalu muncul ide yang lain lagi. Begitu seterusnya. Begitu juga yang terjadi dalam eksplorasi aktor-aktris Teater Garasi yang kami mulai secara intensif sejak Januari 2002. Ada banyak bentuk, ada banyak benda, ada banyak pengucapan muncul. Beberapa di antaranya kami rasa berharga, beberapa terlalu ngayawara, beberapa tetap memaksa muncul meski sudah kami singkirkan, beberapa terasa bernilai secara bentuk tetapi kami rasa tidak relevan, beberapa hanya muncul di benak tak sempat diwujudkan. Dalam eksplorasi itu kami pernah mengunakan media lumpur selama dua bulan, kami berpindah-pindah tempat latihan, bukan karena bosan, tetapi mencari ruang yang kami rasa pas untuk ide dan imaji tertentu.
Sampai kemudian kami bersepakat untuk berhenti sejenak dari jelajah tematik dan bentuk itu dalam sebuah versi teks pertunjukan yang kami sebut “Waktu Batu. Kisah-Kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu.”. Versi inilah yang kemudian kami pentaskan di gedung Sasana Hinggil, sebuah gedung tua dalam kompleks keraton Yogya, pada tanggal 2-4 Juli 2002.
O, ya. Rasanya saya masih berhutang satu penjelasan lagi. Kenapa kami memutuskan untuk juga memasuki teks sejarah akhir kejayaan Majapahit, yang memiliki banyak varian versi sebagaimana teks-teks sejarah lain, itu terkait dengan perihal terakhir dari tiga pertanyaan besar saya itu: identitas. Titik yang kami tatap dalam teks sejarah itu adalah momen-momen perpindahan kekuasaan di Jawa dari Majapahit ke Demak di pesisiran lalu bergerak masuk ke pedalaman: Mataram. Bisa jadi kami cukup terpengaruh dengan pembacaan dan analisa Denys Lombard dalam bukunya yang terkenal dan ensklopedik itu, Nusa Jawa: Silang Budaya, yang menyebut bahwa pada momen-momen yang terentang selama selama seratus tahun (abad XIV ke XV) pintu gerbang Jawa terhadap kolonialisme Barat, dalam hal ini Belanda, mulai terbuka. Dan kedatangan kapal-kapal dagang dari Barat itu, yang menjajakan bukan hanya benda-benda, tetapi juga teknologi, sistem nilai dan sistem pengetahuan yang berbeda, yang seturut tafsir kami, paling tidak saya, adalah babak awal dari problematika modernitas yang menyusun identitas kita saat ini. Identitas yang tak pernah menegas dan samar, sementara seringkali ilusi-ilusi keutuhan dan gambar diri yang “asli” terus diteriakkan dengan nada yang keras dan menghardik. Bisa jadi kami hanya tidak paham, tetapi sering kami merasa bahwa sesuatu yang disebut “asli” dan sesuatu yang “asing” itu jarak keasingannya sama terhadap kami.
Dan akhirnya, saya ingin sedikit menjelaskan bahwa pertunjukan yang sebentar lagi Anda saksikan ini, yang kami sebut Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah), adalah versi yang lain, yang berbeda, dengan pertunjukan kami di Yogya bulan Juli tahun lalu. Sebagai sebuah varian versi, pertunjukan yang akan Anda saksikan ini tetap bertolak dari ide tema rujukan-rujukan yang sama dengan versi sebelumnya, Waktu Batu. Kisah-Kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu. Hanya saja, sejak kami memulai kembali proses Waktu Batu ke 2 pada awal September tahun lalu, kami merasa proses ini menolak menetap dan tinggal terlalu lama di sebuah tempat, di sebuah versi. Ia seperti menuntut kami untuk terus melakukan penjelajahan bentuk dan pola pengucapan. Karena itu, tiga bulan awal proses Waktu Batu ke-2 ini yang terjadi adalah proses dekonstruksi bangunan versi Waktu Batu sebelumnya, untuk kemudian kami lakukan proses rekonstruksi sehingga tersusunlah versi yang akan Anda saksikan ini. Dan setelah ini, barangkali kami akan menempuh penjelajahan bentuk dan pengucapan yang lain, sehingga versi yang lain lagi bisa kami dapatkan. Karena ide-ide sedemikian bertebar dan menggoda kami. Tetapi sebelum itu , kami ingin tinggal dan menikmati dulu versi yang ini, dan mencoba membangun dialog dengan Anda semua, penonton yang terhormat. Karena dari interaksi kami dengan Anda-lah kerja teater dan jelajah yang kami lakukan ini baru menemukan kelengkapannya sebagai sebuah ‘peristiwa teater’. Terima kasih.
Yudi Ahmad Tajudin
Pelontar Ide Tema