Widi Asari dalam riset artistiknya selama melakukan residensi di Maumere pada Agustus 2024 mendapati bahwa mama-mama penenun tidak bisa menyanyikan lagu jata kapa tanpa menggerakan tubuh dan alat-alat menenun. Jata kapa adalah nyanyian yang berisi langkah-langkah membuat kain, dari memetik kapas hingga menenun. Pada setiap tahap menenun, si mama akan menyanyikan secara berulang-ulang sebuah syair jata kapa yang berisi proses tersebut. Jata kapa merupakan metode untuk belajar dan mengingat; dengan mengingat syair, para mama penenun terus mengingat alat-alat dan proses menenun yang menyertainya.
Beberapa dari mama-mama penenun yang Widi temui sudah lupa-lupa ingat saat diminta menyanyikan jata kapa karena ada sebagian alat yang sudah tidak digunakan lagi atau ada proses tenun yang di-skip, sehingga syair-syair itu turut dilupakan. Mama-mama yang lain mencoba menyanyikannya dengan menggerakan tubuh seolah-olah sedang menggunakan alat-alat menenun. Meminjam istilah Widi, nyanyian jata kapa dan gerak menenun adalah pengetahuan yang menubuh.
Sebelum menjadi pengetahuan yang menubuh itu, para mama telah akrab bertahun-tahun lamanya dengan bau, bunyi, gerak, dan bentuk dari setiap tahapan dalam kerja menenun. Ia dilakukan dengan pengulangan dalam waktu yang lama. Saat ada yang baru atau hilang, tubuh pun menyesuaikan dan hanya mengingat tahapan yang masih dilakukan. Misalnya, proses membersihkan kapas dari biji untuk selanjutnya dipintal menjadi benang, sudah tergantikan dengan menggunakan benang pabrik yang dapat dibeli di toko. Atau proses mewarnai benang dari pewarna alam digantikan oleh pewarna kimia. Cara untuk memisahkan kapas dari biji tidak dilakukan lagi dan pengetahuan yang menyertainya perlahan-lahan hilang, begitu pula dengan pengetahuan akan tetumbuhan yang menjadi bahan pewarna alam, cara meraciknya, dan resep turun-temurun untuk menghasilkan warna tertentu, bisa saja hilang seiring zaman.
Proses membuat kain dari kapas hingga menjadi selembar kain tenun yang dulunya baru selesai dalam waktu setahun, kini bisa dilakukan hanya dalam hitungan bulan, dengan konsekuensi kehilangan pengetahuan tertentu. Pengetahuan yang menubuh itu tak bisa direplikasi begitu saja ke tubuh atau individu yang lain yang tidak terbiasa dengan pola gerak tubuh pemilik pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang menubuh terutama adalah gerak yang dilakukan berulang-ulang setiap hari, yang mungkin kerap kali diremehkan.
Hari-hari ini, menenun dan kebanyakan praktik budaya lain seperti bahasa, makanan, pengobatan tradisional, dan lain-lain pun mulai terancam hilang. Sebagian pengetahuan yang menubuh itu barangkali ada yang terputus atau hanya tersisa cerita. Sama seperti menenun, tak banyak anak muda yang bisa mempraktikkan pengetahuan itu dengan kesabaran mengulang gerak yang dilakukan secara kontinu. Jika hendak belajar kembali, ia perlu merujuk pada generasi lama yang masih mempraktikkannya dengan tuntutan kesabaran yang sama besarnya.
Dalam edisi Lau Ne kali ini, kita dapat melihat ragam perspektif pengetahuan yang menubuh dari tulisan-tulisan yang disajikan.
Pada rubrik Jangkar dalam tulisan “Melihat Ulang Gerakan Seni-Budaya Kita”, Ragil Cahya Maulana mengajak pembaca untuk mempercakapkan gerak seni dan sikap kebudayaan secara harfiah dengan pertanyaan: bagaimana gerak tubuh dan sikap kita dalam berkesenian serta kebudayan hari ini? Ia mempertanyakan pengelompokan jenis hasil karya mana yang bisa disebut sebagai seni dan mana yang bukan, padahal setiap karya yang masuk ke ruang pamer, panggung, dan museum adalah hasil dari gerak keseharian.
Dalam tulisan “Warisan yang Gaib dan Tabu: Pencatatan Pengalaman Kolektif Berbau Mistis Generasi Muda Karo” pada rubrik Layar, Ripase Nostanta Purba berangkat dari identitasnya sebagai cucu seorang Perodak-odak, tokoh penghayat Pemena yang banyak melakukan ritual untuk berbagai kebutuhan dan permintaan orang-orang di Berastagi, Sumatera Utara. Meski jumlah penghayat Pemena sudah berkurang sejak 1970 dan penurunan agama lokal kepada generasi muda yang sudah terputus, namun anak mudanya dibesarkan dengan banyak cerita yang dipertahankan secara lisan untuk kebaikan generasi satu ke generasi berikutnya. Budaya sopan santun dan sungkan kepada alam dan sesama manusia hadir karena warisan ini. Masyarakat Karo dalam aktivitas sehari-harinya masih berlaku yang sama kepada alam. Pada hakikatnya, semua pantangan yang dibalut dengan cerita-cerita mistis ini menjadi satu pengingat dan pengikat sosial tentang keselarasan hidup dengan sesama manusia dan alam.
Tulisan “Politik Sidoarjo dalam Jagat Pikir Seniman Lokal: Mengalami Terik di atas Bayang-Bayang karya Alif Edi Irmawan”, pada rubrik Jala merupakan catatan atas salah satu karya dalam Pameran Lingkar Belajar berjudul “Terik di atas Bayang-Bayang” oleh Alif Edi Irmawan. Karya ini Alif tujukan sebagai karya satire yang secara ironis dan humoris mempertanyakan keberhasilan pembelajaran moral. Sebagai medium pembelajaran anti-korupsi, karya Alif Edi Irmawan sebenarnya populis. Ia menggambarkan ide-ide mayoritas atau masyarakat kebanyakan yang sudah jengah dan muak dengan spanduk-spanduk politisi.
Pada rubrik Nahkoda, tulisan berjudul “Long-nolongén: Meretas Dapur dalam Dramaturgi Hajatan”, Muhammad Adnan bercakap-cakap dengan Nike dan Sari dari Perempuan Xpresif, sebuah kolektif teater yang dominan anggotanya adalah perempuan. Perempuan Xpresif meretas dapur sebagai basis presentasi artistik mereka pada malam penutupan Babad Lembâna 4, 19 Desember 2024. Judul karya mereka “Long-nolongén merupakan sebuah definisi maupun tradisi yang bila ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia berarti tolong-menolong. Long-nolongén, gotong-royong yang lakunya melekat pada dapur dalam hajatan besar. Ia sekaligus dapat dilihat sebagai gerak keseharian warga yang juga mulai tersisihkan dengan bisnis katering dan tata ruang di kota.
Akhir kata, selamat membaca!