Semenjak menulis buku “Kota Merah Hitam”, saya terobsesi pada isu kota dan urbanisme. Bagi saya, ada hal-hal yang menggelitik dalam kehidupan sosio-kultural warga kota yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur politik. Kemudian, bersama dengan kolektif Hysteria, saya mengembangkan semacam platform pendidikan yang berbasis kewargaan dan pengalaman Hysteria yang sebelumnya sudah berkerja dalam isu-isu kampung kota bernama Pekakota Institute.
Keterlibatan inilah yang dalam dua tahun terakhir mendorong saya untuk secara intens belajar, mendalami, dan mencoba memahami ekses-ekses apa yang terjadi di selingkaran urbanisme dalam konteks spasial kota Semarang.
Semarang sendiri adalah salah kota yang berada di pesisir utara pulau Jawa dan menjadi ibu kota provinsi Jawa Tengah. Semarang pernah menjadi pusat kolonial sekaligus pusat gerakan antikolonial. Semarang terbagi menjadi dua kawasan: Semarang Bawah sebagai kawasan pusat kota, pemerintahan, dan gemerlap metropolitan sementara Semarang Atas sebagai kawasan yang lebih tinggi yang menjadi penyangga kehidupan kota, pusat perumahan murah, pusat di mana kapital secara masif dipaksakan dengan dalih pembangunan.
Sebelum bergeliat dengan isu kota, saya telah terlibat dalam praktik-praktik pendokumentasian terutama dalam skena musik hardcore-punk melalui produksi dan pengarsipan zine atau terbitan alternatif lainnya. Pengalaman yang saya dapat selama bersentuhan dengan zine-lah yang kemudian saya eksperimentasi dalam praktik pendokumentasian kampung.
Pengalaman membuat lokakarya, memproduksi wacana, mengajak keterlibatan, pemetaan, dan teknis terkait produksi dan distribusi literasi yang saya miliki, kini diujicobakan kembali dengan konteks yang lebih luas. Dalam proses pendokumentasian, terdapat dua kampung di mana saya belajar banyak hal dari warga. Dua tempat tersebut juga mewakili kompleksitas topografi dan sosio-kultural di Semarang.
Kampung pertama terletak di ujung utara Semarang, kawasan pelabuhan atau yang lebih dikenal dengan nama Barutikung. Kampung ini merupakan tipikal kampung kota dengan tingkat heterogensi yang tinggi, suatu kawasan yang dianggap sebagai bagian paling kelam dari wajah Kota Semarang: pusat kriminalitas, aksi kekerasan, dan segala kenakalan remaja.
Dari stigma-stigma buruk itulah warga Barutikung merasa terdiskriminasi. Hal ini kemudian membuat mereka merugi secara sosial. Oleh karena itu, mereka ingin membuka komunikasi dengan publik luas bahwa stigma-stigma buruk tersebut tak sepenuhnya benar. Memang ada beberapa peristiwa di masa lalu yang membuat Barutikung dilekatkan dengan hal-hal buruk; terutama terkait peristiwa penembakan misterius yang sempat terjadi di era 1980-an.
Melalui Barutikung Night Trip, warga—terutama pemuda—di Barutikung mencoba berbagi tentang apa yang mereka alami sekaligus belajar tentang kompleksitas yang terjadi dengan diri dan lingkungan mereka. Barutikung Night Trip adalah sebuah inisiatif mengenali kampung sebagai totem bersama dengan cara berjalan-jalan waktu malam hari mengelilingi situs-situs yang dimiliki oleh kampung. Melalui cara ini, teman-teman Barutikung diharapkan mampu memetakan (ulang) lokasi, cerita, dan peristiwa melalui ingatan dan pengalaman yang mereka alami selama tinggal di sana yang dituturkan selama trip berlangsung.
Partisipan lain dari luar Barutikung juga diharapkan mampu belajar dan memaknai ulang pengetahuan yang selama ini mereka ketahui tentang kawasan tersebut melalui pengalaman kehadiran langsung di lokasi. Aktivitas ini diharapakan mampu memantik dialog setara dan interaktif antara yang mengalami dengan yang memaknai.
Beberapa partisipan dari luar yang sempat terlibat dalam Barutikung Night Trip mengatakan bahwa mereka memang kemudian memiliki pandangan baru dan lain setelah mengikuti trip ini. Mereka yang sebelumnya takut untuk bersentuhan dengan kawasan ini apalagi di malam hari karena pengetahuan mereka yang dibentuk oleh media mengenai kesangaran Barutikung berubah.
Pengalaman baru tersebut membuat mereka merasakan Barutikung sebagai kampung kota pada umumnya. Kesangaran wajah tercipta karena tidak saling mengenal. Beberapa lainnya malah memperlihatkan ketakjuban berbeda pada kawasan Barutikung dan sekitarnya karena bangunan-bangunan sisa kolonial yang baru mereka ketahui keberadaannya.
Kampung yang kedua secara geografis merupakan kebalikan dari Barutikung. Pudakpayung adalah kelurahan paling selatan Kota Semarang, berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten. Secara administrasi, Pudakpayung berada dalam wilayah kota, tetapi secara sosio-kultural Pudakpayung situasinya malah lebih mendekati pedesaan (rural). Meski sudah tidak lagi memiliki lahan pertanian yang bisa dikatakan produktif, kampung ini masih banyak menyisakan lahan-lahan hijau dan daerah resapan air yang sayangnya kini jadi incaran para pengembang properti murah.
Kami—aku dan seorang teman yang berpengalaman dalam bidang instalasi pengolahan air (water treatment plant)—memulai aktivitas ini dengan memetakan sumber-sumber mata air yang terdapat di Pudakpayung, yang berupa sendang, belik, atau pancuran. Dari pemetaan tersebut kami dapat mendata hampir 40 sumber mata air dalam lingkup 5 Rukun Warga (RW). Selain mencatat kondisi fisik, titik koordinat, dan kualitas air, kami juga mengumpulkan informasi terkait fungsi sendang bagi warga sekitar.
Hampir semua air sendang dapat dikatakan sebagai air bersih, meski perlu pengujian lain untuk penentuan kelayakan konsumsi. Beberapa sumber mata air sudah tidak dapat lagi dilihat bentuk fisiknya karena telah beralih fungsi. Sementara itu, belik sudah hilang tertimbun longsor atau diterjang aliran air hujan.
Guna mengolah (mendistribusi dan reproduksi) informasi di atas, kami kemudian menginisiasi Nyeduh di Sendang, yaitu aktivasi situs dengan cara ngopi sore and chill. Kami mengajak warga lain—terutama anak muda—untuk bergabung dengan kami, hanya untuk sekedar minum kopi atau berbagi cerita tentang pengalamannya terkait keberadaan sumber mata air tersebut, selain tentunya kami mempresentasikan temuan-temuan yang sudah terkumpul. Fakta-fakta seperti bahwa nama ‘pudakpayung’ tercantum dalam Babad Tanah Jawi adalah salah satu hal yang menjadi pemantik sesi obrolan yang mengalir.
Obrolan bersama ini juga menambahkan materi dokumentasi yang berupa folklore atau mitos yang beredar di antara warga. Misalnya, kami jadi tahu tentang toponimi dusun Situk, yaitu karena di kawasan ini terdapat banyak sekali tuk yang dalam bahasa Jawa berarti mata air. Kami juga mengetahui tentang ritual-ritual tertentu yang masih dilakukan, seperti sadranan, suronan, atau ritual khusus menjelang sedekah bumi, meskipun kemudian pembicaraan selalu berakhir dengan kisah-kisah panampakan hantu di lokasi sendang-sendang tersebut.
Secara jelas dua kampung di atas menawarkan pembelajaran dan pengetahuan yang berbeda. Perbedaan letak geografis dan kondisi ekologis juga pastinya mempengaruhi aspek-aspek sosial dan kultural. Selain itu ‘pintu masuk’ yang digunakan untuk memulai praktik pendokumentasian juga berbeda. Di Barutikung kami bertolak dari permasalahan stigma. Di Pudakpayung kami masuk melalui wacana ketersediaan air bersih. Perbedaan karakteristik ini mengharuskan fleksibilitas dalam berbagai kemungkinan metode pencatatan cerita dan peristiwa.
Di Barutikung saya adalah the outsider, orang dari luar kelompok yang ingin mengetahui kehidupan warga di dalam kelompok. Barutikung Night Trip merupakan metode saling belajar satu sama lain. Orang luar dapat belajar tentang kampung dari cerita-cerita langsung dari warga dan warga dapat belajar memaknai ulang pengetahuan tentang tempat yang selama ini mereka tinggali. Orang luar dapat belajar untuk memahami bahwa artefak atau peristiwa apapun dapat menjadi situs atau ritus penting bagi kampung dan warga dapat mengaktualisasi diri dengan eksistensi situs-ritus tersebut. Ada nilai kesetaraan dan partisipasi yang diupayakan dalam mencatat cerita, yang mana jarang didapatkan jika dilakukan dengan cara wawancara biasa.
Berbeda dengan Barutikung, Pudakpayung adalah kampung halaman saya sehingga saya dapat men-switch perspektif ke dalam dua moda: sebagai warga kampung (the insider) atau sebagai orang yang ingin mendengar cerita dari warga lain (the outsider). Pengalaman sebagai warga kampung membuat saya memahami informasi dasar terkait subjek yang ingin didokumentasikan, selain tentunya aktor-aktor sosial yang dapat mendukung prosesnya.
Nyeduh di Sendang merupakan tawaran untuk memaknai langsung eksistensi sumber-sumber mata air yang berupa sendang melalui kopi yang diseduh menggunakan air yang diambil dari sendang tersebut. Keberadaan kami di situs tersebut diharapkan dapat membuka pintu ingatan dan pengalaman mengenai hal-hal di sekeliling subjek sendang tersebut.
Seluruh dialog dan cerita yang muncul selama trip dan ngopi kemudian direkam dan tulis ulang untuk materi dokumentasi. Cara-cara ini adalah upaya untuk mengaktualisasi diri terhadap peristiwa yang terjadi di luar tubuh, sekaligus sebagai kontekstualisasi atas kerja-kerja sosio-kultural yang selama ini dilakukan. Ada kesadaran untuk mendorong warga berbagi ingatan dan cerita sehari-hari sebagai upaya memproduksi pengetahuan yang berbasis lokalitas, kewargaan, dan pengalaman harian. Kesadaran warga dalam memproduksi narasi yang ingin dicitrakan ke publik adalah hal dasar dalam praktik pendokumentasian yang dilakukan, meskipun setiap aktor masing-masing kampung memiliki motivasi keterlibatan yang berbeda-beda.
Meskipun cenderung personal, bukan berarti hasil pencatatan yang dilakukan tidak relevan. Kami merasa perlu untuk membagikan praktik-praktik ini ke publik, selain sebagai cara untuk berbagi pengetahuan juga harapannya dapat menjadi cara kami untuk melakukan refleksi atas praktik tersebut. Pendokumentasian di Barutikung akan kami terbitkan dengan judul “Susur Utara Kota” di mana sudah masuk tahapan produksi cetak ketika naskah ini ditulis, sedangkan pendokumentasian di Pudakpayung tengah memasuki tahap pematangan materi yang rencananya akan diberi judul “Titik-titik”. Capaian dari pendokumentasian ini salah satunya adalah pemahaman, pengalaman, dan partisipasi warga, selain produk zine yang dapat menjadi dokumen pembelajaran kolektif.
Praktik pendokumentasian yang dilakukan di dua kampung di atas sebenarnya tidak hanya berkutat pada pengumpulan, pengarsipan, dan penerbitan dokumen atau hasil riset saja melainkan ada semacam penciptaan pengetahuan bersama (knowledge co-creation), meskipun tentu saja urgensitas subjek juga menjadi hal yang ingin diwacanakan. Melakukan intervensi dan ekplorasi pada nilai, gagasan, persepsi, dan keyakinan yang sebelumnya kami miliki, entah sebagai the insider maupun the outsider, adalah proyeksi jauh yang ingin dilakukan meski kami juga menyadari keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada kami.
[…] rubrik Layar, Pujo Nugroho menulis “Belajar bersama Warga: Refleksi Praktik Pendokumentasian di Dua Kampung di Semarang” mengenai upaya praktik pendokumentasian dua kampung di Semarang. Praktik tersebut tidak hanya […]