Oleh Anju Nofarof Hasudungan
Ketika ditetapkan secara resmi sebagai salah satu di antara guru-guru SM-3T yang akan dikirim ke Kabupaten Jayawijaya – Papua dalam kurun waktu satu tahun (Agustus 2015 – Agustus 2016), saya memantapkan diri sebesar-sebesarnya untuk berkarya dan mengabdi di tanah timur Indonesia tersebut.
Meski waktunya relatif singkat untuk ukuran seorang pendidik, saya setidaknya menanamkan tekad dan berusaha mengenal sama saudari/a di sana lebih dekat.
Tempat tugas saya berlokasi di Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Desa Piramid, Distrik Piramid, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Hidup dan mengabdi sebagai guru di tengah-tengah masyarakat suku Dani Jayawijaya memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi saya.
Namun, saya juga mengunjungi wilayah atau kabupaten lainnya, terutama di Pegunungan Tengah Papua yang masuk dalam tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah se-Indonesia, seperti Jayawijaya, Lanny Jaya, Membramo Tengah, Nduga, dan Yalimo.
Saya menemukan pelbagai keberagaman -entah isu, hubungan sosial ataupun kearifan tempatan – di tengah gambar besar tentang Papua yang kerap kali dicitrakan media.
Meskipun demikian, untuk lima wilayah tadi terdapat kesamaan kondisi demografi, geografi maupun ekonomi.
Pengalaman tinggal bersama dan mengajar adik-adik Papua tersebut kemudian memunculkan niat saya untuk menulis artikel ini.
Namun, yang mau saya soroti di sini lebih pada masalah dan tantangan pendidikan di Papua serentak menjadi semacam sumbangan berpikir dari pengalaman keterlibatan mengajar saya bersama kawan-kawan guru lainnya.
Tantangan Pendidikan Papua
Jika mempelajari sejarah Papua dalam hubungannya dengan Indonesia, maka kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa Papua sangat “berarti” bagi Negara Indonesia, mulai dari masa Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo saat ini.
Lalu, jika Anda ditanya, daerah mana di Indonesia yang sangat lengkap permasalahan hidupnya? maka, jawaban Anda kemungkinan besar akan tertuju pada provinsi Papua atau provinsi terdepan Indonesia jika dilihat dari Negara Papua Nugini.
Permasalahan itu mulai dari kesejahteraan hidup beserta indikator-indikatornya, kesehatan yang buruk, juga pendidikan yang jauh dari standar baku nasional.
Saya melihat dan merasakan sendiri hal-hal tersebut. Papua – yang dahulunya bernama Irian Jaya, ikut bergabung ke Republik Indonesia dan Anti-Netherlands – kini menjadi daerah yang miskin, tetapi kaya. Sungguh sebuah anomali.
Memang dalam kaitannya dengan Pemerintah, sebenarnya sudah ada banyak kebijakan khusus untuk Papua.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Unit Percepatan dan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diketuai Wakil Presiden Boediono.
Dari nama programnya saja tentu kita tahu sekurang-kurangnya perkara alasan unit tersebut dibentuk.
Namun, mengapa Papua belum bisa “ditinggalkan” sebagai daerah yang perlu dikhususkan/dipedulikan, sehingga segala bentuk kampanye ihwal peduli Papua cepat berakhir.
Meskipun sejatinya, bukan hanya daerah Papua saja yang masih digolongkan tertinggal; masih banyak daerah lainnya di Indonesia yang relatif sama dengan Papua.
Harus diakui, selama 75 tahun kemerdekaan Indonesia memang masih banyak daerah yang pembangunannya belum setara Pulau Jawa (pusat pemerintahan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya).
Hemat saya, problem ini tidak hanya soal political will, tetapi juga decision making dari Pemerintah Pusat, terlepas dari saat ini kelihatannya pembangunan Indonesia telah bertransformasi menjadi pembangunan Indonesiasentris, dan bukan lagi Jawasentris.
Namun, lewat pengalaman mengajar di SD Negeri Niniki Distrik Piramid dan pengalaman berorganisasi sebagai Ketua Divisi Pendidikan SM-3T Angkatan V LPTK Universitas Riau dan Ketua Pekan Generasi Emas Jayawijaya 2016, saya melihat bahwa tantangan paling fundamental pendidikan di Jayawijaya khususnya dan Papua umumnya adalah ketuntasan pada kemampuan dasar baca tulis dan hitung (calistung) peserta didik.
Bahkan, kemampuan calistung yang belum tuntas atau tersendat-sendat banyak dialami pula peserta didik pada level Sekolah Menengah Atas (SMA). Mirisnya, banyak juga aparatur desa atau distrik (kecamatan) yang mengalaminya.
Pertanyaannya, mengapa anak-anak Papua di kelas dasar – bahkan pada level pendidikan yang lebih tinggi – belum tuntas dalam kemampuan tingkat dasar calistung?
Banyak orang, termasuk pakar pendidikan, mengatakan:
“Tidak ada anak yang bodoh."
Saya setuju dengan pendapat ini.
Dalam kaitannya dengan Papua, sudah ada profesor Fisika terkenal Indonesia yang membuktikannya; membuat anak Papua meraih medali di ajang Olimpiade Matematika dan Sains Internasional.
Selain itu, saya dan teman-teman guru pun berusaha dan setidaknya berhasil mempraktikkan pendekatan berbeda (sesuai konteks tempatan) guna meningkatkan ketuntasan calistung di setiap sekolah penempatan masing-masing.
Lalu, apa makna yang bisa didapat dari situ?
Ketidaktuntasan kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebetulnya bukan ada pada diri peserta didik. Ketidaktuntasan calistung yang melanda anak-anak murid Papua terletak pada sistem dan metode pendidikan yang digunakan.
Maka dari itu, saya berkeyakinan bahwa gagasan “Papua untuk Pendidikannya” menjadi salah satu metode dan pendekatan yang tepat untuk merefleksikan kemajuan pendidikan Papua baik dalam skala kecil maupun skala besar.
Papua untuk Pendidikannya
Sering sekali kita dengar ungkapan tentang “Pendidikan untuk Papua” dalam opini ataupun kebijakan tentang pemerataan kualitas pendidikan di Papua, khususnya di Pegunungan Tengah Papua.
Benar bahwa pendidikan harus masuk ke Papua, karena pendidikan memutus rantai kemiskinan dan mengubah keadaan dari keterbelakangan menuju hidup penuh pengharapan, seperti halnya bangsa Indonesia pada masa lalu; menemukan identitas dan bersama-sama mencapai kermerdekaan.
Semuanya itu diawali dengan kebangkitan golongan terpelajar (kaum terdidik).
Artinya, untuk mengawali kebangkitan Papua (slogannya Gubernur Papua, Lukas Enembe) haruslah dimulai dengan bangkitnya pendidikan. Sejarah memang telah membuktikannya.
Pertanyaannya sekarang adalah pendidikan yang bagaimana untuk Papua? Pendidikan dari Pulau Jawa atau Sumatera atau lebih parah lagi Pendidikan Barat?
Masih ingat di pikiran saya saat hendak berangkat ke Jayawijaya-Papua.
Sebelum berangkat, saya dijejali dengan paradigma “Aku harus mengubah pendidikan di Papua”, dan seketika merasa menjadi pahlawan.
Saat itu, saya masih ‘polos’ dan seperti katak dalam tempurung dan merasa bahwa doktrin tadi bakal benar-benar mujarab.
Namun, sesampai di sana, saya benar-benar dibukakan tentang kondisi nyata pendidikan Papua dan apa yang terjadi sebenarnya.
Saya kemudian merasa bahwa mindset “Pendidikan untuk Papua” mesti diubah menjadi “Papua untuk Pendidikannya”.
Kesalahan saya waktu itu memang hanya membawa ilmu atau pendidikan yang saya peroleh dari universitas untuk serta-merta diterapkan di sekolah penempatan tanpa paham apa-apa dengan kondisi lapangan.
Dari tamparan itu, saya lalu beranggapan bahwa pendidikan tinggi yang saya peroleh hanyalah sebagai bekal diri, tetapi bukan prinsip untuk diterapkan di pendidikan Papua.
Untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan Papua adalah dengan menerapkan pendekatan “Papua untuk Pendidikannya” bukan lagi “Pendidikan untuk Papua”.
Pendekatan ini merujuk pada sistem pendidikan khusus beserta kurikulumnya yang diambil dari nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Papua.
Sebenarnya, konsep ini telah diungkapkan oleh salah seorang Profesor Pedagogik Universitas New Jersey State Normal School.
Bahwasanya dalam mempelajari pendidikan seseorang, kita perlu memahami kehidupan sosial, politik, dan agama mereka.
Kadang-kadang kita perlu mengetahui geografi dan sejarah mereka. Sebabnya, pengaruh iklim, pekerjaan, dan lingkungan bisa membentuk karakter seseorang.
Barulah ketika kita telah mempelajari lingkungan seseorang, kita siap untuk mempelajari pendidikan dasar mereka.
Ini membawa kita ke dalam ruang kelas, memperkenalkan kita pada tempat di mana sekolah diselenggarakan, menunjukkan pada kita beberapa mata pelajaran yang dipelajari, kedisiplinan, metode pengajaran, dan semangat para guru.
Bahkan, Belanda pun ketika masih menguasai Irian Barat menggunakan hal tersebut untuk kepentingannya – informasi ini saya peroleh dari tokoh-tokoh adat dan agama yang ada di Jayawijaya.
Lebih lanjut, “Papua untuk Pendidikannya” merupakan pendidikan yang kontekstual; berangkat dari contoh-contoh budaya masyarakat Papua.
Gagasan saya mengenai konsep “Papua untuk Pendidikannya” juga berangkat dari penelitian dari berbagai pihak bahwa pendidikan Papua butuh sentuhan yang berbeda dari daerah lainnya di Indonesia.
Mengenai ini, sebagai studi kasus yang saya dapati bersama teman-teman guru lainnya, adik-adik Papua sangat sulit untuk membedakan huruf J dan Y, juga kata yang tidak sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan materi-materi pembelajaran di buku yang tidak pernah mereka kenal.
Metode CTL
Maka dari itu, penerapan “Papua untuk Pendidikannya” adalah setiap guru yang bertugas harus mengunakan metode Contextual Teaching and Learning (CTL) atau sistem pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik.
Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontekstual karena konsep belajar ini membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajaran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa (peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dapat terserap ke dalam benak mereka dan mereka mampu menghubungkannya dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut metode pembelajaran kontekstual, kegiatan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tetapi bisa juga di alam, sungai, bukit, sawah, tempat kerja, laboratorium ataupun tempat-tempat lainnya.
Pendidik (guru) juga mesti cerdas memilih serta mendesain lingkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Berkenaan dengan Papua, Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Papua sejak tahun 2001 hanyalah diartikan dan diterapkan pada bidang politik dan pemerintahan. Alangkah baiknya, pendidikan juga perlu diperlakuan khusus, sebab ketertinggalan pendidikan Papua sudah sangat jauh dari daerah lainnya di Indonesia.
Pada akhirnya, yang dapat mengubah pendidikan di Papua adalah orang Papua itu sendiri dalam bangunan sistem yang tidak membodohkan mereka.
*Artikel ini pertama kali terbit di NTT Progresif, 11 Agustus 2020.