“Menikahlah, agar engkau dewasa,” ujar Ayah setelah saya mengungkapkan keinginan jadi wartawan atau lanjut S2. Saya bingung, kenapa Ayah menanggapi jawaban saya begitu? Apakah ia ingin segera memindahkan tanggung jawabnya pada orang lain? Sebab, setelah itu, ia bilang akan mencarikan saya pasangan dan menyuruh saya melanjutkan S2 sesudah bersuami. Saya pun hanya mengangguk, sebagai bentuk kesopanan, bukan mengiyakan. Silent treatment lebih baik daripada berdebat.
Tatapan hangat Ayah selama ini ternyata sarat patriarki. Barangkali itu juga yang dipikirkan R.A. Kartini ketika sang ayah memerintahkannya menjalani pingitan. Padahal, Kartini baru lulus dari sekolah dasar Europeesche Lagere School pada 1892 dan ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi seperti saudara-saudaranya yang lain. Mungkin kalau Kartini tidak mengenyam pendidikan ala Eropa dan tidak berinteraksi dengan teman-teman Belandanya, ia tidak begitu sedih ketika hendak dipingit dan menjalani tradisi tersebut dengan penuh suka cita sambil membayangkan raden mana yang akan melamarnya.
Begitu pula seandainya saya tidak kuliah di Jogja, masuk Jurusan Sosiologi dan bersinggungan dengan isu sosial dan teori Barat, mungkin saya akan senang bukan kepalang ketika ayah menyuruh saya menikah dan bermurah hati hendak mencarikan pasangan untuk saya dari kalangan Lora[1]: spek yali-yali idaman santriwati. Sayangnya, saya tak lagi menempatkan pernikahan sebagai plan A atau plan B, melainkan p(e)lan-p(e)lan saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa saja. Ayah masih dengan pandangan ruralnya tentang perempuan yang harus segera menikah setelah lulus sarjana, sedangkan saya membayangkan terbang ke Australia.
Ingatan obrolan dengan Ayah tadi berputar layaknya film usang ketika saya menyaksikan Febe mencari kedua orangtuanya setelah bangun tidur. Itu adalah salah satu adegan dalam teater bertajuk Sekilas dalam Kurungan besutan Ma’rifatul Latifah, dipentaskan 28 September 2024 lalu pada Festival Minikita di IFI-LIP Yogyakarta. Dalam adegan itu, Febe memanggil-manggil ayah dan ibunya dari dalam kurungan kayu beroda empat. Ia bernostalgia tentang hari-hari biasanya ketika wajah ayah dan ibu menjadi wajah pertama yang ia lihat pada pagi hari; momen yang akan hilang ketika dewasa nanti. “Harusnya ada ayah dan ibu yang membangunkan anaknya dan membuatkan sarapan,” kata Febe.
Pertunjukan tersebut mengangkat tradisi pingitan di Jawa dan posuo di Buton sebagai isu pengurungan terhadap perempuan selama masa peralihan menjadi dewasa, dari individual body ke social body, sebagaimana tertulis dalam catatan sinopsis. Akan tetapi, dialog dan properti yang ditampilkan mengisyaratkan kurungan sepanjang masa bagi manusia bergender perempuan, baik kurungan tak kasatmata seperti stereotipe dan kurungan berupa ruang fisik. Sekilas dalam Kurungan merupakan satu di antara enam pertunjukan dalam Festival Minikita yang berlangsung selama 27-29 September 2024. Festival ini sendiri adalah semacam presentasi akhir dari program Minikita: Inkubasi Teater Yogyakarta yang berlangsung sejak 3 Juli 2024 lalu.
Sekilas dalam Kurungan dimainkan oleh dua aktor utama, yakni Febe sebagai representasi perempuan yang ‘dikurung’ seumur hidup, dan Sendy sebagai representasi laki-laki yang mulanya ‘dikurung’ juga, tetapi di kemudian hari ia akan bebas dan berubah menjadi subjek yang justru mengurung perempuan. Selain itu, terdapat seorang aktor sampingan yang berperan sebagai tokoh adat yang ikut mensakralkan tradisi pingitan ini. Dalam pertunjukan, Febe dan Sendy sama-sama menggunakan nama mereka sendiri sebagai nama tokoh.
Setelah menonton penampilan Febe dan Sendy yang penuh tawa tapi berakhir tangis, saya melihat tradisi pingitan bukan hanya sebuah perayaan atau kegiatan sekali seumur hidup yang dilakoni perempuan sebelum menikah, melainkan sebuah validasi dari stereotipe yang selama ini dilekatkan pada perempuan, seperti harus berpenampilan cantik, patuh, dan satu-satunya peran yang wajib ia lakoni adalah menjadi istri serta ibu. Seolah-olah perempuan selama hidupnya hanya berpindah dari satu kurungan menuju kurungan lainnya, pikir saya. Ketika lajang, perempuan berada dalam kurungan orangtua—keluarga sebagai salah satu lembaga sosial yang turut mengekalkan pembatasan terhadap perempuan—lalu, setelah menikah, perempuan berada di bawah kurungan suami.
Sebagai properti utama dalam pertunjukan malam itu, dua kurungan kayu yang mirip keranjang bayi menimbulkan paradoks. Sebab, dua orang remaja menjalani hidup yang berbeda di dalamnya. Febe melakukan kegiatan sehari-harinya di dalam kurungan tersebut. Ia makan dan minum, berdandan, bahkan berinteraksi dengan Sendy, sahabat kecilnya yang juga terkurung. Kurungan bayi tersebut bak simbol adegan masa lampau yang dialami Febe sebagai bayi, sebagai perempuan, yang dididik dengan moral serta dogma tertentu, dan bersinambung hingga ia remaja serta dewasa nanti. Sebuah kurungan yang abadi seperti waktu.
Meski kebutuhannya terpenuhi di dalam kurungan, Febe tampak bosan. Sebuah perasaan yang niscaya muncul ketika seseorang tak berdaya dan terbatas gerak serta idenya. Hal itu tampak jelas ketika Febe berusaha keras membangunkan Sendy yang tidur malas. Febe melempar telepon kaleng dan susah-payah bergerak memindahkan kurungannya agar dekat dengan kurungan Sendy. Febe menampilkan karakter stereotipe perempuan selama ini, yakni cerewet. Ia berbicara tanpa jeda kepada Sendy.
Sang sutradara, yang kerap disapa Mia, sepertinya sengaja tak menampilkan lebih banyak aktor, kecuali teman masa kecil Febe yang kelak menjadi suaminya, Sendy, untuk menyiratkan bahwa kurungan tersebut berisi kesendirian dan keterbatasan bagi perempuan. Febe yang merasa sendiri berupaya mendekati Sendy, laki-laki yang diharapkan dapat menghilangkan rasa sepinya. Adegan itu menunjukkan bahwa perempuanlah yang membutuhkan laki-laki, alih-alih hubungan kesalingan antara dua gender. Selain itu, saya melihat Sendy sebagai satu-satunya aktor sudah cukup untuk merepresentasikan masyarakat yang patriarkis.
Wacana kecantikan pun melingkupi kurungan tersebut. Nilai lebih diri perempuan berwujud penampilan fisik dan riasan yang dipoles pada wajah, serta afirmasi dari lawan jenis. Hal itu muncul dalam satu adegan ketika Febe merias wajahnya terlebih dahulu menggunakan bedak dan lipstik sebelum menemui Sendy, Febe hendak caper. Secara langsung, Febe mengobjektifikasi dirinya sendiri dengan mendisiplinkan tubuhnya demi kepuasan pandangan orang lain. Setelah berhasil memindahkan kurungannya, Febe memperlihatkan bibir merahnya secara sensual pada Sendy.
Objektifikasi diri adalah akibat keterbatasan perempuan yang timbul dari kurungan tersebut. Ia tidak bisa membayangkan dirinya selain menjadi ‘perempuan yang cantik’ dan ‘perempuan yang dilirik’. Khayalan jauh perempuan mungkin ingin jadi peri—tokoh yang terasosiasi dengan penampilan sempurna—tetapi khayalan itu pun terbatas karena tak ada banyak pilihan sebagaimana laki-laki bisa membayangkan dirinya menjadi Batman, Spiderman, atau Superman dengan aneka macam kekuatan.
Demikian, Febe tidak bisa membayangkan dirinya selain menjadi istri dan ibu ketika dewasa. Hampir setiap dialog Febe berisi angan-angan betapa menyenangkannya masa dewasa nanti saat ia menikah dan saling berbagi kehangatan dengan Sendy, seperti yang pernah dialami ayah dan ibunya. Febe bahkan membayangkan akan melalui malam pertamanya dengan Sendy sambil mendaftar SBMPTN. Sendy tampak jengah mendengarkan khayalan-khayalan Febe dan memperingatkan bahwa mereka berdua masih SMP, terlalu dini untuk memikirkan pernikahan.
“Aku tak bisa membayangkan bagaimana bahagianya hidup kita, Sen. Di saat bangun tidur pagi, kumelihat wajahmu yang tampan, lalu mencium pipimu dan bibirmu,” khayal Febe.
Sikap Sendy konsisten dari awal hingga pertengahan pertunjukan. Ia tampak tidak peduli dengan pernikahan yang selalu dibahas Febe. Sikap tersebut semakin kentara saat adegan main nikah-nikahan yang meriah. Febe menikmatinya, barangkali itulah representasi khayalannya: perayaan diiringi musik dangdut yang asyik, bingkisan-bingkisan kado, dan foto bersama tamu undangan. Ia turut bernyanyi dan menari, berbeda dengan Sendy yang duduk malas di tepi panggung, menarik diri dari semarak.
Ketidakpeduliannya pada pernikahan juga terlihat dari sikap Sendy yang kerap tidur dan malas menyahuti ocehan Febe. Walaupun ia juga hidup dalam kurungan, Sendy tampak santai dulu gak sih dalam kurungan tersebut. Sebab, kepala Sendy penuh berbagai rencana masa depan, mungkin karier atau pasangan, yang bisa ia pilah dan pilih. Itu berbanding terbalik dengan Febe yang terus berbicara tentang pernikahan, punya anak kembar, dan mengajak Sendy bermain, untuk menghilangkan kebosanannya.
Perbedaan sikap antara Febe dan Sendy bisa disebabkan oleh apa yang disebut Silvan Tomkins sebagai sekumpulan ‘adegan’ yang dilihat dan diserap oleh setiap individu. Adegan dari masa kanak hingga remaja yang dilihat bahkan dialami Febe mungkin berkisar seputar peran perempuan sebagai makhluk domestik. Sedangkan adegan yang dilihat dan dirasakan Sendy mewajibkan laki-laki untuk memikirkan urusan publik, meniti karier misalnya. Akhirnya, Febe membuat ‘naskah diri’ dari adegan tersebut bahwa menjadi perempuan harus: merawat dan merias diri; menjadi istri yang patuh; menjadi ibu yang penuh kasih sayang. Begitu pula Sendy, ia membuat ‘naskah’nya sendiri dari ‘adegan-adegan’ maskulin sebagai laki-laki: bebas menentukan arah hidup; berjiwa pemimpin; berkuasa atas rumah tangga.
Silvan S. Tomkins merupakan teorikus psikologi asal Amerika yang mengurai hubungan afek dan kognisi manusia, kemudian menggagasnya menjadi teori skrip. Menurutnya, setiap orang sejak—lahir dan selama hidupnya—mengalami, merasakan, merespons, serta menciptakan adegan atau fenomena di sekitarnya.[2] Kumpulan adegan itu disebut naskah atau skrip, yang terbagi dalam beberapa tema, di antaranya skrip amarah, skrip kesopanan, dan—dalam konteks pertunjukan ini—skrip peranan perempuan serta skrip peranan laki-laki.
‘Naskah’ yang dibuat masing-masing oleh Febe dan Sendy tergambarkan dengan jelas dalam adegan terakhir pada pertunjukan malam itu, ketika lampu tiba-tiba muram dan Febe tampak kesakitan mendengar suara-suara seorang tokoh adat memasuki arena dan membacakan doa-doa ruwat sambil mengelilinginya. Ia menggeliat, menangis, sedang di kurungan lain, Sendy tidur lelap.
Saat terbangun, Sendy mengenakan sarung yang diberikan oleh tokoh adat tersebut. Pemberian sarung itu seperti sebuah penegasan bahwa adat kerap menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Sebab, setelah memakai sarung itu, Sendy dengan mudah keluar dari kurungan dan menghampiri Febe. Ia kemudian melilit Febe dengan kain putih. Saya melihat lilitan kain putih tersebut sebagai simbol kurungan yang akan dijalani Febe selanjutnya, kurungan yang lebih sempit dan menjadi simbol kuasa lelaki—suami—terhadap seluruh kehidupan istri.
Sendy yang mulanya tidak peduli dengan pernikahan, berubah menjadi lelaki dewasa yang memahami betul ‘perannya’ dan ‘tempatnya’. Ia menyebut kurungan adalah hak bagi laki-laki, bukan kewajiban. Berbeda dari perempuan yang dikenai kewajiban untuk mengurung dirinya sendiri dan mau dikurung. Kurungan sebagai hak mengindikasikan adanya kuasa dan kebebasan untuk memilih. Hal itu tersurat pada ungkapan Sendy bahwa laki-laki tidak pantas hidup dalam kurungan selamanya.
“Seorang laki-laki harus bebas, menentukan arah dan jalannya sendiri. Saya tidak mengatakan perempuan tidak bisa keluar, tapi bukankah perempuan harus saya jaga?” ungkap Sendy.
Secara garis besar, terdapat dua adegan yang menunjukkan perubahan dan perbedaan sikap Febe dan Sendy. Pada bagian awal hingga pertengahan, Febe tampak lebih banyak bicara dan mengekspresikan dirinya. Sedangkan pada bagian pertengahan hingga akhir, suara yang keluar dari mulut Febe hanya tangisan sebelum akhirnya ia benar-benar bungkam setelah Sendy melilitkan kain putih dari ujung kaki hingga leher dan memplester mulutnya. Suara Febe benar-benar lenyap saat Sendy merangkulnya secara paksa.
Akhir pertunjukan tersebut semakin menyayat hati saya karena teringat adegan-adegan ketika Febe dan Sendy asyik bermain lempar bola. Sayangnya Febe gagal menangkap bola yang Sendy lempar. Ia pun kesulitan untuk mengambil bola yang terjatuh di luar kurungannya. Saya melihat bola itu seperti masa remaja Febe yang terlempar begitu saja ketika ia memasuki masa dewasa. Febe dan Sendy bersahabat sejak kanak, sama-sama mengalami masa kecil yang seru, tetapi masa dewasa mereka seperti jurang yang bersebelahan. Masa dewasa seakan-akan merenggut kehidupan remaja perempuan, dan itu yang saya takutkan ketika mendengar kata pernikahan. ‘Adegan-adegan’ yang saya saksikan selama ini menampakkan domestikasi terhadap perempuan yang menikah, sehingga saya membuat ‘naskah’ bahwa nanti ketika saya menikah, saya akan: terkekang; harus minta izin; harus punya anak, dan lain sebagainya ‘Adegan’ yang saya saksikan barangkali bisa sama atau justru berbeda dari ‘adegan’ yang Anda saksikan, sehingga ‘naskah’ pernikahan yang kita ciptakan punya ‘alur ceritanya’ masing-masing. Bagaimanapun, semoga ‘adegan’ yang kita lihat dan rasakan, serta ‘naskah’ yang kita buat di masa mendatang mengandung afek positif.
***
Catatan:
[1] Panggilan untuk anak kiyai dalam bahasa Madura
[2] Aronoff, Joel; Rabin, Albert I; Zucker, Robert A, The Emergence of Personality. (New York: Springer Pub. Co., 1987) hlm. 147-158.
Editor: Ragil Cahya Maulana
[…] Mudzar dalam tulisan Perempuan dalam Kurungan Khayalan dan Realita pada rubrik Jala mengurai kegelisahan perempuan yang dipentaskan melalui teater Sekilas dalam […]