Udeido Collctive adalah sebuah ruang kreatif yang mendorong upaya seniman-seniman muda Papua untuk mengeksplorasi fenomena sosial budaya dan humaniora di Papua dan mempresentasikannya dalam bentuk seni visual.
Salah satu karya Udeido Collective yang cukup penting adalah Koreri Projection yang dipamerkan pada main exhibition Biennale Jogja XVI dan Koreri Transformation pada ‘Present Continuous’ di Museum Macan. Obrolan dengan Dicky Tackndare berkisar antara gagasan Udeido Collective dan proses penciptaan Koreri Projection dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir di Papua.
Eka: Selamat malam Kaka Dicky. Apa kabar?
Dicky: Selamat malam kabar baik.
Eka: Sekarang lagi di Jogja berarti?
Dicky: Posisi di Jogja, di studionya Udeido.
Eka: Lagi sibuk apa Udeido sekarang?
Dicky: Udeido sekarang lagi vakum. Semuanya lagi berlibur, setelah tahun lalu kita cukup punya banyak kegiatan. Teman-teman sebenarnya lagi santai-santai saja. Tapi dalam minggu ini atau minggu depan, kita ada peluncuran satu buku yang diterbitkan Marjin Kiri. Mereka terbitkan disertasinya Bapak Benny Giyai. Beliau salah satu tokoh penting di Papua. Disertasinya itu sebenarnya dibuat tahun ‘95 di Vrije University di Belanda, Amsterdam dan baru diterbitkan tahun ini.
Udeido bekerja sama dengan beberapa kakak dan adik yang menerjemahkan buku ini. Kita membuat semacam pameran kecil di dalam. Termasuk pembuatan cover, terus kami masukkan kami punya karya. Karya ini tidak seperti ilustrasi karena biasanya ilustrasi itu menceritakan narasi dari cerita yang sudah ada. Tapi…
Eka: Dia berdiri sendiri?
Dicky: Nah. Di dalam proses ini, anak-anak dikirimkan draft dari buku yang akan terbitkan jauh sebelumnya. Terus kami baca masing-masing dan berikan kami punya interpretasi terhadap apa yang ada di dalam buku ini. Terus kami hasilkan karya.
Jadi ada orang yang akan bilang itu menjadi pembatas buku, ada yang bilang itu menjadi ilustrasi buku. Tapi sebenarnya Udeido sendiri lihat itu sebagai pemerannya kami. Itu pameran terbarunya kami. Karena teman-teman pikir, kita ini tidak banyak dapat ruang untuk untuk bicara seperti yang kita biasa bicarakan, sehingga setiap ruang di mana kita bisa tunjukkan atau pamerkan kita punya karya, kita akan anggap itu seperti pameran. Tidak peduli apa bentuknya.
Eka: Itu persis yang KAHE bikin. Kita kadang-kadang suka okupasi ruangnya orang. Saya juga sempat lihat cover-nya. Sempat vote juga waktu di instagram Marjin Kiri kan? Mereka minta pendapat cover yang mana. Itu karyanya Udeido, Kak Dicky kalau tidak salah e?
Dicky: Iya. Covernya, dari Marjin Kiri pilih saya punya. Tapi kami ada masukan empat karya ke dalam. Ada saya, Nelson, Betty, sama Mikel.
Eka: Untuk teman-teman yang ingin memperoleh bukunya bisa langsung saja ke Marjin Kiri store.
Sebelum kita omong soal Koreri Projection yang cukup fenomenal di Jogja Biennale dan Present Continuous di Museum Macam, saya ingin tahu sedikit soal Udeido. Sebenarnya, apa semangat yang melatari hadirnya Udeido?
Dicky: Saya harus beritahu dulu Udeido itu apa. Jangan ada yang kira ini sejenis makanan kaleng lagi. Hahaha.
Nah, Udeido ini sebuah kolektif. Sekarang kita ada tujuh seniman muda dari Papua dan datang dari beberapa tempat yang berbeda. Ada yang dari Jayapura, Fakfak, Timika, dari wilayah Mee. Waktu itu kami berkumpul di Jogja.
Teman-teman Udeido ini beberapa dari antara mereka kuliah di Jogja. Sa kontak mereka satu persatu, berkumpul di satu tempat di Jogja, terus sepakat untuk membentuk suatu kelompok.
Visinya sebenarnya simpel. Kita ingin tampilkan kita punya karya. Ada wadah di mana kita bisa berkreasi karena semua yang berkumpul dalam kelompok ini punya latar belakang atau ketertarikan terhadap visual art. Dan pada tahap lebih lanjut, kami ingin punya ruang untuk membahas fenomena sosial yang kita lihat terjadi di Papua tapi menyajikan itu dalam seni visual.
Kita punya banyak sajian tentang Papua. Ada report, ada laporan dari berbagai badan, yayasan, NGO, instansi. Kita punya media, tapi tidak banyak yang menyentuh wilayah seni visual sehingga dari awal memang Udeido Collective ini didesain untuk lebih fokus terhadap isu-isu itu. Jadi, seni ini bukan tentang kami personal tapi tentang bagaimana isu-isu kolektif di masyarakat Papua.
Waktu berdiskusi tentang nama kelompok ini, Andre Takemae salah satu anggota, mengusulkan nama Udeido. Asal katanya ude.
Ude itu nama satu daun di wilayah Mee. Sebenarnya daun itu banyak di wilayah lain di Papua juga. Cuma orang Mee menyebut itu ude. Biasanya ketika ada luka atau misalnya teriris di salah satu bagian tubuh, orang akan menggunakan daun ude untuk menutup luka sehingga pendarahannya berhenti. Dalam bentuk jamak dia disebut udeido. Ude yang banyak, begitu.
Jadi, Udeido ini sebenarnya salah satu dari manifestasi kegelisahan anak-anak muda di Papua. Jika teman-teman berkesempatan ke Papua, kita punya banyak sekali manifestasi kegelisahan. Reaksi masyarakat Papua terhadap apa yang terjadi di sekitar bisa muncul dalam kelompok-kelompok sastra, kelompok musik. Nah, Udeido ini mungkin satu dari tidak banyak kelompok yang bermain di wilayah seni visual.
Eka: Ini juga menarik Kaka Dicky. Teman-teman mahasiswa perantauan, kalau mau berorganisasi atau terlibat dalam gerakan itu biasa condongnya ke organisasi-organisasi yang sudah ada dan kadang-kadang punya afiliasi tertentu dengan ideologi tertentu. Tapi Kaka Dicky mereka memilih sendiri. Memang sejak awal diniatkan seperti itu?
Dicky: Iya, karena saya pikir sebelum kitong bicara sampai ke ideologi A, ideologi B, pada dasarnya memang kita berangkat dari kesamaan kami waktu itu. Anak ini suka menggambar, saya suka menggambar. Terus kita berkumpul. Kami bersyukur karena kita ada di wilayah seni visual, yang mana itu sebenarnya tidak punya bendera yang jelas. Hehehe.. Seni visual ini benderanya bagaimana? Tapi itu menariknya karena dia bisa menjadi melting pot di mana semua masalah bisa dilihat dengan kacamata visual. Katakanlah orang kadang-kadang sebut itu lebih netral.
Eka: Kalau berkaca, jadinya menarik. Soalnya alasan kami berkumpul awal di KAHE juga seperti itu. Di kampus, Ledalero. Suka sastra, suka teater. Jadi, kumpulnya justru karena itu. Dan entah kenapa kita kemudian, bukan resisten tetapi menghindari bergabung di kelompok-kelompok mahasiswa gerakan yang sudah ada dan punya muatan politis yang besar. Saya pikir ini fenomena yang menarik kalau mau dibaca sebagai suatu trend atau apa.
Dicky: Tapi Udeido sendiri tidak menutup pintu. Pintu hati begitu, haha, untuk setiap teman-teman atau siapapun dari latar belakang faksi atau organisasi manapun. Karena pada praktiknya kami bekerja dengan banyak orang.
Satu latar belakang yang saya pikir patut diperhitungkan adalah katakanlah, ada 100 mahasiswa datang ke Jawa untuk belajar. Saya bisa jamin lebih dari 50% itu akan belajar sosial politik. Kita tidak punya data yang valid tentang itu saya jujur, tapi yang saya temukan banyak sekali mahasiswa yang lebih memilih wilayah sana kalau kita bandingkan dengan wilayah-wilayah seperti seni murni. Tidak ada. Minim sekali, bukan tidak ada.
Waktu itu saya diskusi dengan satu teman. Dia bilang, kalau kita ini tunggu teman-teman yang kuliah di kampus-kampus seni baru kita mau bentuk satu komunitas atau kolektif, kayaknya sampai ayam beranak dulu baru kita punya satu kelompok besar yang memang isinya seniman-seniman yang terlatih di wilayah akademis.
Saya secara pribadi merenung, untuk jadi seniman kita tidak perlu sekolah seni, menimba ilmu secara akademis karena banyak hal bisa membantu kita menjadi seorang seniman. Walaupun betul, mereka yang mempunyai latar belakang seni secara akademis terlatih secara teknis dan lain-lain.
Eka: Kaka Dicky sendiri kuliahnya di ISI?
Dicky: Iya, ISI Jogja. Seni rupa murni.
Eka: Berapa orang? Kaka Dicky sendiri?
Dicky: Jadi dulu itu, sekitar ‘67 ada Bapa Alo. Nah, habis itu, di seni murni itu tidak ada lagi orang. Sampai tahun 2000 itu ada Kaka Andreas Webu almarhum. Kaka Andreas Webu selesai 2006. 2006, Bapa Alo yang tahun 60-an itu, dia kirim saya datang. Jadi kita punya jarak cuma satu-satu orang.
Eka: Satu generasi-satu generasi.
Dicky: Selang beberapa tahun, 2012 itu kita punya teman satu. Berto Wanma. Sementara di bidang lain setiap tahun kita punya sarjana. Jadi, saya pikir daripada tunggu, yang ada saja kita jalan. Bagaimana kita belajar tentang wacana. Teknis kita bisa belajar sama-sama. Itu yang terjadi. Kita diskusi. Dalam kelompok ini kita saling sharing. Ketika ada yang merasa kurang perihal teknis, kita bisa saling bantu. Itu yang terjadi sampai Udeido sampai di titik ini.
Eka: Yang saya setuju dengan Ka Dicky, ketika harus terlibat dalam kolektif atau kesenian, kita tidak bisa kerja sendiri. Persis. Kita harus kerja dengan banyak orang. Kami di Maumere malah harus bangun ekosistem lagi.
Dicky: Di dalam Udeido kita bicarakan itu. Saya pikir, ketika kerja sendiri, sejago-jagonya kita juga tetap kita butuh kelompok untuk bisa transmisi energi, suara yang lebih banyak, lebih besar, lebih luas cakupannya.
Eka: Apalagi isu-isu yang diangkat Udeido juga sangat penting, signifikan bagi publik. Dan memang menarik karena seni, dipercaya Udeido, bisa mengamplifikasi gagasan yang teman-teman angkat. Salah satunya itu soal Koreri Projection. Bisa diceritakan bagaimana kemudian bisa terlibat dalam Jogja Biennale?
Dicky: Sebelum masuk ke Biennale Jogja, Udeido bergerak secara mandiri, coba bikin kami punya pameran-pameran sendiri. Ada beberapa pameran yang kami sudah bikin dulu sebelum akhirnya sampai ke Biennale Jogja. Salah satunya itu misalnya, kita kerja dengan Asia Justice and Rights. Saya pikir penting untuk bicarakan di sini.
Kita ingin meng-highlight isu tentang perempuan, khususnya perempuan Papua. Kami akhirnya membuat sebuah pameran. Waktu itu ada open call memang, tapi sebenarnya selain open call, satu mekanismenya itu kami undang sepuluh perempuan Papua untuk berbicara tentang sepuluh masalah utama yang dihadapi perempuan Papua. Dan semua berbicara dengan lukisannya mereka masing-masing. Sepuluh perempuan itu, yang punya lukisan, sa pikir masih disimpan sama AJAR. Tapi yang lainnya, kita tampilkan online, semuanya kita tampilkan online, itu sudah hilang.
Eka: Hilang?
Dicky: Hilang-hilang saja begitu. Sa pikir tidak perlu dibicarakan. Haha.
Nah, dari gerakan-gerakan seperti itu, kita akhirnya menemukan bentuk Udeido sendiri. Artinya, oke, kita memang lebih fokus ke wilayah ini. Sa pikir hal itu jugalah yang membuat Biennale Jogja waktu itu melirik Udeido. Kuratornya mengontak kami dan kami bertukar pikiran tentang banyak hal.
Kuratornya waktu itu datang ke Jayapura. Mas Ayos datang ke Jayapura. Di Jayapura, dia ketemu kami punya kakak-kakak. Di sana, mereka bilang ‘oh kalian coba kontak Udeido’. ‘Udeido di mana?’ ‘Udeido ada di Jogja.’ Jadi dia datang dari Jogja ke Jayapura, Udeidonya ada di Jogja. Hahaha. Akhirnya dia balik ke Jogja baru kami ketemu. Walaupun ada beberapa teman-temannya yang waktu itu di Jayapura.
Kita sepakat untuk kerja sama. Teman-teman kita datangkan. Yang dari Jayapura, dari Fakfak datang ke sini. Semua berkumpul di Bantul. Teman-teman berkumpul itu sekitar tiga bulan sebelum pembukaan pameran. Kita mulai diskusi konsep semuanya itu di Jogja.
Ketika harus berbicara tentang konsepnya, kita punya beberapa alternatif konsep. Setelah kita menimbang, teman-teman sepakat untuk bicara soal Koreri Projection. Alasannya, sebenarnya kita mau mengkritisi makin sempitnya ruang hidup di Papua bagi orang Papua sendiri. Ruang hidup yang kami maksud itu bukan hanya ruang hidup fisik. Misalnya hutan-hutan dibabat, tanah-tanah diambil, terus kampung-kampung sekarang kosong karena latar belakang konflik dan lain-lain. Itu ruang-ruang fisik. Selain ruang-ruang fisik, kita punya ruang-ruang yang semakin terdegradasi seperti ruang-ruang untuk berekspresi, ruang-ruang berpolitik juga semakin sempit.
Saya kasih contoh hal sederhana saja.
Teman-teman di Jayapura waktu itu bikin diskusi buku dalam rangka hari Hak Asasi Manusia atau apa. Diskusi itu dibubarkan dengan paksa. Sa pikir ini keterlaluan karena itu sebuah diskusi akademis. Yang adakan itu sebuah kumpulan mahasiswa dan itu cuma diskusi bukan gerakan aksi untuk pergi tumbangkan siapa. Tidak. Itu gambaran bagaimana ruang-ruang non fisik pun mengalami penekanan. Akhirnya, itu yang kita coba singgung. Tapi bagaimana singgungnya? Karena kita juga tidak mau bicara hanya satu hal itu saja.
Ini kesempatan yang bagus buat kami untuk bicara dan sayang sekali kalau kita cuma fokus ke satu isu. Kita tidak punya banyak panggung seperti begini dan besar. Dia punya segmen viewers cukup meluas. Dari latar belakang itu, teman-teman memilih Koreri Projection.
Latar belakang kedua tentang pemilihan Koreri Projection ini berhubungan dengan Udeido punya pendekatan artistik. Kita melihat bahwa sejarah kolonialisme Belanda telah memutuskan banyak rantai antara generasi Papua saat ini dengan masa lalu.
Anak-anak Papua sekarang mencari tahu masalah itu sebenarnya seperti apa. Sebelum kitorang pergi ke gereja itu, orang-orang tua bikin apa? Apa yang mereka percayai? Apa yang mereka lakukan? Ini pertanda apa dan lain-lain? Pohon itu tanda apa? Bagaimana menyikapi sesuatu dengan kacamata lokal misalnya. Itu semua ingin dicari kembali. Di sisi lain, masalah-masalah ini terjadi di masa kini. Sehingga Udeido melihat, coba kita cari satu rumus, sebuah pendekatan artistik yang bisa merangkum semuanya. Jadi sekali kita jalan, kita lakukan penggalian ke belakang, sekalian juga bicara tentang hal-hal yang ada sekarang.
Sehingga yang terjadi adalah teman-teman mencoba konstruksi konsep-konsep lama yang manifestasinya itu banyak sekali. Di dalam cerita rakyat ada pola-pola, cara-cara hidup, filosofi hidup, pandangan, tari-tarian, lagu-lagu, nyanyian dan lain-lain. Ini coba direkonstruksi ulang. Yang memiliki semacam gejala topologi, kemiripan dengan apa yang terjadi saat ini, kita coba hidupkan kembali dan melihat relevansinya untuk berbicara tentang apa yang terjadi di masa ini.
Ketika kita melihat sempitnya ruang hidup, teman-teman berpikir simpel saja. Bagaimana kalau di dalam Biennale Jogja ini, kita buat sebuah ruang di mana orang-orang Papua hidup sendiri dengan damai. Dan kita akan membawa pengunjung masuk ke dalam dunianya kita. Berarti kita butuh sebuah konsep lama tentang ruang hidup. Pilihlah koreri.
Koreri sendiri adalah sebuah kepercayaan, dulu dipercaya masyarakat Biak, Serui, dan sekitarnya. Saat ini, kepercayaan itu sudah punah. Koreri secara etimologi sebenarnya bicara tentang perdamaian, tentang kehidupan yang baru. Nah, ada orang mengartikan itu surga ketika kita sampai di koreri. Seperti promised land. Sebenarnya kompleks sekali keyakinan ini. Seperti misalnya, koreri percaya suatu saat Manarmakeri atau sang nabi mereka itu akan kembali. Karena dalam keyakinan itu, dia pergi ke arah barat dan ketika dia kembali, koreri akan terwujud. Kita mengambil koreri sebagai sebuah ruang imajiner. Para penganut Koreri percaya bahwa saat mereka mati, mereka akan pergi dan tinggal di koreri, sebuah ruang non fisik, non material.
Kita coba ambil dan elaborasi. Masing-masing seniman di dalam Udeido akan merespons koreri ini. Sehingga kami hanya memberikan clue bahwa karya kita nanti akan dijadikan seperti step by step, perjalanan menuju koreri. Karya paling terakhir akan menggambarkan koreri itu sendiri. Jadi, setiap teman-teman, karena kebetulan kami semua datang dari tempat yang berbeda-beda, melihat masalahnya beda-beda. Walaupun secara narasi masalah Papua semuanya sama saja.
Akhirnya, masing-masing membuat koreri versi mereka. Ketika misalnya kemarin kita lihat dari pintu depan, dari mural besar milik Yanto sampai ke lampu-lampu yang menyala, itu rangkaian perjalanan koreri.
Eka: Jadi dramaturginya disusun seperti konsep koreri?
Dicky: Iya. Makanya ketika pembukaan kita bikin semacam performance. Sebenarnya, performer itu dia jalan membawa penonton masuk ke koreri. Itu lagi, lucu lagi. Yang terjadi adalah performer masih di sini, penonton sudah lewat. Ini para tiktokers lebih lincah rupanya. Hahahaha
Saya tidak salahkan panitia. Mungkin kemarin kita juga kurang atur atau bagaimana. Harusnya, dalam konsepnya kita, performer ini orang pertama yang memasuki koreri. Dia yang akan membawa pengunjung masuk ke dalam koreri karena itu sebenarnya adalah gambaran Manamarkeri membawa orang Papua masuk orang ke dalam koreri. Tapi tidak apa-apa karena ada kisah menarik juga di balik itu.
Eka: Ini memang karya kolektif dari fasad mural sampai ke belakang dan ada banyak orang yang terlibat di dalamnya. Saya sempat ngobrol dengan satu kaka nona, Ka Betty. Kalau tidak salah karyanya yang penis-penis peluru itu.
Dicky: Ia, betul. Penis-penis berpeluru.
Eka: Ini sangat meneror, tapi dari perspektif kita yang juga memiliki kedekatan sejarah dan budaya, ah ini sangat susah dijelaskan. Karya ini kemudian membuat emosi kita jadi murung, tapi juga berani.
Dicky: Secara tampilan, di sana ada penis-penis laki-laki yang ujungnya itu transformasi jadi peluru. Di sana ada satu lukisannya dia yang baru diabuat dan kumpulan sketsanya yang dia buat selama tiga tahun. Selama meriset dan membaca tentang permasalahan perempuan Papua. Dan ada lagi yang penting yaitu pakaian-pakaian dalam perempuan bertebaran di sepanjang areanya Betty. Ada yang di lantai, ada yang digantung di karya, ada yang digantung di dekat lukisan.
Sebenarnya, karya Betty ini mau berbicara tentang bagaimana di wilayah-wilayah konflik, maskulinitas itu bagi dia seperti sebuah arus. Dibentuk dengan kekuasaan, lalu menarik kaum-kaum rentan ke tengah-tengah pusarannya. Bagi dia, yang paling rentan dari semua kaum yang disebut kaum rentan itu adalah perempuan. Jadi menurut Betty dan kami mengamini, dari keseluruhan konflik Papua ini, yang paling dirugikan itu adalah perempuan Papua.
Hubungannya bisa dilihat misalnya pada bagaimana orang Papua memandang tanah, perempuan Papua merawat tanah. Di dalam adat itu, perempuan punya tanggung jawab apa terhadap tanah, sampai kasus-kasus yang berhubungan dengan perempuan. Misalnya konflik-konflik bersenjata. Operasi-operasi militer yang dilakukan negara di wilayah-wilayah konflik itu secara langsung mengorbankan perempuan-perempuan sipil. Mereka menjadi korban perkosaan, pelecehan, dan akhirnya merasa malu kembali ke masyarakat. Malu mengandung anak yang tidak tahu bapaknya siapa. Itu akhirnya menghasilkan double problem karena ketika dia kembali ke masyarakatnya dia membawa aib. Sulit sekali bagi perempuan-perempuan ini untuk mendapatkan tempat seperti semula. Laki-laki yang akan jadi suaminya pun merasa bagaimana, karena perempuan ini sekarang mengandung seseorang yang bukan dari darah dagingnya sendiri.
Masih ada banyak lagi masalah-masalah tentang perempuan. Kita punya banyak laporan tentang perempuan, dari KOMNAS Perempuan, Human Rights Watch, dan lain-lain. Betty melihat ini bukan hanya diskursus politik tentang Indonesia dan Papua, tetapi juga tentang laki-laki dan perempuan. Laki-laki ini, termasuk laki-laki Papua terhadap perempuan Papua.
Menurut Betty di dalam skala budaya juga, perempuan menjadi minoritas, tidak punya kekuasaan untuk berbicara. Misalnya, di wilayah sosial politik, domestik dan nilai tukar di dalam tawar-menawar. Dalam arti negosiasi atau pembicaraan, dia tidak begitu kuat karena dia seorang perempuan. Betty melihat semua itu, disimbolkan sama dia dengan bentuk penis laki-laki tapi dengan ujungnya berbentuk peluru.
Saya pikir yang menarik dari karya ini ada dua yaitu, dia punya diari yang sangat kuat. Saya kira perlu satu waktu untuk membahas karya-karya di diarinya Betty ini karena berisi hal-hal perjalanannya dia, hal-hal yang ditemui saat membaca buku atau suatu laporan, lalu dia bikin gambar. Ada tulisan tangannya dia juga di sana. Dan itu yang menjadikan karya ini kuat.
Kemudian, setelah karya itu sudah dikonsepkan seperti begitu, Betty melihat disposisi karya ini sebagai ruang aman. Bagi Betty, yang perlu kita lakukan adalah membangun ruang-ruang aman di mana perempuan-perempuan atau kaum-kaum rentan ini bisa berlindung atau mengungsi. Bagi Betty, mengekspresikan suara hati itu sebenarnya seperti membangun ruang aman. Mengekspresikan diri sebenarnya juga membangun ruang aman, sehingga dia membuka ruangannya dia, karyanya dia sebagai ruang aman
Betty mengumpulkan beberapa perempuan di sekitar dia, di Yogyakarta, yang secara sukarela mau menyumbangkan lapisan terakhir yang melindungi tubuh mereka, atau pakaian dalam, untuk menjadi bagian dari karya ini, sebagai wujud solidaritas mereka terhadap perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan di Papua atau di mana saja karena pesannya lebih global. Pakaian-pakaian dalam yang teman-teman lihat bertaburan di dalam karya Betty itu disumbangkan. Jadi, Udeido tidak keluarkan uang untuk belanja pakaian dalam. Bagi mereka itu adalah solidaritas.
Eka: Jadi untuk Betty, koreri adalah ruang untuk bisa bebas berekspresi, memberi gagasan. Ruang bagi kelompok-kelompok rentan bisa berlindung.
Dicky: Ia. Koreri-nya dia itu ruang aman untuk perempuan.
Eka: Mungkin ada hal-hal lain yang bisa di-highlight Kak Dicky sebagai yang juga menggagas pameran Udeido? Mungkin gunung emas itu. Sebelum gunung emas, pala. Ada kepala manusia, lalu ada pala membalutnya.
Dicky: Sebelum karyanya Betty, pengunjung akan dibawa masuk ke wilayah Fakfak. Karya ini berbicara tentang suatu tempat riill. Ini adalah karya seorang seniman, namanya Kostan. Ade Kostan ini dari Fakfak.
Ketika diberi tema koreri, yang selalu terlintas di kepalanya adalah homour. Homour sendiri sebenarnya di dalam masyarakat Mbaham di Fakfak itu persis seperti Koreri. Homour dipercaya sebagai suatu tempat yang disakralkan masyarakat sekitar. Mereka percaya kelak mereka akan pergi dan tinggal di situ. Tapi beda sedikit dengan koreri. Homour ini punya manifestasi. Selain dia adalah space imajiner atau sebuah ruang imajiner, homour ini memiliki manifestasi riil di dalam ruang-ruang fisik misalnya, sebuah gua, gunung besar, sebuah pohon besar, batu besar. Jadi, setiap klan punya homour yang berbeda dan mereka percaya nenek moyang dari klan itu tinggal di homour itu.
Kostan mencoba menyentuh realita bahwa saat ini homour-homour itu tergusur. Jadi yang sebenarnya yang Kostan ingin bicarakan secara garis besar adalah alih fungsi lahan dan konflik-konflik lahan di wilayah Fakfak.
Kalau kita lihat, di sana itu ada kepala-kepala berbentuk pala karena, tidak banyak yang tahu tapi Fakfak, Kaimana, mereka itu juga salah satu penghasil pala besar. Itu menjadi mata pencaharian warga, menjual pala, dari zaman perdagangan dulu. Ketika booming perdagangan di timur, rempah-rempah Maluku dan lain-lain, sebenarnya orang-orang Fakfak dan sekitarnya itu juga terlibat. Namun, sejarah tidak mencatat mereka karena mungkin Belanda, Spanyol, dan Portugis tidak banyak eksplorasi di wilayah situ. Tapi budaya orang Fakfak dengan pala itu sangat erat. Banyak sekali homour terletak di hutan-hutan pala.
Kostan juga mengelaborasi bagaimana orang Fakfak melihat pala, selain melihat tanah, melihat kasus-kasus yang sekarang, penjualan lahan. Orang jual tanah mereka sendiri untuk ditukar dengan motor. Masalah-masalah itu, dia coba angkat di dalam dia punya karya. Di pala itu, ada kepala manusia di dalamnya. Ko jual tanah penghasil pala sebenarnya sama dengan ko jual ko punya generasi sendiri.
Ada dua peta dari satu tempat yang sama: peta jazirah Onin yang dia sandingkan. Satu peta dari zaman Belanda, koleksinya KITLV mungkin dan yang satunya itu peta alih fungsi lahan masa kini, lengkap dengan tanda tangan bupati di bawah. Ini orang dia tidak sensor nama, hahahaa. Sama ada foto-foto masyarakat Fakfak itu mengerjakan kebun pala.
Kostan juga bekerja menggunakan authentic material yaitu material-material yang kita pakai untuk membicarakan sesuatu tapi datang langsung dari wilayah itu. Jadi bukan sesuatu yang kita bikin untuk menggambarkan apa yang ada di sana. Kostan mendatangkan baju dan alat kerja petani yang digantung di tembok. Itu fresh tanpa dicuci. Begitu datang langsung kita gantung.
Eka: Itu kelihatan simple tapi sangat menusuk.
Dicky: Saya pikir ini menarik karena dia gantung tomang-tomang, tempat-tempat, tas-tas untuk isi pala. Motivasi dia menggantung semua peralatan ini karena sebenarnya dia ingin bilang mereka semua sudah pensiun.
Di sana ada meja dan empat gelas kopi, sirih pinang di piring, taplak meja warna merah. Menurut Kostan ini adalah, sa lupa namanya tapi satu tradisi yang biasanya orang Fakfak lakukan ketika mereka punya keluarga meninggal. Mereka akan lakukan ini: siram kopi empat terus taruh di kamarnya lengkap dengan peralatan-peralatan kerjanya, benda-benda yang paling dia sukai. Mereka akan display di dia punya kamar atau ruang tertentu di dalam rumah. Persis hal yang sama dia lakukan di Biennale Jogja.
Eka: Mungkin satu lagi yang juga menarik sebelum kita ngobrol soal gagasan yang lebih luas. Itu soal gunung-gunung emas. Itu juga sangat mencolok.
Dicky: Itu karya Nelson Natkime. Dia berasal dari Mimika. Ini adalah kumpulan drawing-nya Nelson yang berbicara tentang orang Amungme dan seputar gunung emas di Timika. Kita punya enam belas panel yang kita buat seperti neon box. Setiap gambar itu akan bernyala. Di atas puncak, Nelson gambar gunung emas.
Bagi Nelson, ini adalah metafora dari Nemangkawi. Nemangkawi itu adalah sebutan orang Amungme untuk gunung itu. Orang Amungme percaya kalau gunung itu tempat mereka punya nenek moyang tinggal. Ketika mereka mati pun mereka akan pergi ke sana. Jadi, persis seperti homour di Fakfak.
Di sana, kita punya gambaran mulai dari keseharian masyarakat terus bagaimana protes-protes yang terjadi dihadapi dengan represi. Terus ada beberapa penglihatannya Nelson ketika dalam mimpi.
Dia tempatkan di tengah, ada mama-mama. Orang Amungme percaya gunung Nemangkawi sebagai mama, ibu. Mereka percaya mereka lahir dari situ dan akan kembali ke sana.
Ada satu titik di mana Nelson menceritakan suatu kisah yang terjadi puluhan tahun lalu.
Jadi sekitar tahun 60-an, ketika itu masih gonjang-ganjing politik di Irian Barat. Mereka ini mulai masuk untuk mempersiapkan eksploitasi Nemangkawi. Ketika mereka masuk, mereka mendekati kepala-kepala suku. Dengan banyak dinamika dan tekanan, akhirnya ada satu orang kepala suku yang memberikan tanda tangannya untuk penyerahan lahan, bukan lahan tapi gunung emas itu. Tanda tangan itu ditukar dengan empat kaleng kornet. Orang yang memberikan tanda tangan itu, Teteh Tuarek Nemangkawi. Itu Nelson punya kakek kandung. Empat kaleng kornet itu ditukar dengan satu gunung emas yang sekarang kita tahu tambang emas terbesar di dunia.
Ketika banyak orang berbicara tentang kekayaan emas di Papua bisa menghidupi seluruh orang di Indonesia, bisa membuat Papua menjadi maju blablabla, sa dengar seperti angin saja. Tapi ketika Nelson berbicara, itu personal sekali. Karena dia bukan berbicara tentang emas untuk semua orang. Dia bicara tentang dia punya halaman di belakang rumah.
Eka: Terima kasih Ka Dicky. Saya tidak tahu bagaimana cara berekspresi. Ada lucu, ada satir, tapi juga menjengkelkan. Bagaimana kita lihat sekarang gunung emas itu dan dinamika di dalamnya serta sejarah lokal. Bagaimana kolonialisme itu berlangsung, mungkin sampai saat ini.
Pertanyaan yang lebih luas, gagasan yang lebih besar yang ingin disuarakan dari karya-karya ini kira-kira seperti apa?
Dicky: Sebenarnya kami punya harapan, koreri itu diproyeksikan juga di pengunjung, di siapapun yang masuk ke dalamnya. Kita simbolkan dengan cahaya, dengan bau-bauan di sana. Ada kotor kotor di lantai itu. Kami berharap itu diproyeksikan ke masyarakat.
Ada titik di mana kita sampai di masa ketika hal yang paling jelas pun orang tidak akan mengerti. Kita akan dengar banyak berita tentang Papua. Korban berjatuhan. Orang tidak akan mengerti karena setiap orang sudah punya premis masing-masing.
Tapi sa pikir ada ruang di mana visual bisa lebih banyak berbicara. Ketika orang masuk di dalam satu ruang yang kita kondisikan, ada proses perenungan terjadi di situ. Hal itu yang kita harapkan ketika kita memberi nama karya kami di macan kemarin itu Koreri Transformation. Terjadi transformasi kecil saja di dalam ko punya diri.
Dalam beberapa proses pameran, kami menemukan beberapa orang yang beberapa kali datang dan akhirnya mereka bilang, terima kasih Kak, saya tidak banyak tahu tapi setelah melihat ini saya pingin belajar banyak tentang masalah Papua. Ini hal-hal yang kami sebut keberhasilan.
Kita punya banyak versi keberhasilan di dunia seni. Ada yang bilang harus pameran di sana, pameran di sana. Ke mana, ke mana. Versinya Udeido keberhasilan itu begini, ketika ada sesuatu terjadi di dalam orang yang melihat terus paling tidak dia bertanya. Di Papua ini ada masalah apa. Nanti dari situ kalau dia ingin mencari lebih dalam dia akan temukan sendiri masalah-masalah yang terjadi di sana. Kita punya banyak memang yang kita bisa baca di media sosial dan lain-lain, tetapi kadang tidak semua itu menyentuh hal-hal paling fundamental yang orang Papua ingin sampaikan.
Sebenarnya, karya-karya Udeido ini kami pikir lebih tepatnya disebut kita menstimulasi orang.
Eka: Ada pembacaan yang bias tidak? Karena, satu hal yang menurut saya berlangsung, kalau saya keliru bisa diperbaiki, banyak sekali aktivitas atau apapun yang muncul dari Papua itu selalu di-framing politik. Bagaimana teman-teman melihatnya? Apakah kesenian kemudian bisa meretas stereotipe-stereotipe yang sering berlangsung itu? Atau ada stereotipe lain yang mungkin juga sedang teman-teman retas, ajak ngobrol, kalau tidak mau dibilang resisten. Apa pun yang muncul dari Papua sangat rentan di-framing sebagai politik identitas.
Dicky: Stereotip ini sudah akut.
Saya sering bilang ke teman-teman. Ada tiga orang berbicara tentang pembakaran hutan. Satu orang Kalimantan dia bicara tentang pembakaran hutan buat sawit. Satu orang Sumatera dia bicara tentang hutan yang dibakar terus asap-asap naik. Terus satu orang Papua berbicara tentang hutan yang dibabat di Boven Digoel buat sawit.
Orang pertama kita bisa terima karena bahas tentang hutan, lingkungan dan lain-lain. Ke orang kedua, masih sama, orang Sumatera. Sampai ke orang Papua langsung politik, teroris, pemberontak bla bla bla bla bla. Itu yang terjadi.
Masyarakat sangat mudah sekali menstereotipe orang Papua sehingga ini membuat proses yang kita sebut mungkin dialog itu berjalan lambat. Lambat sekali. Setiap satu suara muncul dan ketika itu sangat kritis dia akan disebut pemberontak. Kritis, dia akan masuk ke dalam frame itu lagi. Sulit sekali keluarkan dia dari dalam frame itu.
Udeido sebenarnya membuat pendekatan-pendekatan sederhana untuk melawan hal-hal seperti begitu. Entah dibilang melawan, resisten atau mengajak dialog.
Ketika semua karya di Biennale Jogja sudah ter-display, dari awal sebenarnya kami sudah membangun narasi untuk menghadirkan performance di sana. Karena ini step by step menuju koreri berarti teman-teman berpikir yang membawa orang menuju ke dalam koreri adalah sosok Manamarkeri. Siapa yang akan kita taruh sebagai Manamarkeri. Kita kemudian mulai bicara banyak hal dan sepakat bahwa dia harus orang yang asing terhadap Papua.
Loh, kenapa malahan kasih orang yang asing sekali terhadap Papua untuk suatu posisi yang penting sekali dalam kalian punya konsepsi karya?
Saya bilang, ini bukan hanya tentang egoisme kita di dalam konsep atau idealisme kita. Kita ingin memberikan pendekatan kolaboratif, partisipatif dalam karya ini. Dan untuk itu, kita harus menghadirkan entitas-entitas yang kita rasa baru dalam diskursus ini. Mereka ikut terlibat dalam diskusi karya, dalam pembuatan-pembuatan karya, sampai eksekusinya. Walaupun ini cuma satu orang, proses itu kami lakukan. Pendekatan kebersamaan ini menjadikan dia sendiri akhirnya melihat masalah Papua menjadi berbeda buat dia. Selama ini mendengarnya cuma begini-begini ternyata ketika kita di dalam, lain cerita. Sudut pandangnya beda. Perasaan yang dirasakan menjadi sedikit unik misalnya.
Yang kedua adalah kolaborasi. Kata kolaborasi ini bagi setiap seniman itu punya makna yang berbeda. Bagi Udeido sendiri, karena Udeido datang dari satu komunitas atau suatu masyarakat yang punya sejarah diskriminasi dan rasisme yang panjang, kolaborasi itu bisa memberikan pesan kesetaraan. Kita bisa berdiri bersama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Itu yang coba kita dekati dengan pendekatan artistiknya kami. Itu contoh singkat. Sa tidak tahu ini bisa menjawab secara detail?
Eka: Tidak apa-apa. Tidak harus detail.
Dicky: Sa juga tidak bisa memuaskan kalian hahaha.
Eka: Soalnya kalau kesimpulannya sekarang, perjuangannya kita berhenti. Hahaha
Kita berdua di satu forum kemarin. Ngobrol soal museum. Ada satu pertanyaan dari forum. Apa yang kalian pikirkan tentang dekonstruksi atau desentralisasi, dekolonisasi seni? Ka Dicky satu kalimat saja. Kalau omong soal dekolonisasi seni, jangan hanya seni. Papua juga didekolonisasi. Saya di sebelah langsung merinding. Ini saya jawab bagaimana?
Dicky: Hahah. Itu siapa yang tanya, itu?
Eka: Saya lupa hahaha..
Ini mungkin pertanyaan terakhir untuk Ka Dicky dari saya. Untuk Udeido sendiri, koreri itu apa untuk saat ini dan harapan ke depan? Berat e?
Dicky: Sebelum masuk ke pertanyaan terakhir, saya mau masuk ke pembahasan tentang tadi yang kita singgung. Dekolonisasi.
Tahun lalu saya menulis dengan satu orang peneliti di satu pameran di Belanda. Pameran itu menampilkan lukisan dari seorang bapak ekspresionisme Jerman. Namanya Emil Nolde. Dia pernah berkunjung ke wilayah German New Guinea, itu wilayah Papua New Guinea sekarang. Datang dengan tim medis. Di sana dia menghasilkan banyak karya. Kemudian dia pulang kembali ke Eropa.
Pameran itu menampilkan karya Emil Nolde berdampingan dengan beberapa material yang mereka sebut dengan material culture dari Papua New Guinea. Dari kabar yang saya terima, itu memicu banyak kemarahan di wilayah para penggemar Nolde.
Kami menemukan bahwa seni-seni yang selalu berdampingan dengan tradisi, orang sebut primitivisme atau etnologi, etnografi, pada satu titik atau wilayah kadang bahkan tidak dianggap seni. Kita punya sebutan indigenous art, indigenous artist.
Eka: Ada yang superior, ada yang subordinat.
Dicky: Persis. Kami di dalam Udeido juga tidak mau disebut indigenous art.
Indigenous, terserahlah mau dipakai di wilayah lain. Mungkin dia kalimat yang baik. Tetapi ketika itu dipakai di terminologi seni, dia selalu memetakan indigenous art dengan modern art. Dan itu sama dengan memetakan colors and white. Color people dan white people. Hal-hal yang kayak begini juga yang kami ingin dekolonisasi.
Udeido berangkat dari masyarakat yang punya sejarah panjang dengan diskriminasi dan rasisme. Kita punya stereotipe-stereotipe yang melekat dengan masyarakat: ketinggalan zaman, pemabuk, blablablabla. Ada ruang-ruang yang ditutup ketika kita hendak berekspresi. Sampai pada suatu titik Udeido melihat visual art, contemporary art sebagai satu ruang baru tempat kita bisa hidup, yang kita sebut ruang aman misalnya, buat orang Papua bisa berekspresi dengan lebih bebas. Tetapi ketika sampai di sini, kita dikasih term baru, indigenous artist, itu sama saja seperti kami temukan kotak baru.
Saya pikir permenungan ini bukan hanya soal Udeido. Sa bukan mau rasis di sini. Tapi orang-orang di bagian bumi lain melihat kita seperti begitu. Dunia ketiga, dengan indigenous artist dan lain-lain.
Eka: Subordinasinya berlapis.
Dicky: Berat juga pertanyaan ini. Kalau koreri, saya juga bingung untuk Udeido. Hahaha.
Harapan ke depan. Kami berharap kami bisa survive. Kita tidak usah berharap bisa mengubah manusia. Terus mengubah peradaban. Kita survive dulu. Kenapa? Karena usia berkesenian anak-anak di timur, katakanlah secara spesifik di Papua itu tidak panjang.
Kita punya banyak teman-teman yang aktif dua tiga tahun pertama lalu hilang ditelan bumi. Sama sekali tidak berkarya. Atau ada yang akhirnya karena tuntutan alam dan mertua, dia harus cari sesuatu yang lebih menjanjikan. Ketika kitong kumpul di Udeido, itu kitong rasa semoga suatu saat di masa tua begitu, kita bisa kumpul di usia tujuh puluh tahun, hadiri kita punya pameran.
Itu kita punya mimpi-mimpi sederhana. Ketika kita bisa sampai di titik itu, kita bisa menjawab banyak pertanyaan karena banyak anak muda yang meninggal tertembak peluru, karena penyakit, kecelakaan, minuman keras.
Ketika kita bisa bikin pameran di usia tujuh puluh, ada banyak lapis kehidupan yang sudah dilewati. Sesimpel itu kita punya harapan. Ketika sampai di sana, itu koreri-nya kami. Mungkin kita bisa undang Eka ke Jayapura nonton kita punya pameran. Kita kumpul di koreri. Hahahahaha..